Tag Archives: League of Legends Championship Series

Pokimane Sempat Ingin Pensiun, PUBG Mobile Jadi Sponsor Tim Cricket di Pakistan

Ada beberapa berita menarik di dunia esports pada minggu lalu. Salah satunya, Pokimane mengaku, dia sempat mempertimbangkan untuk pensiun sebagai streamer pada 2022. Selain itu, PUBG Mobile memutuskan untuk menjadi sponsor dari tim cricket di Pakistan. Sementara itu, Liga League of Legends di Eropa memperpanjang kontrak kerja sama dengan Secretlab, Red Bull, dan Warner Music. Dan tim League of Legends FlyQuest baru saja menandatangani kontrak dengan Mastercard.

Pokimane Sempat Pertimbangkan untuk Pensiun di 2022

Streamer perempuan terpopuler di Twitch, Imane “Pokimane” Anys mengungkap bahwa dia sempat berencana untuk pensiun di tahun ini. Dia menceritakan hal itu tak lama setelah dia diblokir oleh Twitch karena menampilkan Avatar: The Last Airbender saat dia sedang siaran. Dalam sebuah video, Pokimane mengatakan, satu-satunya alasan dia tetap melanjutkan karirnya sebagai streamer adalah karena perubahan yang terjadi di Twitch.

“Saya sempat mempertimbangkan untuk berhenti menjadi streamer pada tahun ini. Saya mengurungkan niat saya karena jumlah penonton dan streamer perempuan di Twitch terus bertambah, dan komunitas Twitch menjadi semakin beragam, dengan semakin banyak munculnya streamer dari ras kulit warna maupun grup minoritas lainnya,” kata Pokimane, seperti dikutip dari USA Today. Dia mengaku, dia mempertimbangkan untuk mundur karena dia lelah dianggap sebagai “gangguan” di industri.

Mastercard Jadi Rekan Finansial dari FlyQuest

Organisasi esports asal Amerika Utara, FlyQuest, mengumumkan kerja sama mereka dengan Mastercard. Dengan begitu, Mastercard resmi menjadi rekan finansial dari tim League of Legends FlyQuest. Bersamaan dengan pengumuman tersebut, FlyQuest memamerkan seragam baru mereka, yang kini dilengkapi dengan logo Mastercard. Seragam itu akan digunakan oleh tim FlyQuest sepanjang musim League of Legends Championship Series (LCS) 2022.

Seragam baru dari FlyQuest. | Sumber: Esports Insider

“Kami selalu berkomitmen untuk memastikan bahwa semua entitas yang menjadi rekan kami memiliki nilai yang sama dengan kami. Karena itu, kami sangat senang dengan keputusan Mastercard untuk menjadi rekan dari FlyQuest,” kata CEO FlyQuest, Tricia Sugita, seperti dikutip dari Esports Insider. “Bersama, FlyQuest dan Mastercard akan membuat kolaborasi yang fokus untuk menunjukkan prinsip dari kami berdua.”

LEC Perbarui Kerja Sama dengan Secretlab, Red Bull, dan Warner Music

League of Legends European Championship (LEC) baru saja memperbarui kerja sama dengan tiga brands penting, yaitu manufaktur gaming chair, Secretlab, label rekaman, Warner Music, dan perusahaan energy drink, Red Bull. Dengan ini, Secretlab resmi menjadi rekan gaming chair dari LEC dan EU Masters. Jadi, kursi TITAN Evo 2022 buatan Secretlab akan digunakan dalam kedua kompetisi itu, menurut laporan dari Esports Insider.

Sementara itu, Warner Music terus menjadi rekan musik dari LEC. Riot Games mengungkap, label rekaman itu punya peran penting dalam pembuatan video promosi dari 2022 LEC, yang menampilkan penyanyi Chrissy Constanza. Ke depan, Warner Music akan terus membantu LEC dalam segala sesuatu terkait musik. Terakhir, Red Bull akan membuat program content activations yang akan ditampilkan di LEC. Selain itu, mereka juga akan mempromosikan skena esports League of Legends di level grassroots selama 12 bulan.

PUBG Mobile Sponsori Tim Cricket di Pakistan

PUBG Mobile menjadi sponsor dari Lahore Qalandars, tim cricket yang berlaga di Pakistan Super League (PSL). Hal ini diungkap melalui akun Twitter resmi dari Lahore Qalandars. Sebagai bagian dari kontrak sponsorship ini, fans dari Lahore Qalandars akan bisa mendapatkan kesempatan untuk menerima item “eksklusif” di PUBG Mobile. Sayangnya, belum diketahui apa item tersebut.

Juru bicara Lahore Qalandars mengatakan, kerja sama mereka dengan PUBG Mobile merupakan kolaborasi jangka panjang. Dia menambahkan, mereka akan mempromosikan PUBG Mobile di Pakistan. Harapannya, jumlah pemain PUBG Mobile di negara itu — yang kini mencapai 15 juta orang — akan bertambah. Selain itu, tim cricket tersebut juga akan fokus untuk mempromosikan kompetisi yang sehat di skena esports, lapor Dot Esports.

Blizzard Ungkap Rencana Esports untuk World of Warcraft di 2022

Blizzard Entertainment baru saja mengumumkan rencana mereka untuk merayakan ulang tahun ke-15 dari World of Warcraft Esports. Untuk itu, pada 2022, mereka akan menggelar tiga kompetisi. Secara total, hadiah yang ditawarkan dalam tiga events tersebut mencapai US$1,8 juta. Acara pertama akan dimulai pada Februari 2022. Salah satu acara yang akan diadakan oleh Blizzard adalah Arena World Championship. Turnamen yang telah berlangsung selama 15 tahun itu akan dimulai pada 18 Maret 2022.

Selain itu, Blizzard juga berencana untuk mengadakan Mythic Dungeon International. Sama seperti musim sebelumnya, MDI Season 3 ini juga akan menggunakan format grup. Pendaftaran untuk Time Trials, yang akan dimulai pada 30 Maret 2022, telah dibuka saat ini. Dari sana, 24 tim terbaik akan maju ke season groups. Di sini, mereka akan bertanding dengan satu sama lain untuk mendapatkan tiket ke Global Finals dan hadiah uang sebesar US$30 ribu setiap minggu. Kompetisi terakhir yang diadakan untuk World of Warcraft adalah Classic Arena Tournament. Di kompetisi itu, para pemain dari Eropa dan Amerika Utara bisa membentuk tim beranggotakan tiga orang untuk bertarung dengan satu sama lain.

