Tidak setiap hari kita berjumpa dengan Chromebook yang dimaksudkan untuk keperluan gaming. Namun itulah kesan yang didapat usai melihat perangkat bernama Asus Chromebook Flip CM5 berikut ini, terutama berkat aksen warna yang mencolok pada tombol WASD-nya.
Oke, bukan gaming dalam makna yang sesungguhnya memang, melainkan cloud gaming. Meski begitu, Asus tetap merasa perlu menjejalkan spesifikasi yang lebih mumpuni ketimbang Chromebook pada umumnya; utamanya prosesor AMD Ryzen 3 3250 C (dual-core), atau Ryzen 5 3500C (quad-core), masing-masing dengan GPU Radeon terintegrasi.
Melengkapi spesifikasinya adalah pilihan kapasitas RAM DDR 4 GB, 8 GB, atau 16 GB, serta pilihan storage internal eMMC 64 GB, atau SSD NVMe 128 GB maupun 256 GB. Semua itu jelas terkesan cupu di kategori laptop gaming, tapi setidaknya ia mampu menyuguhkan pengalaman yang baik bagi para pelanggan Google Stadia ataupun Nvidia GeForce Now — tentu saja dengan catatan koneksi internetnya cepat sekaligus stabil.
Guna semakin memaksimalkan pengalaman bermainnya, Asus tidak lupa membekali perangkat dengan Wi-Fi 6 beserta teknologi Wi-Fi stabilizer, plus sistem audio bersertifikasi Harman Kardon. Asus bahkan telah melapisi bagian palm rest-nya dengan lapisan yang lembut agar perangkat bisa tetap terasa nyaman dalam durasi penggunaan yang cukup lama.
Sesuai namanya, Chromebook Flip CM5 mengemas layar sentuh dengan engsel yang dapat berputar 360°, sehingga perangkat dapat digunakan dalam beragam posisi yang berbeda. Dalam mode laptop standar, bagian atas keyboard-nya akan sedikit terangkat agar bisa lebih nyaman dipakai mengetik, sekaligus memberikan ruang ekstra di bawah laptop untuk meningkatkan sirkulasi udara sekaligus kualitas audio.
Terkait jenis panel layarnya, Chromebook Flip CM5 menggunakan panel IPS-level dengan ukuran 15,6 inci dan resolusi FHD (1080p). Semuanya dikemas dalam sasis aluminium setebal 1,85 cm dan seberat 1,95 kg. Baterainya tercatat memiliki kapasitas 57 Wh, dan konektivitasnya mencakup sepasang port USB 3.2 Gen 2 Type-C, satu port USB 3.2 Gen 2 Type-A, port HDMI 1.4, dan slot kartu microSD.
Asus Chromebook Flip CM5 saat ini sudah dijual dengan banderol mulai $500 di Amerika Serikat. Sayang sejauh ini belum ada informasi terkait ketersediaannya di Indonesia.
Kabar gembira bagi yang telah menanti kedatangan Lenovo ThinkPad X1 Fold. Pada tanggal 4 Maret 2021, Lenovo akhirnya telah resmi mendatangkan foldable laptop pertama tersebut ke Indonesia. Bukan cuma itu, Lenovo Indonesia rupanya juga menghadirkan ThinkPad X1 Nano dan ThinkPad X1 Titanium Yoga sekalian.
Untuk ThinkPad X1 Fold, tentu saja yang menjadi sorotan utama adalah layarnya yang dapat ditekuk-tekuk. Panel OLED beresolusi 2048 x 1536 pixel yang fleksibel ini mempunyai bentang diagonal 13,3 inci ketika dibuka penuh, atau 9,6 inci ketika dilipat. Yang istimewa, X1 Fold sama sekali tidak ringkih dan telah lulus sertifikasi uji standar militer (MIL-STD-810H).
Berdasarkan hasil pengujian Lenovo, engsel milik X1 Fold diklaim bisa bertahan hingga 30 ribu kali buka-tutup, setara dengan waktu pemakaian selama sekitar 4 – 5 tahun. Namun rancangan engsel bukan satu-satunya tantangan yang dijumpai selama pengembangan X1 Fold. Lenovo juga harus memikirkan soal manajemen panas mengingat layar fleksibel beserta engselnya memakan lebih banyak ruang ketimbang layar tradisional.
Lenovo pada akhirnya harus merancang sistem pendingin yang benar-benar baru dari nol, memastikan bahwa distribusi panas bisa berlangsung seefisien mungkin sehingga perangkat tetap ideal untuk digunakan dalam waktu yang lama. Guna menunjang performanya, Lenovo membekali X1 Fold dengan prosesor Intel Core i5 generasi ke-11 yang memiliki arsitektur hybrid, lengkap beserta RAM 8 GB dan SSD berkapasitas 1 TB.
Dibandingkan laptop tradisional, X1 Fold tentu mempunyai skenario penggunaan yang lebih bervariasi. Cover kulit premium yang melapisi bagian luarnya ternyata dilengkapi sebuah kickstand agar perangkat bisa diberdirikan dalam posisi layarnya terbuka lebar. Dari situ pengguna tinggal menyambungkan sebuah keyboard Bluetooth, yang kabar baiknya termasuk dalam paket penjualan.
Juga ikut disertakan adalah sebuah stylus, dan ini tentu sangat berguna dalam skenario seperti mengikuti rapat atau webinar. Cukup buka X1 Fold layaknya laptop biasa, maka layar bagian bawahnya bisa langsung digunakan untuk mencatat selagi layar bagian atasnya menampilkan sesi video conference.
