Pada Oktober 2021, League of Legends World Championship dan The International digelar. Keduanya merupakan kompetisi esports tertinggi untuk League of Legends dan Dota 2. Karena itu, tidak heran jika keduanya berhasil menjadi pusat perhatian fans esports pada bulan lalu. Sementara itu, di skena Counter-Strike: Global Offensive, turnamen Major juga tengah berlangsung. Di tingkat nasional, MPL Indonesia Season 8 tengah memasuki puncaknya dan di tingkat regional, ada kompetisi PUBG Mobile yang digelar untuk kawasan Asia Tenggara.
Berikut daftar lima turnamen esports terpopuler di Oktober 2021, menurut data dari Esports Charts.
5. PUBG Mobile Pro League Season 4 2021 SEA
PUBG Mobile Pro League Season 4 2021 SEA dimulai pada 12 Oktober 2021 dan berakhir pada 7 November 2021. Sepanjang bulan Oktober 2021, Ronde ke-12 pada Super Weekend 2, Hari ke-3 menjadi pertandingan paling populer dari PMPL S4 SEA. Di ronde tersebut, total peak viewers mencapai 644 ribu orang. Menurut laporan Esports Charts, satu-satunya liga PUBG Mobile nasional yang bisa menyaingi viewership PMPL S4 SEA adalah PUBG Mobile Professional League Indonesia (PMPL ID). Jika dibandingkan dengan PMPL S4 SEA, jumlah peak viewers PMPL ID hanya lebih sedikit 15%.
YouTube merupakan platform favorit para fans untuk menonton PMPL S4 SEA. Di YouTube, PMPL S4 SEA mendapatkan 81,6 juta views dan 1,29 juta likes. Selain YouTube, PMPL S4 SEA juga ditonton di Facebook, NimoTV, TikTok, dan Twitch. Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, dari segi bahasa, siaran dengan bahasa Indonesia menjadi siaran PMPL S4 SEA yang paling banyak ditonton. Siaran dalam bahasa Malaysia menjadi siaran terpopuler ke-2, diikuti oleh bahasa Thailand dan Vietnam.
4. PGL Major Stockholm 2021
PGL Major Stockholm menawarkan total hadiah sebesar US$2 juta. Hal ini menjadikan kompetisi itu sebagai turnamen CS:GO dengan hadiah terbesar dalam 2 tahun terakhir. PGL Major Stockholm berlangsung sejak Oktober hingga November 2021. Seiring dengan memanasnya kompetisi, jumlah penonton dari turnamen Major itu pun naik. Namun, pada Oktober 2021, PGL Major Stockholm hanya mendapatkan peak viewers sebanyak 975 ribu orang. Pertandingan terpopuler pada bulan lalu adalah pertandingan yang mempertemukan NAVI dan Ninjas in Pyjamas.
Total durasi siaran PGL Major Stockholm mencapai 120 jam. Sementara total hours watched yang didapat turnamen itu adalah 71,2 juta jam dan dengan total views sebanyak 123,4 juta views. Twitch menjadi platform paling populer untuk menonton kompetisi CS:GO tersebut. Dan siaran dalam bahasa Inggris menjadi siaran yang mendapatkan paling banyak penonton. Meskipun begitu, total peak viewers dari siaran dalam bahasa Rusia juga hampir menyamai siaran dalam bahasa Inggris.
Sepanjang PGL Major Stockholm, NAVI menjadi tim esports paling populer, baik dari segi hours watched maupun average viewers. Tim tersebut mendapatkan 16,6 juta hours watched dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 1,13 juta orang. Posisi kedua ditempati oleh G2 Esports, yang mendapatkan 14,82 juta hours watched dan 911,8 ribu average viewers.
3. MPL ID Season 8
Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID) Season 8 berhasil menjadi turnamen esports terpopuler pada Agustus dan September 2021. Dan pada Oktober 2021, MPL ID S8 kembali masuk dalam daftar kompetisi esports terpopuler.. Namun, kedudukannya merosot ke peringkat 3. Kabar baiknya, jumlah peak viewers dari MPL ID S8 pada Oktober 2021 mencapai 2,4 juta orang, jauh lebih tinggi dari peak viewers pada Agustus 2021, yang hanya mencapai 1,7 juta orang.
Pertandingan paling populer dari MPL ID S8 sepanjang bulan lalu adalah babak grand final, yang mempertemukan EVOS Legends dengan ONIC Esports. Sementara pertemuan antara ONIC Esports dengan RRQ Hoshi di babak semi-final jadi pertandingan paling populer ke-2, dengan peak viewers mencapai 2,39 juta orang. Meskipun ONIC Esports keluar sebagai juara, EVOS Legends merupakan tim favorit di MPL ID S8, jika Anda menggunakan metrik hours watched. Sepanjang MPL ID S8, EVOS mendapatkan 30,35 juta hours watched. Namun, dari segi average viewers, RRQ Hoshi ada di peringkat satu. Tim itu memiliki jumlah penonton rata-rata paling banyak sepanjang liga, mencapai 710,4 ribu orang.
Total durasi siaran dari MPL ID S8 adalah 172 jam. Turnamen itu mendapatkan 76,9 juta hours watched, 285,2 juta views, dan 447,1 ribu average viewers. YouTube menjadi platform favorit untuk menonton MPL ID S8, diikuti oleh Nimo TV dan Facebook. Di YouTube, MPL ID S8 mendapatkan 265,9 jua views dan 4,35 juta likes.
2. The International 10
The International 10 — turnamen Dota 2 paling bergengsi — jadi kompetisi paling populer ke-2 pada Oktober 2021. Babak grand final menjadi pertandingan yang menarik paling banyak penonton. Pada puncaknya, pertandingan antara Team Spirit dan PSG.LGD ditonton oleh 2,74 juta orang. Secara total, durasi siaran dari The International 10 mencapai 125 jam. Turnamen itu mendapatkan 107,2 juta hours watched, 529,5 juta views, dan 857,3 ribu average viewers.
Kompetisi TI10 disiarkan di bebreapa platform, antara lain Twitch, YouTube, Dota TV Match, Steam.tv, Facebook, VK Live, dan Nonolive. Twitch jadi platform paling populer, dengan peak viewers mencapai 1,7 juta orang. Di platform milik Amazon itu, TI10 disiarkan di 122 channel dan mendapatkan 454,9 juta views serta 5,08 juta follows. Sementara itu, YouTube menjadi platform terpopuler ke-2 untuk menonton TI10. Di YouTube, TI10 mendapatkan 52,7 juta views dan 735,8 ribu likes. Pada puncaknya, ada 665,8 ribu orang yang menonton TI10 di YouTube.
The International 10 merupakan kompetisi favorit dari fans esports di kawasan Commonwealth of Independent States (CIS). Selain itu, TI10 juga populer di negara-negara yang menggunakan bahasa Rusia. Buktinya, babak final TI10 ditonton oleh 1,2 juta penonton berbahasa Rusia. Menurut Esports Charts, angka ini hampir dua kali lipat dari jumlah penonton berbahasa Rusia pada The International 2019, yang mencapai 670 ribu orang.
1. League of Legends World Championship 2021
Dengan peak viewers sebanyak 3,54 juta orang, League of Legends World Championship jadi kompetisi esports terpopuler pada Oktober 2021. Bulan lalu, pertandingan yang paling banyak ditonton adalah pertandingan antara T1 dan DAMWON KIA Gaming (DWG KIA), yang terjadi pada hari pertama dari babak semi-final. Hal ini tidak aneh, mengingat kedua tim asal Korea Selatan itu merupakan finalis dari Worlds tahun lalu.
Dari segi average viewers, DWG KIA dan T1 juga merupakan dua tim terpopuler di Worlds 2021. Jumlah penonton rata-rata DWG KIA mencapai 2,16 juta orang dan T1 1,94 juta orang. Namun, dari segi hours watched, posisi dua tim terpopuler diisi oleh DWG KIA dan Edward Gaming (EDG) dari Tiongkok. DWG KIA mendaaptkan total hours watched sebanyak 42,5 juta jam sementara EDG 37,68 juta jam.
Worlds 2021 disiarkan di 8 platform dalam 17 bahasa. Siaran dalam bahasa Inggris menjadi siaran paling populer, diikuti oleh siaran dalam bahasa Korea, dan Spanyol. Sementara itu, Twitch dan YouTube merupakan dua platform favorit untuk menonton Worlds 2021. Di Twitch, Worlds 2021 disiarkan di 20 channel dan berhasil mendapatkan 122,4 juta views serta 956,8 ribu follows. Sementara di YouTube, Worlds 2021 berhasil mendapatkan 94,89 juta views dan 1,16 juta likes.
Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.
Minggu lalu, PSIS Semarang mengumumkan bahwa mereka telah merekrut Muhammad Abdul Aziz untuk mewakili mereka dalam Indonesian Football e-League (IFeL) 2021. Sementara itu, Riot Games mengungkap bahwa pertandingan final dari League of Legends World Championship (LWC) 2021 akan disiarkan di puluhan bioskop di Eropa. Mereka juga menunjukkan cincin khusus yang akan dipersembahkan pada setiap anggota dari tim yang memenangkan LWC 2021.
Di TI10 NothingToSay Menangkan US$5.2 Juta dengan PSG.LGD
Pemain Dota 2 asal Malaysia, Cheng “NothingToSay” Jin Xiang berhasil menorehkan namanya dalam sejarah Dota 2 setelah sukses menjadi finalis dari The International 10 bersama PSG.LGD. Sayangnya, dia dan timnya harus bertekuk lutut di hadapan Team Spirit dan puas dengan gelar juara dua. Meskipun begitu, total hadiah yang didapatkan oleh PSG.LGD tetap cukup besar.
TI10 menawarkan total hadiah sebesar US$40 juta. Sebagai juara, Team Spirit mendapatkan US$18,2 juta. Sementara itu, PSG.LGD, yang menjadi runner-up, berhak untuk mendapatkan 13% dari total hadiah TI10 atau sekitar US$5,2 juta. Sayangnya, tidak diketahui berapa besar porsi yang didapatkan oleh NothingToSay. Sebelum TI10, total pemasukan NothingToSay sebagai pemain profesional adalah US$1,1 juta.
Saat ini, hanya ada satu pemain Malaysia yang pernah memenangkan TI, yaitu Wong “ChuaN” Hock Chuan, lapor IGN. Dia berhasil memenangkan TI pada 2012 bersama tim Tiongkok, Invictus Gaming. Dalam TI10, ada beberapa pemain asal Asia Tenggara yang ikut serta, selain NothingToSay. Dua di antaranya adalah pemain asal Indonesia, Kenny “Xepher” Deo dan Matthew “Whitemon” Filemon. Bersama dengan T1, keduanya berhasil menduduki peringkat 7-8 di TI10.
Kolaborasi dengan Mercedes-Benz, Riot Buat Cincin Khusus untuk Pemenang LWC 2021
Minggu lalu, Riot Games memamerkan cincin khusus yang dibuat untuk pemenang League of Legends World Championship (LWC) 2021. Riot menyebutkan, cinci ini akan menjadi lambang dari “prestige dan pencapaian tertinggi di esports“, menurut laporan Esports Insider. Desain dari cincin itu dibuat oleh Riot bersama dengan Mercedes-Benz.
Cincin tersebut terbuat dari emas putih 18 karat yang dihiasi dengan batu safir. Dengan begitu, cincin ini memiliki kombinasi warna yang sama dengan Summoner’s Cup, yaitu perak dan biru. Summoner’s Cup merupakan trofi yang diberikan untuk pemenang LWC. Trofi itu pertama kali diperkenalkan pada 2012.
Babak Final LWC 2021 Bakal Disiarkan di Bisokop Eropa
Selain cincin yang akan diberikan pada pemenang LWC 2021, pada minggu lalu, Riot Games juga mengumumkan bahwa pertandingan final dari League of Legends World Championship (LWC) 2021 akan disiarkan di bioskop. Pertandingan tersebut akan disiarkan pada 6 November 2021 di lebih dari 70 bioskop di Eropa. Saat ini, tiket untuk menonton pertandingan itu sudah bisa dibeli. Tentu saja, pertandingan final dari LWC 2021 juga akan tetap disiarkan di berbagai platform streaming, sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Untuk dapat menayangkan pertandingan final LWC 2021 di bioskop, Riot mendapatkan bantuan dari Piece of Magic dan National Amusements. Menurut Esports Insider, tren kolaborasi antara perusahaan bioskop dengan pelaku esports bukan hal baru. Belum lama ini, perusahaan bioskop asal Amerika Serikat, Cinemark, juga bekerja sama dengan perusahaan esports Mission Control untuk menampilkan pertandingan esports di AS. Sementara pada 2018, sejumlah bioskop di Inggris menampilkan pertandingan final dari IEM Katowice yang mempertemukan Fnatic dengan FaZe Clan.
Supercell Siapkan Mode dan Skin Khusus Halloween di Brawl Stars
Supercell menyiapkan skin dan mode khusus di Brawl Stars untuk merayakan Halloween. Hal ini diungkap dalam Brawl Talk yang diadakan pada minggu lalu. Salah satu mode khusus yang Supercell sediakan adalah invisibility. Sesuai namanya, invisibility membuat pemain menjadi tidak terlihat. Fitur invisibility ini akan aktif di semua mode. Fitur tersebut membuat semua pemain tidak tampak selama 7 detik setiap 10 detik. Di satu sisi, invisibility akan membantu pemain untuk menyelamatkan diri saat terdesak. Di sisi lain, fitur itu akan mempersulit pemain yang hendak membunuh pemain lain, menurut laporan Dot Esports.