Sumber header: Talk Esport

Honda Kibarkan Benderanya di Summoner’s Rift League of Legends Championship Series

Kerja sama di antara brand dengan organisasi esports atau bahkan studio game dapat dimanifestasikan dengan berbagai cara. Selain logo placement pada jersey yang sudah begitu familiar, esports memberikan ruang lebih bagi brand untuk bisa membangun awareness akan produk mereka.

In game banner dan broadcast segment menjadi beberapa contoh dari ruang yang bisa diisi oleh brand dalam menjalin kerja sama di ranah esports. Sekalipun baru dalam waktu yang cukup singkat diperkenalkan, Riot Games bisa memberikan daya tarik dan menjadikan kerja sama di ranah esports bagi brand non endemik terlihat kian menjanjikan. In game banner yang diluncurkan oleh Riot Games beberapa waktu lalu kini menarik brand Honda untuk mengikat kerja sama dengan League of Legends Championship Series.

via: Riot Games
via: Riot Games

Kurang lebih 3 bulan yang lalu Riot Games mengumumkan peluncuran fitur in game banner. Aplikasinya hampir mirip dengan opsi meletakkan logo pada sisi-sisi gelanggang olahraga hanya saja berada di dalam ruang digital. Mastercard dan Alienware tercatat sebagai brand pertama yang mengisi ruang itu secara global. Saat ini liga profesional League of Legends tercatat sudah beroperasi di 12 region dan mempunyai otonomi masing-masing untuk bekerja sama dengan sponsor maupun brand manapun.

Seperti yang dilansir dalam rilis resmi Leaegue of Legends, perusahaan manufaktur mobil asal Jepang, Honda, dinyatakan menjadi brand pertama yang mengisi in game banner bagi League of Legends Championship Series yang secara khusus beroperasi di region Amerika Utara. Di waktu bersamaan Honda juga akan memiliki segmen tersendiri bertajuk Honda Performance Play selama tayangan LCS untuk membahas top plays yang terjadi sepanjang pertandingan.

Sebagai catatan tambahan Honda kian yakin memperkuat brandingnya di ranah esports League of Legends setelah menjadi sponsor utama bagi ajang pencarian talenta baru esports LoL melalui program LCS Honda Scouting Ground.

via: Riot Games
via: Riot Games

Jika ditilik dari segi bisnis, in game banner adalah pilihan yang sangat tepat untuk menjadi media promosi bagi brand saat ini. Mengingat situasi pandemi yang masih terus berlangsung, hampir tidak mungkin menjalankan pertandingan secara offline. Malahan siaran pertandingan esports kini bisa diakses oleh khalayak yang lebih luas daripada gelaran pertandingan offline terlepas dari region dan perbedaan waktu, selama terhubung dengan internet.

Liga League of Legends di Eropa dan Amerika Utara Kembali Digelar

Pada pekan lalu, Riot Games sempat menangguhkan League of Legends European Championship (LEC) dan League of Legends Championship Series (LCS) karena virus Corona. Kemarin, mereka baru saja mengumumkan bahwa kedua turnamen tersebut akan kembali diadakan pada akhir minggu ini. Kedua turnamen itu akan diadakan secara online. Keputusan ini sama seperti yang diambil oleh tim League of Legends Pro League (LPL) untuk kembali menyelenggarakan pertandingan secara online karena mewabahnya virus Corona di Tiongkok.

Semua tim yang berlaga di LEC, kecuali Origen, akan bertanding dari markas mereka sendiri di Berlin, Jerman. Sementara Origen, tim League of Legends Astralis Group, akan bertanding dari markas mereka di Copenhagen, Denmark. Memang, Origen sudah dijadwalkan untuk bertanding secara online sejak pemerintah Denmark memutuskan untuk melakukan shutdown dalam rangka meminimalisir penyebaran virus Corona.

Pihak manajemen LEC percaya, kualitas jaringan internet akan cukup memadai untuk memastikan pertandingan berjalan lancar. Namun, jika muncul masalah dengan jaringan atau muncul masalah tak terduga lainnya, mereka mempertimbangkan untuk menghentikan pertandingan sementara dan melanjutkannya kemudian. Mengingat virus Corona masih mewabah di Eropa, LEC tidak akan mengirimkan pengawas ke markas tim yang bertanding. Sebagai gantinya, mereka akan melakukan pengawasan dengan teknologi untuk memastikan bahwa tidak ada tim yang bermain curang.

“Sesuai dengan himbauan pemerintah, dan untuk meminimalisir risiko kesehatan, kami telah memutuskan untuk tidak mengirimkan wasit ke markas dari masing-masing tim,” kata pihak manajemen LEC, seperti dikutip dari VPEsports. “Sebagai gantinya, kami akan mengimplementasikan sejumlah cara untuk menjamin integritas pertandingan. Beberapa metode yang kami implementasikan antara lain memasang kamera ekstra untuk memonitor ruangan tempat para pemain bertanding, memonitor komunikasi suara, dan merekam apa yang terjadi di layar pemain.”

Sementara itu, LCS juga akan kembali diselenggarakan. Sama seperti LEC, pertandingan LCS juga akan diadakan secara online. Karena sempat ditunda, ada perubahan pada jadwal turnamen. Babak akhir dari LCS akan dilangsungkan pada 18-19 April 2020. Selain itu, tempat babak final diadakan juga diganti, dari Frisco, Texas ke Los Angeles.

“Integritas pertandingan adalah prioritas pertama LCS,” kata LCS Commissioner, Chris Greeley, menurut laporan ESPN. “Kami akan mengimplementasikan beberapa metode yang juga ditetapkan oleh LEC untuk menjamin bahwa tidak ada kecurangan ketika pertandingan diadakan secara online.”

Sumber header: Dot Esports

Tim League of Legends Ini Punya Program Hijaukan Bumi

Pada Januari 2020, Tricia “megumixbear” Sugita ditunjuk sebagai CEO FlyQuest, menggantikan Ryan Edens yang menjadi President. Salah satu tugas pertama Sugita sebagai CEO adalah membuka markas FlyQuest, yang dinamai Greenhouse. Sugita telah memiliki banyak pengalaman di industri esports. Dia pernah menjadi pemain profesional StarCraft II sebelum menjadi caster, streamer, dan interviewer. Sebelum ditunjuk sebagai COO FlyQuest pada 2018, Sugita juga pernah menjadi Head of Partnership dari Immortals. Setelah membuka markas baru FlyQuest, Sugita mengumumkan program baru mereka untuk menghijaukan Bumi dengan nama Go Green.