Namun pertanyaan yang paling penting mungkin adalah terkait harganya, sebab kita tahu bahwa sejauh ini semua perangkat foldable masih sangat mahal. Di Indonesia, Lenovo ThinkPad X1 Fold dipatok seharga Rp59.999.000 saat mulai dipasarkan pada bulan April mendatang. Bukan harga yang murah bahkan untuk kalangan early adopter sekalipun.
ThinkPad X1 Nano dan ThinkPad X1 Titanium Yoga
Beralih ke ThinkPad X1 Nano dan ThinkPad X1 Titanium Yoga, dua laptop ini sama-sama punya keunggulan tersendiri dari sisi desain. ThinkPad X1 Nano adalah model yang paling ringan dari seluruh lini ThinkPad yang ada saat ini, sedangkan ThinkPad X1 Carbon adalah yang ukuran bodinya paling tipis.
Kita mulai dari ThinkPad X1 Nano terlebih dulu. Dengan mengawinkan bahan serat karbon pada top cover dan magnesium pada sasisnya, perangkat ini tercatat memiliki bobot cuma 907 gram. Layarnya mempunyai ukuran 13 inci dengan resolusi 2160 x 1350 pixel (aspect ratio 16:10), dan konsumen dapat memilih antara varian touchscreen atau non-touchscreen.
Pada varian termahalnya, laptop ini mengemas prosesor Intel Core i7 generasi ke-11, lengkap beserta RAM 16 GB dan SSD berkapasitas 1 TB. Seperti X1 Fold, X1 Nano juga akan dijual mulai bulan April 2021 dengan harga mulai Rp27.249.000.
Untuk ThinkPad X1 Titanium Yoga, perangkat ini tercatat mempunyai tebal bodi hanya 11,5 mm dan bobot 1,15 kg. Label “Titanium” pada namanya merujuk pada logam titanium yang melapisi top cover-nya, sedangkan label “Yoga” mengindikasikan bahwa perangkat ini merupakan sebuah laptop convertible yang mengemas engsel layar 360°.
Secara teknis, X1 Titanium Yoga mengemas layar 13,5 inci dengan resolusi 2256 x 1504 pixel (aspect ratio 3:2). Dapur pacunya berisikan prosesor Intel Core i7 vPro, RAM 16 GB, dan SSD 1 TB pada konfigurasi termahalnya. Seperti X1 Nano, X1 Titanium Yoga juga telah memenuhi sertifikasi Intel Evo, menjadi penanda akan keunggulannya dalam hal daya tahan baterai maupun adanya dukungan terhadap fitur-fitur seperti fast charging dan instant wake.
Di Indonesia, ThinkPad X1 Titanium Yoga kabarnya akan dipasarkan dengan harga mulai Rp33.499.000 pada bulan April mendatang.
Dari sekian banyak laptop anyar yang dipamerkan, satu yang cukup mencuri perhatian datang dari Asus. Dinamai ROG Flow X13, ia merupakan laptop gaming 2-in-1 dengan dimensi yang sangat ringkas. Tebalnya tercatat cuma 15,8 mm, dan bobotnya pun tidak lebih dari 1,3 kg.
Di balik sasisnya, tertanam prosesor terbaru AMD, dengan konfigurasi termahal yang melibatkan Ryzen 9 5980HS, plus GPU Nvidia GeForce GTX 1650. Melengkapi spesifikasinya adalah RAM LPDDR4X-4266 berkapasitas 32 GB, SSD 1 TB, dan baterai 62 Wh.
Berhubung perangkat ini masuk kategori 2-in-1, otomatis layarnya dilengkapi engsel 360 derajat sehingga perangkat bisa digunakan dalam beberapa mode. Menariknya, ketika Flow X13 diposisikan seperti sebuah tenda, sistem pendinginnya diklaim dapat bekerja secara lebih optimal dikarenakan tidak ada bagian yang tertutup oleh permukaan.
Layarnya sendiri ditawarkan dalam dua versi: FHD 120 Hz, atau 4K 60 Hz. Semuanya merupakan panel sentuh seluas 13 inci, dengan aspect ratio 16:10 untuk menampilkan lebih banyak konten secara vertikal, serta validasi dari Pantone yang menjamin keakuratan warna yang dihasilkannya.
Namun wujud yang convertible bukan satu-satunya faktor yang mencuri perhatian dari Flow X13. Ia juga datang bersama tandem opsional berupa sebuah external GPU (eGPU) yang berukuran sangat ringkas. Persisnya, eGPU bernama ROG XG Mobile ini punya dimensi 155 x 208 x 29 mm, dengan bobot yang berkisar hanya 1 kg.
Terlepas dari wujudnya yang imut-imut, XG Mobile menyimpan tenaga yang luar biasa berkat GPU RTX 3080 yang tertanam. Lebih lanjut, Asus juga telah membekalinya dengan interface PCIe 3.0 x8 khusus yang lebih kencang ketimbang Thunderbolt 4. Itu artinya perangkat ini butuh konektor spesial untuk bisa disambungkan ke laptop, dan sejauh ini cuma Flow X13 saja yang punya.
Suplai dayanya sendiri berasal dari adaptor 280 W yang akan menenagai XG Mobile dan Flow X13 secara bersamaan. Secara keseluruhan, Asus merancang paket lengkap laptop dan eGPU ini agar mudah dibawa bepergian.
Kalau boleh menyimpulkan, Flow X13 pada dasarnya merupakan jawaban Asus terhadap Razer Blade Stealth 13. Namun yang dilakukan Asus bukan sebatas menyematkan komponen yang lebih bertenaga saja, melainkan juga merancang desain yang fleksibel yang sangat berguna untuk keperluan kreasi konten, serta menyediakan eGPU opsional yang tidak menyita terlalu banyak ruang di dalam tas.
