Tag Archives: law

Layanan Perizinan Usaha Izin.co.id

Izin.co.id Luncurkan Fitur “Tracking System”, Mudahkan Bisnis Pantau Proses Perizinan

Setelah menjalankan bisnis sejak tahun 2012, Izin.co.id sebagai startup yang bergerak dibidang jasa perizinan pendirian usaha seperti PT, CV/Firma, dan PMA; meluncurkan fitur Tracking System. Melalui aplikasinya, kini semua informasi terbaru mengenai perkembangan proses perizinan akan terkirim langsung ke akun WhatsApp dan e-mail milik pengguna. Sementara untuk berkas softcopy perizinan bisa langsung diunduh dengan security password.

Founder Izin.co.id Erwin Soerjadi mengungkapkan, selain membantu mengedukasi dan menyosialisasikan pemilik usaha tentang legalitas yang benar, perusahaannya juga menyediakan sistem agar pengusaha dapat dengan mudah mengecek dan terus memperbarui status pengajuan mereka.

“Bagi pengusaha yang baru mulai, banyak aspek bisnis lain yang harus dipikirkan secara matang. Sebagai info, Tracking System kami adalah yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. Belum ada perusahaan jasa perizinan lain yang menggunakan sistem ini,” tambah Erwin.

Rencana ekspansi wilayah layanan

Izin.co.id adalah bagian dari vOffice Group, yang didirikan oleh Erwin Soerjadi, Albert Goh, dan Yuki Tukiaty. Memanfaatkan 30 lokasi virtual office, pemilik usaha bisa memanfaatkan jasa perizinan dan pendirian perusahaan melalui aplikasi. Perusahaan juga bisa membantu pengusaha yang belum memiliki tempat untuk domisili perusahaan, menggunakan Kantor Virtual dan Kantor Sewa.

Untuk memudahkan pengguna, di platform telah disediakan pilihan pembayaran menggunakan bank transfer. Ke depannya akan dihadirkan pula pilihan pembayaran berlangganan per bulan. Untuk biaya layanan dan jasa yang diberikan, Izin.co.id menawarkan harga mulai dari Rp3 juta hingga Rp15 juta.

Hingga kini Izin.co.id sudah membantu lebih dari 4 ribu klien untuk mendirikan perusahaannya di Indonesia. Cakupan wilayah pengurusan perizinan baru di seputar Jakarta, Bekasi, dan Surabaya.

“Ke depan Izin.co.id akan hadir juga di Bandung dan Medan. Kami juga berencana untuk hadir di setiap kota besar di Indonesia pada tahun 2021 untuk membantu pengusaha mendirikan bisnis dengan lebih mudah,” tutup Erwin.

Application Information Will Show Up Here

ASEAN LegalTech Officially Introduced in Indonesia, an Association for Legal Tech Startups

ASEAN LegalTech officially introduced in Indonesia. It is the first association in Southeast Asia to connect legaltech ecosystem or legal-based digital startups in the region.

Justika‘s CEO, Melvin Sumapung is one of the ASEAN LegalTech representatives for Indonesia. He explained the purpose of introducing this association to the public as the voice of communities, further the ecosystem and the bridge for Southeast Asia’s stakeholders.

“This advocacy emphasized more on promotion to various kinds of stakeholders. For legaltech happened not only from startup or law firm but the combination of various parties. Therefore, on the side of the founding board, there are law firms, legaltech startups, and others,” he told DailySocial

ASEAN LegalTech was founded by 6 people from different countries. Those are Eric Chin from Alpha Creates, Hanim Hamzah from ZICO Law, Cherilyn Tan from Interstellar Group, Thomas Thoppil from Hewlett Packard Enterprise, Michael Law from Rajah & Tann Technologies, and Andrew Stoutley from Tilleke & Gibbins.

The association has representatives in almost all Southeast Asia;s countries. Along with Melvin, there is also Hukumonline’s CTO, Arkka Dhiratara who is also appointed as ASEAN LegalTech representative for Indonesia.

LegalTech potential in Southeast Asia

Legaltech market in Southeast Asia still leaves great space to develop further. ASEAN LegalTech research has found 88 registered legaltech in Southeast Asia. Dominated by Singapore and Indonesia for 25 and 21 startups.

It is bigger than the number mentioned on Codex Techindex on legaltech startup worldwide. It is said in the index, only 16 startup listed in Southeast Asia.