“Untuk memulai 2020, kami meluncurkan program pertama kami — Go Green,” kata Sugita, dikutip dari The Esports Observer. “Kami percaya, semua orang bisa membuat perubahan nyata pada Bumi kita dan dengan ini, kami juga ingin membuka diskusi tentang masalah lingkungan. Warna hijau merupakan simbol dari kehidupan, alam, pertumbuhan, harmoni, dan lingkungan. Semua itu penting bagi kami.”

Jersey dari FlyQuest. | Sumber: Colin Young-Wolff / Riot Games via The Verge
Jersey dari FlyQuest. | Sumber: Colin Young-Wolff / Riot Games via The Verge

Filosofi Go Green dari FlyQuest tidak hanya terlihat pada markas mereka — yang memang dicat berwarna hijau — tapi juga pada desain jersey dan kegiatan mereka. Misalnya, ketika FlyQuest membuka booth di studio Riot Games di Los Angeles bersama dengan tim-tim lain yang berlaga di League of Legends Championship Series, booth FlyQuest terlihat unik. Di sini, Sugita dan para pemain FlyQuest berlatih ikebana, yaitu seni menata bunga Jepang. Sugita mengaku, dia telah berlatih ikebana selama kurang lebih 30 tahun dan  ini memengaruhi pola pikirnya.

Tak berhenti sampai di situ, pada akhir Januari 2020, FlyQuest juga mengumumkan program untuk menanam pohon berdasarkan performa tim. Jadi, untuk setiap kill yang didapatkan oleh pemain FlyQuest, mereka akan menanam satu pohon. Sementara setiap kemenangan yang  mereka dapatkan, mereka akan menanam 100 pohon. Inisiatif ini disambut dengan baik oleh fans dan tim-tim LCS lain. Ketika bertanding melawan Cloud9 dan Dignitas, keduanya memutuskan untuk ikut menanam pohon. Sementara Evil Geniuses memilih untuk menyumbangkan buku berdasarkan performa pemain.

Sumber: Twitter
Sumber: Twitter

“Kami bangga karena rekan kami di LCS ingin melakukan sesuatu yang sangat penting bagi FlyQuest,” kata Sugita pada The Verge. Sugita mengaku, pada awalnya, tidak semua orang setuju degan program yang dia buat, seperti soal desain jersey tim yang menampilkan bunga. Sebagian orang khawatir bahwa desain jersey ini membuat para pemain FlyQuest tidak terlihat seperti tim esports atau membuat para pemain merasa tidak nyaman. Namun, sekarang, semua pemain dan pelatih sudah setuju dan justru mendukung program Sugita. Dia merasa, inisiatif ini justru mendekatkan anggota tim dan staf dengan satu sama lain.

Tentu saja, FlyQuest juga memiliki keinginan untuk menang. Saat ini, mereka duduk di tengah klasemen LCS dengan tiga kemenangan dan tiga kekalahan. Tujuan mereka tahun ini adalah untuk bisa lolos kualifikasi dan bertanding di League of Legends World Championship. Sugita percaya, inisiatifnya terkait penghijauan tidak akan mengganggu performa para pemain, tapi justru membuat mereka merasa bahwa proses untuk mencapai sebuah tujuan sama pentingnya dengan pencapaian tujuan itu sendiri.

Sumber header: Twitter

Dampak Ekonomi League of Legends Championship Series Capai Rp76 Miliar

Jumlah merek non-endemik yang bekerja sama dengan organisasi atau liga esports kini terus bertambah. Sayangnya, umur industri esports yang masih sangat pendek berarti tidak ada rekam jejak yang bisa digunakan oleh perusahaan sebagai tolok ukur. Riot Games, pemilik properti intelektual League of Legends, lalu bekerja sama dengan Nielsen dengan tujuan untuk mengukur nilai kerja sama mereka dengan liga League of Legends.

Salah satu data yang didapatkan oleh Riot terkait League of Legends Championship Series, liga untuk kawasan Amerika Utara, adalah dampak ekonomi dari turnamen ini. Babak final dari LCS Summer Split diadakan di Detroit, Michigan. Riot mengatakan, keberadaan turnamen ini memberikan dampak ekonomi sebesar US$5,44 juta (sekitar Rp76 miliar). Sebelum ini, Riot juga mengungkap, babak final dari League of Legends European Championship (LEC) Spring Split memberikan dampak ekonomi sebesar US$2,25 juta (sekitar Rp31,5 miliar) pada Rotterdam, tempat turnamen tersebut diadakan, menurut laporan The Esports Observer.

Sebagai perbandingan, turnamen Major dari Rainbow Six yang diadakan di Rayleigh memberikan dampak ekonomi sebesar US$1,45 juta atau sekitar Rp20,5 miliar. Memang, turnamen esports bisa mendorong industri pariwisata lokal. Alasannya, para fans esports biasanya berasal dari seluruh dunia. Jadi, ketika sebuah turnamen esports diadakan di sebuah kota, para fans rela untuk datang meski mereka berasal dari kawasan atau bahkan negara yang berbeda.

Sumber: Riot Games
Sumber: Riot Games

Selain dampak ekonomi, dalam laporan tentang performa LCS, Riot juga membahas beberapa hal lain, seperti jumlah penonton. Mereka mengatakan, 53 ribu orang datang langsung ke studio LCS di Detroit dan St Louis. LCS juga disiarkan secara online. Secara total, turnamen tersebut ditonton selama 2,4 juta jam, lapor Esports Insider. Pada puncaknya, jumlah concurrent viewers mencapai 609 ribu. Sementara jumlah concurrent viewer rata-rata mencapai 433 ribu. Dengan Average-Minute-Audience (AMA) 124 ribu, Riot mengklaim bahwa LCS adalah liga olahraga terpopuler ketiga di kalangan warga Amerika Serikat yang berumur 18 sampai 34 tahun.

Terkait sponsorship, Riot mengatakan bahwa pada tahun ini, mereka mendapatkan 11 rekan baru. Mereka juga bangga karena 91 persen dari perusahaan yang menjadi rekan mereka membuat kontrak lebih dari satu tahun atau memperbarui kontrak mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka puas dengan apa yang mereka dapatkan. Beberapa sponsor LCS antara lain Honda, Alienware, dan Red Bull.

