Bertolak belakang dari anggapan orang awam, video game bukanlah sumber kekerasan. Mereka yang lama menekuni hobi ini tahu, lag-lah yang membuat gamer jadi emosional. Itulah alasan mengapa produsen hardware terus mengembangkan teknologi untuk menanggulangi kendala koneksi serta mendorong penyedia layanan internet buat menawarkan paket-paket khusus gaming.
MyRepublic merupakan salah satu perusahaan yang menyajikan layanan spesial untuk gamer di Indonesia. Berbekal teknologi fiber, perusahaan internet asal Singapura itu menjanjikan laju internet cepat hingga menyentuh 150Mbps dan tingkat latency super-rendah. Dan di pertengahan minggu ini, MyRepublic menyingkap lagi satu penawaran yang saya rasa sangat atraktif bagi para penikmat video game.
Dalam acara pers yang dilakukan di Jakarta kemarin, MyRepublic mengumumkan kemitraannya dengan Sony Indonesia demi menghadirkan paket bundel internet bersama unit PlayStation 4 beserta keanggotaan PlayStation Plus. Itu berarti, para pelanggan disuguhkan sambungan internet tanpa batas serta akses ke game-game premium gratis. Selain itu, pengguna juga diberikan satu bonus lagi berupa permainan PlayerUnknown’s Battlegrounds secara cuma-cuma.
Pilar MyRepublic x PlayStation
Ada sederet fitur yang dijagokan oleh MyRepublic di program bundling PlayStation 4 ini dan salah satunya adalah teknologi berbasis serat optik (FTTH) yang mampu menghidangkan internet unlimited sejati rendah latency. Di sebuah layanan internet, kecepatan unduh tinggi belum sepenuhnya menjamin rendahnya level latency. Dan dalam sesi game online, keterlambatan input ialah mimpi buruk terbesar para gamer.
Fitur selanjutnya ialah pemanfaatan direct peer dan custom routing. Dengan direct peering, koneksi disalurkan secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga. Custom routing sendiri adalah metode penentuan rute koneksi ke server game di luar negeri yang terdekat dari lokasi Anda. Dengannya, sistem akan melakukan penyesuaian, jadi Anda tidak akan bermain di server Arab Saudi jika server terdekat berada di Singapura.
Keunggulan andalan berikutnya dari bundel MyRepublic x PlayStation ialah deretan benefit istimewa buat gamer. Satu contohnya adalah akses ke sesi-sesi uji coba beta tertutup eksklusif, seperti yang sempat dilangsungkan Activision pada permainan Call of Duty: Black Ops 4.
Di presentasinya, product manager Chandra Setiasa menjelaskan alasan MyRepublic menyediakan paket bersama PlayStation ini. Ia menyampaikan, sekitar 30 persen pelanggan mereka menggunakan internet untuk bermain game dan sebagian besar ingin menikmati permainan di console PlayStation 4. Tapi agar bisa memperoleh pengalaman terbaik, konsumen membutuhkan sambungan yang dapat diandalkan.
Dengan kolaborasi eksklusif ini, baik MyRepublic dan Sony Indonesia berkesempatan menyuguhkan konsumen beragam keuntungan. Kedua perusahaan juga punya keinginan untuk mengekspansi serta meneruskan kerja sama tersebut ke tahun-tahun berikutnya, mungkin hingga PlayStation ‘5’ tersedia nanti.
Bagi CEO MyRepublic Handhianto Suryo Kentjono, peluncuran produk anyar ini merupakan realisasi dari komitmen mereka mendukung perkembangan esports di tanah air. Menurutnya, online gaming tidak akan terwujud tanpa ditopang sambungan internet yang cepat dan stabil. Sang CEO juga mengungkapkan harapannya untuk meluncurkan lebih banyak program menarik di waktu yang akan datang serta menghadirkan inovasi demi meningkatkan kepuasan pelanggan.
Mengulik pilihan paket dan keuntungan-keuntungannya
Ada tiga opsi bundel MyRepublic x PlayStation yang bisa Anda pilih:
PlayStation 4 Slim 1TB ditambah internet 100Mbps (Nova) selama setahun, dengan harga Rp 702.183 per bulan atau total Rp 8.426.200.
PlayStation 4 Slim 1TB dengan internet 150Mbps (Gamer) selama setahun, seharga Rp 804.850 per bulan atau total Rp 9.658.200.
PlayStation 4 Slim 1TB plus internet 300Mbps (Supernova) setahun, dijajakan di harga Rp 1.224.850 per bulan atau total Rp 14.698.200.