However, the market share available in the region consists of 645 million population, 3,825 registered company on the exchange and 650 million SMEs. While the lawyer population in Southeast Asia just reached 248 thousand.

“ASEAN LegalTech aims to connect Indonesia, Singapore, Malaysia, Vietnam with other countries, and it’s not only 16 but 88 players unnoticed by the whole universe while they exist,” Sumapung added.

He also said to target 21 legaltech in Indonesia joined the association. Other institutions, such as law firms and regulators might be a member of this network.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

ASEAN LegalTech

ASEAN LegalTech Diperkenalkan di Indonesia, Asosiasi yang Menaungi Startup di Bidang Hukum

ASEAN LegalTech resmi memperkenalkan keberadaannya di Indonesia. Mereka adalah asosiasi pertama di Asia Tenggara yang menghubungkan ekosistem legaltech atau startup digital yang bergerak di bidang hukum di seluruh kawasan.

Melvin Sumapung, CEO Justika, merupakan salah satu duta ASEAN LegalTech untuk Indonesia. Melvin menjelaskan bahwa asosiasi yang ia perkenalkan ke publik hari ini bertujuan menjadi suara komunitas, membangun ekosistem, dan menghubungkan para pemangku kepentingan dalam di Asia Tenggara.

“Advokasi ini lebih ke promosi ke berbagai macam stakeholder. Karena legaltech ini tidak bisa hanya dari startup atau law firm saja, harus ada penggabungan dari berbagai pihak. Makanya kalau dilihat dari founding board-nya itu ada law firm, legaltech startup, dan lain-lain,” ujar Melvin kepada Dailysocial.

ASEAN LegalTech digagas oleh 6 orang dari berbagai negara. Mereka adalah Eric Chin dari Alpha Creates, Hanim Hamzah dari ZICO Law, Cherilyn Tan dari Interstellar Group, Thomas Thoppil dari Hewlett Packard Enterprise, Michael Law dari Rajah & Tann Technologies, dan Andrew Stoutley dari Tilleke & Gibbins.

Asosiasi juga memiliki duta di hampir semua negara di Asia Tenggara. Selain Melvin, ada CTO Hukumonline Arkka Dhiratara yang juga ditunjuk sebagai duta ASEAN LegalTech di Indonesia.

Potensi LegalTech di Asia Tenggara

Potensi pasar legaltech di Asia Tenggara saat ini dinilai punya ruang yang begitu luas untuk berkembang. Riset dari ASEAN LegalTech menemukan ada 88 startup legaltech di seluruh Asia Tenggara. Singapura dan Indonesia merupakan paling dominan di kawasan dengan masing-masing 25 dan 21 startup.

Angka itu terbilang jauh lebih besar ketimbang indeks dari Codex Techindex yang memetakan pasar legaltech di seluruh dunia. Dalam indeks tersebut, Asia Tenggara tercatat hanya memiliki 16 startup.

Adapun pasar yang dapat digarap di seluruh kawasan terdiri dari 645 juta orang, 3.825 perusahaan yang terdaftar di bursa efek, 650 juta UKM. Sementara jumlah pengacara di Asia Tenggara saat ini sekitar 248 ribu.

“ASEAN LegalTech mencoba menghubungkan Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan lainnya, dan ini bukan hanya 16 tapi ada 88 pemain yang tidak pernah terdengar di dunia sedangkan di seluruh dunia sudah ada (asosiasi),” imbuh Melvin.

Melvin mengatakan pihaknya menargetkan 21 legaltech di Indonesia turut bergabung ke dalam asosiasi tersebut. Ia pun mempersilakan institusi lain seperti firma hukum hingga regulator untuk turut bergabung ke dalam jejaring tersebut.

Kaskus Investasi KontrakHukum

Kaskus Berikan Investasi kepada KontrakHukum

Hari ini (14/11) Kaskus mengumumkan investasinya ke KontrakHukum, sebuah platform digital yang menyediakan berbagai jasa di bidang hukum. Tidak disebutkan mengenai detail dan nominal investasi yang diberikan. Investasi ini diharapkan bisa menghadirkan sinergi, terutama berbentuk dukungan dan bantuan hukum terhadap komunitas pelaku usaha dan content creator di Kaskus.

