Tag Archives: layanan streaming

YouTube Music Bakal Hadirkan Fitur Background Playback untuk Pengguna Gratisan

Di antara sederet layanan streaming musik yang tersedia, YouTube Music mungkin adalah yang paling aneh. Aneh karena ketika pengguna keluar dari aplikasinya dan berpindah ke aplikasi lain, musiknya otomatis akan berhenti. Well, kecuali Anda berlangganan YouTube Premium atau YouTube Music Premium.

Sekadar mengingatkan, background playback memang merupakan salah satu fasilitas yang diunggulkan oleh kedua layanan subscription dari YouTube tersebut. Jadi kalau mau video atau audionya tetap berjalan selama membuka WhatsApp maupun aplikasi lainnya, kita wajib membayar biaya berlangganan terlebih dulu.

Namun tidak selamanya harus seperti itu. Mulai tanggal 3 November 2021, diawali dengan kawasan Kanada terlebih dulu, background playback bakal tersedia buat seluruh pengguna YouTube Music, termasuk yang merupakan para pengguna gratisan. Jadi walaupun tidak membayar, mereka tetap bisa mendengarkan koleksi konten di YouTube Music sembari membuka aplikasi lain, atau selagi layar ponselnya mati.

Kebijakan baru ini otomatis bakal membuat YouTube Music jadi lebih bisa bersaing dengan kompetitor-kompetitornya. Sebagai perbandingan, layanan yang menawarkan paket gratisan seperti Spotify, Deezer, Joox, maupun Resso sudah sejak lama menyediakan background playback kepada seluruh penggunanya tanpa terkecuali. Itulah kenapa saya tadi bilang YouTube Music aneh.

Kapan tepatnya pengguna YouTube Music di negara-negara selain Kanada bisa menikmati fitur background playback masih belum disebutkan. Namun seandainya nanti sudah ada, yang mungkin jadi pertanyaan adalah apakah kita masih perlu berlangganan YouTube Premium atau YouTube Music Premium.

Seperti biasa, jawabannya tergantung kebutuhan. Kalau Anda rutin mendengarkan konten podcast di YouTube, atau Anda suka menonton video selagi menyambi melakukan hal lain di smartphone, Anda tentu butuh berlangganan YouTube Premium. Pasalnya, fitur background playback buat pengguna gratisan tadi hanya berlaku untuk konten musik di YouTube Music saja.

Manfaat lain seperti pengalaman bebas iklan, offline download, maupun fungsi untuk berganti dari konten audio reguler ke video klip juga tetap hanya bisa dinikmati oleh para pelanggan berbayar saja. Singkat cerita, paket berlangganan YouTube masih punya daya tarik tersendiri terlepas dari kebijakan baru yang diterapkan tadi.

Sumber: Gizmodo dan Google. Gambar header: Alvaro Reyes via Unsplash.

Tahun Depan, Apple Bakal Luncurkan Aplikasi Apple Music Terpisah Khusus Genre Classical

Platform streaming macam Spotify dan Apple Music tidak kekurangan stok musik klasik (classical). Namun selama tiga tahun terakhir, para penggemar sejati genre tersebut punya opsi lain yang lebih menarik bernama Primephonic. Seperti Spotify dan Apple Music, Primephonic juga merupakan layanan berlangganan untuk streaming musik, hanya saja katalognya sepenuhnya berisi musik klasik.

Jumlah penikmat musik klasik di era streaming tidak banyak. Data yang dikumpulkan Statista menunjukkan bahwa tahun lalu, dari semua konten musik yang dikonsumsi via platform streaming di Amerika Serikat, cuma 0,8% yang genre-nya classical. Musik anak-anak bahkan lebih banyak didengar dengan 1,2%.

Namun ternyata hal itu tidak mencegah Apple menaruh perhatian ekstra pada genre classical. Mereka baru saja mengumumkan akuisisinya terhadap Primephonic. Agenda pertama yang bakal dilancarkan dalam waktu dekat adalah mengintegrasikan seluruh playlist Primephonic beserta konten audio eksklusifnya ke katalog Apple Music.