Di Amerika Serikat, bundel Flow X13 dan XG Mobile ini sekarang sudah dipasarkan dengan harga $3.000. Memang jauh dari kata murah, apalagi mengingat banderol tersebut bukan untuk konfigurasi yang paling tinggi.
Lenovo Yoga C940 yang dirilis tahun lalu cukup sering disebut sebagai salah satu laptop convertible terbaik di internet, dan sekarang Lenovo sudah punya penerusnya, yakni Lenovo Yoga 9i. Alternatifnya, Lenovo juga memperkenalkan model lain yang bukan convertible, yaitu Lenovo Yoga Slim 9i.
Kita mulai dari Yoga 9i dulu, yang memang paling mirip dengan C940. Fitur-fitur andalan seperti soundbar mini yang disembunyikan di engsel tetap hadir di sini, demikian pula slot khusus untuk menyimpan stylus. Tentu saja Lenovo turut menambahkan pembaruan lain yang tak kalah unik, utamanya palm rest berlapis kaca dari ujung ke ujung yang membuatnya sepintas kelihatan seperti tidak memiliki trackpad.
Trackpad-nya tetap ada di tengah, dan sudah memakai teknologi haptic ala trackpad milik MacBook. Sensor sidik jari ultrasonik juga sudah Lenovo tanamkan ke palm rest kaca ini. Untuk keyboard-nya, Lenovo bilang desain baru yang mereka terapkan bisa memberikan sensasi taktil yang lebih memuaskan.
Secara estetika, Yoga 9i tampak lebih premium ketimbang C940. Konsumen malah bisa memilih varian yang cover-nya dibalut kulit asli guna memperkuat kesan elegannya. Varian kulit ini punya bobot sedikit lebih berat (1,4 kg dibanding 1,32 kg), tapi tebal bodinya sama-sama 15,2 mm.
Yoga Slim 9i di sisi lain mengemas banyak persamaan dari segi fisik, termasuk halnya palm rest berbahan kaca, trackpad baru berteknologi haptic, maupun varian kulit yang opsional. Namun berhubung ia bukan tipe convertible, ia tidak dilengkapi soundbar mini di engselnya maupun slot untuk stylus. Tentu saja Yoga Slim 9i lebih tipis sekaligus lebih ringan; ketebalannya tercatat cuma 12,7 mm, dan beratnya 1,18 kg.
Kedua perangkat sama-sama mengemas layar berukuran 14 inci, baik yang merupakan touchscreen beresolusi 4K dengan dukungan HDR, ataupun layar biasa 1080p buat yang memprioritaskan daya tahan baterai. Khusus Yoga 9i, ada pula varian 15 inci yang sudah pasti lebih tebal (20,3 mm) dan lebih berat (2 kg).
Hal menarik lain dari Yoga 9i dan Yoga Slim 9i adalah spesifikasinya. Keduanya mengandalkan prosesor Intel generasi ke-11 (Tiger Lake) yang rumornya dilengkapi chip grafis terintegrasi yang cukup perkasa, bahkan untuk gaming sekalipun. Lebih lanjut, kehadiran prosesor baru tersebut berarti perangkat juga dibekali port Thunderbolt 4, generasi anyar yang kabarnya jauh lebih ngebut lagi.
RAM-nya dapat dikonfigurasikan hingga 16 GB, sedangkan storage-nya sampai 1 TB (2 TB untuk Yoga Slim 9i). Khusus Yoga 9i yang berlayar 15 inci, spesifikasinya berbeda sendiri dan masih menggunakan prosesor Intel generasi ke-10 (seri H dengan TDP 45 W), plus GPU terpisah Nvidia GeForce GTX 1650 Ti.
Di Amerika Serikat, Lenovo Yoga 9i dijadwalkan tersedia di pasaran mulai bulan Oktober. Harganya dipatok mulai $1.399, atau $1.699 buat yang berlapis kulit; varian 15 incinya dibanderol mulai $1.799. Memasuki bulan November, barulah Yoga Slim 9i akan menyusul dengan harga mulai $1.599.
Melanjutkan tradisi sebelum-sebelumnya, LG menutup tahun dengan memperkenalkan seri laptop LG Gram baru. Lineup edisi 2020 ini hadir dalam tiga ukuran dan empat model yang berbeda: LG Gram 17 (17Z90N), LG Gram 15 (15Z90N), LG Gram 14 (14Z90N), dan LG Gram 2-in-1 (14T90N).
Keempatnya mempertahankan formula yang sama, yakni yang mengedepankan portabilitas selagi masih menjaga keseimbangan antara performa dan daya tahan baterai. Terkait portabilitas, Gram 17 memiliki dimensi fisik yang setara dengan laptop berlayar 15,6 inci, Gram 15 setara dengan laptop 14 inci, dan Gram 14 setara dengan laptop 13,3 inci.
Nama “Gram” sendiri didapat dari bobotnya yang tak lagi memerlukan satuan kilogram, dan itu bisa didapat lewat Gram 14 yang memiliki berat 999 gram. Yang paling berat tentu saja adalah Gram 17, dengan bobot 1,35 kg, akan tetapi yang paling tebal rupanya adalah LG Gram 2-in-1 di angka 17,9 mm.