Sangat menggoda bukan? Tapi kejutannya tidak berhenti sampai di sana. 50 pelanggan terpilih (bukan pelanggan pertama) akan diberikan kesempatan upgrade dari model PS4 Slim ke PlayStation 4 Pro secara gratis. Jika menghitung lebih rinci, dengan memilih salah satu paket di atas, Anda sebetulnya hanya membayarkan internet untuk delapan bulan saja. Kemudian di periode Oktober dan November 2019, 50 pengguna baru akan mendapatkan gamepad DualShock 4 tambahan (biasanya dijual di kisaran harga Rp 750 ribu).
Dan seperti yang sudah saya bahas di atas, pihak Sony juga memberikan kita keanggotaan PlayStation Plus selama 12 bulan ditambah lagi voucher download PUGB. Masing-masing produk ini punya harga Rp 560 ribu dan Rp 360 ribu. Dengan memilih bundel tier Nova dan PS4, Anda dapat menghemat uang lebih dari Rp 3,5 juta. Lalu saat kontrak tersebut berakhir, unit PlayStation 4 itu sudah jadi hak milik Anda.
Saat ini bundel MyRepublic x PlayStation baru bisa dinikmati oleh konsumen yang berada di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Dalam waktu dekat, perusahaan berencana buat memperluas program ke kota-kota lain. Penawaran menarik ini sangat cocok bagi Anda yang belum berkesempatan untuk memiliki PlayStation 4.
Status Facebook sebagai media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak bukan berarti mereka akan bersantai menikmati dominasinya. Sebaliknya, Facebook justru terus mengerahkan upaya untuk menggaet lebih banyak konsumen lagi. Namun itu semua percuma kalau tidak ada akses internet.
Inilah yang pada dasarnya menjadi motivasi utama atas pengembangan sebuah program bernama Express Wi-Fi, yang merupakan bagian dari inisiatif Internet.org (yang kini dikenal dengan nama Free Basics). Express Wi-Fi pada dasarnya memungkinkan konsumen untuk membeli kuota internet untuk digunakan pada jaringan-jaringan Wi-Fi di sekitarnya.
Express Wi-Fi sedikit berbeda dari Internet.org sebelumnya. Mengingat konsumen harus membayar, jelas yang mereka dapatkan adalah akses penuh ke jagat internet. Program ini sekarang sudah tersedia di lima negara: India, Nigeria, Kenya, Tanzania dan Indonesia.
Di tanah air, Facebook menggandeng penyedia layanan internet asal Surabaya, D-NET, sebagai mitranya. D-NET sendiri telah aktif mengembangkan jaringan Express Wi-Fi sejak September tahun lalu di Surabaya, dan akan terus melanjutkannya tahun ini sampai tersedia ribuan titik jaringan Express Wi-Fi.
Kabar baiknya, Express Wi-Fi kini tersedia sebagai aplikasi Android yang bisa diunduh langsung dari Play Store, seperti yang sudah dikonfirmasi langsung oleh Facebook kepada TechCrunch. Sebelumnya, konsumen harus mengakses Express Wi-Fi lewat situs mobile atau aplikasi yang disediakan sendiri oleh penyedia layanan internet.
Juga baru pada aplikasi resminya ini adalah fitur untuk mencari jaringan Express Wi-Fi di dekat pengguna. Tidak kalah penting adalah fitur untuk mencari tempat di mana konsumen bisa membeli kuota data tambahan saat yang dimilikinya habis setelah satu jam membuka Instagram Story.
Kembali ke poin di awal artikel, Express Wi-Fi setidaknya bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah keterbatasan internet, yang tentunya bakal menghambat pertumbuhan jumlah pengguna bagi Facebook. Bagi pihak konsumen, layanan seperti ini semestinya bisa menjadi alternatif yang lebih terjangkau ketimbang kuota data dari penyedia jaringan seluler.
Dewasa ini saya yakin nama Dropbox sudah tidak asing lagi di telinga sebagian besar pembaca. Anda mungkin menggunakannya sekadar untuk mem-backup koleksi foto di ponsel, lalu ada juga yang memanfaatkannya murni untuk berbagi dokumen dengan rekan kerjanya.
Sebagian lain mungkin lebih percaya dengan layanan cloud storage lain, Google Drive misalnya. Namun intisarinya, Dropbox dan layanan cloud storage sudah menjadi bagian penting dalam keseharian konsumen modern – bahkan tidak kalah pentingnya dari smartphone dan koneksi internet itu sendiri.