Berinvestasi di League of Legends Championship Series, Apakah Menguntungkan?

Sejak 2017, Riot Games menggunakan model franchise untuk League of Legends Championship Series, liga LoL untuk kawasan Amerika Utara. Dalam liga yang menggunakan model franchise, tim yang hendak bertanding harus membayar sejumlah uang untuk membeli slot dari liga tersebut. Echo Fox mengeluarkan US$10 juta untuk membeli slot LCS pada 2017. Belum lama ini, slot tim Echo Fox dibeli oleh Evil Geniuses. Menurut orang yang mengaku tahu tentang transaksi ini, Evil Geniuses mengeluarkan US$33 juta. Ini menunjukkan bahwa harga slot franchise LCS naik 230 persen dalam waktu dua tahun.

Selain itu, Michael Prindiville, CEO Dignitas, mengaku bahwa prioritasnya setelah dia menjabat sebagai CEO Dignitas adalah untuk mendapatkan slot LCS. Dignitas akhirnya bisa kembali ke LCS setelah mereka melakukan merger dengan Clutch Gaming. Nilai merger ini dikabarkan mencapai US$20 juta. Dalam daftar 13 perusahaan esports dengan nilai terbesar menurut Forbes, 9 di antaranya merupakan pemegang slot franchise untuk liga League of Legends di Amerika Utara dan Eropa. Masing-masing perusahaan memiliki nilai lebih dari US$120 juta. Namun, itu bukan berarti organisasi esports yang ikut berlaga dalam LCS atau liga LoL lainnya sudah mendapatkan untung dari liga tersebut.

Menurut Will Hershey, co-founder dan CEO Roundhill Investments, alasan mengapa organisasi esports tertarik berlaga di liga League of Legends adalah karena popularitas dari game buatan Riot Games tersebut. Berbeda dengan olahraga tradisional yang keberadaannya tidak tergantung pada satu perusahaan, keberlangsungan esports sangat tergantung pada sang developer. Jika Riot memutuskan untuk menutup League of Legends, maka liga esports dari game itu juga akan mati. Namun, 10 tahun sejak dirilis, League of Legends masih populer. Pada 2018, Riot mendapatkan US$1,4 miliar dari game yang bisa dimainkan secara gratis tersebut. Ini menjadikan League of Legends sebagai game dengan pendapatan terbesar nomor tiga, menurut data SuperData.

“Jika Anda ingin terlibat dalam satu game, League of Legends adalah pilihan yang paling masuk akal,” kata Hershey, dikutip dari The Washington Post. “Game ini tidak hanya berumur panjang, tapi juga memberikan kontribusi besar pada pendapatan publisher. Pendapatan dari sebuah game adalah faktor paling penting yang harus dipertimbangkan ketika Anda hendak menanamkan investasi.”

Sumber: leagueoflegends.com
Sumber: leagueoflegends.com

Hal lain yang menjadi pertimbangan calon investor adalah hak siar media, menurut Josh Champan, co-founder dan Managing Partner, Konvoy Ventures, perusahaan venture capital yang fokus pada industri game dan esports. “Saya rasa, liga ini akan menghasilkan banyak uang. Apakah ini akan menguntungkan tim esports, tergantung pada besar investasi dari masing-masing tim dan pembagian pendapatan dari hak siar media untuk setiap tim.”

Chapman mengatakan, hak siar media untuk liga esports akan berbeda dari hak siar untuk liga olahraga tradisional seperti NFL, liga american football di Amerika Serikat. NFL memiliki kontrak senilai SU$27,9 miliar selama 9 tahun dengan CBS, NBC, dan FOX. Sebagai perbandingan, pada 2016, Riot menjual hak siar esports League of Legends selama 7 tahun pada BAMTech dengan nilai US$300 juta, menurut Wall Street Journal. Perjanjian ini lalu diperbarui pada 2018, ketika Disney mengakuisisi BAMTech. Hak siar esports LoL kemudian dipindahtangankan ke platform streaming ESPN+. Sayangnya, tidak diketahui berapa besar nilai dari perjanjian hak siar baru tersebut.

Sumber: Geek.com
Sumber: Geek.com

Untuk memperkirakan nilai hak siar esports League of Legends, Chapman menggunakan Overwatch League (OWL) dari Activision Blizzard sebagai perbandingan. Twitch membayar US$90 juta untuk mendapatkan hak siar eksklusif dari OWL selama dua tahun. Sejak September 2017 sampai Agustus 2019, Overwatch memiliki jumlah penonton rata-rata 33.987 setiap bulannya. Itu artinya, Twitch membayar US$1.324 untuk satu penonton. Sementara itu, League of Legends memiliki jumlah rata-rata penonton 116.669 orang. Dengan harga yang sama, maka hak siar eksklusif untuk esports League of Legends akan bernilai US$154,5 juta per tahun.

Namun, Chapman dan Hershey percaya, Twitch membayar harga terlalu mahal untuk hak siar eksklusif akan OWL. Chapman memperkirakan, channel resmi Twitch OWL hanya berkontribusi US$8,2 juta dari total pendapatan iklan Overwatch League selama periode dari September 2018 sampai Agustus 2019. Angka ini jauh lebih rendah dari harga US$45 juta yang dibayarkan oleh Twitch. Meskipun begitu, Hershey tetap percaya bahwa hak siar media akan menjadi sumber pendapatan utama dari sebuah liga, selain dari sponsorship dan penjualan merchandise.

“Ada satu perbedaan besar antara esports dan olahrga tradisional,” kata Hershey. “Penonton harus rela membayar jika mereka ingin menonton pertandingan olahraga tradisional Tapi, selama ini, mereka bisa menonton esports dengan gratis. Jadi, ini adalah salah satu masalah besar yang harus diselesaikan oleh penyelenggara industri esports.”

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Saat ini, setidaknya 35 persen dari total pendapatan LCS masuk ke kantong pemain, 32,5 persen untuk tim, dan 32,5 persen sisanya untuk Riot. Menurut Hershey, pada 2018, masing-masing tim mendapatkan hampir US$1 juta. Pada tahun ini, dia memperkirakan angka itu naik menjadi sekitar US$1 juta sampai US$2 juta. “Masih jauh lebih rendah dari jumlah yang mereka bayarkan untuk mendapatkan slot franchise LCS,” katanya. “Tapi, sekarang, kita masih ada di tahap awal dalam memonetisasi liga esports.”