Bagi yang mementingkan resolusi layar di atas segalanya, seri Gram mungkin kurang cocok bagi Anda. Pasalnya, resolusi tertinggi yang bisa didapat hanyalah 2560 x 1600 pixel pada Gram 17, sedangkan sisanya cuma 1080p. Full-HD sebenarnya sudah tergolong cukup kalau menurut saya, apalagi kalau ternyata itu bisa berkontribusi terhadap daya tahan baterai yang panjang.
Lebih lanjut, LG turut menanamkan baterai berkapasitas masif pada lini Gram 2020: Gram 17 dan Gram 15 dengan baterai 80 Wh, sedangkan kedua model 14 incinya dengan baterai 72 Wh. Untuk model 14 inci yang convertible, baterainya disebut bisa bertahan sampai lebih dari 20 jam pemakaian.
Tidak kalah mengesankan adalah spesifikasinya. Keempat model ini ditenagai oleh prosesor Intel generasi ke-10, lengkap dengan GPU terintegrasi Intel Iris Plus (kecuali pada Gram 2-in-1). RAM DDR4-nya bisa dikonfigurasikan sampai yang berkapasitas 24 GB (16 GB pada Gram 2-in-1), sedangkan media penyimpanannya sudah mengandalkan SSD tipe NVMe.
Berbeda dari tahun lalu, varian convertible-nya sekarang sudah mengemas port Thunderbolt 3 (USB-C) seperti yang lainnya. Keempat model LG Gram 2020 ini juga sudah dilengkapi sensor sidik jari sekaligus konektivitas Wi-Fi 6 sebagai standar. Detail selebihnya, termasuk harga dan ketersediaannya, baru akan diungkap pada ajang CES 2020 tidak lama lagi.
Lenovo baru saja mendatangkan dua anggota terbaru dari seri laptop Yoga: Yoga C940 dan Yoga S740. Keduanya sama-sama ditenagai oleh prosesor generasi ke-10 Intel, dan itu dikemas dalam desain yang ringkas sekaligus elegan guna memikat kalangan konsumen urban.
Di antara keduanya, Yoga C940 yang mengadopsi model convertible adalah yang mempunyai daya tarik lebih tinggi. Layar sentuh 14 incinya pun cukup istimewa, dengan resolusi 4K sekaligus dukungan penuh atas konten-konten HDR maupun Dolby Vision, menjadikannya ideal bukan cuma untuk bekerja saja.
Melengkapi layar tersebut adalah soundbar mini dengan sertifikasi Dolby Atmos yang disembunyikan di dalam engsel layar, dan posisinya pun dapat diputar guna menyesuaikan ke arah mana layarnya menghadap. Untuk sesi-sesi inspiratif, Yoga C940 mengemas stylus terintegrasi yang punya slot sendiri di sisi kanan perangkat.
Yoga S740 di sisi lain memberikan penawaran yang lebih sederhana. Dimensi layarnya sama 14 inci, akan tetapi resolusinya mentok di 1080p saja. Kendati demikian, layarnya ini masih sanggup memutar konten dalam format Dolby Vision andai diperlukan. Speaker-nya, walaupun bukan yang bertipe rotating, juga tetap mengantongi sertifikasi Dolby Atmos.
Urusan performa, kedua laptop ini punya spesifikasi yang cukup identik: prosesor Intel Core i7-1065G7, GPU terintegrasi Intel Iris Plus, dan RAM LPDDR4X 16 GB. Yang berbeda adalah kapasitas SSD-nya; 1 TB pada C940, dan 512 GB pada S740.
Lanjut mengenai baterai, di sinilah giliran S740 yang memimpin. C940 dengan layar 4K-nya diyakini mampu beroperasi sampai 9,5 jam pemakaian, sedangkan S740 bisa sampai 15 jam. Ya, resolusi layar memang merupakan salah satu faktor dengan pengaruh terbesar terhadap daya tahan baterai.
Kedua perangkat sama-sama dibekali sistem otentikasi biometrik. C940 dengan sensor sidik jari, sedangkan Yoga S740 dengan kamera infra-merah. Kamera milik S740 ini rupanya cukup cerdas; saat ia tidak mendeteksi adanya orang di hadapannya selama beberapa detik, log-off sistem akan diaktifkan secara otomatis.
Contoh lainnya, selagi memutar video dan penontonnya tiba-tiba pergi meninggalkan perangkat, kamera yang mendeteksinya akan menginstruksikan sistem untuk menghentikan video, lalu melanjutkannya lagi setelah penontonnya kembali.
Semua itu dikemas dalam sasis aluminium yang tipis sekaligus ringan; C940 dengan tebal hanya 14,1 mm dan bobot 1,35 kg, sedangkan S740 dengan tebal 18,1 mm dan bobot 1,45 kg. Keduanya sengaja dirancang untuk menunjang mobilitas tinggi masing-masing konsumen.
Baik Lenovo Yoga C940 maupun Yoga S740 saat ini sudah dipasarkan melalui sejumlah mitra ritel sekaligus e-commerce Lenovo. Yoga C940 dihargai Rp 25,5 juta, sedangkan Yoga S740 lebih terjangkau di angka Rp 18 juta.
Samsung punya dua laptop baru, Galaxy Book Flex yang convertible, dan Galaxy Book Ion yang konvensional (non-touchscreen). Diperkenalkan pada ajang Samsung Developers Conference 2019, kedua laptop ini siap menyasar pasar high-end menjelang akhir tahun nanti.
Dibandingkan laptop–laptop Samsung sebelumnya, Flex dan Ion mengusung desain yang menurut saya lebih elegan. Keduanya sama-sama tipis dan ringan, serta tersedia dalam varian dengan layar 13,3 inci dan 15,6 inci yang sama-sama dikitari oleh bezel cukup tipis. Layarnya ini cukup istimewa meski resolusinya hanya 1080p.