Saya termasuk kalangan konsumen yang terakhir itu, kalangan yang pada dasarnya tidak bisa hidup tanpa Dropbox. Di perangkat apapun yang saya punya – PC, laptop, tablet, smartphone – saya pasti akan meng-install Dropbox selama aplikasinya tersedia di platform yang bersangkutan.
Andai saya berganti smartphone, Dropbox adalah salah satu aplikasi pertama yang saya install selain aplikasi chatting. Perlu dicatat juga, saya maupun tim DailySocial tidak menerima uang sepeser pun dari Dropbox untuk menuliskan artikel ini – saya kira mereka sudah tidak perlu lagi mengiklankan produknya untuk bisa merangkul lebih banyak konsumen.
Artikel ini cuma bermaksud untuk menggambarkan bagaimana suatu layanan internet bisa berperan begitu besar dalam kehidupan konsumen di era digital ini. Tanpa bermaksud hiperbolis, saya mungkin bakal kewalahan bekerja setiap harinya tanpa adanya Dropbox. Persilakan saya menjelaskan kenapa.
Dropbox sebagai tonggak utama pekerjaan
Seperti yang bisa Anda lihat, saya merupakan salah satu penulis tetap di DailySocial. Setiap Senin – Jumat saya diminta untuk menuliskan sejumlah artikel untuk Anda sekalian baca. Dari sini sebenarnya sudah bisa Anda tebak apa saja alat bantu yang hukumnya wajib buat saya, yaitu perangkat untuk mengetik dan koneksi internet.
Kondisi tempat kerja saya tergolong tidak umum: saya tinggal di Surabaya, sedangkan kantor DailySocial berada di Jakarta. Yup, saya merupakan pekerja remote, dan hal ini pada akhirnya memberikan sejumlah perk buat saya, salah satunya adalah kesempatan untuk merawat anak perempuan saya selagi bekerja.
Di mana istri saya? Well, setiap harinya dia harus bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Surabaya. Berhubung saya bekerja dari rumah, saya jadi tidak perlu menitipkan putri saya ke siapa-siapa maupun meminta bantuan seseorang selama bekerja.
Putri saya sebentar lagi akan menginjak usia 15 bulan. Di usia itu, seorang anak sudah banyak maunya. Dalam kasus saya, putri saya ingin selalu ditemani bermain, tidak peduli ketika saya sedang mengerjakan artikel atau sedang istirahat makan siang – dan ini juga beberapa kali terjadi selama pengerjaan artikel ini.
Situasi ini memaksa saya untuk bergonta-ganti device selama bekerja: saat putri saya lengah dan serius bermain Mega Bloks, saya akan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk duduk di depan laptop dan mengetikkan sebanyak mungkin kata sebelum dia sadar dan kembali menarik-narik baju saya sembari merengek minta didampingi.
Kesempatan mengetik hilang, lalu apa yang harus saya lakukan ketika ide tiba-tiba muncul dan terancam sirna kalau tidak segera ditumpahkan ke tulisan? Saya pun beralih ke smartphone dan mulai mencuri-curi kesempatan untuk mengetik selagi mendampingi putri saya, yang sekarang juga sudah beralih ke mainan lain.
Di sinilah letak peran besar Dropbox yang saya maksud di awal. Semua yang saya kerjakan, baik di laptop maupun smartphone, akan selalu tersinkronisasi di Dropbox. Saat mengetik menggunakan smartphone, saya bisa melanjutkan poin terakhir yang saya tinggalkan di laptop tadi, demikian pula sebaliknya.
Tanpa Dropbox, fragmen-fragmen artikel yang sudah saya kerjakan itu harus saya gabungkan dan rapikan secara manual di laptop sebelum akhirnya saya unggah ke server DailySocial. Sebaliknya, dengan Dropbox, potongan artikel yang saya ketik di smartphone tadi akan langsung muncul di laptop, di file dokumen yang sama, dan siap diunggah kapan saja ke server tanpa perlu saya ulik lebih lanjut – kalau memang artikelnya sudah selesai.
Mengapa Dropbox?
Di titik ini Anda mungkin akan bertanya, “mengapa harus Dropbox? Kenapa tidak layanan cloud storage yang lain saja?” Jawabannya adalah integrasi dengan aplikasi. Semua aplikasi yang saya gunakan untuk mengetik terintegrasi dengan Dropbox, baik di smartphone, laptop maupun PC.