Selain itu, Supercell juga menyiapkan skin bertema Halloween. Salah satu skin yang menjadi bagian dari Brawl-o-ween adalah Swamp Gene. Selain itu, Anda juga akan menemukan skin Ghost Squeak, Headless Rider Stu, dan Count Pengula.
PSIS Rekrut Muhammad Abdul Aziz untuk Bertanding di IFel 2021
PSIS Semarang merekrut Muhammad Abdul Aziz untuk mewakili mereka dalam Indonesian Football e-League (IFeL) 2021. Sebelum direkrut oleh PSIS Semarang, Abdul Aziz pernah mewakili DKI Jakarta di pertandingan eksibisi esportsPON XX Papua. Manajer PSIS eSports, Mochamad Raviv Avari mengatakan, Abdul Aziz dipilih karena dia memiliki performa yang cukup bagus. Buktinya, dia berhasil masuk empat besar di PON.
IFeL akan digelar pada 30 Oktober 2021 sampai Desember 2021. Selain PSIS Semarang, liga sepak bola virtual itu juga akan diikuti oleh beberapa tim sepak bola Liga 1 Indonesia, seperti Arema, Bali United, Barito Putera, Bhayangkara FC, Borneo FC, Madura United, Persela, Persik, Persiraja, dan Persita, lapor Antara.
In recent years, the popularity of esports has skyrocketed. Even so, there is still a negative stigma attached to the competitive gaming industry. The participation of esports in major sporting events — such as the SEA Games or the Asian Games — can undoubtedly help remove this stigma. Furthermore, the emergence of esports in traditional sports competitions, such as the National Sports Week (PON) or the President’s Cup, can also increase public awareness of esports.
The Olympics is widely regarded as the most prestigious sporting event in the entire world. Previously, Hybrid.co.id had discussed if esports deserves a spot in the Olympics. This time, however, I will compare the process of organizing the Olympics with world-class esports events such as The International and League of Legends Worlds. Through our analysis, we can try to observe if there are any similarities that suggest that esports and the Olympics can be juxtaposed.
Preparation of the Olympics
Even though the Olympics only takes place for 16 days, preparing for the event can take years of effort. The preparation process begins by selecting a hosting country. For instance, the application to host the 2020 Olympics (which will be held in 2021 due to the COVID-19 pandemic) started in May 2011. At that time, the International Olympic Committee (IOC) informed each country’s National Olympic Committees (NOCs) that they could apply to host the 2020 Olympics
In June 2011, the Governor of Tokyo applied as the 2020 Olympic host. Besides Tokyo, several other cities also volunteered, such as Istanbul, Madrid, Baku, Doha, and Rome. However, Tokyo finally took the spot and signed the host contract in September 2013.
As you can see, preparing for the Olympics can take a very long time since the host selection can take 7-12 years before the event starts. In the 2022 Winter Olympics, Beijing was selected as the host in July 2015. Paris, the 2024 Olympics host, got the spot in September 2017. The Olympic Committee intentionally gave this much time due to the tremendous effort required to host the Olympic event successfully.
As a host, the city must not only build an athlete village to accommodate Olympic participants but also build or repair a stadium to run the sporting events. Moreover, the government must also improve the city’s infrastructure, ensuring a warm welcome to the audience, tourists and Olympic personnels that will visit the city.
This year, Tokyo prepared more than 41 thousand hotel rooms for the media, IOC executives, NOC representatives, and representatives of the International Sports Federations (ISF). They also need to take into account the hotels that will accommodate the tourists. Prior to the pandemic, the Tokyo government planned to set up cruise ships in Tokyo ports as temporary hotels. However, the plan was ultimately canceled due to the lack of spectators who watched this year’s Olympics in person.
As for the athletes, Tokyo needs to build an Olympic village, or often called an athletes village. Building this accommodation can be extremely challenging due to the due to the hefty list of conditions that must be met. For example, the location of the village must be close to the stadium or the location of the competition venue. The farthest distance from an athlete’s accommodation to the stadium is set at approximately 50 kilometers and is reachable in 1 hour by car. If there just so happens to be multiple competition venues that are far apart from each other, well the host city must also prepare multiple athlete villages. During the 2014 Winter Olympics, Russia created two separate athlete villages. The primary athlete village was located in Sochi. The second athlete village was in Roza Khutor, built for ski and snowboarding athletes.
Preparation of Esports Events
Now that we have already a basic understanding of the intricacies behind preparing for the Olympics, let’s see what tournament organizers (TO) have to deal with when formulating an esports competition. To be able to fully grasp the process of organizing esports competitions, Hybrid.co.id contacted Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia, and Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. These two individuals have years of profound experience in organizing esports events.
Besides Herry and Irli, Hybrid.co.id also contacted ESL, one of the most popular tournament organizing brands in esports. ESL frequently held large-scale international esports tournaments around the world. Nick Vanzetti, SVP and Managing Director of ESL Asia Pacific Japan, specifically represented ESL in the interview.
Herry said that to hold a national-level esports competition usually requires 3-6 months of preparation. International tournaments often take double the effort and time, around 6-12 months. According to Irli, preparing large-scale esports events such as The International or LOL Worlds would take around 8-12 months.
“On average, the preparation time is around 8-12 months. The planning and conceptualization phase consumes 3-4 months of work, detailing usually takes 2-3 months long, while promotions will start 2-3 months before the event runs,” said Irli via text message. “Of course, execution and post-event tasks come next.” He added, “World-class esports events often focus on capturing the best moments of the competition and providing an unforgettable experience for the audience. So what’s the job of the tournament organizer? Create as many of these moments as possible.”
“What are these so-called ‘moments’? For the casual audience, they might be interested in creative stage acts/design and entertaining content. On the other hand, the more hardcore fans might seek a suspenseful finals match with a popular or iconic caster. For those with EO experience, they might want to see a smoothly running and coordinated event,” said Irli.
When it comes to holding esports events, Irli explained that four stakeholders or groups must be considered. These are the players/talents, audiences, sponsors, and developers or IP owners. The crew that runs behind the curtains must also be taken into account. Depending on the scale of the competition, additional stakeholders, such as the government or competing companies, might also be involved.
“Tournament organizers must carefully analyze each of these potential stakeholders and how they might find the event memorable (in a positive sense). Different stakeholders, of course, have different needs and priorities. For the crew, they might want good food and hotel accommodation. Talents might require an organized script to simplify things on stage. The audience will undoubtedly want a high-quality production with proper visuals and sound mixing. Sponsors need to make sure that their KPI targets are met. So on and so forth.”
According to Herry, here are the most important elements to prepare and plan when organizing a tournament:
Venues and mandatories
Hard production and soft production
Property
Production equipment
Hospitality
Talents
Internet and communication
Other miscellaneous items, such as stationaries or hard disks
“Mandatories are essentially everything that will be required when using a venue,” said Herry. “For example, if we want to use Tennis Indoor Stadium in Senayan, we have to assemble a fire department and prepare an ambulance, according to their standard procedures. Furthermore, we also have to prepare a crowd permit.” He also added that there are two types of production equipment. Hard production involves stages, booths, gates, and everything physical or tangible. On the other hand, Soft production deals with tools required to create digital content, such as digital assets. Hospitality encompasses hotels, food, and transportation arrangements.
Esports competitions are frequently sponsored by endemic brands, such as smartphone companies for mobile esports competitions or hardware manufacturers for PC esports tournaments. Sponsors can opt to give away their products to resell, while sometimes they can also lend them. It all depends on the signed contract.
“Sponsors often supply their products or services instead of finances to support the event. We call them In-kind sponsors. Sometimes, the sponsors can allow us to resell the items they provide,” said Herry. “Other times, it is only a matter of a lease, and we would have to return the sponsor’s product after the event has concluded. It is incredibly important to understand the product’s presence to make sure that we do not get into any illegal circumstances.”
In line with Herry and Irli, Nick revealed that ESL takes about a year to organize a world-class esports event. He also added that workloads significantly increase when the D day of the event gets closer.
“There is a lot of preparation to be made to hold an international event,” said Vanzetti. “First, we have to find a venue that fits our criteria and needs regarding the size of the event.” He revealed that capacity, internet availability, location, and reachability are some of the factors that ESL considers when selecting a venue.
“We will also ensure that players, talents, ESL employees, and all parties that will be attending and running the tournament are set up with the appropriate accommodations and travel needs such as visas, flight tickets, hotels, and so on,” said Vanzetti. He emphasized that ESL highly prioritizes ensuring that all parties involved in organizing esports competitions have a satisfying experience, starting from when they depart, running the event, and until they return to their respective homes.
How does a tournament organizer determine the city that will host the international esports competition? According to Herry, TOs usually adjust to the client’s goals and expectations. If the client’s goal is to reach out to their fans, then Mineski will select a city with a highly enthusiastic community in the game. On the flipside, Mineski will recommend a new city that has little to no fanbase if the client wishes to expand their gaming market to new consumers.
Vanzetti also mentioned that the size of the market or community surrounding the city is one of ESL’s primary benchmarks when determining a host location. However, another factor that ESL often takes into consideration is the local government’s interest in esports.
“The hosting city can frequently provide support to the tournament or event through various methods. For instance, they can help us get visas for the players and staff. They can also assist the marketing department or aid the venue rental or accommodation costs,” said Vanzetti. “Through the bidding system, TOs will be able to select cities that offer strategic advantages and benefits so that they can successfully organize a world-class esports event.”
However, according to Irli, the only publisher that currently uses a bidding system in choosing a city to hold an esports competition is Valve. He explained that Valve gave event organizers the opportunity to submit proposals for holding a Major tournament. It is the organizers themselves who will propose the city to be the tournament host.
“From my experience, the factors that need to be considered when organizing national and international scale events are the facilities in the city, the number of players in and around the city, accessibility to the city, such as airports, hotels, distance to the venue,” said Iril. “Product support from sponsors in the city, political conditions, and enthusiasm from local communities are also quite important.”
Tournament organizers must also be able to manage manpower or human resources (HR). According to Herry, 40 to 60 personnel are usually required to hold an online competition. This figure can expand to 80-120 people if the tournament is held offline. Moreover, to hold an international offline competition, Herry estimates that only a minimum of 150-170 people will suffice. However, not all the organizer crew is composed of Mineski’s personnel. More often than not, some are part of the “familia”, freelancers who continue to work for Mineski.
On ESL, the manpower size is even larger, usually involving more than 200 staff and contract workers according to Vanzetti. “In addition to hiring ESL staff, we often collaborate with local suppliers and companies to help us organize events,” he said. In Irli’s estimation, an organizing team holding world-class esports events like The International or LOL Worlds can approximately accumulate 200-300 staff in all positions. The number of required staff is usually correlated with the venue size and location as well.
“The bigger the event and venue, the larger the staff size needed to run the whole show, up to 500-600 people,” he said. “Fortunately, the costs of labor can often be reduced through volunteers or freelancers who are paid hourly or per day.” He used the Djakarta Warehouse Project (DWP), arguably Indonesia’s largest music, as a comparison. He said that DWP’s organizing crew can consist of a total of 1000 personnel. However, the core team usually consists of only 50-100 people. The rest of the crew is filled with volunteers and freelancers who look to support the event.
Olympic Viewership Trends and Esports Competitions
Viewership can be a barometer of the success of a particular event. Unfortunately, when it comes to comparing the successes of the Olympics and esports tournaments, viewership can be a tricky metric to handle. The reason is simple: these two events are broadcasted in different media.
Unlike TV, there is no such thing as ratings in streaming broadcasts. Instead, the average or peak number of viewers and watch hours are more relevant statistics when it comes to streaming. Therefore, in order to compare the Olympic viewership with TI and LOL Worlds, we need to consider the viewership statistics in each of the events and observe any general trends (upwards or downwards) that might be present.
In the United States, the Olympics are usually broadcast by NBC (National Broadcasting Company). According to data from Nielsen, 16.9 million people watch the Tokyo Olympics opening ceremony. If we compare this figure with the viewer numbers in previous years, 2021 holds the unwanted record of the smallest number of viewers. Furthermore, Tokyo Olympics viewership numbers were half of Rio de Janeiro’s Olympics spectator numbers in 2016. NBC, unfortunately, might regret their $7.65 billion USD Olympics broadcast rights contract extension that lasts until 2032 after facing this downward trend.
Here’s the Tokyo Olympics viewership numbers compared to the five-day Rio Olympics:
Tuesday, 27 July 2021, viewership dropped by 58%
Wednesday, July 28, 2021, viewership dropped by 53%
Thursday, July 29, 2021, viewership dropped by 43%
Saturday, July 31, 2021, viewership dropped by 57%
Sunday, August 1, 2021, viewership dropped by 51%
As you can see from the data above, the drop in viewers in the Tokyo Olympics is catastrophic. According to an AP News report, the peak viewership of the Tokyo Olympics broadcasted on NBC occurred on Thursday, July 29, 2021, which was 16.2 viewers. Even so, this figure is still 43% lower than that of the Rio Olympics 4 years ago.
NBC Universal CEO Jeff Shell hypothesized several factors that caused the plunge in this year’s Olympic broadcast. One of the most obvious factor is the pandemic, which ultimately postponed the Olympics by a whole year. The pandemic also prohibited live spectators who want to watch the event in person. Another factor is the adjustment of broadcast hours. The time difference between Tokyo and Washington DC is a whopping 13 hours. To combat this problem, NBC and other media companies offer broadcasts from more platforms and more schedules. However, according to Reuters, this actually confuses the viewers and hinders them from finding the content they want to watch.