Tampilan antarmuka aplikasi Primephonic / Primephonic

Ke depannya, Apple juga berniat menghadirkan fitur-fitur terbaik yang Primephonic tawarkan selama ini, seperti misalnya fitur browse dan search berdasarkan komposer atau repertoar, serta informasi metadata yang merinci. Tahun depan, Apple bahkan sudah punya rencana untuk merilis aplikasi Apple Music terpisah khusus genre classical yang akan menghadirkan tampilan antarmuka khas Primephonic.

Berhubung sudah diakuisisi, Primephonic bakal menghentikan layanannya mulai 7 September 2021. Para pelanggannya bakal menerima refund, plus akses gratis ke Apple Music selama 6 bulan.

Dalam pesan perpisahan kepada para pelanggan yang dimuat di situsnya, tim Primephonic menjelaskan bahwa langkah ini mereka ambil demi menjangkau lebih banyak penikmat musik klasik, khususnya mereka yang juga banyak mendengarkan genregenre lain.

Kebetulan Apple Music juga punya satu kelebihan yang tak dimiliki Primephonic, yaitu teknologi spatial audio plus dukungan terhadap Dolby Atmos. Kalau mengacu pada cara kerja teknologi spatial audio, pengguna pada dasarnya bisa menikmati pengalaman mendengarkan musik klasik layaknya sedang menonton pertunjukan orkestra.

Sumber: Apple. Gambar header: Brett Jordan via Unsplash.

Disney+ Tembus 100 Juta Pelanggan

Disney+ terus menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Dalam pertemuan tahunan bersama para shareholder, CEO Walt Disney, Bob Chapek, mengungkapkan bahwa jumlah pelanggan layanan streaming video mereka itu sudah menembus angka 100 juta orang secara global.

Prestasi ini cukup membanggakan mengingat Disney+ baru beroperasi selama sekitar 16 bulan sejak diluncurkan pertama kali pada tanggal 12 November 2019. Sekarang, Disney+ sudah tersedia di 59 negara yang berbeda. Di Indonesia sendiri jumlah pelanggannya diperkirakan ada di kisaran 2,5 juta orang per Januari kemarin.

Angka 100 juta ini memang baru sekitar separuh dari total subscriber yang Netflix miliki. Namun Disney sendiri tidak menyangka pertumbuhannya bisa secepat ini. Prediksi awal yang Disney tetapkan adalah sekitar 60 sampai 90 juta pelanggan di tahun 2024, meski tentu saja prediksi tersebut dibuat sebelum pandemi COVID-19 melanda, yang ternyata membantu mendorong pertumbuhan jumlah pelanggannya (dan Netflix) secara signifikan.

Menurut Chapek, kesuksesan Disney+ ini menjadi motivasi bagi mereka untuk menyiapkan dana yang lebih besar lagi untuk pembuatan konten-konten orisinal. Targetnya adalah lebih dari 100 judul baru setiap tahunnya, dan ini mencakup beragam intellectual property (IP) dari Disney Animation, Disney Live Action, Marvel, Star Wars, dan National Geographic.

Disney+

Baru-baru ini, Disney+ baru saja menyiarkan episode terakhir dari serial populer WandaVision, dan mereka juga telah menjadwalkan tayangan-tayangan unggulan lain sampai di bulan Juli 2021. Yang paling dekat adalah serial berjudul The Falcon and the Winter Soldier (masih dari properti Marvel), yang dijadwalkan tayang mulai 19 Maret.

Yang mungkin masih memicu perdebatan adalah terkait pemasukan. Pada bulan Desember kemarin, Disney melaporkan bahwa sekitar 30 persen dari total pelanggan Disney+ merupakan pelanggan Disney+ Hotstar, termasuk kita semua yang ada di Indonesia. Seperti yang kita tahu, tarif berlangganan Disney+ Hotstar jauh lebih murah daripada tarif Disney+ di beberapa negara.

Itu berarti ada selisih yang cukup besar antara pemasukan yang didapat dari satu orang pelanggan Disney+ Hotstar di Indonesia (Rp39.000 per bulan atau Rp199.000 per tahun) dengan yang didapat dari satu orang pelanggan Disney+ di Amerika Serikat ($6,99 per bulan atau $69,99 per tahun). Netflix di sisi lain juga menerapkan tarif yang berbeda di tiap negara, tapi selisihnya tidak sampai sejauh itu.