Di ponsel dan laptop, saya menggunakan aplikasi text editor bernama Byword, sedangkan di PC pilihan saya adalah MarkdownPad. Di smartphone, saya bisa menghubungkan akun Dropbox secara langsung ke Byword, sehingga semua folder penyimpanan – termasuk folder draft semua artikel saya untuk DailySocial – bisa saya akses langsung dari aplikasi.
Di laptop dan PC integrasinya bahkan lebih mendalam lagi, sebab Dropbox sudah terhubung dengan file system. Ini memungkinkan saya untuk mengunduh dan mengunggah file dari dan ke Dropbox tanpa perlu membuka browser sama sekali, cukup mengandalkan metode copy-paste standar lewat Windows Explorer atau Finder di Mac.
Alasan lainnya, selama lima tahun memakai Dropbox, saya belum pernah sekali pun dikecewakan oleh sinkronisasinya. Saya pun sampai sekarang juga belum pernah mengeluarkan uang untuk menggunakan Dropbox, tapi kapasitas penyimpanan saya bisa mencapai angka 11,75 GB berkat program referral Dropbox.
Kendati demikian, andaikata Dropbox bangkrut dan saya harus beralih ke layanan cloud storage lainnya, saya yakin saya masih bisa mendapatkan kemudahan yang sama dalam bekerja. Namun jujur saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya andai tidak ada layanan cloud storage sama sekali.
Yang saya cari dari Dropbox sebenarnya sederhana sekali, yakni bagaimana layanan ini bisa membantu memuluskan proses gonta-ganti perangkat selama saya bekerja sambil merawat anak. Fakta bahwa semua file penting saya ter-backup di cloud saya anggap sebatas bonus, sebab saya pribadi lebih mementingkan aspek sinkronisasinya.
Ketik di laptop, lanjutkan di smartphone, lalu kembali lagi di laptop ketika ada kesempatan, semuanya tanpa mengharuskan saya repot-repot mengunduh file dan mengunggahnya kembali setelah diperbarui. Inilah yang akhirnya membuat saya begitu bergantung pada Dropbox.
Di samping itu, Dropbox juga berhasil mengubah kebiasaan saya menyimpan file di USB flash disk. Sekarang semua file penting dan yang perlu saya akses dari berbagai tempat tersimpan dengan rapi di Dropbox, dan sepertinya sudah sekitar tiga tahun sejak saya terakhir menggunakan flash disk.
Sejarah perjalanan Dropbox
Bicara soal flash disk, media penyimpanan portable ini juga sangat terlibat dalam awal kelahiran Dropbox. Ceritanya kala itu, pada bulan Desember 2006, sang pendiri Dropbox, Drew Houston yang merupakan seorang programmer, sedang dalam perjalanan menggunakan bus dari Boston ke New York.
Selama perjalanan berdurasi sekitar empat jam, Drew berniat untuk bekerja menggunakan laptop-nya. Apesnya, ia lupa membawa USB flash disk yang pada dasarnya berisikan semua yang dibutuhkannya pada saat itu. Ini bukan pertama kalinya nasib sial seperti itu menimpa Drew, tapi sang inovator memutuskan sudah saatnya untuk mengakhirinya.
Dari situ ia mulai mengembangkan teknologi untuk mensinkronisasikan file menggunakan internet. Empat bulan setelahnya, Drew mempresentasikan idenya di hadapan inkubator startup Y Combinator. Juni 2007, Dropbox Inc. resmi didirikan, dan tak lama sesudahnya Drew bersama rekan cofounder-nya, Arash Ferdowsi, berhasil menerima pendanaan awal dari Y Combinator sebesar $15.000.
Perjalanan Dropbox tak bisa dibilang mulus. Bahkan awalnya mereka tidak bisa menggunakan domain dropbox.com sampai pada bulan Oktober 2009. Selama sekitar dua tahun beroperasi, mereka harus tabah menggunakan domain getdropbox.com – memang tidak sulit diingat, tapi reflek orang yang baru mendengar soal Dropbox pasti akan mengetikkan “dropbox.com” di browser-nya.
Masih di tahun 2009, tepatnya pada bulan Desember, almarhum Steve Jobs sempat menawarkan untuk mengakuisisi Dropbox dengan mahar menyentuh angka sembilan digit. Jobs kala itu bilang kalau Dropbox hanyalah sebatas fitur, dan beliau sejatinya beranggapan bahwa Dropbox baru bisa menjadi produk setelah berada di tangan Apple.