Chapman berharap, para pemilik slot LCS mengerti bahwa investasi mereka tidak akan berbuah dalam waktu dekat. Dia memperkirakan, diperlukan waktu bertahun-tahun sebelum para peserta LCS bisa mendapatkan untung. Hal ini tidak hanya terjadi pada esports League of Legends, tapi juga pada Activision Blizzard, yang menggunakan sistem franchise untuk menyelenggarakan Overwatch League dan Call of Duty League pada tahun depan.

Ini tidak membuat Prindiville dari Dignitas gentar. Dia mengatakan, dia tidak memiliki rencana untuk keluar dari scene esports League of Legends dalam waktu dekat. “Kami rasa, esports ini masih bisa bertahan selama 50 tahun lagi,” katanya. “Dalam waktu pendek, pendapatan akan datang dari sponsorship dan hak siar media. Dalam jangka panjang, kami ingin memiliki slot ke sejumlah franchise penting seperti LCS, karena nilainya akan naik seiring dengan waktu. Dalam 10-20 tahun lagi, siapa yang tahu berapa harga dari slot LCS? Begitulah cara Anda membangun perusahaan besar, inilah cara untuk mendapatkan kembali jutaan dollar yang telah Anda keluarkan.”

Sumber header: Business Insider

Akankah Model Franchise di Liga Esports Jadi Tren di Masa Depan?

Saat ini, semakin banyak pihak yang tertarik untuk mendukung esports, baik sebagai sponsor ataupun investor. Salah satu hal yang membuat investor berani untuk berinvestasi besar-besaran di industri esports adalah penggunaan model franchise pada turnamen esports. Di Indonesia, model franchise hanya digunakan oleh Moonton pada Mobile Legends Professional League Season 4. Meski memiliki sejumlah kelebihan, penggunaan model franchise menuai pro dan kontra, bahkan di kalangan pelaku esports. Dalam liga yang menggunakan sistem franchise, sebuah tim harus membayar sejumlah uang untuk ikut serta dalam sebuah turnamen. Di kasus MPL Season 4, masing-masing tim harus membayar Rp15 miliar. Salah satu argumen pihak yang mendukung penggunaan sistem franchise adalah model franchise membuat struktur liga esports menjadi lebih mudah dimengerti oleh calon investor dan pengiklan, yang berarti akan semakin banyak pihak yang tertarik untuk menjadi sponsor atau pengiklan.

“Penggunaan model franchise memberikan kestabilan pada para tim dan menjamin komitmen tim pada penyelenggara turnamen,” kata Bryce Blum, pendiri ESG Law dan Theorycraft, yang sering menjadi pengacara dari banyak tim ternama di Amerika Utara, menurut laporan The Esports Observer. “Model franchise menawarkan framework yang memudahkan semua pihak yang terlibat dalam mengambil keputusan dan kejelasan dalam pembagian pendapatan — bagi penyelenggara liga, model franchise memberi jaminan bahwa sebuah tim tidak akan mendadak mengundurkan diri. Komitmen ini bisa sangat berharga.” Di luar Indonesia, ada sejumlah liga yang menggunakan sistem franchise, seperti Overwatch League dan League of Legends Championship Series yang merupakan liga di kawasan Amerika Utara. Tahun depan, Activision Blizzard juga akan menggunakan model franchise untuk Call of Duty League. Namun, juga banyak game yang turnamennya tidak menggunakan model franchise, seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan Fortnite.

Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard
Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard

Bagi tim esports, penggunaan model franchise menawarkan jaminan bahwa mereka akan tetap dapat ikut serta dalam sebuah turnamen, tak peduli bagaimana performa mereka sepanjang liga. Misalnya, sebelum Riot menggunakan model franchise untuk LCS, mereka menggunakan sistem terbuka yang memungkinkan sebuah tim mendapatkan promosi atau terdemosi, tergantung pada performa mereka. Ini membuat tim enggan untuk menanamkan investasi besar dan membuat rencana jangka panjang karena sebuah tim bisa mendadak terdemosi keluar dari liga jika performa mereka tidak cukup baik. Walau model franchise memiliki sejumlah kelebihan, itu bukan berarti semua turnamen esports harus menggunakan model franchise. Jeremy Dunham, Vice President Psyonix Studios, publisher Rocket league mengatakan bahwa ada banyak model lain yang bisa digunakan pada turnamen esports.

“Kita tidak bisa mengatakan bahwa model franchise adalah model yang tepat untuk digunakan pada semua scene esports profesional di dunia karena akan ada beberapa game dan liga yang tidak cukup besar untuk menggunakan sistem franchise, yang memerlukan dana dan peraturan yang ketat,” kata Blum. Dia juga mempertanyakan apakah biaya yang dikeluarkan oleh tim esports pada awal turnamen memang sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. Tim Hybrid membuat perhitungan tentang apakah investasi yang dikeluarkan tim MPL Season 4 memang pantas. Blum juga membahas tentang motivasi sebuah publisher dalam mengembangkan esports dari game mereka. Misalnya, Epic Games dianggap lebih tertarik untuk mengembangkan Fortnite sebagai game untuk gamer individual daripada sebagai game esports. Karena itu, mereka tak segan untuk mengubah berbagai elemen dalam game dan memasukkan hal-hal random pada game, sehingga game ini sulit untuk dikuasai oleh para pemain profesional.

Sumber: Epic Games
FOrtnite World Cup | Sumber: Epic Games

Sementara itu, sebagian pelaku esports percaya, tak semua liga esports cocok untuk menggunakan model franchise. Para fans juga merasa, menggunakan model franchise menghilangkan elemen akar rumput dari ekosistem esports. Dengan model franchise, tim yang dapat berlaga dalam sebuah turnamen hanyalah tim yang bisa membayar investasi di awal. Itu artinya, meskipun sebuah tim profesional memiliki kemampuan yang mumpuni, bisa jadi mereka tak bisa ikut serta dalam sebuah liga karena tak bisa atau tak mau membayar biaya investasi di awal. Sementara pada sistem terbuka (non-franchise), semua orang berhak untuk mencoba ikut serta dalam sebuah turnamen atau liga esports. Inilah alasah mengapa Epic Games bisa mengklaim bahwa ada 60 juta orang yang mencoba untuk lolos kualifikasi Fortnite World Cup. Tak hanya itu, sistem turnamen terbuka juga biasanya memiliki jaringan distribusi dengan lebih luas. Biasanya, penggunaan model franchise akan memunculkan kontrak eksklusif untuk hak siar media. MIsalnya, hak siar Overwatch League dipegang oleh ABC/ESPN dan Twitch. Jadi, konten turnamen tersebut tak akan muncul di YouTube.