“Kerja sama ini merupakan bentuk dukungan kami agar para Kaskuser bisa mendapatkan edukasi tentang hukum dari sumber yang kredibel dan terpercaya. Harapannya, Kaskuser yang juga pelaku usaha ataupun content creator sudah tidak ragu lagi untuk mengamankan karya ataupun bisnis mereka dari sisi hukum ke depannya,” terang CEO Kaskus, Edi Taslim.

KontrakHukum sendiri merupakan platform digital yang didirikan oleh Rieke Caroline. Dengan latar belakang dan pengalaman hukum yang dimiliki founder-nya, KontrakHukum mengusung misi untuk mengedukasi pengusaha kecil menengah dan startup agar mengenal hukum sejak dini.

Beberapa jasa hukum yang ditawarkan KontrakHukum antara lain pembuatan kontrak, pembuatan badan usaha, pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual, perizinan usaha, konsultasi hukum, jasa notaris dan lainnya. Jasa tersebut bisa diakses melalui platform KontrakHukum secara online. Sejauh ini KontrakHukum sudah melayani ratusan klien.

“Kekuatan komunitas Kaskus di 58 regional Indonesia akan sangat strategis dalam membantu kami untuk menjangkau masyarakat di daerah untuk melek hukum dan mulai melibatkan aspek hukum dalam menjalankan bisnis atau mengamankan karya mereka. Melalui layanan yang terintegrasi secara digital, kami dapat memberikan pelayanan hukum dengan cepat, mudah, dan tentunya harga yang terjangkau,” tutur Founder KontrakHukum, Rieke Caroline.

Kaskus sendiri tahun ini cukup aktif dalam mengembangkan bisnis dan layanan mereka. Sejumlah investasi juga menjadi strategi mereka, salah satunya investasi ke perusahaan pengembang NLP Bahasa Indonesia Prosa.ai. Strategi Kaskus lainnya dengan menambahkan beberapa layanan baru seperti luncurkan Kaskus TV dan Kaskus Podcast.

Application Information Will Show Up Here

PopLegal Bantu Pengurusan Dokumen Legal dan Hukum dengan Medium Digital

Mengurus perizinan, legal dan dokumen-dokumen hukum lainnya kerap menjadi permasalahan bagi perorangan atau usaha kecil menengah di Indonesia. Ketidaktahuan dan minimnya informasi sering menjadi penyebabnya. Permasalahan ini justru menjadi sebuah peluang bagi sebagian orang, salah satunya adalah mereka yang berada di belakang PopLegal.

PopLegal merupakan sebuah layanan yang bisa membantu penggunanya mendapatkan dokumen perjanjian bisnis dan legal, memperoleh for administrasi, dan mengolahnya secara real time. Fungsi-fungsi tersebut dihadirkan khusus dalam paket layanan PopLegal.

Minimnya kesadaran hukum dan akses ke informasi mengenai legal dan hukum di masyarakat yang masih minim menjadi salah satu alasan utama PopLegal didirikan. Berbalut teknologi terkini khas bisnis rintisan atau startup PopLegal menjanjikan akses informasi dan dokumen tentang legal dan hukum secara mudah.

PopLegal sendiri bekerja layaknya platform yang menyajikan penyederhanaan proses pembuatan dokumen bisnis dan legal melalui fitur-fitur yang mereka miliki. Selain itu PopLegal juga akan bertindak sebagai penyedia informasi normatif terkait permasalahan hukum umum yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan mengutamakan kebutuhan terharap pengguna individu dan UMKM.

Dalam keterangannya kepada DailySocial, PopLegal sampai saat ini memiliki tim khusus untuk masalah legal. Kurang lebih ada lima orang profesional yang menjadi tim Legal Architect yang siap untuk membantu semua pengguna PopLegal.

PopLegal dan fitur-fiturnya

Mudah dan real-time adalah kunci dari layanan yang coba diupayakan oleh PopLegal. Untuk mewujudkan hal itu mereka telah menyiapkan beberapa fitur antara lain, Doc-Gen (Document Generator) yang berfungsi memudahkan pengguna membuat dokumen perjanjian, legal atau lainnya. Dalam Doc-Gen telah disiapkan untuk membantu pengguna menyusun kalimat-kalimat perjanjian di dalamnya.