Tentu saja Drew menolak tawaran tersebut. Kalau tidak, sudah pasti Dropbox sekarang hanya tersedia secara eksklusif untuk perangkat besutan Apple. Nyatanya tidak demikian. Rival-rival Dropbox terus bermunculan, termasuk dari Apple sendiri yang bernama iCloud, maupun dari nama-nama besar lain di industri teknologi seperti Amazon, Google dan Microsoft.
Juni lalu, Dropbox merayakan hari jadinya yang ke-10. Skalanya sebagai perusahaan sudah berkali lipat kondisinya di tahun 2008, dimana pada saat itu mereka baru memiliki 9 karyawan dan 200.000 pengguna. Per Maret 2016, jumlah pengguna Dropbox sudah mencapai angka setengah miliar, dan menurut data Crunchbase mereka sudah mengumpulkan total pendanaan lebih dari 600 juta dolar.
—
Kembali ke bahasan di awal tadi, saya kira tidak berlebihan jika kita menganggap Dropbox – maupun layanan cloud storage lainnya – sebagai layanan yang sama esensialnya dengan email. Anda butuh email untuk bisa mendaftar berbagai layanan internet (termasuk Dropbox), dan Anda butuh Dropbox untuk bisa bekerja secara efisien di mana saja dan melalui perangkat apa saja.
Cerita saya sebagai seorang blogger beranak satu yang harus bergonta-ganti device selama bekerja hanyalah satu contoh. Masih ada contoh lain yang tak kalah menarik, seperti misalnya seorang mahasiswa jurusan hukum yang laptop-nya tiba-tiba rusak saat menjalani ujian akhir, namun akhirnya bisa lulus karena masih menyimpan backup-nya di Dropbox.
Tanpa Dropbox, sang pelajar mungkin saja bisa tidak lulus, dan ini akan berakibat fatal pada karir dan kehidupannya. Tanpa Dropbox, saya mungkin harus menyewa seorang baby sitter untuk membantu mendampingi anak saya selama saya bekerja, yang berarti pengeluaran bulanan saya harus bertambah – yang akan sangat sulit sekali saya terima setelah mengetahui ada layanan internet gratis seperti Dropbox yang bisa menjadi solusi atas masalah yang saya hadapi.
Dibandingkan lima tahun yang lalu, ukuran filegame terkini sangatlah besar, bisa mencapai berpuluh-puluh gigabyte hanya untuk satu game saja. Akan tetapi gamer sekarang tidak hanya dituntut untuk memiliki kapasitas penyimpanan yang besar, tetapi juga koneksi internet yang memadai, sebab membeli game secara digital jauh lebih praktis ketimbang fisik.
Steam seperti yang kita tahu adalah salah satu platform distribusi game yang paling populer sejauh ini berkat koleksinya yang cukup lengkap. Tak hanya itu, Steam juga menjadi pilihan apabila Anda hendak bermain Dota 2, mengingat semuanya berjalan pada server-nya.
Di Indonesia, salah satu alasan utama mengapa Steam bisa populer adalah Dota 2. Tren esport yang setiap harinya semakin bertumbuh juga turut didukung oleh besarnya jumlah pemain Dota 2 di Indonesia. Saya memang tidak punya jumlah pastinya, akan tetapi setiap kali bermain di server Asia Tenggara minimal saya selalu menjumpai satu player dari Indonesia, dan orangnya pun tidak pernah sama.
Namun di balik pesatnya pertumbuhan tren esport tanah air, masih ada pertanyaan lain terkait faktor pendukungnya: apakah koneksi internet di Indonesia bisa mengatasi tuntutan besar dari para gamer, salah satunya mengunduh game berukuran masif dengan cepat? Untuk itu, kita bisa merujuk pada statistik yang dikumpulkan oleh Steam sendiri.
Di situ kita bisa melihat penyedia layanan internet mana yang paling terbukti kecepatannya selama mengunduh game dari Steam, dan ternyata MyRepublic – atau yang berbadan perusahaan PT. Eka Mas Republik – yang menduduki posisi teratas. Selisihnya juga cukup jauh, dengan rata-rata hampir 17 Mbps dibandingkan pesaing-pesaingnya yang berada di kisaran 8 – 9 Mbps.