Masalah lain akibat penggunaan model franchise adalah ada beberapa tim esports yang mengundurkan diri dari liga. Hal ini terjadi pada Call of Duty League. Tim 100 Thieves memutuskan untuk mundur setelah Activision Blizzard mengumumkan mereka akan menggunakan sistem franchise pada liga Call of Duty pada tahun depan. Dalam sebuah video, pendiri 100 Thieves, Matt “Nadeshot” Haag menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah karena biaya yang harus mereka keluarkan untuk ikut serta yang dianggap terlalu mahal. Selain itu, 100 Thieves juga ingin untuk membangun fanbase secara global. Sementara sistem Call of Duty didasarkan pada kota asal tim esports, seperti Overwatch League.

Benarkah Bisnis Esports di Asia Lebih Menguntungkan daripada Amerika Serikat?

Industri esports saat ini dipercaya sedang tumbuh di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat. Akan tetapi menurut Mark Cuban, sebetulnya esports masih belum bisa dibilang bisnis yang sehat. Lebih tepatnya, menjadi pemilik organisasi esports, kata pemilik klub NBA Dallas Mavericks itu, adalah sebuah kesalahan besar. Ia juga berkata bahwa uang industri esports adanya di Eropa dan Asia, terutama di Korea Selatan.

Sebagai seorang miliarder dan pemilik tim besar di dunia olahraga, Mark Cuban jelas merupakan orang yang pendapatnya patut didengar. Ini masih ditambah lagi dengan beberapa kasus yang menggambarkan beratnya ekosistem esports Amerika Serikat, seperti organisasi NRG Esports yang beberapa waktu lalu menjual tim Counter-Strike: Global Offensive mereka ke Evil Geniuses.

Akan tetapi tak semua orang setuju dengan pandangan tersebut. Christina Settimi, penulis topik bisnis olahraga di Forbes, menunjukkan beberapa bukti yang menampik pendapat Cuban. Ia mencatat 13 organisasi esports di Amerika yang memiliki nilai valuasi di atas US$100.000.000, beserta perkiraan revenue yang dimiliki masing-masing di tahun 2019 ini. Angka perkiraan revenue itu didapat dari hasil wawancara dengan para investor dan eksekutif organisasi, juga informasi dari para analis industri dan sponsor. Termasuk di dalamnya adalah uang sponsorship, revenue sharing dari liga, penjualan merchandise, dan lain-lain.

Berikut daftar organisasinya:

1. Team SoloMid

Valuasi: US$400.000.000

Perkiraan revenue: US$35.000.000

2. Cloud9

Valuasi: US$400.000.000

Perkiraan revenue: US$29.000.000

3. Team Liquid

Valuasi: US$320.000.000

Perkiraan revenue: US$24.000.000

4. FaZe Clan

Valuasi: US$240.000.000

Perkiraan revenue: US$35.000.000

5. Immortals Gaming Club

Valuasi: US$210.000.000

Perkiraan revenue: US$11.000.000

6. Gen.G

Valuasi: US$185.000.000

Perkiraan revenue: U$9.000.000

7. Fnatic

Valuasi: US$175.000.000

Perkiraan revenue: US$16.000.000

Team SoloMid
Team SoloMid, juara LCS 6 kali | Sumber: Rift Herald

8. Envy Gaming

Valuasi: US$170.000.000

Perkiraan revenue: US$8.000.000

9. G2 Esports

Valuasi: US$165.000.000

Perkiraan revenue: US$22.000.000

10. 100 Thieves

Valuasi: US$160.000.000

Perkiraan revenue: US$10.000.000

11. NRG Esports

Valuasi: US$150.000.000

Perkiraan revenue: US$20.000.000

12. Misfits Gaming

Valuasi: US$120.000.000

Perkiraan revenue: US$8.000.000

13. OverActive Media

Valuasi: US$120.000.000

Perkiraan revenue: US$5.000.000

Menariknya, Mark Cuban pernah menyatakan dalam sebuah wawancara bahwa ia percaya tentang besarnya pertumbuhan industri esports. Cuban juga merupakan investor di perusahaan startup Unikrn, yang bergerak di bidang siaran dan judi esports. Dallas Mavericks pun memiliki tim esports yang bermain di NBA 2K League, bernama Mavs Gaming.

Salah satu organisasi esports Amerika yang saat ini tampaknya sedang sangat sehat adalah Gen.G. CEO Gen.G, Chris Park, bahkan berkata bahwa organisasi mereka sedang “over-subscribed”. Artinya terlalu banyak partner yang ingin mengajak Gen.G bekerja sama, sampai-sampai akhirnya mereka harus memilih-milih partner. Tentu saja itu bukan sebuah masalah, atau andai disebut masalah pun maka itu merupakan masalah yang baik.

Selain Forbes, pihak lain yang memberikan sanggahan terhadap pernyataan Cuban adalah Michael Cohen, seorang business strategist di bidang esports dari Belanda. Dalam artikel yang ditulisnya, Cohen mengatakan bahwa sebagian ucapan Cuban memang benar—menjadi pemilik tim adalah usaha yang penuh risiko. Terutama untuk organisasi baru yang tidak menjadi pemenang turnamen, pasti sulit menumbuhkan brand atau mendatangkan revenue.

Contoh kasusnya adalah 100 Thieves yang mengalihkan fokus dari dunia kompetitif ke arah penjualan merchandise dan kreator konten (streamer). Ini untuk menutup kelemahan sebab tim mereka kurang berprestasi di League of Legends Championship Series (LCS). Cohen juga mengiyakan pendapat Cuban bahwa perubahan meta dalam sebuah game memberi risiko yang sangat besar, apabila anggota tim tidak bisa beradaptasi dengan meta terbaru itu.

Namun di sisi lain, Cohen menunjukkan bahwa pasar Asia sebenarnya juga mengalami masalah, sama seperti Amerika Serikat. Bila “pemain” industri esports di Amerika ingin melakukan ekspansi ke Asia, para pelaku esports di Asia justru ingin memperluas brand ke level internasional. Ia mengibaratkan fenomena ini seperti peribahasa, “Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.”