Sumber: The Verge. Gambar header: Depositphotos.com.

Disney+ Kuasai Pasar Layanan Streaming Video di Indonesia

Dibandingkan seabrek layanan streaming video yang tersedia di Indonesia, Disney+ boleh dibilang adalah yang paling muda usianya. Di pasar global, layanan tersebut memang sudah tersedia sejak November 2019, akan tetapi ia baru masuk ke Indonesia secara resmi setahun setelahnya, tepatnya pada tanggal 5 September 2020.

Datang terlambat rupanya tidak mencegah Disney+ mendulang popularitas di tengah sengitnya persaingan layanan streaming video di tanah air. Berdasarkan data yang dihimpun oleh JustWatch mengenai market share layanan streaming video di Indonesia, Disney+ rupanya berhasil merebut peringkat pertama dengan pangsa pasar sebesar 22% di kuartal ke-4 tahun 2020 kemarin.

Disney+ market share in Indonesia

Persis di belakangnya, ada Netflix dengan pangsa pasar sebesar 21%. Melengkapi peringkat lima besar adalah iflix (11%), Viu (9%), dan Vidio (9%). Amazon Prime Video duduk di peringkat ke-6 dengan pangsa pasar sebesar 8%, diikuti oleh CatchPlay dengan 5%, dan menyisakan 15% untuk layanan-layanan lainnya.

Proporsinya memang tidak berbanding lurus dengan laporan jumlah pelanggan versi Media Partners Asia (MPA) yang dipublikasikan pada pertengahan Januari lalu. Di situ disebutkan bahwa Disney+ punya sekitar 2,5 juta pelanggan di Indonesia, disusul oleh Viu dengan 1,5 juta, Vidio dengan 1,1 juta, dan Netflix dengan 850 ribu pelanggan. Kendati demikian, kedua studi sama-sama menempatkan Disney+ sebagai penguasa pasar streaming video di tanah air.

Data dari JustWatch juga menunjukkan bahwa kehadiran Disney+ berdampak langsung pada penurunan pangsa pasar layanan lainnya. Yang paling drastis adalah iflix, yang mengalami penurunan hingga sebesar 25%. 2020 kemarin memang terbukti bukan tahun yang baik bagi iflix.

Disney+ market share in Indonesia

Kalau ditanya apa rahasia Disney+, jawabannya bisa beberapa. Yang pertama dan paling utama tentu saja adalah tarif berlangganannya yang begitu bersahabat: Rp39.000 per bulan, atau Rp199.000 per tahun. Bandingkan dengan Netflix, yang tarif termurahnya dipatok Rp54.000, dan itu pun khusus untuk konsumsi di smartphone saja. Disney+ juga menawarkan metode pembayaran yang sangat bervariasi, tidak melulu via kartu kredit saja.

Dari segi konten, katalog Disney+ mungkin bisa dibilang belum begitu besar, tapi setidaknya mereka berusaha keras menyediakan koleksi konten yang sesuai dengan selera lokal. Bahkan film-film populer pun juga banyak yang bisa ditonton dengan dialog dalam bahasa Indonesia, termasuk IP orisinal macam The Mandalorian atau WandaVision. Namanya Disney, sudah pasti juga ada banyak konten yang dikhususkan untuk anak-anak.

Gambar header: Depositphotos.com.

Jumlah Pelanggan Disney+ Tembus 73,7 Juta dalam Setahun Pertama

Seperti yang kita tahu, pandemi memukul hampir seluruh industri terkecuali industri streaming. Semakin banyak orang yang berdiam diri di rumah merupakan kabar gembira bagi Netflix dan penyedia layanan streaming lainnya, termasuk halnya Disney.

Langkah berani mereka meluncurkan layanan streaming filmnya sendiri (Disney+) tepat satu tahun yang lalu (12 November 2019) rupanya tidak sia-sia. Per 3 Oktober kemarin, Disney+ tercatat memiliki jumlah pelanggan sebanyak 73,7 juta orang. Memang kecil jika dibandingkan Netflix yang mempunyai lebih dari 195 juta pelanggan, tapi tetap impresif kalau melihat umur Disney+ yang baru satu tahun.