Now, let’s move on to the viewership of The International and LOL Worlds.
I will use the most common metrics or measure of viewership, namely hours watched, the average number of viewers, and the peak number of viewers. For my source of data, I referred to Esports Charts. As a side note, The International 2020 had to be postponed due to the COVID-19 pandemic. Therefore, the statistics for this year’s International will be intentionally left out as 0.
As you can see in the chart above, The International’s viewership continues to show an upward trend across all metrics in the past few years. The viewership number of LOL Worlds also seems to follow the same exact trend. During 2019 in particular, the average number of viewers even experienced rapid growth, almost 60% greater than the last year. However, in terms of peak viewers and hours watched, LOL Worlds’ figures occasionally stagnate or decline marginally.
You can also see the viewership for LOL Worlds 2020 and The International 2019 in the diagrams below.
Of course, the Olympics’ viewership numbers are far more superior to any esports events in history. However, esports has one other advantage over the Olympics: a younger demographic of viewers. As of 2016, the average age of an Olympic spectator was 53 years old. On the other hand, the average age of an esports audience is 26 years old. If you want to understand what this data suggests, you can take a look at this article here.
Profitability
Besides viewership, another metric that can be used to measure the success of a particular event is its ability to yield financial gain, or profitability for short. So let’s take a deeper look at the detailed costs involved in running the Olympics and esports events as well as the advantages/disadvantages of the host city.
The financial resources prepared by different host cities to hold the Olympics vary. However, one thing is for sure, the funds allocated can reach billions or even tens of billions of dollars. For instance, the 2018 Winter Olympics in Pyeongchang is estimated to cost $12.9 billion USD, and the 2010 Winter Olympics in Vancouver cost $6.4 billion USD. Similarly, to host the 2012 Olympics and Paralympics, London allocated a budget of around $14.6 billion USD. To hold the 2008 Olympics, Beijing reportedly spent $42 billion USD.
Of course, these funds are not only spent on sports infrastructure, such as stadiums. As Investopedia noted, cities designated to host the Olympics will usually also work on developing other basic infrastructures by building new roads, or renovating airports, or building new hotels to accommodate the population surge during the Olympics.
During the 2016 Olympics, Rio reportedly built 15 thousand new hotel rooms to accommodate the potential tourists. Sochi spent $42.5 billion USD to build non-sporting infrastructure for the 2014 Olympics. Of the tens of billions of dollars Beijing spent on the 2008 Olympics, $22.5 billion USD was spent on renovating roads, airports, subways, and trains. They also spent $11.25 billion USD to clean up the city environment.
The improvement of infrastructure that the host government requires will, in turn, open up thousands of new job vacancies in the city. This is one of the advantages of taking up the opportunity in hosting the Olympics. Morever, the flock of sponsors, media, athletes, and spectators that visit the city will generate a lot of revenue for the local government.
Apart from tourists, the Olympics also have several other sources of income. One of them is the sale of licenses. Unfortunately, since the 2008 Olympics, Olympic license prices have continued to fall. You can see this in the graph below, obtained from Statista.
Marketing is another source of income for the Olympics. Unlike license prices, the Olympic income from marketing shows an upward trend for the past few years. Between 2013-2016, revenue from marketing did experience a minor decline from $8 billion USD in 2009-2012 to $7.8 billion USD in 2013-2016. But of course, this 3% drop is not very large by any standards.
Unfortunately, hosting the Olympics also poses its own problems. Despite the enormous costs incurred to organize the Olympics, host cities frequently find diminishing returns from the event. To hold the 2010 Winter Olympics, Vancouver spent a colossal $7.6 billion USD but only managed to rack up a profit of $2.8 billion USD.
Sometimes, the Olympics don’t even provide that many new job opportunities in the city. For example, Salt Lake City (the host of the 2002 Olympics) reportedly only found 7 thousand new job openings, 10 times smaller than its initial estimations. Even worse, most of the job availability is usually aimed at individuals with existing jobs. Therefore, the argument that the Olympics can potentially solve the problems of unemployment is simply inaccurate.
More often than not, a large proportion of business opportunities that result from hosting the Olympics also benefit international companies instead of local enterprises. However, the biggest issue of hosting the Olympics is the abandonment of the infrastructure built for the event. When the Olympics come to a close, athletes villages and sports stadiums essentially serve no more purpose and are often left out to rot.
Now that we have a clear picture of the requisites and budget of organizing the Olympics, let’s compare the required costs of holding esports events ranging from the national level to world-class tournaments such as TI or LOL Words
In terms of expenses, Vanzetti estimated that organizing world-class esports events would need a budget in the range of millions of dollars. Likewise, Herry estimates that the national-level esports tournament will cost around $500 thousand USD to US$1 million USD, while international-level tournaments would usually double that figure. He also predicts that holding The International or LOL Worlds would require a budget of $5-10 million USD. Irli also had a similar opinion with Herry, expecting that organizing TI or LOL Worlds will most likely have a minimum cost of $5 million USD.
“In terms of budget details, 50% is allocated to production, 20% to hospitality and manpower, 20% to promotions, and 10% for other miscellaneous works,” said Irli. “That’s usually the rough proportions, but it mostly depends on the client’s goals and needs. Some clients may want to focus more on increasing the production value, which means that more resources will be designated to production. Valve, for example, is always interested in creating stories and movie content based on the competition. I personally like to put more effort into producing lavish opening ceremonies, using state-of-the-art broadcasting technology, and so on.”
The content that Valve produces to support The International is True Sight. True Sight is a documentary series that showcases behind-the-scenes footage, stories, and experience of the Dota 2 pro players during TI or Majors. Unlike Valve, Riot Games prefers to present a grand opening ceremony. At LOL Worlds 2017, Riot flew a virtual dragon at the Beijing National Stadium. In 2018, Riot’s virtual K-Pop group, KDA, performed in front of the LOL World’s stage using augmented reality technology. Riot upped the performance yet again in 2019 by using cutting-edge holographic technology, which made the KDA members look highly realistic.
So, are esports tournaments profitable?
In 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events in Riot Games, revealed that Riot spends more than US$100 million per year on its esports program but is still miles away from making a return in capital. Fortunately, Riot’s effort in expanding its esports has allowed League of Legends’ esports ecosystem to thrive and attract millions of audience. Even though Riot might not have made a profit from esports for the moment, it successfully kept LOL relevant for more than 10 years. Consequently, Riot still can generate income through in-game content or sales to balance out their financial losses in esports.
When compared to traditional sports competitions like the Olympics, esports also have a different model of monetization. 40% of traditional sporting events’ income usually come from sponsorships, 40% from broadcasting, and 20% from ticket and merchandise sales. As for esports, 80% of revenue comes from sponsorships, 15% from broadcasting, and 5% from ticket and merchandise sales, according to Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).
“We could go on only one platform and be exclusive,” Dechelotte told GamesIndustry, “We may have more revenue but we lose viewership which is important because at the end of the day, it’s a marketing tool for the game. So sponsorship becomes the number one priority for us, because compared to traditional sport, it’s double the weight in terms of revenue.”
In line with Asideu, Irli also estimated that sponsorships contribute to 80% of esports events’ income, and the rest of the 20% comes from ticket sales, merchandise, and so on. “These proportions are perhaps why most esports events today are held by the game developer/publisher themselves,” he said. “Esports sadly hasn’t been able to create revenue streams from ticket sales alone. It still primarily functions as a marketing tool for publishers with the sole purpose to create exposure for the game. Events such as The International and LOL Worlds can push revenue contributions of merchandise and ticket sales to around 30%-40%, but the rest still lies on the sponsors.”
Moreover, holding international esports tournaments can highly benefit local companies in the host city. Vanzetti mentioned that ESL does have its own private equipment and personnel to maintain the integrity of its events. However, ESL also frequently works with local suppliers for stage procurement, such as sounds, lights, and LEDs.
“For some parts of the event, we usually get help from local companies, such as for the procurement of furniture, security barriers, and cameras,” said Vanzetti. “Local companies can have the opportunity to earn big profits through hosting world-class esports competitions in their city or country.”
Conclusion
Preparation for holding the Olympics is much more complicated and takes much longer than holding esports events, even for prestigious tournaments like The International or LOL Worlds. Furthermore, in terms of cost, organizing the Olympics requires a much larger budget, up to billions of dollars, compared to the million-dollar range of esports tournaments. Even so, the Olympics never fails to attract millions of television viewers around the globe. Unfortunately, the number of Olympic spectators has experienced a continuous decline for the past few years, perhaps due to the changes in modern viewing habits. More people today, especially the younger generation, simply prefer watching online streams instead of TV.
In terms of income, both the Olympics and esports events can sometimes prove to be unprofitable. However, esports has always been used primarily as a marketing tool, not as an additional income stream. Game developers’ source of revenue still stems from selling games or in-game items. As for its purpose, esports has been incredibly effective in maintaining the longevity of many franchises such as League of Legends, Dota, or Counter-Strike: Global Offensive. Rainbow Six has also benefited from its esports ecosystem, as seen by its growing number of players for the past few years.
Featured Image: Unsplash. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.
Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang jadi kian populer. Meskipun begitu, tetap ada stigma negatif yang melekat pada industri competitive gaming. Keikutsertaan esports dalam event olahraga besar — seperti SEA Games atau Asian Games — bisa membantu untuk menghapuskan stigma tersebut. Tak hanya itu, kemunculan esports di kompetisi olahraga, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Piala Presiden, juga bisa membuat masyarakat menjadi semakin tahu akan keberadaan esports.
Dari semua event olahraga, Olimpiade merupakan event yang paling bergengsi. Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang apakah esports pantas untuk masuk ke Olimpiade. Kali ini, saya akan membandingkan proses penyelenggaraan Olimpiade dengan esports events kelas dunia seperti The International dan League of Legends Worlds. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Olimpiade dan world class esportsevents memang pantas untuk disandingkan dengan satu sama lain.
Persiapan Olimpiade
Olimpiade hanya dilangsungkan selama 16 hari. Meskipun begitu, persiapan untuk menggelar event tersebut memakan waktu hingga bertahun-tahun. Persiapan dimulai dengan memilih kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengajuan untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020 (yang digelar pada 2021 karena pandemi COVID-19) telah dimulai sejak Mei 2011. Ketika itu, International Olympic Committee (IOC) menginformasikan National Olympic Committee (NOCs) bahwa mereka bisa mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020.
Pada Juni 2011, Gubernur Tokyo mengajukan kotanya sebagai tuan rumah. Selain Tokyo, ada beberapa kota lain yang juga mengajukan diri, seperti Istanbul, Madrid, Baku, Doha, dan Roma. Namun, pada akhirnya, Tokyo terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2021. Tokyo menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2021 pada September 2013.
Jangan heran jika waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan Olimpiade sangat lama. Kota yang hendak menjadi tuan rumah Olimpiade memang biasanya dpilih 7-12 tahun sebelum Olimpiade digelar. Misalnya, untuk Olimpiade Musim Dingin 2022, Beijing telah ditetapkan sebagai tuan rumah pada Juli 2015. Dan Paris dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2024 sejak September 2017. Alasan mengapa kota tuan rumah Olimpiade dipilih selama bertahun-tahun sebelumnya adalah karena menjadi tuan rumah Olimpiade memerlukan banyak persiapan.
Sebagai tuan rumah Olimpiade, sebuah kota tidak hanya harus membangun desa atlet untuk menampung para peserta Olimpiade, tapi juga membangun atau memperbaiki stadion yang akan digunakan di event bergengsi itu. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kota juga harus memperbaiki infrastruktur kota, memastikan bahwa kota mereka siap untuk menerima kedatangan banyak orang selama Olimpiade berlangsung.
Contohnya, sebagai tuan rumah Olimpiade 2021, Tokyo harus menyiapkan lebih dari 41 ribu kamar hotel untuk media, eksekutif IOC, representatif NOC, serta representatif International Sports Federations (ISF). Tak hanya itu, mereka juga harus memastikan bahwa para turis yang datang akan kebagian hotel. Sebelum pandemi, pemerintah Tokyo berencana untuk menyiapkan kapal pesiar di pelabuhan Tokyo sebagai hotel sementara. Namun, rencana itu dibatalkan karena tidak banyak penonton yang hadir untuk menonton Olimpiade tahun ini secara langsung.
Untuk para atlet, Tokyo harus membangun desa atlet. Mereka tidak bisa sembarangan membangun desa atlet. Ada berbagai ketentuan yang harus mereka penuhi, seperti lokasi desa atlet harus dekat dengan stadion atau lokasi tempat perlombaan. Paling jauh, jarak desa atlet dengan tempat lomba adalah 50 kilometer atau 1 jam berkendara menggunakan mobil. Jika ada tempat kompetisi yang jauh dari desa atlet, maka tuan rumah harus membangun desa atlet lain yang dekat dengan lokasi perlombaan tersebut. Sebagai contoh, pada Olimpiade Musim Dingin 2014, Rusia membuat dua desa atlet. Pertama, desa atlet utama yang terletak di Sochi. Kedua, desa atlet yang ada di Roza Khutor, untuk atlet ski dan snowboard.
Persiapan Esports Events
Sekarang, mari kita bandingkan persiapan Olimpiade dengan persiapan yang tournament organizer (TO) harus lakukan untuk menggelar kompetisi esports, mulai dari turnamen di level nasional sampai tingkat internasional. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan kompetisi esports, Hybrid.co.id menghubungi Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia dan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. Kedua pria ini jelas punya pengalaman dalam mengadakan esports events tingkat nasional dan internasional.