Fitur selanjutnya adalah Document Management System. Fitur ini membantu pengguna mengelola dokumen mereka dan mengeditnya secara real-time. Pengguna juga bisa mengundang dan berbagai dengan pengguna lain yang bersangkutan dalam pembuatan dokumennya.

Fitur terakhir yang menjadi andalan adalah PopSupport. Sebuah fitur yang memungkinkan pengguna menyelesaikan masalah mengenai legal dan hukum. Seperti kesulitan mencari advokat, notaris, dan lain-lain.

Untuk tahun ini startup yang juga merupakan peserta program akselerasi GnB Accelerator periode kedua ini masih berusaha untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya dokumen legal dan hukum sekaligus memperkenalkan layanan PopLegal. Mereka juga berencana untuk menjalin kera sama dengan asosiasi-asosiasi di Indonesia, khususnya di Jakarta.

Hak Untuk Dilupakan: Manfaat Perlindungan dan Potensi Penyalahgunaan

Internet adalah tempat yang bebas bagi publik untuk menyimpan data dan mengabarkan peristiwa. Meskipun terdapat berbagai peraturan yang berusaha untuk mengelola dan membatasi kebebasan tersebut, pada kenyataannya, teknologi internet berkembang relatif lebih cepat daripada ketentuan hukum dapat mengimbanginya.

Informasi yang terdapat di internet bisa dalam bentuk data yang kita unggah sendiri atau diunggah oleh orang lain. Foto memalukan yang kita post sendiri bisa kita hapus dengan mudah. Namun, bagaimana jika foto tersebut di-copy oleh orang lain, atau bahkan menjadi viral atau meme, dan sulit bagi kita untuk meminta orang-orang tersebut untuk menghapusnya satu-persatu. Bagaimana jika foto memalukan tersebut memberikan kita ketenaran yang tidak diinginkan atau bahkan sampai mengganggu karier? Pertanyaan yang sama berlaku bagi jenis-jenis informasi lainnya, seperti tweet, status update, maupun laporan berita.

Setiap orang memiliki masa lalu dan mungkin kejadian-kejadian tersebut sudah tidak relevan dengan kehidupan kita sekarang. Internet dan teknologi cloud membuat kita sulit untuk mengubur masa lalu itu. Maka, munculnya ‘hak untuk dilupakan’ adalah perkembangan hukum yang wajar dalam era digital ini.

Apa itu ‘hak untuk dilupakan’?

The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sudah menjadi perbincangan di Uni Eropa sejak tahun 2006. Menurut Mantelero Alessandro, profesor Hukum Perdata dari Italia, hak untuk dilupakan berangkat dari keinginan individual untuk menentukan sendiri arah pengembangan hidup mereka secara otonom, tanpa terus-menerus dikenai stigma sebagai konsekuensi dari tindakan tertentu yang mereka lakukan di masa lalu.

Hak ini mulai diberlakukan saat seorang warga Spanyol merasa pemberitaan mengenai suatu hutang di masa lalunya sudah tidak relevan lagi untuk diberitakan, sebab ia telah melunasi hutang tersebut. Ia menggugat Google supaya menghapus seluruh tautan pemberitaan tersebut dari search result sebagai wujud haknya untuk dilupakan. Google membela diri dari permintaan tersebut sebab mereka ingin menjadi platform informasi yang netral. Namun Google kalah dan hak untuk dilupakan ini menjadi preseden yang berlaku terhadap seluruh pengendali data di Uni Eropa.

Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini, penghapusan tautan hanya dilakukan di search engine, sementara tautannya sendiri masih bisa ditemukan di situs berita yang bersangkutan. Dengan berlakunya hak untuk dilupakan secara menyeluruh di Uni Eropa, hak ini juga dapat diberlakukan terhadap media berita dan media sosial.

Perdebatan soal hak untuk dilupakan sesungguhnya mendasar secara konsep dan filsafat hukum. Ketika diturunkan menjadi diskursus antara hak untuk dilupakan versus hak kebebasan berekspresi, hak asasi manusia dapat menjadi pedang bermata dua. Kedua hak tersebut merupakan hak asasi manusia. Tidak sedikit yang mengkritik hak untuk dilupakan sebagai suatu bentuk penyensoran dan penulisan ulang sejarah.