Mengapa demikian? Alasannya adalah karena bisnis esports di Asia (terutama Korea Selatan dan Tiongkok) sudah “mentok”. Asia punya kultur game kompetitif yang lebih kuat dari Amerika, dan brand esports sudah lebih dahulu berkembang bahkan sejak sebelum era StarCraft II. Perkembangan ini termasuk dalam hal kualitas pemain, peran sponsor non-endemic, pembangunan markas tim, dan sebagainya.

Karena sudah berkembang hingga mentok di negara sendiri, mereka pun mencari cara untuk ekspansi ke negara barat. Contohnya yang dilakukan oleh OGN, T1 Entertainment & Sports, serta Gen.G. Harapannya, dengan menjangkau pasar internasional, nilai sponsorship yang bisa diraih pun akan lebih besar. Dan dengan menjadi organisasi pertama yang punya jangkauan global, mereka ingin bisa membangun posisi brand lebih kuat dibanding kompetitornya.

LGD International
LGD International, usaha LGD mengembangkan sayap yang akhirnya gagal | Sumber: Liquipedia

Sementara itu Tiongkok, kata Cohen, punya masalah di mana modal yang diperlukan untuk menggaji pemain serta mendirikan organisasi telah sampai di titik yang lebih tinggi daripada potensi revenue yang dihasilkan. Ini ditambah lagi dengan kendala-kendala lain, misalnya birokrasi. Karena itu para pelaku esports di Tiongkok pun ingin melebarkan sayap ke luar negeri, tapi mereka ingin melakukannya dengan risiko sesedikit mungkin. Kerja sama klub bola Paris Saint-Germain (PSG) dan LGD adalah contoh kasus yang sukses hingga sekarang, namun sebetulnya baik PSG maupun LGD sudah sempat gagal beberapa kali dalam usaha mereka melakukan penetrasi ke barat dan timur sebelum akhirnya berjodoh.

Pada akhirnya, Cohen menyimpulkan bahwa esports adalah bisnis yang berharga, namun memang berisiko dan setiap wilayah punya risiko sendiri-sendiri. Tidak ada wilayah/negara yang bisa dibilang paling bagus, tapi memang setiap wilayah itu punya karakteristik berbeda-beda. Kita juga tidak bisa memandang seluruh industri esports sebagai satu industri yang sama rata, karena situasi pasarnya bisa berbeda-beda tergantung dari game, tren, atau platform yang sedang ramai di suatu wilayah.

Mark Cuban kemudian mengekspresikan rasa setujunya terhadap tulisan Cohen, dan membagikan tulisan tersebut di akun Twitter miliknya. Ia juga mengakui bahwa Cohen punya analisis yang lebih baik terhadap pasar Asia. Bila Anda tertarik untuk membaca analisis tersebut lebih dalam, Anda bisa mengunjungi tulisan Michael Cohen di situs tortedelini.com.

Sumber: Michael Cohen, Forbes, Psyonix

Gaji Rata-Rata Pemain League of Legends European Championship Capai Rp3,9 Miliar

Prize pool yang besar jadi salah satu alasan mengapa esports menjadi perhatiah banyak orang. Dengan total hadiah sebesar US$34,3 juta (sekitar Rp484 miliar), The International 2019 adalah turnamen esports dengan prize pool terbesar sepanjang masa. Setengah dari total hadiah itu dibawa pulang oleh tim OG, yang berhasil menjadi juara The International dua tahun berturut-turut. Sementara pada Fortnite World Cup, pemenang kategori Solo, Kyle “Bugha” Giersdorf berhasil membawa pulang US$3 juta (sekitar Rp42 miliar). Namun, hadiah yang didapatkan oleh tim atau pemain pemenang berbeda dengan gaji yang pemain terima setiap bulannya dari tim dimana mereka bernaung.

League of Legends adalah salah satu game esports yang telah ada sejak hampir 10 tahun lalu. Setiap tahunnya, Riot Games juga mengadakan League of Legends World Championship, turnamen yang menjadi ajang bagi tim dan pemain esports terbaik di dunia. Selain itu, juga ada liga League of Legends untuk masing-masing kawasan. Misalnya, di Tiongkok, ada League of Legends Pro League, yang salah satu sponsornya adalah Nike. Sementara di Amerika Utara, terdapat League of Legends Championship Series (LCS) dan di Eropa, ada League of Legends European Championship (LEC).

Menurut Richard Wells, pendiri H2K Gaming dalam sebuah video, rata-rata gaji pemain LEC adalah €250 ribu (sekitar Rp3,9 miliar) per tahun, lapor ESPN. Itu artinya, setiap bulan, para pemain mendapatkan €20,8 ribu (sekitar Rp323 juta). Namun, angka itu adalah gaji rata-rata yang didapatkan pemain. Wells menyebutkan, pemain yang bermain di tim yang besar kemungkinan akan mendapatkan gaji yang lebih tinggi, sementara tim yang lebih kecil mungkin akan membayar pemainnya dengan nilai yang lebih rendah. Bagi para pemain yang bermain di tim LEC Academy, mereka mendapatkan €60 ribu (sekitar Rp932 juta) per tahun atau sekitar €5 ribu (Rp77,7 juta) per bulan.

Dalam videonya, Wells juga membahas tentang gaji yang diterima oleh pelatih tim LEC. Dia menyebutkan, rata-rata, para pelatih mendapatkan €100 ribu (sekitar Rp1,6 miliar) per tahun. Namun, angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan gaji yang didapatkan oleh pelatih tim LCS, yang mencapai US$500 ribu (Rp7,1 miliar) per tahun. Gaji pemain profesional di LCS juga lebih tinggi dari pemain LEC. League of Legends Championship Series Commissioner Chris Greeley mengatakan, gaji rata-rata pemain tim yang berlaga di LCS mencapai US$300 ribu (sekitar Rp4,2 miliar).

“Kami berusaha keras untuk menjadikan pemain pro LCS sebagai aspirasi bagi para fans kami,” katanya, menurut laporan Win.gg. “Gaji rata-rata pemain pro LCS adalah US$300 ribu, belum menghitung bonus atau hadiah turnamen.” Satu hal yang menarik, pada 2017, gaji rata-rata pemain LCS hanyalah US$105 ribu (sekitar Rp1,5 miliar). Itu artinya, gaji rata-rata pemain naik hampir tiga kali lipat dalam waktu dua tahun.