Tanpa bermaksud mempromosikan atau menjatuhkan ISP (Internet Service Provider) tertentu, MyRepublic yang ekspansi layanannya di Indonesia tergolong baru ini ternyata bisa dibilang cukup mumpuni. Bukan cuma di Steam, MyRepublic ternyata juga unggul di Netflix, berdasarkan Speed Index yang diterbitkan oleh layanan streaming film tersebut.
Fakta ini sebenarnya malah bisa dijadikan catatan bagi ISP lain untuk meningkatkan kualitas layanannya masing-masing. Ujung-ujungnya tetap konsumenlah yang diuntungkan, dan di saat yang sama esport di tanah air bisa terus berkembang dengan pesat.
4G/LTE, bagaimana kabarnya di Indonesia? Seperti yang kita ketahui, teknologi jaringan seluler berkecepatan tinggi ini masih belum lama hijrah di tanah air, dan cakupannya pun masih belum seluas jaringan 3G. Namun apakah pertumbuhannya akan terus berjalan lambat seperti itu?
Sama sekali tidak. Buat yang sudah lebih dulu pesimis, ketahuilah bahwa seminggu ini saja ada begitu banyak kabar seputar perkembangan jaringan 4G/LTE di Indonesia. Tanpa perlu berbasa-basi, simak ringkasan yang kami ambil dari beberapa sumber berikut ini.
4G/LTE 1800 MHz menggantikan 900 MHz
Mulai awal bulan Juli kemarin, sejumlah operator telah melangsungkan uji coba jaringan 4G/LTE di frekuensi 1800 MHz. Menkominfo Rudiantara sendiri menegaskan bahwa ekosistem di band (pita) 1800 MHz ini lebih optimal ketimbang 900 MHz. Pada kesempatan lain, perwakilan XL Axiata juga sempat memaparkan bahwa implementasi jaringan 4G/LTE di frekuensi 1800 MHz ini memungkinkan pelanggan untuk mencapai kecepatan akses data hingga 100 Mbps.
Pertanyaan yang terpenting, kapan kita bisa menikmatinya? Sang Menkominfo sendiri memastikan bahwa pembangunan infrastruktur 4G/LTE 1800 MHz akan selesai akhir tahun ini juga. Dengan kata lain, awal tahun 2016 semua kawasan Indonesia sudah bisa dijangkau oleh jaringan 4G/LTE dalam frekuensi tersebut.
Selagi membahas soal implementasi teknologi 4G/LTE, silakan Anda simak survei pendapat masyarakat terkait hal tersebut. Versi singkatnya: hampir semua responden melihat implementasi 4G/LTE sebagai hal yang positif, meski baru seperempat dari mereka yang sudah menjajalnya.
Menyambung soal jaringan 4G/LTE 1800 MHz di atas, rupanya ada keputusan menarik yang diambil Telkomsel dan XL. Keduanya memilih menguji layanannya di kawasan Indonesia Timur; Telkomsel di Makassar, sedangkan XL di Lombok. Tentu saja ada pertimbangan khusus terkait tingkat penggunaan dan semacamnya, namun saya melihat langkah ini bisa jadi merupakan cara mereka menunjukkan bahwa tidak cuma Indonesia bagian barat saja yang ‘diperlakukan seperti raja,’ mengingat performanya di bagian barat sudah cukup oke, seperti yang sempat TRL coba langsung awal bulan Juni kemarin.
Di saat yang sama, XL rupanya juga punya ‘jurus’ untuk menggaet lebih banyak konsumen layanan 4G/LTE-nya. Di kawasan-kawasan yang masih didominasi perangkat 2G, XL menawarkan program bundling handset 4G. Intinya, mengarahkan konsumen agar beralih dari 2G langsung ke 4G LTE.
Bagaimana dengan Indosat? Selain berupaya untuk terus memperluas jaringan 4G/LTE-nya, Indosat juga punya cara tersendiri untuk menarik minat konsumen. Caranya adalah dengan menyediakan berbagai macam konten yang bisa di-stream dengan maksimal menggunakan layanan 4G/LTE. Konten-konten tersebut dikemas dalam tiga fasilitas khusus yang mereka namai Arena Musik, Arena Video dan Arena Game.
Lain halnya dengan Tri. Operator bermaskot robot tersebut hingga kini belum menawarkan layanan 4G/LTE. Kendati demikian, petinggi Tri menjelaskan bahwa mereka lebih memilih menunggu proses penataan frekuensi 1800 MHz rampung secara menyeluruh di akhir tahun 2015. Barulah setelah itu, mereka akan segera menjalankan komersialisasi layanan 4G/LTE secara bertahap di sejumlah kota.