Selain Herry dan Irli, Hybrid.co.id juga menghubungi ESL, yang merupakan salah satu penyelenggara kompetisi esports paling konsisten dalam menggelar esports events skala besar. Turnamen-turnamen esports tingkat internasional terbesar dan terpopuler sudah biasa jadi garapan ESL. Kali ini, SVP, Managing Director, ESL Asia Pacific Japan, Nick Vanzetti yang akan mewakili ESL memberikan insight-nya.
Herry mengatakan, untuk mengadakan kompetisi esports tingkat nasional, biasanya diperlukan waktu persiapan selama 3-6 bulan. Sementara untuk mengadakan kompetisi level internasional, waktu yang diperlukan akan bertambah menjadi dua kali lipat, sekitar 6-12 bulan. Sementara itu, Irli menyebutkan bahwa persiapan untuk mengadakan esports events sekelas The International atau LOL Worlds akan memakan waktu sekitar 8-12 bulan.
“Idealnya, waktu persiapan itu sekitar 8-12 bulan. Planning phase dan concepting butuh waktu sekitar 3-4 bulan, detailing perlu waktu 2-3 bulan, promosi akan dimulai pada 2-3 bulan sebelum event berjalan,” kata Irli melalui pesan singkat. “Setelah itu, eksekusi dan post event.” Dia menambahkan, “World class event, it is all about capturing the moments, about the experience untuk orang-orang yang nonton, baik di venue ataupun secara online. Tugasnya organizer? Membuat kesempatan sebanyak mungkin agar para stakeholder bisa mendapatkan momen tersebut.”
“Momen seperti apa? Untuk audiens biasa, stage yang ‘wah’ dan konten yang menghibur. Buat audiens hardcore, final match yang caster-nya sangat iconic. Buat yang punya pengalaman EO, event yang jalannya rapi, dan buat yang suka musik, soundtrack yang benar-benar nyangkut di hati,” ungkap Irli.
Ketika hendak menggelar esports events, Irli menjelaskan, secara umum, ada empat stakeholders yang harus diperhatikan. Keempat stakeholders itu adalah pemain/talent, audiens, sponsor, serta developers atau IP owners. Kru juga menjadi stakeholder lain yang harus dipertimbangkan oleh pihak organizer. Irli menambahkan, tergantung pada skala sebuah kompetisi, kemungkinan, ada stakeholders lain yang harus diperhaikan, seperti pemerintah atau perusahaan pesaing.
“Yang penting, kita sebagai organizer harus memikirkan banget semua hal-hal di atas: apa yang bisa membuat event menjadi memorable (dalam arti positif) untuk semua stakeholders. Untuk membuat event menjadi memorable bagi semua stakeholder, kebutuhannya beda-beda,” kata Irli. “Hotel bagus untuk kru dan makanan yang enak. LO talent yang bagus serta fasilitas pendukung supaya ketika mereka tampil di panggung nggak pakai ribet, dan audiens mendapatkan tontontan yang tidak ngaret serta production value-nya bagus; untuk sponsor, KPI-nya terpenuhi dan lain-lain.”
Ketika ditanya soal persiapan yang harus dilakukan oleh organizer, Herry memberikan rincian tentang segala sesuatu yang harus disiapkan oleh organizer, seperti:
1. Venue dan mandatory
2. Hard production and soft production
3. Properti
4. Peralatan produksi
5. Hospitality
6. Talents
7. Internet dan komunikasi
8. Miscellanous things, seperti alat tulis atau hard disk jika diperlukan
“Yang dimaksud dengan mandatory adalah segala sesuatu yang harus disiapkan ketika kita menggunakan sebuah venue,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telepon. “Misalnya, jika kita ingin menggunakan Tennis Indoor Senayan, kita harus menyediakan pemadam kebakaran dan ambulans, sesuai dengan standar dari mereka. Tak hanya itu, kami juga harus menyiapkan izin keramaian.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, hard production mencakup stage, booth, gate, dan segala sesuatu yang bersifat fisik, sementara soft production mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk membuat konten digital, seperti aset digital. Sementara hospitality mencakup hotel, makanan, serta transportasi.
Tidak jarang, kompetisi esports akan disponsori oleh merek endemik, seperti perusahaan smartphone untuk kompetisi esports mobile atau perusahaan pembuat hardware untuk turnamen esports PC. Terkait produk dari sponsor, terkadang, sponsor akan memberikan produk mereka dan kadang kali, mereka hanya akan meminjamkan produk tersebut. Hal itu akan tergantung pada kontrak yang sudah ditandatangani.
“Ada sponsorship dalam bentuk barang. Kita boleh untuk menjual lagi barang ini,” kata Herry. “Tapi, juga ada sponsor yang memberikan dalam bentuk pinjaman. Jadi, yang penting, presence produk mereka ada selama kompetisi.”
Senada dengan Herry dan Irli, Nick mengungkap bahwa ESL membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengadakan world class esports events. Dia menambahkan, semakin dekat dengan hari H, maka semakin besar pula beban kerja ESL.
“Ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggelar event internasional,” ujar Vanzetti. “Pertama, kami harus mencari venue yang sesuai dengan kebutuhan kami. Hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar event yang hendak kami adakan.” Dia mengungkap, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan ESL sebelum memilih sebuah venue, yaitu kapasitas, ketersediaan internet, dan lokasi dari venue tersebut, apakah ia mudah dijangkau atau tidak.
“Kami juga akan memastikan agar pemain, talents, karyawan ESL, dan semua pihak yang harus pergi ke kota tempat kompetisi diadakan, bisa mendapatkan akomodasi yang memadai, seperti visa, tiket penerbangan, hotel, dan lain sebaganya,” ungkap Vanzetti. Dia menekankan, salah satu prioritas ESL sebagai organizer adalah memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi esports mendapatkan pengalaman yang memuaskan, mulai dari ketika mereka berangkat, sepanjang acara, sampai mereka kembali ke rumah masing-masing.
Lalu, bagaimana organizer menentukan kota yang menjadi tuan rumah untuk kompetisi esports internasional? Herry menyebutkan, ketika hendak memilih kota tuan rumah, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan keinginan klien. Jika tujuan klien adalah untuk memberikan fans service pada pecinta game mereka, maka Mineski akan menggelar kompetisi di kota yang masyarakatnya sudah mengenal game tersebut. Sebaliknya, jika klien ingin membangun pasar baru dan memperkenalkan game mereka ke pontesial konsumer, maka Mineski akan mengadakan kompetisi di kota yang masyarakatnya justru tak terlalu mengenal game milik klien.
Vanzetti juga menyebutkan, besar pasar di sebuah kota atau negara memang jadi salah satu tolok ukur ESL dalam memilih kota/negara tuan rumah dari sebuah kompetisi esports. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah ketertarikan pemerintah akan esports.
“Kota yang terpilih sebagai tuan rumah bisa memberikan dukungan dalam berbagai cara. Misalnya, mereka bisa membantu kita untuk mendapatkan visa bagi pemain dan staf. Mereka juga bisa mendukung bagian marketing atau membantu biaya sewa venue atau akomodasi,” ungkap Vanzetti. “Melalui sistem bidding, TO akan bisa bekerja sama dengan kota yang menawarkan keuntungan strategis sehingga mereka bisa mengadakan esports event kelas dunia yang memuaskan.”
Namun, seperti yang disebutkan oleh Irli, saat ini, satu-satunya publisher yang menggunakan sistem bidding dalam memilih kota untuk menggelar kompetisi esports adalah Valve. Dia menjelaskan, Valve memberikan kesempatan pada para event organizer untuk mengajukan proposal dalam menggelar turnamen Major. Para organizer tersebutlah yang akan mengajukan kota yang menjadi tuan rumah dari sebuah kompetisi.
“Dari pengalaman guehandle event-event skala nasional dan internasional, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah fasilitas di kota tersebut, jumlah pemain di kota itu, jumlah pemain di kota-kota sekitar, accessibility ke kota itu, seperti bandara, hotel, jarak dengan venue,” kata Irli. “Support produk dari sponsor di kota itu, kondisi politik di kota tersebut, dan antusiasme dari warga lokal.”
Dalam mengadakan kompetisi esports, organizer juga harus bisa mengatur manpower alias sumber daya manusia (SDM). Herry menyebutkan, untuk mengadakan kompetisi online, diperlukan sekitar 40-60 orang. Angka ini bisa menggelembung menjadi 80-12 orang jika turnamen diselenggarakan secara offline. Sementara untuk mengadakan kompetisi offline level internasional, dia menyebutkan, akan diperlukan sekitar 150-170 orang. Namun, tidak semua kru tersebut merupakan pekerja dari Mineski. Sebagian merupakan bagian dari “familia”, yaitu freelancer yang memang terus bekerja untuk Mineski.
Soal jumlah SDM yang diperlukan dalam menggelar world class esports events, Vanzetti menyebutkan, ESL biasanya akan membutuhkan sekitar 200 staf dan pekerja kontrak. “Selain mempekerjakan staf ESL, kami juga menjalin kontrak dengan supplier dan perusahaan lokal untuk membantu kami mengadakan event,” ujarnya. Menurut estimasi Irli, menggelar world class esports event layaknya The International atau LOL Worlds akan membutuhkan sekitar 200-300 staf di segala posisi. Jumlah staf yang diperlukan akan berbanding lurus dengan besar lokasi turnamen digelar.
“Semakin besar event dan venue-nya, lebih banyak orang yang dibutuhkan untuk handle floor, bisa sampai 500-600 orang,” ujarnya. “Tapi, biaya untuk bagian ini bisa ditekan, karena bisa menggunakan volunteer atau freelancer yang dibayar per jam atau per hari.” Dia menjadikan Djakarta Warehouse Project (DWP) sebagai perbandingan. Dia menyebutkan, festival musik terbesar Indonesia itu membutuhkan sekitar seribu kru. Namun, tim intinya hanya berisi 50-100 orang. Sementara ratusan orang sisanya merupakan freelancer atau volunteer.
Tren Viewership Olimpiade dan Kompetisi Esports
Viewership bisa menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan dari sebuah event. Sayangnya, viewership Olimpiade tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan kompetisi esports, bahkan dengan event seperti The International atau LOL Worlds sekalipun. Alasannya sederhana: karena metrik yang digunakan berbeda. Biasanya, jumlah penonton TV menjadi salah satu cara untuk mengukur kesuksesan Olimpiade.
Sementara itu, banyak kompetisi esports yang tidak disiarkan di TV. Kebanyakan konten esports disiarkan di platform streaming, seperti Twitch dan YouTube. Alhasil, metrik yang digunakan pun biasanya bukan rating, tapi hours watched serta jumlah penonton rata-rata dan jumlah peak viewers. Karena itu, untuk membandingkan viewership Olimpiade dengan TI dan LOL Worlds, saya memilih untuk membandingkan tren viewership dari keduanya: apakah tren viewership menunjukkan tren naik atau turun.
Di Amerika Serikat, Olimpiade biasanya disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penonton tahun ini mencetak rekor sebagai jumlah penonton paling sedikit, menurut data dari Nielsen. Tak hanya itu, selama Olimpiade Tokyo berlangsung, jumlah penonton di NBC hanya mencapai setengah dari jumlah penonton Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016. Padahal, NBC telah menghabiskan US$7,65 miliar untuk memperpanjang kontrak hak siar Olimpiade di AS hingga 2032.
Berikut jumlah penonton Olimpiade Tokyo jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio selama lima hari:
Selasa, 27 Juli 2021, jumlah penonton turun 58%
Rabu, 28 Juli 2021, jumlah penonton turun 53%
Kamis, 29 Juli 2021, jumlah penonton turun 43%
Sabtu, 31 Juli 2021, jumlah penonton turun 57%
Minggu, 1 Agustus 2021, jumlah penonton turun 51%
Jumlah penonton Olimpiade di NBC pada hari Minggu, 1 Agustus 2021, hanya mencapai 13 juta orang. Padahal, pada Olimpiade Rio, jumlah penonton mencapai 26,7 juta orang. Menurut laporan AP News, peak viewers dari siaran Olimpiade di NBC terjadi pada Kamis, 29 Juli 2021. Ketika itu, itu, jumlah penonton mencapai 16,2 juta orang. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan jumlah penonton Olimpiade Rio, jumlah penonton saat itu masih 43% lebih rendah.
CEO NBC Universal, Jeff Shell menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rating siaran Olimpiade pada tahun ini terjun bebas. Salah satunya adalah karena Olimpide harus diundur satu tahun akibat pandemi. Tahun ini, masyarakat juga tidak disarankan untuk datang dan menonton Olimpiade secara langsung. Bagi perusahaan broadcast asal AS, mereka juga harus menyesuaikan jam tayang. Pasalnya, jeda waktu antara Tokyo dan Washington DC mencapai 13 jam. Untuk mengakali hal tersebut, NBC serta perusahaan media lain berusaha untuk menawarkan siaran Olimpiade melalui berbagai platform pada jam yang berbeda-beda. Namun, Reuters menyebutkan, hal ini justru membuat para penonton kebingungan.
Sekarang, mari kita beralih ke viewership dari The International dan LOL Worlds. Ada tiga metrik yang saya gunakan sebagai tolok ukur, yaitu hours watched, jumlah penonton rata-rata, dan jumlah peak viewers. Saya menggunakan data dari Esports Charts. Sebagai catatan, penyelenggaraan The International 2020 harus ditunda karena pandemi COVID-19. Karena itu, jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari kompetisi itu pada 2020 tertulis 0.
Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, dari tahun ke tahun, viewership The International terus menunjukkan tren naik di semua metrik. Untuk LOL Worlds, jumlah penonton rata-rata juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 60%. Namun, dari segi peak viewers dan hours watched, viewership LOL Worlds tidak selalu menunjukkan tren naik. Sesekali, jumlah hours watched dan peak viewers dari LOL Worlds stagnan atau menunjukkan sedikit penurunan.
Anda juga bisa melihat viewership untuk LOL Worlds 2020 dan The International 2019 pada grafik di bawah.
Jika Anda membandingkan jumlah penonton Olimpiade dengan jumlah peak viewers dari esports events, kompetisi esports memang masih kalah. Namun, esports punya satu keunggulan lain dari Olimpiade, yaitu umur rata-rata penonton yang lebih muda. Per 2016, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 53 tahun. Sementara itu, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang masalah ini, saya pernah membahasnya di sini.
Money, Money, Money~
Selain viewership, metrik lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah sebuah event sukses atau tidak adalah uang. Karena itu, saya akan membahas soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan Olimpiade serta esports events dan juga keuntungan/kerugian yang didapat oleh kota tuan rumah.
Besar biaya yang disiapkan oleh kota tuan rumah untuk mengadakan Olimpiade berbeda-beda. Satu hal yang pasti, dana yang dialokasikan bisa mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar dollar. Misalnya, Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang membutuhkan biaya sebesar US$12,9 miliar dan biaya untuk Olimpide Musim Dingin 2010 di Vancouver mencapai US$6,4 miliar. Sementara untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade 2012, London mengeluarkan sekitar mencapai US$14,6 miliar. Untuk menggelar Olimpiade 2008, Beijing menghabiskan US$42 miliar.
Tentu saja, dana tersebut tidak hanya dihabiskan untuk infrastruktur olahraga, seperti stadion. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade biasanya juga akan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan membangun jalan atau memperbaiki bandar udara. Selain itu, kota tuan rumah juga biasanya membangun infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk mengakomodasi lonjakan populasi selama Olimpiade, seperti hotel.
Sebagai contoh, untuk menyambut Olimpiade 2016, Rio membangun 15 ribu kamar hotel baru untuk mengakomodasi turis. Sementara Sochi mengeluarkan US$42,5 miliar untuk membangun infrastruktur non-olahraga demi Olimpiade 2014. Dari puluhan miliar dollar yang Beijing keluarkan untuk Olimpiade 2008, sebanyak US$22,5 miliar mereka habiskan untuk membangun jalan, bandar udara, kereta bawah tanah, dan kereta api. Mereka juga menghabiskan US$11,25 miliar untuk membersihkan lingkungan.
Karena pemerintah mendadak membuat banyak program infrastruktur, maka muncul banyak lowongan pekerjaan baru. Hal ini menjadi salah satu keuntungan yang didapat oleh kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Selain itu, pemerintah kota juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra karena selama enam bulan sebelum dan sesudah Olimpiade, ribuan sponsor, media, atlet, dan penonton akan hadir ke kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade.
Selain turis, Olimpiade juga punya beberapa sumber pemasukan lain. Salah satunya adalah penjualan lisensi. Sayangnya, sejak Olimpiade 2008, harga lisensi Olimpiade terus turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Statista.
Marketing menjadi sumber pemasukan lain untuk Olimpiade. Kabar baiknya, dari tahun ke tahun, pemasukan Olimpiade dari marketing menunjukkan tren naik. Pada periode 2013-2016, pemasukan dari marketing memang sempat turun. Namun, penurunan itu tidak besar, hanya 3%, dari dari US$8 miliar pada periode 2009-2012, menjadi US$7,8 miliar pada periode 2013-2016.
Sayangnya, menjadi tuan rumah Olimpiade juga menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah yang paling utama adalah kerugian finansial. Alasannya, pemasukan yang didapat dari Olimpiade biasanya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai contoh, London hanya mendapatkan US$5,2 miliar. Sementara itu, untuk mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2010, Vancouver mengeluarkan US$7,6 miliar dan hanya mendapatkan US$2,8 miliar.
Selain itu, terkadang, jumlah lowongan pekerjaan baru yang muncul juga tidak sebanyak perkiraan. Misalnya, Salt Lake City (tuan rumah Olimpiade 2002) hanya mendapatkan 7 ribu lowongan pekerjaan baru, padahal, diperkirakan, jumlah lowongan baru yang muncul akan mencapai 10 kali lipat dari itu. Seolah itu tidak cukup buruk, kebanyakan lowongan pekerjaan baru yang muncul justru ditujukan untuk orang-orang yang memang sudah punya pekerjaan. Alhasil, jumlah pengangguran di kota tuan rumah tetap sama.
Peluang bisnis yang muncul berkat Olimpiade juga biasanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional, seperti perusahaan konstruksi atau restoran. Dengan kata lain, penyelenggaraan Olimpiade tidak selalu menguntungkan pelaku bisnis lokal di kota tuan rumah. Terakhir, masalah yang mungkin dihadapi pemerintah kota tuan rumah Olimpiade adalah terbengkalainya infrstruktur yang dibangun untuk Olimpiade — seperti desa atlet dan stadion olahraga — setelah Olimpiade berakhir. Dalam beberapa dekade belakangan, muncul certa “horor” akan infrastruktur bekas Olimpiade yang menjadi terbengkalai. Hal ini pernah terjadi di Turin, Italia, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2006.
Oke, sekarang, mari kita bandingkan biaya yang diperlukan untuk mengadakan esports event, mulai dari kompetisi nasional, sampai kompetisi kelas dunia seperti The International atau LOL Worlds.
Untuk masalah biaya, Vanzetti menyebutkan bahwa esports events kelas dunia akan memakan biaya sekitar jutaan dollar. Sementara itu, Herry memperkirakan, turnamen esports tingkat nasional akan memakan biaya sekitar US$500 ribu sampai US$1 juta. Untuk kompetisi esports international, maka biaya itu akan menggelembung menjadi dua kali lipat. Dan untuk mengadakan event seperti The International atau LOL Worlds, Herry menduga, biaya yang diperlukan akan mencapai sekitar US$5-10 juta. Senada dengan Herry, Irli juga menyebutkan bahwa dana minimal yang diperlukan untuk menggelar TI atau LOL Worlds adalah US$5 juta.
“Rinciannya, produksi 50%, hospitality dan manpowers 20%, promosi 20%, dan laiin-lain 10%,” ujar Irli. “Gambaran kasarnya seperti itu. Tapi, tergantung pada kebutuhan klien. Production value apa yang mereka mau tingkatkan. Biayanya nanti scale up dari sana. Kalau Valve, mereka itu fokus ke story, aftermovie, dan gimmick yang ada hubungannya dengan game. Sementara Riot lebih suka fokus ke opening ceremony yang mewah, teknologi broadcasting canggih, dan lain-lain.”
Salah satu konten yang Valve sediakan untuk mendukung The International adalah True Sight. True Sight merupakan seri dokumenter yang menunjukkan behind the scene dari para pemain profesional Dota 2 selama TI. Sementara itu, Riot Games lebih memilih untuk mengadakan opening ceremony yang megah. Pada LOL Worlds 2017, Riot menerbangkan naga virtual di Beijing National Stadium. Sementara pada 2018, mereka menampilkan grup K-Pop virtual dengan menggunakan teknologi augmented reality. Satu tahun kemudian, Riot kembali menampilkan grup hip-hop virtual. Hanya saja, pada 2019, mereka menggunakan teknologi hologram, yang membuat garis batas antara dunia nyata dan dunia virtual menjadi semakin mengabur.
Lalu, apakah kompetisi esports menghasilkan untung?
Pada 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events, Riot Games mengungkap bahwa Riot menghabiskan lebih dari US$100 juta per tahun untuk program esports mereka dan mereka masih jauh dari balik modal. Padahal, League of Legends merupakan salah satu game dengan ekosistem esports terbaik. Kompetisi esports League of Legends tak hanya menarik banyak penonton, Riot pun serius untuk mengembangkan liga-liga internasional untuk game mereka itu. Walau belum mendapat untung secara finansial, Riot tetap mendapatkan keuntungan dari membangun ekosistem esports League of Legends. Keberadaan skena esports League of Legends membuat game yang berumur lebih dari 10 tahun itu tetap populer. Dengan begitu, pemasukan Riot dari penjualan konten dan item dalam game tetap bisa berjalan.
Jika dibandingkan dengan Olimpiade kompetisi olahraga tradisional, kompetisi esports juga punya model mometisasi yang berbeda. Event olahraga biasanya mendapatkan pemasukan sebesar 40% dari sponsorship, 40% dari broadcasting, dan 20% dari penjualan tiket serta merchandise. Sementara untuk esports, sebanyak 80% pemasukan berasal dari sponsorship, 15% dari broadcasting, dan 5% dari penjualan tiket dan merchandise, menurut Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).
“Kami memang bisa menjual hak siar secara eksklusif untuk meningkatkan pemasukan,” kata Dechelotte pada GamesIndustry, “Tapi, walau pemasukan kami naik, viewership kami akan turun. Padahal, viewership juga penting. Karena, pada akhirnya, esports adalah alat marketing untuk game kami. Dengan begitu, sponsorship jadi prioritas nomor satu kami. Karena, dari segi persentase pemasukan, kontribusi sponsorship di pemasukan esports dua kali lipat dari pemasukan dari kegiatan olahraga tradisional.”
Senada dengan Asideu, Irli juga menyebutkan, sekitar 80% pemasukan untuk esports events memang berasal dari sponsorship. Sementara 20% lainnya berasal dari penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya. “Karena itulah, kebanyakan esports event itu diadakan oleh developer/publisher game tersebut,” ungkapnya. “Esports belum memasuki tahap bisa membuat revenue stream dari penjualan tiket saja. Fungsinya masih menjadi marketing tools dari para publisher dan output utama dari esports event adalah eksposur. Event seperti The International dan LOL Worlds bisa mendorong pemasukan dari penjualan merchandise dan tiket sampai 30-40%, tapi sisanya tetap dari sponsor.”
Kabar baiknya, penyelenggaraan kompetisi esports skala internasional juga bisa menguntungkan perusahaan lokal. Vanzetti menyebutkan, ESL memang punya peralatan sendiri demi memastikan event yang hendak mereka adakan bisa dieksekusi dengan baik. Namun, mereka juga bekerja sama dengan supplier lokal untuk pengadaan panggung, seperti sounds, lights, dan LED.
“Untuk beberapa bagian lain, kami juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, seperti untuk pengadaan furniture, security barrier, dan kamera,” ujar Vanzetti. “Di bagian ini, perusahaan lokal bisa mendapatkan untung besar berkat diselenggarakannya kompetisi esports kelas dunia di negara mereka.”
Kesimpulan
Persiapan untuk menggelar Olimpiade jauh lebih rumit dan memakan waktu yang jauh lebih lama daripada mengadakan esports events, bahkan untuk turnamen sekelas The International ataupun LOL Worlds. Tak hanya itu, dari segi biaya, mengadakan Olimpiade juga memakan biaya yang lebih besar, hingga miliaran dollar, sementara kompetisi esports “hanya” memerlukan biaya sebesar jutaan dollar. Meskipun begitu, Olimpiade tetap menarik jutaan penonton televisi. Memang, jumlah penonton Olimpiade menunjukkan tren turun. Tapi, bisa jadi hal ini terjadi karena perubahan kebiasaan menonton masyarakat, dari menonton TV menjadi menonton via aplikasi streaming.
Sementara dari segi pemasukan, baik Olimpiade maupun esports events pun tak melulu memberikan untung. Bedanya, sejak awal, esports memang digunakan sebagai alat marketing bagi publisher game. Sementara sumber pemasukan utama dari publisher itu ya tetap dari menjual game atau item dalam game. Dan esports terbukti efektif sebagai alat marketing. Buktinya, jumlah pemain Rainbow Six justru naik seiring dengan bertambahnya umur. League of Legends, Dota 2, dan Counter-Strike: Global Offensive, yang merupakan game-game tua pun masih dimainkan hingga saat ini.
Minggu lalu, NBC mengumumkan, mereka menggandeng Twitch untuk menyiarkan konten terkait Olimpiade Tokyo. Selain itu, merek e.l.f. Cosmetics mengungkap bahwa mereka juga telah membuat channel Twitch resmi. Mereka juga membuat inisiatif untuk mendukung para gamers perempuan.
Twitch Bekerja Sama dengan NBC untuk Siarkan Konten Olimpiade
Stasiun televisi asal Amerika Serikat, NBC, bekerja sama dengan Twitch untuk membuat channel baru yang akan menampilkan konten Tokyo Olimpiade. Menurut The Esports Observer, Twitch akan membuat konten live menjelang dan selama pertandingan berlangsung. Konten tersebut akan mencakup wawancara dengan para atlet dan juga kompetisi gaming bertema Olimpiade.
Tak hanya itu, konten Olimpiade yang disiarkan di Twitch ini juga akan dilengkapi dengan fitur interaktif. Misalnya, sebelum acara pembukaan, para streamers dan penonton bisa mempertahankan nyala api obor virtual dari engagement. Keputusan Twitch untuk menyiarkan konten Olimpiade tidak aneh. Memang, dalam beberapa tahun belakangan, Twitch telah membuat beberapa channel baru yang tidak ada kaitannya dengan game. Pada 2020, mereka meluncurkan kategori khusus untuk olahraga tradisional.