Pertumbuhannya pun juga sangat pesat kalau dibandingkan dengan layanan streaming lain yang juga diluncurkan di tahun 2019 macam Apple TV+ atau HBO Max. Pada kenyataannya, pencapaian Disney+ ini bisa dibilang berhasil melampaui prediksi mereka sendiri. Awalnya, Disney menargetkan bahwa Disney+ bakal menggaet antara 60 sampai 90 juta pelanggan dalam lima tahun pertamanya.

Kalau belum setahun saja sudah 73,7 juta, saya kira tahun depan pun Disney+ sudah bisa memenuhi target tersebut. Dari 73,7 juta pelanggan Disney+ tersebut, sekitar 19 juta sendiri datang dari India dan Indonesia. Seperti yang kita tahu, Disney+ resmi meluncur di Indonesia pada bulan September lalu dengan branding Disney+ Hotstar. Pelanggan-pelanggan baru Disney+ Hotstar ini adalah kontributor terbesar terhadap pertumbuhan Disney+ pada pada kuartal terakhir.

Katalog dan tarif kompetitif jadi daya tarik

Disney+ Hotstar

Seperti halnya Netflix, daya tarik Disney+ juga berasal dari koleksi konten orisinalnya. Yang paling populer tentu saja adalah The Mandalorian, terutama di kalangan penggemar franchise Star Wars. Selain Star Wars, pastinya Disney+ juga memikat bagi para penggemar film dan serial besutan Marvel Studios.

Lalu buat para penggemar The Simpsons, Disney+ juga punya lengkap dari season 1 sampai season 32 yang sedang berjalan saat ini. Bukan hanya konten luar, konten lokal juga cukup berlimpah di Disney+, bahkan beberapa film lama Warkop DKI pun juga tersedia sekaligus dapat ditonton dalam resolusi HD. Tentu saja berhubung ini properti Disney, koleksi kartun Mickey Mouse dan kawan-kawannya pun juga lengkap.

Selain itu, tarif berlangganan yang sangat-sangat kompetitif menurut saya juga menjadi resep keberhasilan utama Disney+, setidaknya di Indonesia. Layanan ini mematok biaya berlangganan Rp39.000 per bulan, atau Rp199.000 per tahun, sangat terjangkau jika dibandingkan dengan tarif yang dipatok Netflix.

Satu kekurangannya sejauh ini kalau buat saya adalah terkait dukungan aplikasi. Aplikasi Disney+ Hotstar memang sudah tersedia di Android, iOS, Android TV dan Apple TV, tapi belum untuk platform seperti Samsung Tizen atau LG webOS, sehingga sejumlah pelanggan masih harus mengandalkan metode mirroring dari smartphone ke TV. Namun semestinya problem ini dapat diatasi seiring berjalannya waktu.

Sumber: CNET. Gambar header: Mika Baumeister via Unsplash.

Gandeng HBO GO, Mola TV Tawarkan Layanan Hiburan Keluarga yang Lengkap Sekaligus Terjangkau

Indonesia tidak kekurangan platform streaming video lokal. Namun yang mungkin cukup dikenal, terutama di kalangan gibol alias gila bola, adalah Mola TV. Meski umurnya masih tergolong muda, reputasi Mola TV sudah cukup dikenal semenjak menjadi broadcaster resmi Liga Premier Inggris.

Mendapat tempat di hati para peminat sepak bola rupanya belum cukup buat Mola TV. Baru-baru ini, mereka mengumumkan bahwa mereka telah bekerja sama dengan HBO GO, mengintegrasikan layanan streaming kenamaan tersebut ke layanan Mola TV sendiri.

Akses lengkap ke HBO GO ini bisa didapat dengan berlangganan paket Premium Entertainment Mola TV, dan tarifnya ternyata cukup bersahabat: Rp65.000 per bulan, atau Rp500.000 per tahun. Bandingkan dengan tarif HBO GO sendiri yang dipatok Rp60.000 per bulan. Selisih lima ribu rupiah, tapi pelanggan mendapat akses ke semua program Mola TV + HBO GO.