Ada beberapa alasan mengapa gaji rata-rata pemain LCS melonjak naik. Salah satunya adalah pertumbuhan industri esports yang pesat. Ekosistem esports League of Legends juga berkembang dengan cepat. Tahun lalu, dikabarkan, sebuah tim harus membayar US$10 juta (sekitar Rp141,2 miliar) untuk bisa bertanding di LCS. Dan ini bisa membuat pemain mendapatkan kenaikan gaji. Kemungkinan lain mengapa gaji rata-rata pemain LCS sangat tinggi adalah karena gaji besar yang diterima pemain bintang membuat gaji rata-rata pemain menjadi terlihat sangat tinggi. Menurut Greeley, gaji minimal pemain LCS adalah US$75 ribu (sekitar Rp1 miliar). Pemain bintang atau pemain tim besar kemungkinan mendapatkan gaji lebih dari itu. Alasan lain tim esports profesional rela membayar para pemainnya dengan gaji besar adalah untuk memastikan bahwa para pemain tetap membela timnya dan tidak keluar untuk menjadi streamer.

Tim LoL Fnatic. | Sumber: Fnatic
Tim LoL Fnatic. | Sumber: Fnatic

Tampaknya, gaji rata-rata pemain League of Legends memang cukup tinggi, terlepas di kawasan mana mereka bertanding. Sebagai perbandingan, gaji pemain League of Legends Champions Korea (LCK) mencapai sekitar 170 juta Won per tahun (sekitar Rp2,1 miliar). Sementara ketika JD Gaming mencari pemain profesional untuk bertanding di LPL, mereka menawarkan gaji mulai dari 500 ribu sampai 10 juta Yuan. (sekitar Rp1,05 sampai Rp21 miliar). Di Indonesia, League of Legends tidak terlalu dikenal sebagai game esports. Menurut riset yang dilakukan oleh DSResearch pada Juli lalu, dari 1.445 responden, hanya 30 persen orang yang tahu akan League of Legends sebagai game esports. Sebagai negara mobile first, tidak aneh jika dua game esports yang paling dikenal justru game mobile, yaitu Mobile Legends dan Player Unknown’s Battleground Mobile.

Sumber header: Dexerto

Mastercard Jadi Sponsor LCS dan Buat Konten Tentang Komunitas Esports LoL

Mastercard kini menjadi rekan finansial eksklusif untuk League of Legends Chamionship Series, liga LoL tahunan untuk kawasan Amerika Utara. Ini bukan kerja sama pertama yang Mastercard buat dengan Riot. Sebelum ini, perusahaan kartu kredit itu juga telah menjadi sponsor dari beberapa turnamen LoL lain, seperti Mid-Season Invitational, All-Star Event, dan World Championship.

“Kami senang untuk masuk ke ranah esports,” kata Executive Vice President of Marketing and Communications for North America, Mastercard, Cheryl Guerin, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Selama ini, Mastercard ikut masuk ke berbagai jenis olahraga karena kami ingin para pemegang kartu kami bisa mengejar hobi mreeka. Kami sadar, apa yang terjadi di esports sangat penting, baik tentang pertumbuhan industri dan kesenangan fans. Kami ingin berinteraksi dengan para penggemar esports  dan itulah awal dari msauknya kami ke ranah ini. Kami melihat interaksi yang sangat aktif , dan kami harap, itu juga akan terjadi kali ini. Kami menghubungkan diri dengan audiens baru dan esports adalah platform yang fantastis.”

Menurut Nielsen, tahun ini, jumlah nilai sponsorship yang diberikan oleh merek non-endemik — mulai dari merek makanan, mobil, hingga layanan finansial — naik 13 persen dari tahun lalu.

Sebagai sponsor, hal paling mendasar yang bisa sebuah perusahaan lakukan adalah memasang logo pada seragam pemain esports atau pada panggung. Namun, Mastercard tidak puas dengan hanya melakukan itu. Dalam kerja sama terbaru ini, Mastercard akan menawarkan layanan ekstra untuk para pemegang kartu, seperti tur backstage, tempat menonton khusus, dan kesempatan bertemu dengan para pemain profesional.

Tidak berhenti sampai di situ, Mastercard bersama Riot juga akan membuat konten eksklusif. Seri yang diberi judul “Together Start Something Priceless” itu akan membahas tentang pemain yang memberikan dampak positif pada komunitas. Orang pertama yang akan dibahas adalah Stephen “Snoopeh” Ellis. Dia adalah mantan pemain profesional yang kini mendukung para pemain profesional lainnya. Pada awalnya, seri ini akan tersedia secara eksklusif untuk kawasan Amerika Utara. Namun, nantinya, video tersebut juga akan tersedia di kawasan lain.

Sumber: Young-Wolff/Riot Games via The Esports Observer
Sumber: Young-Wolff/Riot Games via The Esports Observer

“Mastercard adalah merek yang dikenal di dunia, dan kami jelas ingin ada merek yang dikenal audiens kami. Namun, satu yang paling penting, kami  ingin mendekatkan diri dengan penonton dengan cara yang orisinal dan interaktif,” kata Guerin.

“Dengan membuat konten, yang memang dibuat khusus untuk komunitas esports itu sendiri — konten ini menampilkan berbagai cerita berharga yang kita dengar selama kerja sama kami, dari fans yang memang sangat cinta dengan esports. Menampilkan konten-konten jauh lebih otentik daripada sekadar menampilkan logo kami. Penting bagi kami untuk melakukan ini: kami membuat cerita menggugah tentang esports, dan menginspirasi orang lain yang juga senang dengan esports.”

North American Head of Partnerships and Business Development, Riot Games, Matt Archambault mengatakan bahwa membuat seri video tentang esports akan membantu Mastercard untuk berinteraksi dengan para penggemar esports. Dia menyebutkan, menampilkan logo memang awal yang baik untuk merek non-endemik yang ingin masuk ke ranah esports. Namun, menyajikan konten memungkinkan sponsor untuk dapat memperkenalkan merek mereka pada audiens esports dengan lebih baik.

“Mengembangkan sebuah cerita dan menceritakannya pada komunitas — dua hal itulah yang memberikan nilai lebih pada komunitas,” kata Archambault. “Pada akhirnya, itulah yang coba kami lakukan: memberikan pengalaman dan membuat kerja sama untuk memberikan nilai lebih tidak hanya pada merek itu, tapi juga pada komunitas, dan melakukan sesuatu yang mungkin belum pernah dicoba sebelumnya.”

Merek non-endemik memang kini mulai memasuki ranah esports. Jika melihat ke ranah lokal, di Indonesia pun trennya demikian, salah satunya adalah Go-Pay yang menjadi sponsor dari RRQ.