League of Legends World Bakal Digelar Offline di Tiongkok
League of Legends World Championship 2021 bakal digelar secara offline pada 6 November 2021, di Shenzhen, Tiongkok. Shenzhen Universiade Sports Centre, yang memiliki kapasitas penonton hingga lebih dari 60 ribu orang, dipilih sebagai stadium untuk mengadakan Worlds, menurut laporan Clutch Points. Tahun ini merupakan kali ketiga Tiongkok menjadi tuan rumah dari League of Legends World Championships. Pada 2017, Worlds diadakan di Beijing, dan pada 2020, kompetisi itu digelar di Shanghai.
“Kami tidak sabar untuk menciptakan inovasi baru yang menembus batas di dunia olahraga dan hiburan dengan Worlds 2021 dan mendefinisikan era berikutnya dari LoL Esports selama 10 tahun ke depan,” kata John Needham, Global Head of Esports, Riot Games, dikutip dari Esportz Network. “Shenzhen adalah kota paling kompetitif dan inovatif di Tiongkok. Di sana, ada ribuan startup teknologi. Kami merasa, Shenzhen merupakan kota yang sangat tepat untuk menggelar turnamen Worlds.”
Merek e.l.f. Cosmetics Buat Channel Twitch Resmi
Merek e.l.f. Cosmetics telah meluncurkan channel resmi Twitch. Mereka juga mengadakan program baru berjudul “e.l.f. You” yang bertujuan untuk mendukung dan memberdayakan gamers perempuan. Untuk merayakan peresmian channel barunya, e.l.f Cosmetics akan mengadakan acara khusus dan mengundang sejumlah streamers, seperti Autumn Rhodes, Kathleen “Loserfruit” Belsten, dan Fasffy dari Team Liquid. Acara itu juga akan dihadiri oleh Global Makeup Artist dari e.l.f. Cosmetics, Anna Bynum, lapor The Esports Observer.
Fokus dari event tersebut adalah untuk mempromosikan program e.l.f You. Salah satu acara yang menjadi bagian dari program tersebut adalah kontesn “Game Up”. Di kontes yang diadakan di TikTok pada 9 Mei-6 Juni 2021 itu, para peserta akan diminta untuk menunjukkan makeup yang mereka gunakan ketika mereka menyiapkan diri untuk melakukan streaming. Tujuh orang peserta akan keluar sebagai pemenang. Mereka akan mendapatkan berbagai peralatan streaming, seperti webcam 4K, mikrofon dan produk e.l.f.
Metafy Dapat Pendanaan US$5,5 Juta
Minggu lalu, Metafy mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan investasi US$5,5 juta. Kucuran dana ini merupakan bagian dari pendanaan tahap awal dari Metafy. Sebelum ini, mereka juga telah mendapatkan pendanaan tahap awal sebesar US$3,15 juta. CEO Metafy, Josh Fabian, mengungkap, hanya dalam waktu sekitar 9 bulan, gross merchandise value (GMV) dari Metafy telah menembus US$76 ribu.
Metafy adalah platform marketplace yang akan menghubungkan para gamers dengan pelatih. Menariknya, mereka justru lebih fokus untuk menggaet para pelatih ke platform mereka. Hal ini memungkinkan Metafy untuk memotong biaya marketing mereka. Pasalnya, para pelatih yang mereka ajak kerja sama biasanya sudah punya audiens sendiri, menurut laporan TechCrunch.
Bulan lalu, tepatnya 24 September 2020, saya memberitakan soal wujud skin dari para tim peserta esports Rainbow Six: Siege yang tergabung dalam program R6 SHARE. Program tersebut membagi tim peserta ke dalam 3 tingkat (tier), dengan masing-masing tier menerima set skin yang berbeda. Tim yang berada di tier 1 mendapat set skin paling lengkap, mulai dari Headgear, Uniform, Weapon Skin, dan Charm di dalam Rainbow Six Siege. Jika Anda cuma ingin satu bagian skin saja, Anda bisa membayar 600 R6 Credits untuk Headgear, 700 R6 Credits untuk Uniform, 500 R6 Credits untuk Charm, dan 300 R6 Credits untuk Weapon. Tapi, Anda juga bisa membeli satu set skin yang dijual seharga 1600 R6 Credit (sekitar US$5). Hasil penjualan skin tak hanya mendukung esports Rainbow Six tapi juga mendukung organisasi esports terkait, dengan sistem bagi hasil dari pemasukan yang didapatkan atas penjualan skin.
Melihat pengumuman ini, saya jadi bertanya-tanya sendiri mengapa sistem ini tidak diterapkan juga di esports lain? Selain bentuk skin-nya yang memang bagus, model seperti ini juga membuat penggemar esports bisa secara langsung mendukung tim yang digemari.
Apakah mungkin bisnis penjualan skin esports (skin berisi/bertemakan turnamen atau tim yang dibuat secara kerja sama dengan pihak terkait), bisa menjadi solusi model bisnis baru yang sama-sama menguntungkan bagi organisasi/tim peserta dan penyelenggara kompetisi? Untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan tersebut, mari coba kita kupas satu per satu terkait potensi skin esports sebagai model bisnis baru.
Mengenal Ragam Bentuk Penjualan Skin Esports
Walaupun Ubisoft baru mengumumkan model R6 SHARE pada September 2020 lalu namun sebenarnya model bagi hasil penjualan skin terbilang menjadi praktik yang cukup umum di ranah esports. Skena esports yang terbilang sebagai mempionirkan penerapan model ini adalah Counter Strike: Global Offensive (CS:GO). Tahun 2014, Valve memperkenalkan item kosmetik bernama “Stickers” yang bisa ditempelkan pada senjata yang jadi favorit Anda.
Setelah diperkenalkan, Stickers pun menjadi bagian dari esports CS:GO. Turnamen pihak ketiga yang ditasbihkan sebagai “Major”oleh Valve akan mendapatkan hak untuk membuat Stickers bergambar turnamen tersebut. Hasil penjualan Stickers tak hanya masuk ke pundi-pundi Valve tetapi juga dibagi ke penyelenggara turnamen. Selain penyelengara turnamen, Stickers juga menyertakan tim esports dan tanda tangan pemain seperti BnTeT dengan hasil penjualannya dibagi kepada pihak-pihak terkait.
Selain CS:GO, Overwatch juga jadi skena esports lain yang menerapkan hal serupa. Pengenalan Overwatch League (OWL) di tahun 2018 cukup menggemparkan skena esports karena mereka menjadi yang pertama dalam memperkenalkan liga esportsfranchise ala liga olahraga Amerika Serikat, dengan cara penyajian yang hampir serupa. Organisasi esports ternama seperti Cloud9 ataupun Gen.G Esports tidak menggunakan nama mereka sendiri di dalam Overwatch League.
Overwatch League “memaksa” investor liga franchise memulai usaha branding dari awal, dengan membuat nama tim berdasarkan nama kota. Organisasi esports populer tetap terlibat namun pada OWL nama mereka diubah, seperti Gen.G Esports menjadi Seoul Dynasty, NRG Esports menjadi San Francisco Shock, atau Cloud9 menjadi London Spitfire.
League of Legends, salah satu skena esports terbesar di dunia, juga menerapkan model serupa. Namun memang, model yang diterapkan berbeda dengan Overwatch League ataupun CS:GO. Dalam skena League of Legends, skin untuk tim esports dibuat sebagai penghargaan bagi tim yang berhasil menjadi juara World Championship.
Maka dari itu, skin esports di League of Legends menampilkan tim, tema, dan Champion yang berbeda-beda setiap tahunnya tergantung dari karakter serta Champion andalan tim juara tersebut. Tahun 2019 contohnya, FunPlus Phoenix sebagai juara World Championship 2019 diabadikan dalam bentuk skin yang tersedia untuk Gangplank andalan Gimgoon, Lee Sin andalan Tian, Malphite andalan Doinb, Vayne andalan Lwx, dan Tresh andalan Crisp.
Dalam konteks lokal, MLBB juga mulai menerapkan model serupa. EVOS Legends yang berhasil memenangkan M1 World Championship 2019, mendapatkan skin untuk hero Harith sebagai bentuk apresiasi atas kemenangan tersebut. Selain itu, pada 24 September 2020 lalu, Moonton mencoba melanjutkan langkah tersebut dengan menyajikan Battle Emote 8 tim peserta liga franchise MPL Indonesia. Battle Emote dijual seharga 109 diamonds (kira-kira sekitar 30 ribu rupiah) namun Moonton tidak menjelaskan apakah ada sistem bagi hasil atas penjualan Battle Emote ataupun skin tersebut.
Sudah ada beberapa ekosistem esports menerapkan model bagi hasil lewat skin esports, namun bagaimana potensi bisnis terhadap model tersebut? Akankah hal tersebut menjadi tren masa depan bisnis esports?
Peluang Skin Esports Sebagai Model Bisnis Esports di Masa Pandemi
Newzoo sebagai salah satu perusahan riset pasar gaming/esports sempat mengubah prediksi nilai industri esports tahun 2020, dari yang tadinya US$1,1 milllar pada Februari 2020 menjadi 950,3 juta dollar AS pada 7 Oktober 2020 lalu. Perubahan tersebut bukan yang pertama. Newzoo sempat mengubah angka prediksi menjadi US$1,059 miliar pada April 2020, lalu direvisi menjadi 973,9 juta dollar AS pada Juli 2020.
Perubahan prediksi nilai industri esports tersebut berubah karena pandemi membuat banyak event esports tatap muka jadi batal sehingga tidak ada peluang pemasukan dari penjualan tiket. Dalam pembahasan tersebut Newzoo juga menyebutkan soal peluang pemasukan merchandise yang juga menurun, dari diprediksi sebesar 76,2 juta dollar AS menjadi 52,5 juta dollar AS.
Newzoo mengatakan alasan turunnya prediksi pemasukan dari penjualan merchandise merupakan efek domino atas banyaknya event offline yang dibatalkan. Asumsinya adalah, kebanyakan penggemar membeli merchandise tim secara impulsif (jersey, syal, atau apapun) karena terhanyut dalam euforia pertandingan offline.
“Item-nya sold–out semua di 2 event tadi (MPL ID S4 dan M1). Kalau enggak kehabisan, mungkin bisa sampai Rp200 juta.” Tutur Yansen Wijaya selaku Merchandise Manager EVOS Esports kepada Yabes Elia dalam laporan tersebut.
Dampak atas hal tersebut, tim seperti EVOS Esports jadi tidak bisa berjualan merchandise secara offline. Ya… penggemar sih bisa saja membeli merchandise tim esports secara online. Tapi, rasanya kurang puas bukan jika mengenakan merchandise tersebut di rumah saja tanpa ditunjukkan di pertandingan esportsoffline?
Maka dari itu, skinesports seperti Battle Emote atau jersey digital tim esports seperti yang ada di Rainbow Six atau Overwatch League bisa menjadi alternatif potensi untuk jadi sumber pemasukan baru tim esports. Perubahan tersebut juga dirasakan dan dibahas dalam analisis Newzoo pada 25 Februari 2020 lalu. Dalam analisis tersebut, Newzoo melakukan perubahan pada sumber pemasukan ekosistem esports dan menambahkan kelompok “Digital” dan Streaming.
Dalam analisis tersebut, Newzoo menjelaskan bahwa pemasukan Digital adalah termasuk penjualan skin atau in-game items yang berkaitan dengan organisasi esports. “Penggemar dan para pemain atas game tersebut bisa membeli skin untuk menunjukkan kegemarannya terhadap suatu tim seraya menciptakan pemasukan bagi tim terkait.” Tulis Newzoo membahas soal sumber pemasukan ekosistem esports terbaru.
Lewat laporan tersebut, baik versi bulan Feburari ataupun Oktober, Newzoo memprediksi bahwa sumber pemasukan dari sumber Digital adalah sebesar 21,5 juta dollar AS (sekitar Rp317 miliar), meningkat sekitar 60,9% dibanding tahun sebelumnya pada bulan yang sama.
Jumlah tersebut memang bukan yang terbesar, karena berada di peringkat ke-5 dibanding dengan sumber pemasukan lain di ekosistem esports. Sumber pemasukan terbesar masih dipegang oleh Sponsorship, dengan jumlah sebesar 584,1 juta dollar AS.
Apalagi, selain keuntungan secara materi, skin esports (seperti yang ada di Overwatch League) juga memberikan benefit bagi tim esports untuk dapat melakukan branding lebih gencar.
Mengapa demikian? Hal tersebut mengingat sebuah turnamen esports yang lebih banyak menyajikan tayangan in-game daripada menayangkan sang pemain itu sendiri. Dalam konteks olahraga, tim yang masuk liga utama berarti punya kesempatan lebih banyak untuk melakukan branding karena jersey beserta segala sponsor yang tertempel di sana tampil dalam tayangan pertandingan yang berjalan setidaknya 45 menit x 2 babak.
Bagaimana dengan esports? Mari coba kita kira-kira dengan melihat MPL Indonesia. Dalam MPL ID, setiap pertandingan biasanya menyajikan 4 hal, pertama proses drafting dengan menunjukkan kondisi pemain yang sedang berdiskusi, kedua pertandingan yang hanya memperlihatkan kondisi in-game saja, ketiga suasana kemenangan tim, yang ditutup dengan post-match interview yang kembali menampilkan sang pemain.