Beralih ke pemain yang dulunya menjalankan layanan CDMA, Smartfren akan beralih dari CDMA dengan menghadirkan layanan 4G/LTE, memanfaatkan dua frekuensi yaitu 2300 MHz dan 850 MHz. Pelanggan CDMA akan tetap dilayani sampai beralih ke 4G/LTE. Meski berbeda sendiri, performanya tidak kalah, terbukti dari hasil pengujian TRL beberapa minggu yang lalu. Menurut rencana layanan 4G/LTE Smartfren ini akan rilis komersil pada semester 2 2015 di 22 kota.
Nama-nama besar operator di atas memang selangkah lebih awal, tapi bukan berarti monopoli pasar bisa diterapkan begitu saja. Sekedar mengingatkan, layanan 4G/LTE pertama di Indonesia justru berasal dari operator non-mainstream, yakni Bolt, pada akhir tahun 2013 kemarin.
Nah, kesuksesan Bolt ini mungkin saja memicu sosok-sosok baru lain untuk mengikuti jejaknya. Yang terbaru adalah PT Berca Hardayaperkasa. Mereka baru saja memperkenalkan layanan 4G/LTE yang mereka beri nama Hinet. Sebelum ini, perusahaan yang sama telah memiliki layanan berteknologi WiMAX, akan tetapi pada akhirnya mereka harus mengikuti tren dan mengadopsi teknologi 4G/LTE yang memang dinilai jauh lebih baik ketimbang WiMAX.
Hinet sendiri memanfaatkan teknologi 4G/LTE berbasis time-division duplex (TDD) di frekuensi 2,3 GHz, lain daripada yang lain. Terlepas dari itu, Hinet menawarkan kecepatan internet maksimum 125 Mbps dalam harga yang kompetitif. Satu catatan tambahan, Hinet hanya menawarkan layanan 4G/LTE dalam bentuk data saja, tanpa fungsi seluler, sama seperti yang diterapkan Bolt.
Kalau Hinet menyasar konsumen perangkat mobile, tidak demikian dengan MyRepublic. Perusahaan asal Singapura ini sudah resmi beroperasi di tanah air dan menawarkan layanan internet rumahan dengan harga yang amat sangat berani. Yang paling murah, ada paket 10 Mbps dengan harga Rp 200 ribu – tidak terlalu istimewa – namun Anda akan terkejut melihat paket termahalnya, yaitu 300 Mbps seharga Rp 900 ribu saja!
Diwacanakan pada awal tahun ini, regulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) akhirnya disahkan. Apa artinya? Gampangnya, mulai 1 Januari 2017, smartphone 4G/LTE berbasis frequency-division duplex (FDD) yang ingin masuk ke pasar Indonesia haruslah memiliki nilai TKDN sebesar 30%.
Masih bingung? Well, pada dasarnya, smartphone–smartphone tersebut haruslah mengemas komponen-komponen buatan dalam negeri. Meski demikian, komponen-komponen yang dimaksud tidak harus berupa hardware, tetapi juga software. Dengan demikian, langkah yang diambil vendor pun bisa bermacam-macam.
Jadi, kalau memang membangun pabrik perakitan di sini tidak memungkinkan, suatu vendor bisa saja berfokus pada pengembangan software dengan cara menanamkan investasi atau menuntun dan membimbing para developer lokal sehingga ekosistem aplikasi buatan dalam negeri bisa semakin berkembang.
Smartphone 4G/LTE tidak lagi mahal
Kalau beberapa tahun yang lalu 4G/LTE adalah salah satu fitur unggulan smartphone kelas atas, sekarang anggapan itu sudah tidak berlaku lagi. Tidak percaya? Coba lihat Bolt Powerphone E1. Spesifikasinya lumayan, dan sistem operasi Android yang dijalankan pun sudah merupakan versi terbaru. Namun yang terpenting, dukungan 4G/LTE ia kemas dalam harga hanya Rp 1 juta.
Oke, Bolt mungkin bisa melakukannya karena memiliki layanan internet sendiri, bagaimana dengan vendor lainnya? Well, Anda bisa melirik Himax, yang baru saja menggebrak pasar dengan smartphone 4G/LTE berharga amat terjangkau. Himax Pure 3S namanya, dan pemasarannya baru saja dimulai pada tanggal 8 Juli 2015 ini. Berapa harganya? Rp 1,4 juta, dan saya yakin Anda akan sedikit tidak percaya melihat spesifikasi hebatnya.