Program-program yang dimaksud mencakup Mola Movies, Mola Living, Mola Kids, Mola Sports, dan HBO GO itu sendiri (akan tersedia di mobile mulai 5 Oktober). Jadi dengan berlangganan satu paket saja, semua anggota keluarga bisa terpuaskan semuanya; ayah ibu bisa menikmati tayangan-tayangan eksklusif macam “Grisse” maupun “Raised by Wolves”, sedangkan anak-anak bisa menyaksikan konten populer macam “Ben 10” atau “We Bare Bears”.

Tentu saja ini belum termasuk ratusan jam program mendidik yang terdapat dalam Mola Kids maupun Mola Living. Untuk kategori olahraga, selain siaran Liga Premier, Mola TV belum lama ini juga telah mengantongi hak siar resmi atas WWE.

“Semua tayangan lengkap ini bisa dinikmati hanya dengan membayar 65 ribu rupiah untuk berlangganan bulanan atau 500 ribu rupiah per tahun. Bisa dipastikan harga ini menjadi harga layanan hiburan kompilasi di rumah terbaik dan paling terjangkau yang pernah ada di Indonesia. Seluruh anggota keluarga dari ayah, ibu dan anak masing-masing dapat menikmati tayangan khusus bagi seluruh keluarga,” ungkap Mirwan Suwarso selaku perwakilan Mola TV dalam siaran persnya.

Bagi yang tertarik, silakan langsung kunjungi situs Mola TV untuk mengetahuinya lebih lanjut.

Netflix Gratiskan 10 Film, Bisa Ditonton Langsung Tanpa Mendaftar Dulu

Free trial untuk sebuah layanan berlangganan hampir selalu menjadi penawaran yang menggiurkan bagi para konsumen. Daripada sekadar meninjau fasilitas yang diberikan suatu langganan, konsumen bisa langsung mencobanya tanpa perlu membayar terlebih dulu berkat program free trial.

Yang terkadang membuat malas adalah, sebelum bisa menikmati free trial, kita harus mendaftarkan akun terlebih dulu. Ibaratnya kalau lagi jalan-jalan di mall, lalu ada pegawai sebuah restoran yang menawarkan sampel menu makanannya, kita wajib mengisi buku biodata pembeli terlebih dulu sebelum melahapnya. Pasti jadi malas, bukan?

Itulah mengapa penawaran terbaru Netflix berikut terkesan jauh lebih menarik ketimbang free trial. Mereka baru saja merilis 10 film untuk ditonton secara cuma-cuma di semua negara tempat Netflix tersedia. Tidak ada akun yang perlu didaftarkan terlebih dulu. Cukup buka netflix.com/watch-free di browser komputer/laptop/perangkat Android, maka 10 filmnya bisa langsung ditonton sampai habis.

Netflix free movies and shows

Selain film-film tenar seperti “Birdbox” dan “The Two Popes”, juga ada episode pertama dari serial-serial populer macam “Stranger Things”, “When They See Us”, maupun “The Boss Baby: Back in Business”. Saya sudah mencobanya sendiri; di awal ada iklan singkat yang bisa di-skip, dan di akhir kita akan diarahkan untuk mendaftar sebagai pelanggan.

Kalau boleh jujur, ini merupakan pertama kalinya saya menonton Stranger Things mengingat layanan internet yang saya gunakan memang baru bisa mengakses Netflix belum lama ini (tanpa perlu sebut merek saya yakin Anda sudah tahu namanya). Sesuai dugaan, tema sci-fi dan setting tahun 80-an langsung membuat saya kecantol, dan Netflix pun sukses menggaet pelanggan baru meski jumlahnya memang sudah naik drastis dalam beberapa bulan terakhir.

Ini memang bukan pertama kalinya Netflix menggratiskan sejumlah kontennya, tapi ini pertama kali jumlahnya sampai sebanyak ini, dan dalam skala global. Sebelumnya, Netflix juga sempat merilis serial dokumenter “Our Planet” secara cuma-cuma di YouTube demi membantu memudahkan pembelajaran selama pandemi.

Sumber: TechCrunch. Gambar header: Samet Özer via Unsplash.