Durasi proses drafting kurang lebih sekitar 5-10 menit. Selama proses tersebut, pemain yang sedang diskusi diperlihatkan dengan menggunakan jersey, itu pun secara berganti-gantian antara tim yang bertanding. Lalu fase pertandingan biasanya berjalan dengan durasi sekitar 15-25 menit, tergantung seberapa ketat persaingan antar 2 tim. Pasca pertandingan MPL ID biasanya akan menunjukkan suasana kemenangan tim yang bertanding dan post-match interview, dengan total durasi sekitar 10-15 menit.
Berdasarkan urutan tayangan tersebut, berarti MPL ID menyorot pemain yang mengenakan jersey beserta para sponsor yang tertempel selama sekitar 15-25 menit. Sementara 15-25 menit sisanya tim esports jadi minim branding karena sarana branding di dalam game bagi tim esports memang minim, hanya overlay logo serta nama tim di bagian atas tayangan dan tag nama tim yang ada di depan nickname para pemain.
https://youtu.be/5gcxQDuLRbg?t=4599
Untungnya sekarang sudah ada Battle Emote yang kebetulan memang rajin digunakan oleh para pemain untuk taunting sehingga branding tim esports peserta liga franchise MPL bisa jadi lebih maksimal. Namun sponsor tim terkait yang hanya mendapatkan logo di jersey terbilang jadi kurang maksimal karena hanya tampil di 15-25 menit ketika fase drafting dan sorotan momen kemenagan. Tetapi untungnya juga MPL menyajikan talkshow bertajuk MPL Quickie yang memberi tim lebih banyak waktu menampilkan jersey beserta logo sponsor yang tertempel.
Namun, itu hanya baru menghitung dari apa yang ditayangkan MPL ID saja. Di luar itu, para organisasi esports sebenarnya sudah melakukan branding masing-masing terhadap sponsor-sponsor yang mereka miliki entah lewat konten video ataupun media sosial. Terlepas dari itu, penambahan skinesports/brandingin-game memiliki potensi untuk bisa memaksimalkan, menarik sponsor baru, dan bahkan menciptakan sumber pemasukan baru bagi liga.
Sejauh pembahasan ini, kehadiran skin esports bisa dibilang banyak untungnya bagi tim esports. Tetapi keputusan dan pembuatan skin esports tetap dipegang oleh pihak pertama, yaitu developer/publishergame terkait. Bagaimana potensi skin esports sebagai sumber pemasukan baru bagi sang developer? Bikin untung atau justru bikin buntung?
Skin Esports Menguntungkan Tim Esports, Tapi Bikin Buntung Developer?
Satu hal yang pasti adalah menciptakan sebuah konten di dalam game membutuhkan waktu serta tenaga yang tidak sedikit. Laporan Business Insider tahun 2019 lalu mengatakan bahwa gamedeveloper kadang dipaksa untuk bekerja lembur secara intens, yang populer disebut sebagai “crunch culture“. Permasalahan Crunch Culture sempat menyeruak pada tahun 2019 lalu, ketika banyak pekerja di industri game di barat bersuara soal budaya kerja di perusahaan game yang toxic.
Crunch Culture mungkin tidak terjadi di semua perusahaan game. Tetapi dari kasus tersebut kita bisa belajar bagaimana pembuatan sebuah kontengame bisa membuat pekerja kreatif sampai batuk darah atau mengalami trauma berat, pada tingkat yang paling ekstrim.
Salah satu pembahasan yang bisa dijadikan gambaran terhadap bagaimana pembuatan konten in-game (termasuk skinesports) berdampak kepada para pekerjanya adalah dari Epic Games mengasuh Fortnite. Kalau Anda sedikit banyak mengikuti perkembangan Fortnite, Anda mungkin tahu bagaimana game Battle Royale besutan Epic Games tersebut terkenal punya banyak sekali ragam konten menarik yang bisa dibeli ataupun dinikmati di dalam game.
Namun, biaya atas kemakmuran tersebut adalah “kerja rodi” yang dilakukan oleh para pegawainnya. Laporan Polygon tahun 2019 mengatakan jika beberapa pekerja harus bekerja sampai 70 jam per pekan (jam kerja normal adalah sekitar 40 jam per pekan), dan bahkan ada beberapa pekerja lain yang harus bekerja sampai dengan 100 jam per pekan.
Salah satu alasan atas hal tersebut adalah karena Fortnite berusaha menyajikan konten in-game (skin atau update apapun) secepat mungkin, sesering mungkin. Mengusung model bisnis Games as a Service membuat Epic Games punya keinginan membuat Fortnite terus relevan bagi para pemainnya.
Agar tetap relevan, game harus terus menyertakan sesuatu yang baru, entah itu konten skin, pembaruan di dalam game, ataupun konser virtual. Konten skin dan pembaruan dalam game tersebut tentunya dibuat oleh pekerja manusia, yang berdasarkan laporan Polygon, dieksploitasi oleh perusahaan.
Selain itu, hal lain yang perlu diingat adalah esports dan olahraga tradisional memang punya satu perbedaan jelas, yaitu kehadiran pihak pertama sebagai pemilik dari permainan yang dipertandingkan. Dalam olahraga tradisional seperti sepak bola, misalnya, tidak ada orang atau perusahaan yang memiliki permainan sepak bola. Permainan sepak bola akan terus ada selamanya, selama masih ada yang main dan ingat peraturan olahraga permainan tersebut.
Tetapi dalam esports, suatu permainan bisa saja mati bila yang maha kuasa (developer) telah berkehendak, walaupun masih banyak orang yang ingin main game tersebut. Contoh nyatanya pun ada, yaitu Vainglory, yang dimatikan secara halus lewat perubahan sistem menjadi Community Edition walau sebenarnya masih cukup banyak orang ingin memainkan game tersebut.
Bahkan jika bicara dalam konteks esports, pengembang game sebenarnya juga bisa saja fokus berjualan game tanpa menghadirkan esports kalau mereka mau, seperti kasus Nintendo dengan komunitas esports Super Smash Bros. Jangankan Nintendo, Valve pemilik Dota 2 yang jelas-jelas berhasil mengumpulkan 40 juta dollar AS dari komunitas berkat iming-iming esports bahkan pernah mempertanyakan soal apa pentingnya esports dan kehadiran tim yang bertanding. Hal tersebut terungkap lewat tulisan shoutcaster Dota 2 asal Amerika Serikat, Kyle Freedman yang menceritakan pertemuan antara Valve dengan tim-tim peserta The International 9. Dalam pertemuan tersebut, Valve bertanya, “kami tidak mengerti, apa yang dilakukan oleh tim (esports) terhadap Dota 2. Kenapa kami membutuhkan kalian?”
Jadi jika ditanya bagaimana potensi skin esports sebagai model bisnis baru? Mungkin ada, apa yang dilakukan Ubisoft lewat program R6 SHARE mungkin bisa dibilang sebagai bentuk usaha Ubisoft menguji potensi tersebut. Tapi penentuan apakah suatu konten harus ada atau tidak di dalam game, tetap ada di tangan developer yang tentunya harus memikirkan apakah biaya, waktu, serta tenaga yang digunakan untuk membuat sebuah skin bisa setimpal hasilnya.
Beberapa bulan belakangan, banyak kompetisi olahraga yang harus dibatalkan karena pandemi virus corona. Namun, turnamen esports masih bisa diadakan, meski sebagian besar diselenggarakan secara online. Riot Games baru saja mengumumkan rencana mereka terkait League of Legends World Championship (LWC) tahun ini. Mereka mengatakan, mereka akan tetap mengadakan turnamen internasional tersebut di Shanghai, Tiongkok.
Sejak 2014, Riot biasanya mengadakan LWC di beberapa kota di satu negara. Namun, pada tahun ini, LWC 2020 hanya akan diadakan di Shanghai. Riot menjelaskan, alasan mereka tidak mengadakan tur nasional tahun ini dan hanya menggelar LWC di Shanghai adalah untuk memudahkan mereka memantau kesehatan para para pemain dan staf. LWC 2020 akan diselenggarakan mulai dari 25 September sampai 31 Oktober 2020. Babak final dari turnamen tersebut akan digelar di Pudong Football Stadium.
“Kami memonitor dampak dari COVID-19 dengan ketat,” kata CEO Riot Games, Nicolo Laurent, seperti dikutip dari ESPN. “Kami bekerja sama dengan pemerintah di level lokal dan nasional serta badan konsultasi risiko dan kami juga terus mengikuti pedoman dari berbagai organisasi kesehatan di seluruh dunia.”
Riot juga mengungkap, jika keadaan memungkinkan, para fans League of Legends akan bisa menonton LWC 2020 secara langsung di Pudong Football Stadium. Namun, mereka belum menjelaskan protokol kesehatan yang akan mereka tetapkan untuk memastikan para penonton aman dari COVID-19. Bulan lalu, dikabarkan bahwa Riot Games akan menerapkan protokol kesehatan “bubble system“.
Riot juga mengungkap rencana mereka tentang LWC 2021. Mereka mengatakan, mereka akan kembali mengadakan turnamen itu di Tiongkok. Tahun depan, mereka berencana mengadakan LWC 2021 di beberapa kota di Tiongkok. Terakhir kali LWC diadakan di Tiongkok adalah pada 2017. Ketika itu, LWC diadakan di tiga kota, yaitu Wuhan, Guangzhou, dan Shanghai. Sementara babak final dari turnamen tersebut diadakan di National Stadium, di Beijing.
Penyebaran virus Corona menyebabkan sejumlah turnamen esports ditunda, seperti WESG 2019 Asia Pacific CS:GO. Pada hari Rabu, 26 Februari 2020, pemerintah Shangai membuat pernyataan resmi, menyatakan bahwa mereka akan “berusaha sekuat tenaga” untuk memastikan turnamen esports besar yang akan diadakan di Tiongkok tetap bisa diselenggarakan. Salah satunya adalah League of Legends World Championship, yang akan diadakan di Shanghai Stadium sekitar bulan Oktober dan November 2020.
Dalam usahanya untuk memastikan turnamen esports berjalan lancar, pemerintah Shanghai menyarankan agar penyelenggara turnamen mengganti format turnamen offline menjadi online. Sejauh ini, diperkirakan ada lebih dari 400 pertandingan LAN yang terpengaruh oleh wabah virus Corona. Selain itu, pihak pemerintah juga mengatakan bahwa perusahaan esports yang mengalami kerugian akibat dampak dari virus Corona akan diprioritaskan untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah, menurut laporan VP Esports.
480+ LAN games were halted due to the COVID-19 outbreak, government has advised organizers to change into online format. He also mentioned government will lean in helping those whose loss were huge in these times.
Tak berhenti sampai di situ, pemerintah Shanghai juga berjanji bahwa mereka akan berusaha keras untuk memastikan LWC 2020 tetap berjalan. Memang, LWC baru akan diadakan sekitar Oktober atau November, tapi wabah virus Corona telah menyebabkan berbagai turnamen esports ditunda atau bahkan dibatalkan. Jika wabah virus Corona belum dapat diatasi hingga musim gugur mendatang, maka ini mungkin akan menyebabkan masalah dalam penyelenggaraan LWC 2020.
Sejauh ini, di Tiongkok, telah ada 77 ribu orang yang terjangkit virus Korona. Untungnya, penyebaran virus Corona di Shanghai tidak terlalu parah. Meskipun memiliki populasi lebih dari 34 juta orang, hanya 335 orang yang telah terkonfirmasi terkena virus Corona di Shanghai. Kawasan yang terkena dampak terbesar akibat virus Corona adalah provinsi Hubei, yang menjadi tempat pertama virus Corona muncul. Per 25 Februari 2020, di Hubei, terdapat 65 ribu orang yang terjangkit virus Corona sementara jumlah korban meninggal mencapai lebih 2,5 ribu orang.
League of Legends bukan satu-satunya game esports yang terkena dampak virus Corona. Sebelum ini, Activision Blizzard juga memutuskan untuk memindahkan semua pertandingan Overwatch League di Tiongkok ke Korea Selatan. Namun, tampaknya, mereka juga harus membatalkan pertandingan di Korea Selatan karena virus Corona.
Sementara itu, selain memastikan turnamen esports masih berjalan, pemerintah Shanghai juga akan memudahkan proses birokrasi bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang esports dan game. Bagi publisher yang hendak meluncurkan game baru, pemerintah akan menyederhanakan proses aplikasi online untuk mendapatkan persetujuan pemerintah.
Pada 2018, esports jadi bagian dari Asian Games yang diadakan di Jakarta, Indonesia; walau hanya sebagai pertandingan eksibisi. Dalam SEA Games yang diadakan di Filipina tahun 2019, esports menjadi cabang olahraga bermedali. Indonesia mendapatkan dua medali perak berkat esports. Salah satu streamer Fortnite terpopuler, Tyler “Ninja” Blevins bahkan percaya, hanya masalah waktu sebelum esports masuk ke Olimpiade. Terkait hal ini, International Olympic Committee mengatakan, mereka hanya akan mempertimbangkan untuk memasukkan game esports yang merupakan simulasi dari olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket. Semua ini menunjukkan bahwa esports semakin dianggap sebagai olahraga. Karena itu, tidak heran jika banyak orang yang membandingkan keduanya seperti dalam total hadiah.