Istimewa karena panel yang digunakan adalah QLED, jenis panel yang selama ini Samsung gunakan pada sejumlah TV mahalnya. Flex dan Ion merupakan laptop pertama yang menggunakannya, dan Samsung mengklaim layar QLED ini mampu mereproduksi warna secara lebih akurat. Tingkat kecerahan mksimumnya juga amat tinggi di angka 600 nit.
Keunikan lain Flex dan Ion tersembunyi pada touchpad-nya. Sepintas touchpad-nya kelihatan biasa saja, akan tetapi dengan menekan shortcut pada keyboard, touchpad tersebut dapat beralih fungsi menjadi sebuah wireless charger. Ya, Anda bisa mengisi ulang baterai smartphone atau smartwatch yang mendukung Qi wireless charging hanya dengan meletakkannya di atas touchpad milik laptop ini.
Satu hal yang perlu dicatat, tentu saja touchpad jadi tidak bisa berfungsi selagi menjadi wireless charger. Namun saya bisa membayangkan kegunaan fitur ini ketika laptop sedang dipakai untuk menonton, atau ketika digunakan selagi ada mouse yang tersambung.
Melanjutkan tradisi sebelumnya, Flex yang mengemas layar sentuh turut dibekali dengan S Pen, yang ternyata mempunyai ‘rumah’ sendiri di samping kanan perangkat. S Pen yang dibawa pun merupakan generasi terbaru seperti yang kita jumpai pada seri Galaxy Note 10, yang telah dilengkapi sensor gerakan sehingga kita bisa menerapkan berbagai gesture selagi menggenggamnya.
Urusan spesifikasi, Flex dan Ion juga termasuk mumpuni. Keduanya sama-sama menggunakan prosesor Intel generasi ke-10, akan tetapi Flex sedikit lebih unggul berkat arsitektur Ice Lake yang lebih baru, bandingkan dengan Ion yang menggunakan Comet Lake. RAM-nya dapat dikonfigurasikan hingga 16 GB, sedangkan SSD tipe NVMe-nya hingga 1 TB.
Khusus varian 15 incinya, konsumen bisa memilih untuk menambahkan dedicated GPU, spesifiknya Nvidia GeForce MX250. Terkait daya tahan baterainya, Samsung tidak berbicara banyak kecuali menyebut kedua laptop ini telah ‘lulus’ dari program Intel Project Athena, yang sejatinya memberikan jaminan bahwa baterainya tergolong awet.
Seperti yang saya bilang, Samsung Galaxy Book Flex dan Galaxy Book Ion bakal mulai dipasarkan pada bulan Desember nanti di beberapa negara. Banderol harganya masih belum disebutkan, tapi sudah pasti di atas $1.000.
Awal Oktober tahun lalu, Microsoft merilis empat hardware baru sekaligus. Tahun ini jumlahnya bertambah menjadi enam, dan supaya lebih memudahkan para pembaca, saya akan membaginya menjadi dua artikel yang berbeda.
Untuk artikel ini, yang akan saya bahas adalah empat perangkat yang siap Microsoft jual menjelang musim liburan tahun ini. Mereka adalah Surface Laptop 3, Surface Pro 7, Surface Pro X, dan Surface Earbuds.
Surface Laptop 3
Laptop non-convertible generasi ketiga Microsoft ini datang dalam dua varian ukuran: 13,5 inci dan 15 inci. Keduanya tipis dan ringan seperti generasi sebelumnya, akan tetapi sekarang balutan Alcantara di sekitaran keyboard-nya tidak lagi menjadi standar. Sebagai gantinya, konsumen bisa memilih antara yang berlapis Alcantara atau yang serba aluminium seluruhnya.
Microsoft juga masih mempertahankan layar sentuh dengan aspect ratio 3:2 pada Surface Laptop 3. Memang ada perbedaan resolusi di antara dua varian ukuran ini, akan tetapi tingkat kepadatan pixel layarnya sama persis di angka 201 ppi, yang berarti gambar dan teks akan kelihatan sama tajamnya di kedua varian.
Yang sangat berbeda di antara keduanya adalah perihal spesifikasi dan performa. Surface Laptop 3 13,5″ datang membawa prosesor Intel Core i5 atau i7 generasi kesepuluh (Ice Lake), sedangkan Surface Laptop 3 15″ berbeda sendiri dengan prosesor AMD Ryzen 5 atau 7. Bukan sembarang Ryzen, Microsoft bahkan menyebutnya lengkap dengan embel-embel “Ryzen Surface Edition”.
Branding semacam itu menandakan bahwa Microsoft ikut memegang andil dalam proses pengembangannya. Microsoft bilang bahwa prosesor ini adalah yang tercepat di kelasnya. Kelas yang dimaksud di sini adalah laptop 15 inci dengan ketebalan maksimum 20 mm, dan yang menggunakan prosesor dengan TDP (thermal design power) 15 watt.
Fitur-fitur lain yang diunggulkan Surface Laptop 3 mencakup trackpad yang berukuran 20% lebih besar, fast charging (0 – 80% dalam sekitar satu jam), dan yang mungkin paling ditunggu-tunggu adalah kehadiran port USB-C di samping USB-A, apalagi mengingat generasi sebelumnya hadir tanpa port USB-C.
Berapa harganya? Mulai $999 untuk Surface Laptop 3 13,5″, atau mulai $1.199 untuk Surface Laptop 3 15″. Pilihan warnanya ada empat untuk varian 13,5 inci, sedangkan varian 15 incinya hanya kebagian dua opsi warna.