Hak untuk dilupakan vs hak atas informasi

Hak untuk dilupakan tidak sama dengan hak privasi. Hak privasi adalah hak atas informasi-informasi pribadi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi identitas seorang individu dan berpotensi membahayakan keselamatan individu tersebut, seperti alamat, nomor telepon, catatan kesehatan, dan lain-lain. Sedangkan hak untuk dilupakan berhubungan dengan informasi akan seorang subyek di internet pada periode waktu tertentu.

Terlepas dari kontroversinya, hak untuk dilupakan dapat dimanfaatkan untuk hal-hal baik. Korban dari revenge porn atau perbuatan asusila dapat menggunakan hak ini untuk menghentikan, atau setidaknya membatasi, distribusi konten tentang dirinya di internet. Remaja Gen Z atau bayi-bayi yang sudah punya akun Instagram sendiri karena orang tuanya, yang menyesali keberadaan konten digital dirinya, juga dapat memanfaatkan hak yang sama untuk menghapus konten tersebut.

Namun, bagaimana dengan seorang dokter yang pernah melakukan malpraktik atau pengobatan yang sempat menjadi sorotan? Dokter itu bisa saja menggunakan hak untuk dilupakan demi mengubur informasi soal malpraktiknya di masa lalu. Kerugian terbesar tentunya adalah bagi konsumen yang perlu mengambil keputusan dengan informasi menyeluruh.

Pada skala lebih kecil, jika kita pernah diberitakan melakukan tindakan kriminal atau memiliki konten memalukan di akun atau situs publik, dan kita tidak mau informasi tersebut mempersulit kita mencari kerja, pantaskah hak untuk dilupakan digunakan dalam hal ini? Apakah pemberi kerja berhak untuk mengetahui informasi ini, meskipun kita merasa informasi tersebut sudah tidak relevan?

Hak untuk dilupakan ini sudah dimanfaatkan oleh Dejan Lazic, pianis dari Uni Eropa, untuk menghapus resensi jelek soal musiknya di internet. Penerapan hak untuk dilupakan sangat nyata dalam kehidupan publik di internet dan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan akan informasi masyarakat.

Bagaimana pengaturan Hak Untuk Dilupakan dalam Perubahan UU ITE?

Oktober lalu, DPR telah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu perubahan itu adalah penambahan ketentuan Pasal 26 soal perlindungan data pribadi di internet. Berdasarkan pemberitaan Kominfo, penambahan Pasal 26 adalah:
(a) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan; dan
(b) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

Hingga saat ini, saya belum berhasil mendapatkan teks asli Perubahan UU ITE, sehingga saya hanya mengandalkan pemberitaan Kominfo. Ada beberapa hal yang dapat ditanggapi:

(a) Definisi ‘tidak relevan’ terlalu rancu. Informasi apa yang masih relevan dan tidak relevan? Apakah Perubahan UU ITE akan menjelaskan ukuran dari ‘tidak relevan’? Belajar dari perkembangannya di Uni Eropa, perlu ada pengecualian terhadap informasi yang diunggah sehubungan dengan kegiatan jurnalistik dan resensi karya seni, supaya hak-hak warganegara akan informasi tetap terjamin. Pengadilan Uni Eropa secara eksplisit mengklarifikasi bahwa hak untuk dilupakan tidaklah absolut dan akan selalu perlu diseimbangkan dengan hak-hak fundamental warganegara, seperti kebebasan berekspresi. Pemberitaan Kominfo tidak memperlihatkan pengecualian tersebut.

(b) Siapa yang dimaksud dengan ‘Penyelenggara Sistem Elektronik’? Berdasarkan definisinya di UU ITE, penyelenggara yang dimaksud akan meliputi seluruh pengendali data di internet, seperti search engine dan media digital, termasuk media sosial dan blog pribadi. Namun, ketentuan ini menjadi tidak berlaku bagi search engine dan media non-Indonesia karena perbedaan yurisdiksi. Jika pemerintah Indonesia tidak berhasil menggalakkan kewajiban OTT untuk memiliki badan hukum di Indonesia, hak untuk dilupakan tidak bisa diterapkan terhadap OTT asing.

(c) Apa yang dimaksud dengan ‘menghapus’? Apakah menghapus berarti meniadakan tautannya saja, atau menghapus laman yang bersangkutan sekaligus?