TikTok Jalin Kerja Sama dengan Distributor Musik Indie UnitedMasters

Di tengah konflik antara pemerintahan Amerika Serikat dan ByteDance yang tak kunjung selesai, TikTok malah mengumumkan bahwa mereka telah meneken kontrak kerja sama dengan UnitedMasters, distributor musik indie yang bermarkas di kota New York.

Kemitraan ini unik karena kita harus ingat bahwa TikTok bukanlah platform streaming musik maupun platform untuk menonton video musik resmi macam YouTube. Kendati demikian, keterlibatan UnitedMasters berarti para kreator TikTok dapat langsung mendistribusikan lagu-lagu kreasinya ke layanan streaming seperti Spotify, Apple Music, SoundCloud atau YouTube.

Jadi ketimbang harus menumpang suatu label rekaman tradisional, musisi bisa memanfaatkan TikTok untuk menyebarluaskan karyanya di ranah digital. Dalam siaran persnya, TikTok mencontohkan sejumlah musisi seperti Curtis Roach, Curtis Waters, Breland, Tai Verdes, dan BMW Kenny sebagai yang berhasil menjadi cukup populer lewat TikTok.

“Apabila Anda merupakan seorang musisi, TikTok adalah tempat terbaik supaya musik Anda bisa viral, dan UnitedMasters adalah tempat terbaik untuk mempertahankannya selagi masih memegang hak kepemilikan penuh atas karya Anda,” terang Steve Stoute selaku pendiri sekaligus CEO UnitedMasters.

Sistem royalti yang UnitedMasters terapkan memang berbeda dari yang umum kita dapati di industri musik. Musisi benar-benar diserahi hak penuh atas rekaman aslinya, dan UnitedMasters cuma mengambil 10% dari total pemasukan. Alternatifnya, musisi malah bisa bergabung dalam program bernama Select, yang memungkinkan mereka untuk membayar tarif bulanan sebesar $5 ketimbang harus berbagi hasil dengan UnitedMasters.

Selain menawarkan mekanisme bagi hasil yang menarik, UnitedMasters juga siap memfasilitasi kerja sama antara musisi dengan brand. Sejauh ini, portofolio kerja sama UnitedMasters sudah mencakup nama-nama besar seperti NBA, NFL, ESPN, maupun Bose. Deal dengan TikTok ini berarti mereka bakal punya akses ke sederet talent baru untuk dikoneksikan dengan brandbrand tersebut.

Buat TikTok sendiri, kemitraan ini juga berarti mereka bakal memiliki akses ke Commercial Music Library milik UnitedMasters. Ini artinya para pelaku bisnis yang sudah terverifikasi di TikTok boleh memakai deretan musik yang tersedia untuk dipakai berpromosi tanpa harus membayar biaya royalti.

Sumber: TechCrunch dan New York Times. Gambar header: Kon Karampelas via Unsplash.

Tiga Bulan Pasca Peluncuran Quibi, Jumlah Konsumen yang Lanjut Berlangganan Sangat Sedikit

Diluncurkan di Amerika Serikat pada bulan April lalu, Quibi merupakan layanan streaming baru besutan eks bos Disney sekaligus pendiri DreamWorks, Jeffrey Katzenberg. Namun latar belakang pendirinya bukan satu-satunya alasan di balik hype-nya yang cukup besar. Quibi juga menawarkan premis yang unik: semua kontennya orisinal, berdurasi singkat, dan eksklusif untuk platform mobile.

Aspek eksklusivitas ini sempat memicu kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Quibi tidak mampu menggaet banyak konsumen. Kehadiran suatu layanan di banyak platform otomatis membuka peluang untuk menjangkau lebih banyak konsumen. Kalau hanya tersedia di mobile, Quibi tentu bakal kesulitan memikat perhatian konsumen yang lebih suka menonton di TV.

Kekhawatiran tersebut nampaknya cukup akurat. Berdasarkan laporan dari Sensor Tower, Quibi hanya mampu meyakinkan sekitar 8% dari total konsumennya untuk lanjut berlangganan setelah masa free trial tiga bulannya usai. Jadi dari sekitar 910.000 konsumen yang mendaftarkan akun Quibi selama beberapa hari pasca peluncurannya, cuma sekitar 72.000 yang sekarang lanjut menjadi pelanggan dengan membayar biaya bulanan.