Surface Pro 7 dan Surface Pro X
Beralih ke segmen 2-in-1, Microsoft mengklaim Surface Pro 7 menawarkan performa dua kali lebih cepat berkat penggunaan prosesor Intel generasi kesepuluh, dengan pilihan mulai dari Core i3 sampai Core i7. Seperti halnya Surface Laptop 3, Surface Pro 7 pada akhirnya juga telah dilengkapi dengan port USB-C.
Surface Pro 7 masih mempertahankan layar sentuh 12,3 inci dengan resolusi 2736 x 1824 pixel (267 ppi). Yang dilakukan Microsoft sejatinya hanya sebatas penyegaran spesifikasi, dan itulah yang justru membuat saudaranya, Surface Pro X, jauh lebih menarik.
Secara fundamental, Surface Pro X sudah sangat berbeda. Ia merupakan perangkat yang ditenagai chipset berarsitektur ARM, bukan x86 seperti Surface Pro 7, dan ini berarti ia juga dikategorikan sebagai perangkat yang always on, always connected, tidak jauh berbeda dari smartphone atau tablet secara umum.
Otak dari Surface Pro X adalah chipset bernama Microsoft SQ1. Bikinan Microsoft sendiri? Ya, dengan bantuan dari Qualcomm, dan Microsoft pun mengklaim ini merupakan prosesor tercepat yang pernah Qualcomm buat untuk sebuah PC. Untuk pengolahan grafis misalnya, SQ1 diyakini mampu mengerahkan tenaga sebesar 2 teraflop.
Arsitektur ARM juga berarti SQ1 dilengkapi modem LTE terintegrasi, spesifiknya Snapdragon X24. Jadi untuk konsumen yang selalu mobile, Surface Pro X jelas merupakan pilihan yang lebih ideal ketimbang Surface Pro 7.
Fakta tersebut turut didukung oleh desain fisik Surface Pro X yang begitu ringkas. Tebalnya cuma 5,33 mm, dengan bobot sekitar 762 gram. Ukuran layarnya sedikit lebih besar di angka 13 inci (dengan pixel density yang sama persis). Namun berhubung bezel-nya amat tipis, dimensi keseluruhannya tidak berbeda jauh dari perangkat berlayar 12 inci.
Aksesori keyboard cover yang mendampingi Surface Pro X juga berbeda; ada ceruk kecil untuk menampung stylus saat sedang tidak dipakai. Stylus-nya pun berbeda dari yang biasa, dengan desain lebih tipis dan yang otomatis terisi ulang baterainya selagi menancap di dalam ceruk tersebut secara magnetis.
Untuk Surface Pro 7, Microsoft mematok harga mulai $749, sedangkan Surface Pro X cukup signifikan selisih harganya dengan banderol mulai $999.
Surface Earbuds
Setelah Surface Headphones tahun lalu, Microsoft kembali meluncurkan produk portable audio dalam wujud Surface Earbuds. Perangkat ini sekaligus menjadi true wireless earphone pertama Microsoft, dan rupanya salah besar kalau kita menganggapnya sebatas “pesaing AirPods dengan integrasi Cortana”.
Menariknya, Microsoft justru mendeskripsikan Surface Earbuds sebagai perangkat yang esensial bagi para pengguna layanan Office berkat integrasi yang ditawarkannya. Contoh yang paling gampang, saat sedang mempresentasikan sesuatu selagi mengenakan Earbuds, pengguna dapat menampilkan transkrip maupun terjemahan dari apa yang tengah dibahasnya di layar secara real-time.
Masih seputar presentasi, pengguna juga dapat menavigasikan slide dengan mengusap sisi luar Earbuds yang dilengkapi panel sentuh. Untuk produk Office lainnya, semisal Word dan Outlook, pengguna juga bisa memakai Earbuds untuk mendikte apa yang hendak ditulisnya. Membacakan email juga termasuk salah satu fitur yang ditawarkan Earbuds.
Secara teknis, Surface Earbuds dibekali driver 13,6 mm dan dua buah mikrofon pada masing-masing earpiece-nya. Baterainya diklaim tahan sampai 8 jam pemakaian, sedangkan charging case-nya dapat menyuplai daya yang cukup untuk 16 jam pemakaian ekstra (total 24 jam). Microsoft juga bilang bahwa charging selama 10 menit sudah cukup untuk penggunaan selama satu jam.
Dengan banderol $249, harganya memang tergolong mahal jika dibandingkan dengan sebagian besar true wireless earphone yang tersedia di pasaran.
Banyak orang masih membayangkan workstation sebagai alat komputasi berukuran besar untuk kebutuhan teknis atau ilmiah. Pandangan ini pelan-pelan berubah setelah versi mobile-nya bermunculan. Teknologi memungkinkan produsen memampatkan hardware-hardware berkinerja tinggi di perangkat berukuran mungil, termasuk laptop-laptop berdesain ultra-thin.
Sejak ide itu diajukan, rancangan dan penyajian mobile workstation tidak banyak berubah – kecuali pada tingkat ketipisan produk. Namun sebuah perusahaan asal Shenzhen bernama Chuwi mencoba sesuatu yang berbeda. Mereka mengajukan sebuah pertanyaan: bagaimana seandainya workstation tak cuma berukuran kecil, tapi juga dapat digunakan layaknya notebook convertible? Inilah dasar dari penggarapan MiniBook.