(d) Penggunaan hak untuk dilupakan mengharuskan adanya penetapan pengadilan, yang mana memakan waktu dan biaya. Sisi positifnya adalah Penyelenggara Sistem Elektronik tidak bisa mengelak. Penetapan pengadilan juga memastikan hak untuk dilupakan tidak dapat digunakan begitu saja. Di sisi lain, jika Penyelenggara Sistem Elektronik keberatan untuk menghapus data, mereka harus melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung. Hakim sebagai penentu apa yang ‘relevan’ jadi memiliki beban baru untuk memahami internet, termasuk soal integritas dan distribusi informasi di internet, serta hubungannya dengan konteks sosial dari informasi tersebut. Ketiadaan preseden juga berpotensi mengakibatkan penetapan hakim berbeda dari kasus ke kasus, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.

(e) Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengatur mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan. Akan tetapi belum jelas apakah Perubahan UU ITE akan menentukan standar mekanisme itu. Mungkinkah hal tersebut akan diserahkan sepenuhnya ke Penyelenggara Sistem Elektronik?

(f) Bagaimana jika Penyelenggara Sistem Elektronik menolak untuk menghapuskan Informasi Elektronik yang bersangkutan? Apakah mereka dapat dikenakan denda atau upaya hukum lainnya? Pemberitaan Kominfo tidak menggambarkan sanksi tersebut.

Saya turut menekankan perlu ada mekanisme tambahan supaya hak untuk dilupakan tidak disalahgunakan oleh pemangku kepentingan. Pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan pencemaran nama baik di internet cenderung dapat disalahgunakan oleh pejabat dalam melawan kritik terhadap pemerintah. Ketentuan hak untuk dilupakan berpotensi untuk disalahgunakan dalam konteks yang serupa.

Beberapa media nasional telah menyampaikan kekhawatiran mereka soal ‘penyensoran’ ini. Pemerintah dan penegak hukum perlu mengimbangi kekhawatiran tersebut dengan menentukan koridor-koridor yang jelas dalam penggunaan hak untuk dilupakan. Jika tidak, hak untuk dilupakan hanya akan menambah pekerjaan rumah, bukannya memberikan solusi keamanan dan kenyamanan berinternet.


Disclosure: Fallissa Putri, S.H. adalah konsultan hukum dan advokat dari Klikonsul, konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com

Collaborates with Australian Police, Indonesian Police Operates Cyber Crime Investigation Office

Cyber crime has been a hot topic nowadays, from hacked system of government and big companies to verified Twitter account, it may cause panic and downfall of stock market. Something that has never been imagined before the Internet era. It’s not surprising for police forces to enhance its investigation tools to help revealing the mastermind behind these kind of attacks. Indonesian police, with the help of neighboring Australian Federal Police (AFP), officially operates Cyber Crime Investigations Satellite Office (CCISO) with sophisticated infrastructures (and newly trained personnel) to help combating  any online infringement.

Continue reading Collaborates with Australian Police, Indonesian Police Operates Cyber Crime Investigation Office

The Government Regulations on Implementation of Electronic System and Transactions Has Been Published, Now What?

Government Regulations on Implementation of Electronic System and Transaction has been officially signed by President Susilo Bambang Yudhoyono on October 12. Thus, the regulation which was mandated by the 2008 law number 11 on Electronic Information and Transactions (UU ITE), becomes enforceable. The regulation was published as PP Nomor 82 Tahun 2012.

Continue reading The Government Regulations on Implementation of Electronic System and Transactions Has Been Published, Now What?

[Music Monday] Revisiting Indonesia’s Copyright Law

Indonesia is a democratic country, at least by principle. Well, at least, the word “democratic” doesn’t come with quote marks anymore, as it did during the time of the New Order. Now, a democracy will either vote or discuss on everything, or appoint representatives to do all the voting and discussing, and thus deciding on whatever is going to be enacted into law, to be followed and safeguarded by the executive branch (just to remind you, this means the President and his government). Now what does this have to do with the digital music business? The law, that’s what.

Being basically a content-based business, the music industry is highly influenced by copyright laws – how the government sees the issue regarding copyright and how it thinks it is best implemented. And of the million things that need regulation in the country, Indonesia’s most recent copyright law was signed into law in 2002, under President Megawati Soekarnoputri. Albeit according to some still lacking in some areas, the upgraded legislation added some much-needed law protection for works of cinematography to computer programs, as the earlier version of the copyright law was signed into law in 1979.

Continue reading [Music Monday] Revisiting Indonesia’s Copyright Law