Kalau cuma dilihat persentasenya saja, 8% sebenarnya cukup lumayan. Sebagai perbandingan, Sensor Tower mencatat tingkat konversi Disney+ sebesar 11%. 11 persen dari berapa, itu yang juga harus kita perhatikan, sebab dalam tiga hari pertama peluncurannya di Amerika Serikat dan Kanada, Disney+ berhasil menggaet sebanyak 9,5 juta konsumen. 11 persennya saja sudah mengalahkan jumlah keseluruhan konsumen yang mendaftar di Quibi.

Quibi sejauh ini belum pernah mengumumkan jumlah pelanggan berbayarnya seberapa banyak, namun mereka sempat bilang aplikasinya sudah diunduh lebih dari 5,6 juta kali sejak bulan April. Tentu saja angka ini tidak bisa dijadikan patokan, mengingat kita tidak tahu berapa banyak dari mereka yang sempat mengunduh Quibi yang masih terus menggunakannya sampai sekarang.

Dalam wawancaranya bersama New York Times Mei lalu, Jeffrey Katzenberg sempat berdalih bahwa pandemi COVID-19 merupakan alasan utama mengapa pencapaian awal Quibi tidak sesuai dengan ekspektasinya. Andai Quibi meluncur dengan aplikasi untuk smart TV maupun web player sekaligus (seperti yang sudah menjadi standar buat layanan streaming saat ini), saya kira bosnya tidak akan sekecewa itu.

TikTok saja dengan jutaan konten user-generated-nya bisa diakses lewat browser laptop, masa Quibi tidak? Memang benar format video pendek lebih cocok dikonsumsi lewat smartphone, tapi tentu ada kalanya juga pelanggan ingin menontonnya di laptop atau TV sambil bersantai, apalagi di saat semua orang lebih banyak berdiam di rumah seperti sekarang.

Sumber: The Verge.

Jumlah Pelanggan Netflix Naik Drastis Selama Pandemi

Netflix adalah satu dari segelintir perusahaan yang justru diuntungkan oleh pandemi COVID-19. Himbauan untuk tidak keluar rumah maupun kebijakan lockdown berujung pada meningkatnya aktivitas streaming secara drastis.

Pada kenyataannya, Netflix berhasil menggaet 15,77 juta pelanggan berbayar baru selama kuartal pertama tahun 2020, lebih dari dua kali lipat angka yang mereka prediksi sebelum pandemi. Kenaikannya sekitar 22,8% dibanding tahun lalu, dan di akhir kuartal pertama, jumlah pelanggan berbayar Netflix tercatat sebanyak 182,9 juta.

Meski begitu, Netflix paham betul bahwa tren ini hanya sementara. Mereka memprediksi pertumbuhannya bakal melambat dalam beberapa bulan ke depan, seiring negara-negara mulai menyudahi kebijakan lockdown-nya, dan orang-orang mulai kembali beraktivitas di luar rumah.

Netflix juga bukan satu-satunya layanan streaming film yang kebanjiran pelanggan baru selama pandemi. Belum lama ini, Disney+ mengumumkan bahwa jumlah pelanggannya telah menembus angka 50 juta, naik dari 28,6 juta di awal bulan Februari.

Itu berarti Disney+ berhasil meminang lebih dari 21 juta pelanggan baru hanya dalam waktu sekitar dua bulan. Lebih mengesankan lagi, Disney+ belum tersedia secara global seperti Netflix. Cakupan negaranya lebih sedikit mengingat layanan ini baru berusia sekitar lima bulan.

27 Mei nanti, Netflix juga bakal kedatangan rival berat baru, yakni HBO Max. Layanan milik WarnerMedia itu turut menjanjikan konten orisinal yang melimpah. Di samping itu, HBO Max semestinya juga bakal dilirik oleh para pencinta anime, sebab katalog mereka akan mencakup konten dari Crunchyroll, layanan streaming anime yang juga berada di bawah naungan WarnerMedia.

Sumber: Variety. Gambar header: Thibault Penin via Unsplash.