Sederhananya, MiniBook adalah mobile workstation berukuran saku (volumenya kurang lebih hanya seperempat laptop tradisional), sehingga memudahkan kita menyimpan dan membawa-bawanya. Aspek terunik dari desain MiniBook sendiri ialah kehadiran sepasang engsel putar 360 derajat, yang memungkinkan perangkat digunakan secara terbalik atau dalam mode tablet berkat dukungan layar sentuh.
“Lewat riset, kami menyadari bahwa perangkat ultra-mobile personal computer yang banyak tersedia di pasar masih menyimpan kekurangan,” tulis Chuwi di laman Indie Gogo, “hal inilah yang menginspirasi kami untuk mengembangkan MiniBook. Tujuannya adalah buat mengoptimalkan pengalaman penggunaan para user.”
MiniBook menyajikan layar sentuh seluas 8-inci dengan dimensi 20,1×12,8×1,9-sentimeter. Saat mengangkat layarnya, Anda disuguhkan keyboard berdesain padat dipadu tombol abjad lengkap. Desainer Chuwi tetap memerhatikan jarak antar tuts sehingga kegiatan mengetik tetap nyaman, sembari menawarkan opsi layout Inggris atau Jepang. Bagian display-nya mengusung rasio 16:10 dan menyajikan resolusi 1920x1200p.
Bagi saya, yang sedikit mengganjal adalah bagaimana Chuwi memasarkan MiniBook sebagai mobile workstation ketika pada nyatanya ia memiliki susunan hardware sekelas MacBook Air dan Surface Go.
Perangkat diotaki prosesor Intel Core m3-8100Y, juga ditopang chip grafis Intel HD 615, RAM 8GB LPDDR3 dual-channel, penyimpanan seluas 128GB, serta kamera 2Mp untuk kebutuhan teleconference. Selain itu, tersedia slot ekspansi yang memungkinkan kita menambahkan storage SSD M.2 dan kartu TF.
MiniBook juga punya aspek konektivitas yang lebih luas dari produk-produk kompetitor, dibekali satu port USB type-C, USB type-A 3.0 dan 2.0 serta microHDMI. Sebagai komparasi di sisi koneksi, keunggulan MacBook Air hanya terletak pada eksistensi Thunderbolt.
Rencananya akan didistribusikan mulai bulan September 2019, MiniBook bisa Anda pesan via situs crowdfunding Indie Gogo seharga mulai US$ 530. Tersedia pula opsi alternatif yang lebih ekonomis lagi, memanfaatkan prosesor Intel Celeron N4100 seharga US$ 430. Perlu Anda ketahui bahwa Chuwi bukanlah pemain baru di ranah pembuatan laptop mini. Mereka pernah memproduksi beberapatablet berbasis Windows ala Microsoft Surface.
Dengan menyimak CES, kita bisa mendapatkan gambaran mengenai produk serta teknologi seperti apa yang akan hadir di sepanjang tahun. Satu hal yang memeriahkan segmen laptop di 2019 ialah tersedianya kartu grafis berteknologi ray tracing Nvidia, GeForce RTX. Para produsen tentu tak membuang-buang waktu. Brand-brand semisal Asus, MSI, dan Gigabyte diketahui mulai membawa laptop ber-RTX ke tanah air.
Anda mungkin sudah memahami fitur-fitur yang ditawarkan oleh GeForce RTX berkat gencarnya pengenalan yang dilakukan produsen. Namun ketika kompetitor senegaranya terlihat fokus mempresentasikan kualitas grafis, Acer juga mencoba bermain-main dengan desain eksperimental. Setelah sempat menggarap desktop replacement monster berlayar melengkung beberapa tahun silam, kali ini produsen PC asal Taiwan itu mengusung konsep panel berputar lewat Predator Triton 900.
Namun Triton 900 bukan satu-satunya notebook high-end andalan Acer untuk berkiprah di tahun ini. Di CES 2019, perusahaan juga menyodorkan opsi alternatif dengan wujud familier yang dititikberatkan pada aspek keringkasan. Acer menamainya Predator Triton 500. Dan kurang lebih dua bulan selepas pengumumannya, kedua produk melakukan pendaratan di Indonesia. Triton 500 sudah resmi dipasarkan, sedangkan saudara berlayar putarnya dapat di-pre-order.
Mengenai dua Triton baru
Dalam debut Predator Triton 900, Acer menyampaikan bahwa pembuatannya didorong oleh keinginan mereka buat merombak penyajian laptop tanpa mengorbankan performa. Berkat layarnya yang dapat diputar, terbuka beragam skenario penggunaan. Lalu konsumen juga diberi keleluasaan untuk menemukan posisi paling ‘ergonomis’ saat ber-gaming. Sebagai perangkat convertible, Triton 900 menyuguhkan empat mode pemakaian: notebook, display (layar mengarah ke belakang), tablet, dan ‘Ezel’ yang diprioritaskan bagi interaksi via layar sentuh.
Predator Triton 500 sendiri merupakan pewaris Triton 700 yang tersedia di Indonesia bulan Oktober 2018 silam. Ia adalah laptop berlayar 15-inci 144Hz yang ramping, dengan ketebalan hanya 17,9mm dan bobot 2,1kg sehingga memudahkannya diselipkan dalam tas serta dibawa-bawa. Mengikuti tren populer di segmen laptop ultra-tin, Triton 500 dibekali bingkai layar tipis berukuran 6,3-milimeter. Acer memilih Nvidia RTX berdesain Max-Q sebagai komponen utama di dapur pacu grafis, dan menjanjikan daya tahan baterai sampai delapan jam.