Salah satu pemain besar di dunia penyedia layanan internet di Indonesia, Biznet Networks, kemarin (18/6/2015) mengumumkan prestasi terbarunya di bidang pembangunan jaringan. Mereka berhasil membangun jaringan Biznet Fiber sepanjang 1.700 km yang menyambungkan Pulau Jawa dan Bali, sekaligus menambah total keseluruhan jaringan fiber optic-nya menjadi sepanjang 13.000 km, termasuk yang berada di Pulau Sumatera. Continue reading Sukses Bangun Jaringan Fiber Optic Jawa-Bali, Biznet Kejar Ekspansi Lebih Luas Lagi→
Bagi banyak orang, bermain game merupakan kegiatan yang dibilang membuang-buang waktu dan tidak bermanfaat namun di jaman modern seperti sekarang ini, paradigma tersebut sudah tidak relevan lagi.
Sejumlah media besar mengangkat survei Ooredoo tentang Internet dan pemanfaatannya di Indonesia oleh kaum muda dengan tajuk frustasinya mereka dengan kualitas dan cakupan layanan Internet, terutama di daerah pelosok (rural area). Meskipun demikian, sesungguhnya survei ini mengemukakan fakta yang lebih positif bahwa kaum muda yang melek Internet percaya bahwa Internet mendorong mereka untuk maju, baik di sisi pendidikan maupun kewirausahaan.
Menurut survei yang dilakukan terhadap 1400 laki-laki dan perempuan yang berusia antara 18 dan 30 tahun, 91% mengklaim bahwa Internet mendorong mereka untuk lebih mengarah ke hal kewirausahaan (untuk pilihan karir) dan 83% berminat, atau bahkan sudah, mendirikan bisnis yang berbasis online. Tujuh persen responden (dari total 83% tersebut) menyebutkan mereka telah memiliki kantor virtualnya sendiri.
Selain itu, 93% responden juga beranggapan bahwa Internet memudahkan mereka untuk mencari pekerjaan di luar negeri, sedangkan 77% secara reguler menggunakan Internet untuk meningkatkan tingkat edukasinya. Tiga puluh lima persen responden menyebutkan sehari-hari menggunakan Internet untuk bekerja dan kegiatan belajar/pendidikan.
Khusus untuk kaum perempuan, 89% responden mengaku Internet membantu mereka untuk terjun ke dunia wirausaha dan bahkan 95% menganggap teknologi membuat sebuah peluang untuk generasi mendatang meningkatkan hidup mereka.
Sementara itu dikaitkan dengan budaya berbelanja online, 53% menyebutkan pernah berbelanja di layanan e-commerce dan 29% menyebutkan mereka berniat mencoba. Hal ini sejalan dengan survei sebelumnya yang dilakukan oleh Google Indonesia, TNS, dan idEA soal perilaku pengguna e-commerce di Indonesia.
CEO Indosat Alexander Rusli, sebagai bagian dari grup Ooredoo, terkait survei ini menanggapi, “Ini merupakan waktu yang sangat menarik bagi Indonesia yang memasuki tahap kritis untuk evolusi digitalnya. Studi mendukung kepercayaan kami bahwa ICT telah memainkan peranan penting dalam membantu masyarakat muda negeri ini untuk merealisasikan potensi ekonominya secara penuh dan menyediakan wawasan yang berharga untuk mengidentifikasi peluang untuk membantu mereka.”
Tentu saja kita tidak bisa menafikkan fakta bahwa justru hambatan pemanfaatan Internet di Indonesia adalah ketersediaan layanan Internet yang berkualitas dan mencakup hingga pelosok-pelosok negeri. Hanya 62% responden yang menyatakan kualitas koneksi Internet melalui operator seluler dianggap baik. Khusus untuk yang tinggal di pelosok, 60% responden frustasi dengan cakupan sambungan Internet yang secara infrastruktur belum merata dan 82% tidak puas dengan kualitas kecepatannya yang dinilai masih lambat.
Studi yang dilakukan oleh Ooredoo bisa menjadi gambaran soal pandangan penerus bangsa tentang Internet. Meskipun memang banyak mengaku menggunakan smartphone untuk bermain, menggunakan media sosial, dan berbincang (dengan platform messaging), mereka menyadari potensi Internet dalam mendukung pengembangan dan aktualisasi diri. Masa depan Indonesia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan cakupan layanan Internet dan merupakan tugas kita semua, terutama pemerintah dan penyedia layanan Internet, untuk mendukungnya.