Membandingkan esports dengan olahraga tradisional juga memudahkan para pelaku atau penggemar esports — yang biasanya merupakan anak muda — untuk menjelaskan bahwa industri esports kini telah semakin berkembang dan tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Newzoo memperkirakan, industri esports telah bernilai US$1,1 miliar pada tahun 2019. Sementara dari segi penonton, turnamen esports kini mendapatkan viewership hingga jutaan. Tak berhenti sampai di situ, kota tempat diselenggarakan turnamen esports juga mendapatkan untung karena turnamen esports terbukti memberikan dampak ekonomi positif pada perekonomian lokal.
Mantan pemilik Echo Fox dan pemain profesional NBA, Rick Fox membandingkan turnamen esports dengan liga american football. Pada TMZ, dia berkata bahwa jumlah penonton esports kini mulai menyaingi Super Bowl, turnamen american football tahunan yang diadakan oleh NFL (National Football League). “Di Amerika Utara, american football memang populer, tapi olahraga ini tidak ada di level internasional,” kata Fox pada TMZ. “League of Legends adalah acara global. Jumlah penontonnya mulai menyaingi Super Bowl… dan angka ini terus naik setiap tahun.”
Fox bukanlah satu-satunya orang yang membandingkan esports dengan olahraga tradisional. Memang, Fox tidak salah dengan mengatakan bahwa pertumbuhan esports sangat pesat. Sayangnya, membandingkan esport dengan olahraga tradisional, dalam kasus ini american football, tidak memberikan gambaran keadaan industri esports yang akurat.
Membandingkan industri esports — misalnya dari segi jumlah penonton — dengan olahraga tradisional memang akan memudahkan pelaku untuk meyakinkan investor atau sponsor untuk mendukung organisasi atau turnamen esports tertentu. Masalah muncul ketika seseorang atau sebuah perusahaan memilah data yang mereka berikan pada calon investor, membuat industri esports terlihat lebih besar dari sebenarnya, demi mendapatkan investasi. Ini justru bisa melukai reputasi esports sebagai industri, membuat para investor dan sponsor menjadi kehilangan kepercayaan pada para pelaku industri esports.
Esports dan olahraga tradisional terkadang tak bisa dibandingkan
Fox membandingkan League of Legends, salah satu game esports paling populer di dunia (walau tak terlalu terdengar gaungnya di Indonesia), dengan Super Bowl. Menurut data Riot Games, developer League of Legends, jumlah penonton League of Legends World Championship (LWC) pada 2018 mencapai 99,6 juta orang. Sementara penonton Super Bowl pada tahun yang sama mencapai 103,5 juta orang. Itu artinya, esports League of Legends — game yang baru merayakan ulang tahunnya ke-10 pada Oktober 2019 — dapat menyaingi liga american football yang telah berumur puluhan tahun. Tentu saja hal ini sangat membanggakan untuk League of Legends.
Namun, menurut VPEsports, LWC tidak seharusnya disandingkan dengan Super Bowl karena LWC adalah liga tingkat dunia, sementara Super Bowl hanya mencakup satu negara, yaitu Amerika Serikat. Super Bowl seharusnya dibandingkan dengan League of Legends Championship Series (LCS), liga League of Legends untuk kawasan Amerika Utara. Pada puncaknya, jumlah penonton LCS hanya mencapai 494 ribu orang, jauh lebih rendah dari 103,5 juta orang penonton Super Bowl. Sementara pada tingkat global, LWC seharusnya dibandingkan dengan Piala Dunia. Penonton Piala Dunia mencapai 3,5 miliar orang, setengah dari populasi dunia. Ini akan membuat jumlah penonton LWC menjadi tidak terlihat ada apa-apanya.
Tebang pilih data
Kalau Anda sering mengikuti berita, Anda pasti familier dengan berita berjudul “clickbait“. Fenomena ini tidak hanya terjadi di media berita mainstream, tapi juga media esports. Masalahnya, “wartawan” yang membuat berita sensasional biasanya tidak segan-segan untuk tebang pilih data demi menampilkan berita yang fantastis nan bombastis. Dan ini bisa membuat salah persepsi tentang industri esports.
Kita ambil League of Legends World Championship sebagai contoh. Riot mengklaim bahwa ada 99,6 juta orang yang menonton babak final LWC, dengan 44 juta penonton menonton saat momen puncak. Namun, menurut Esports Charts, pada titik puncak, hanya 2 juta orang — sekitar 4 persen dari total 44 juta orang — yang berasal dari platform di luar Tiongkok. Sementara 96 persen sisanya merupakan penonton dari Tiongkok, yang biasanya memiliki data yang kurang akurat. Ini menunjukkan bahwa, di luar Tiongkok, penonton League of Legends jauh lebih sedikit dari penonton Super Bowl.
Tak hanya itu, data yang muncul tentang esports juga tak selamanya seragam. Misalnya, Newzoo mengatakan bahwa nilai industri esports pada 2022 akan mencapai US$1,8 miliar, sementara Goldman Sachs memperkirakan bahwa nilai industri esports akan mencapai US$3 miliar pada tahun yang sama. Hal ini juga lah yang mendorong perusahaan seperti Riot Games dan Activision Blizzard untuk bekerja sama dengan perusahaan analitik dan intelijen pihak ketiga, seperti Nielsen. Organisasi esports sekalipun, seperti Astralis Group juga tertarik untuk bekerja sama dengan Newzoo demi memastikan bahwa data yang mereka dapatkan tentang industri esports memang akurat.
Sekalipun tidak ada masalah pada data esports saat ini, meskipun esports memang ditonton ratusan juta orang, ada satu masalah lain yang harus dipertimbangkan: popularitas tak menjamin keuntungan/pendapatan.
Populer =/= untung
Di Indonesia, Mobile Legends jadi salah satu game esports yang paling populer. Moonton juga serius dalam mengembangkan ekosistem esports game mobile tersebut. Total hadiah Mobile Legends Professional LeagueSeason 4 mencapai US$300 ribu, membuatnya menjadi turnamen esports dengan hadiah terbesar di Indonesia pada 2019. Tim-tim yang bertanding di MPL juga tim terbaik. Karena itu, jangan heran jika pengunjung MPL selalu ramai.
Meskipun begitu, pada MPL Season 3, jumlah pengunjung turun drastis. Alasannya? Karena tiketnya berbayar. Memang, masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Di industri lain, seperti smartphone misalnya, harga juga masih menjadi salah satu pertimbangan utama dalam membeli smartphone. Dari sini, kita bisa tarik kesimpulan bahwa esports mungkin memang populer, jumlah fansnya banyak dan masih muda, tapi popularitas tadi tidak serta merta membuatnya jadi mudah untuk menarik pendapatan dari pasar ini.
Sementara itu, di kancah global, Riot mendapatkan US$1,4 miliar dari esports League of Legends sepanjang tahun. Mereka juga mengaku, bagi mereka, esports tak sekadar menjadi alat marketing, tapi sudah menjadi salah satu pilar bisnis mereka. Dari berbagai liga regional League of Legends, dua di antaranya bahkan telah menghasilkan untung, yaitu League of Legends Professional League di Tiongkok dan League of Legends Korea Championship (LCK) untuk Korea Selatan. Namun, ada beberapa turnamen League of Legends yang tak terlalu sukses sehingga memaksa Riot untuk melakukan konsolidasi.
Anda mungkin berpikir, jumlah yang dihasilkan oleh esports League of Legends sudah besar, tapi, angka itu masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan atau keuntungan yang didapat turnamen olahraga akbar. Piala Dunia 2018 misalnya, meraih pendapatan sebesar US$5,3 miliar dan mendapatkan untung US$3,5 miliar. Sementara pasar liga sepak bola di Eropa memiliki pendapatan sampai US$31,6 miliar. Ini menunjukkan bahwa esports memang masih belum bisa menyaingi olahraga tradisional, seperti sepak bola.
Namun, itu bukan berarti esports tak memiliki potensi. Jika dibandingkan dengan sepak bola, umur esports jauh lebih muda. League of Legends, salah satu game esports terbesar di dunia, diluncurkan pada 2009. Turnamen untuk game tersebut dimulai pada 2011. Sementara kompetisi esports pertama, yaitu Space Invaders Championship yang diadakan oleh Atari, diadakan pada 1980. Sebagai perbandingan, Premier League pertama kali diadakan pada 1992, La Liga pada 1929, dan Piala Dunia telah diadakan setiap empat tahun sekali sejak 1930. Jadi, jangan kecil hati jika esports saat ini masih belum bisa menyamai industri sepak bola. Dari segi umur, industri esports ibarat masih sedang imut-imutnya.
Kesimpulannya…
Sekarang, Anda mungkin mulai meragukan potensi industri esports; mulai berpikir, kalau esports tak lebih dari sekadar hype. Membuat Anda ragu akan potensi esports, bukan itu tujuan dari tulisan ini. Saya percaya, esports memiliki potensi untuk berkembang. Mengingat umur industri esports yang masih muda, tak aneh jika pendapatannya masih belum sebanding dengan industri olahraga tradisional yang telah lama ada. Namun, itu bukan berarti esports tak berpotensi untuk tumbuh besar. Startup seperti GoJek telah membuktikan bahwa startup yang masih muda pun bisa bersaing dengan perusahaan tua seperti BlueBird.
Hanya saja, dalam era post-truth seperti sekarang, Anda bisa mengakses informasi apapun yang Anda mau dengan mudah. Masalah yang ada adalah memastikan Anda tahu informasi secara menyeluruh. Half-truth is more dangerous than a lie. Ketika Anda menemukan informasi baru, pastikan bahwa Anda mendapatkan informasi yang lengkap. Anda harus memastikan bahwa gambar yang Anda lihat memang gambar yang utuh dan bukan satu potong gambar yang sudah dibingkai oleh pihak ketiga.
Riot Games mulai mengembangkan esports dari League of Legends pada sembilan tahun lalu. Sejak saat itu, esports scene dari game MOBA itu telah berkembang pesat. League of Legends kini memiliki 13 liga yang tersebar di berbagai kawasan. Dua liga terbaru adalah liga nasional di Belanda dan Belgia. Beberapa liga seperti di Korea Selatan dan Tiongkok tidak hanya sudah balik modal, tapi juga sudah menghasilkan keuntungan. Karena itu, tidak heran jika Riot tidak segan untuk mengeluarkan US$100 juta setiap tahun untuk mengembangkan esports League of Legends.
Faktanya, esports kini menjadi salah satu pilar bisnis utama bagi Riot. “Anda tidak bisa melihat esports sebagai bagian dari marketing,” kata CEO Riot Games, Nicolo Laurent pada The Esports Observer. “Kami melihat esports sebagai bisnis. Kami ingin memastikan setiap orang mendapatkan sesuatu dari ini.”
Esports League of Legends terbukti sukses. Ribuan orang datang untuk menonton babak final dari League of Legends yang diadakan di Paris, Prancis sementara jutaan orang menonton pertandingan tersebut secara online. Meskipun begitu, Laurent mengaku, mereka tidak selalu percaya diri bahwa esports akan berkembang menjadi sebesar sekarang. “Kami tidak yakin esports bisa tumbuh seperti sekarang, pada awalnya,” ujar Laurent. Korea Selatan menjadi negara yang esports scene-nya berkembang. Namun, Riot tak yakin apakah itu merupakan bukti potensi esports ataukah esports hanya dapat diterima di Korea Selatan.
Riot mengadakan League of Legends World Championship (LWC) pertama kali di DreamHack Summer 2011. Ketika itu, tidak ada satupun tim Korea Selatan yang bertanding. Menariknya, jumlah penonton turnamen tersebut tetap melebihi ekspektasi. “Ini membuat kami percaya bahwa esports tidak hanya menarik untuk warga Korea Selatan saja,” ujarnya. “Sekarang, kami memiliki 13 liga dan 3 turnamen internasional, dan di masa depan, kami mungkin akan menambah beberapa liga baru.”
Salah satu perubahan terbesar yang Riot Games lakukan dalam mengembangkan esports League of Legends adalah mengubah sistem terbuka — membiarkan tim manapun untuk bertanding dalam liga selama mereka memang lolos babak kualifikasi — menjadi sistem tertutup, yang mengharuskan tim yang hendak berlaga untuk membayar sejumlah uang. Slot untuk satu tim bernilai setidaknya US$13 juta, tergantung pada lokasi sebuah tim. Dengan model ini, tim-tim yang ikut bertanding dalam liga juga akan mendapatkan sebagian keuntungan yang didapatkan dari liga.
Di Indonesia, satu-satunya kompetisi esports yang menggunakan sistem franchise atau tertutup adalah Mobile Legends Professional League Season 4. Keputusan Moonton untuk menggunakan model tersebut sempat menuai pro dan kontra. Namun, masih belum diketahui apakah investasi awal yang ditanamkan oleh para organisasi esports untuk ikut dalam MPL Season 4 akan berbuah manis.
Dari segi hadiah, turnamen esportstak kalah dari kompetisi olahraga tradisional. Sebagian liga esports, seperti liga League of Legends, juga sudah menggunakan model franchise, membuatnya semakin menyerupai liga olahraga tradisional. Meskipun begitu, tim esports yang berlaga di dalamnya tidak memiliki saham dari liga itu sendiri, berbeda dengan sistem yang digunakan liga olahraga tradisional. Terkait hal ini, Laurent mengatakan, tak tertutup kemungkinan, mereka akan mengadopsi model serupa di masa depan. “Masalahnya, jika Anda ingin melakukan ini, Anda harus punya rencana yang jelas tentang cara memonetisasi liga itu sendiri, atau melakukan IPO. Jika tidak, Anda hanya akan membuat struktur dengan insentif yang buruk,” ujarnya.