Inovasi desain
Pemakaian engsel ‘Ezel Aero’ di Predator Triton 900 memang menjadi aspek yang paling mencuri perhatian, tetapi ada banyak invosi desain esensial – dan kadang terselubung – bisa ditemukan di sana. Tubuh Triton 900 terbuat dari konstruksi logam, dan Acer terlihat berusaha untuk meminimalkan volumenya. Agar badan tetap ramping tanpa mengorbankan ruang hardware, produsen menempatkan GPU dan CPU di zona terpisah dari keyboard.
Efeknya, Triton 900 mempunyai layout yang menyerupai ROG Zephyrus – dengan keyboard, rankaian tombol macro dan bagian touchpad merangkap numpad menjorok ke depan. Papan ketik ini dibekali pencahayaan RGB per-key, sehingga Anda bisa memilihkan warna buat masing-masing tombol. Sistem serupa juga diterapkan di Predator Triton 500, tapi yang membuat Triton 900 berbeda ialah pemanfaatan papan ketik mekanis berprofil slim clicky-nya.
Meski wujudnya tidak terlalu bulky, Triton 900 sudah masuk ke segmen desktop replacement. Beberapa orang mungkin tak keberatan membawa laptop berukuran besar, tetapi tubuh all-metal perangkat ini membuatnya sangat berbobot. Saya belum mengetahui berapa berat keseluruhannya, namun butuh perjuangan hanya untuk membolak-balikkan laptop ketika saya ingin mengambil foto.
Triton 900 menyajikan layar sentuh berjenis IPS seluas 17,3-inci dengan resolusi 4K. Panel tersebut mampu merespons sepuluh titik sentuhan dan membaca gesture berbeda, serta dibekali teknologi Nvidia G-Sync buat membasmi efek screen tearing. Menariknya, Acer tampak tak mau buru-buru mencantumkan high-dynamic range di layar seperti yang sudah dilakukan Dell pada laptop Alienware dan Lenovo untuk lini Legion-nya.
Desktop convertible tersebut juga menyimpan sebuah rahasia menarik. Melengkapi port fisik standar, Triton 900 memiliki USB slot tersembunyi buat mencantumkan wireless adapter controller Xbox One S. Setelah dicolokkan, dongle bisa disembunyikan dalam chassis.
Pembaruan di dalam
Efek dari pemakaian komponen-komponen high-end seperti Nvidia GeForce RTX dan prosesor Intel Core i7 8th-gen adalah temperatur yang tinggi. Untuk menjinakkannya, Acer memperbarui desain kipas Aeroblade 3D mereka. Perancangan fan generasi keempat itu terinpsirasi dari ujung sayap burung hantu, memanfaatkan bahan logam. Dibanding jenis plastik, 49 buah bilah Aeroblade berketebalan hanya 0,1mm yang ada di sana mampu meniupkan angin 45 persen lebih banyak.
Di dalam Triton 900, terdapat dua fan Aeroblade 3D yang mampu berputar lebih cepat 11 persen via teknologi Coolboost beserta enam heat pipe. Di saudarinya yang lebih tipis, jumlah kipas Aeroblade lebih banyak: ada tiga buah dan dikombinasikan bersama lima pipa pendingin.
Predator Triton 500 menyuguhkan opsi kartu grafis Nvidia GeForce RTX 2060 dan 2080 berdesain Max-Q, sedangkan Triton 900 dipersenjatai GPU RTX 2080 kelas desktop. Keduanya diotaki oleh Intel Core i7 8750H – tersedia pula pilihan prosesor 8950H khusus Triton 900 – serta dilengkapi RAM dual channel DDR4 2666MHz maksimal 32GB.
Battlefield V dan Metro Exodus digunakan Acer untuk mendemonstrasikan kinerja laptop-laptop baru mereka, dipilih karena telah didukung oleh teknologi real-time ray tracing. Battlefield V berjalan sangat lancar di Predator Triton 900 tanpa perlu mengaktifkan mode overclock. Metro Exodus sendiri saya uji langsung di setting grafis ultra dengan resolusi 1080p serta opsi ray tracing dan fitur Nvidia HairWorks menyala. Permainan terhidang mulus tanpa kendala.
Alasan konsumen memilih Predator
Kita semua tahu bahwa lini Acer Predator bukanlah produk murah. Di Indonesia, Predator Thronos boleh dikatakan sebagai pemegang rekor set gaming PC termahal. Saya bertanya pada presales manager Acer Dimas Setyo mengenai apa alasan konsumen memilih produk gaming mereka. Ia menyebutkan tiga poin. Pertama, mayoritas perangkat Predator gampang di-upgrade. Kedua, pusat servisnya mudah ditemukan dan Acer berkali-kali memenangkan penghargaan Indonesian Customer Satisfaction Award. Dan ketiga, produk mereka jadi favorit berkat kehadiran fitur-fitur unik.
Seperti deretan produk Predator sebelumnya, Triton 500 dan 900 tidak hanya dikhususkan bagi gamer. Beragam fungsi serta fitur di sana juga sangat berguna untuk para pekerja kreatif dan kalangan pencipta konten.
Harga dan ketersediaan
Seperti yang sempat saya sebutkan, Predator Triton 500 sudah siap untuk dipinang. Model ber-GPU RTX 2060 Max-Q dibanderol Rp 35 juta dan varian dengan kartu grafis RTX 2080 dijajakan di harga Rp 54 juta. Lalu buat memiliki Predator Triton 900, Anda perlu mengeluarkan uang lebih banyak lagi, produk dijual seharga mulai dari Rp 70 juta ‘saja’, rencananya akan tiba di bulan April 2019.