Tag Archives: lending platform

Sebagai platform e-money, OVO bernaung di lisensi dan perizinan Bank Indonesia / OVO

Siapa Pemilik Layanan Pembiayaan Ovo Finance?

OJK kemarin mengumumkan pencabutan izin usaha Perusahaan Pembiayaan “PT OVO Finance Indonesia (OFI)” karena adanya pembubaran perusahaan melalui keputusan RUPS. Adanya brand OVO di dalam nama entitas bisnis tersebut membuat publik heboh dan langsung menghubungkannya dengan platform pembayaran digital OVO (PT Visionet Internasional).

Kedua perusahaan memang memiliki bisnis berbeda. Izinnya pun berbeda. OVO yang menyediakan layanan pembayaran terdaftar sebagai pemegang lisensi e-money dari Bank Indonesia.

Dalam klarifikasinya, Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra mengatakan, “Kami menegaskan bahwa OFI tidak memiliki kaitan apa pun dan bukan bagian dari kelompok perusahaan uang elektronik OVO. OFI bukanlah anak perusahaan maupun subsidiary dari kelompok perusahaan uang elektronik OVO. Sehingga pencabutan izin oleh OJK tersebut, sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap semua lini bisnis dalam kegiatan usaha uang elektronik OVO.”

Struktur perusahaan

PT OFI, menurut data publik per tahun 2020, dimiliki oleh perusahaan pembiayaan Jepang Tokyo Century Corp (60%) dan Lippo Group melalui PT Ciptadana Capital (40%). OFI mendapatkan lisensi pembiayaan dari OJK pada tahun 2019.

Di sisi lain, saham PT Visionet Internasional (OVO) sepenuhnya dimiliki oleh PT Bumi Cakrawala Perkasa (OVO Group). OVO Group dimiliki beberapa perusahaan, termasuk Lippo Group dan Tokyo Century Corp, meski secara mayoritas kini dikuasai oleh Grab.

Secara layanan, memang tidak ada integrasi antara OVO dengan OVO Finance – seperti yang disampaikan melalui keterangan resmi. Meskipun demikian, keduanya memiliki afiliasi yang sama dengan Lippo Group dan Tokyo Century Corp Jepang.

Untuk perusahaan pembiayaan, OVO Group sudah memiliki Taralite (PT Indonusa Bara Sejahtera) — sebuah startup fintech yang fokus di sektor pinjaman produktif (dan paylater) yang diakuisisi di tahun 2018.

Gambaran struktur OVO Group dan Ovo Finance / DailySocial.id

“OJK mencabut izin usaha PT OVO Finance Indonesia yang merupakan perusahaan pembiayaan. Perusahaan tersebut merupakan entitas yang berbeda dengan platform OVO (PT Visionet Internasional) yang merupakan penyelenggara uang elektronik di bawah pengawasan Bank Indonesia. Pencabutan izin usaha OFI dilakukan karena perusahaan mengembalikan izin usaha atas dasar keputusan pemilik perusahaan karena pertimbangan faktor eksternal dan internal,” jelas Juru Bicara OJK Sekar Djarot.

Application Information Will Show Up Here
Satgas Waspada Investasi telah tutup 694 fintech lending ilegal hingga Juni 2020 meningkat karena pandemi Covid-19, tahun lalu SWI tutup 1493 entitas

Satgas Waspada Investasi Tutup Hampir 700 Fintech Ilegal di Paruh Pertama 2020

Satgas Waspada Investasi (SWI) mengungkapkan telah menutup 694 fintech lending ilegal pada paruh pertama tahun 2020. Dibandingkan tahun lalu saja, angka ini sudah hampir separuh dari jumlah perusahaan yang ditutup SWI sebesar 1493 perusahaan.

Momentum pandemi, menjadi kesempatan para pemain ilegal itu lebih berkembang lebih liar, terlihat dari jumlahnya yang berlipat ganda dibandingkan sebelum pandemi. SWI mencatat sepanjang Maret-Juni 2020 telah menutup 574 perusahaan ilegal. Adapun pada Januari saja ada 120 perusahaan. Bila ditotal secara akumulatif dari 2018 hingga sekarang SWI telah menutup 2591 entitas.

“Dengan kemajuan teknologi yang memudahkan orang buat aplikasi, sebar SMS, fintech ilegal ini jadi semakin sulit diberantas. Jadi yang kita rutin lakukan setiap hari adalah cyber patrolling bersama Kemenkominfo sebelum jatuh korban lagi,” terang Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing dalam konferensi pers secara online, Senin (13/7).

Dia merinci lebih jauh dari temuan SWI, fintech ilegal tersebut memiliki server mayoritas dari luar negeri. Server dari lokasi tidak terdeteksi jumlahnya mencapai 44%, lalu dari Amerika Serikat (14%), Singapura (8%), Tiongkok (6%), Malaysia (2%), lain-lain (3%), dan sisanya dari dalam negeri (22%).

Seluruh fintech ini menurutnya tidak melakukan kegiatan pinjam meminjam uang seperti apa yang dilakukan oleh perusahaan p2p lending yang sudah tercatat di OJK. Mereka justru bertindak kurang lebih seperti perusahaan pembiayaan (multifinance). Ditambah itu, mayoritas aduan yang diterima berasal dari sisi peminjam, bukan pemberi pinjaman.

“Dari sisi pendana tidak pernah ada yang mengadu, yang mengadu adalah korban yang sering kena tipu karena persyaratan sering berubah-ubah, denda tidak terbatas, dan ada tindakan intimidasi saat mereka tidak mampu membayar,” tambahnya.

Dalam menjalankan kegiatan penutupan ini, SWI mengaku telah berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, mulai dari perbankan, antar kementerian, kepolisian, hingga Google. Dengan perbankan misalnya, SWI meminta untuk memblokir rekening yang terdeteksi melakukan transaksi yang dicurigai dan tidak melayani fintech lending sebelum mengantongi surat tanda terdaftar dari OJK.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede mengingatkan masyarakat agar sebelum melakukan pinjaman, perlu dipastikan pihak yang menawarkan pinjaman online tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.

“Yang legal itu harus terdaftar di OJK dan sudah menjadi anggota AFPI. AFPI adalah asosiasi resmi dan mitra OJK memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada anggota bila terbukti melanggar aturan dan kode etik,” ujar Tumbur.

Kesulitan karena tidak ada payung hukum

Tongam mengaku, dalam praktiknya pelaku memanfaatkan celah dari kekosongan hukum. Adapun perangkat hukum yang dibutuhkan antara lain ketiadaan UU Fintech untuk menjerat yang ilegal dan penyebaran data pribadi dan penagihan tidak beretika dengan KUHP, UU ITE, dan lainnya.

Dari sisi korban, mereka cenderung tidak melapor ke polisi malah lebih memilih lapor ke media sosial yang sebenarnya tidak akan memberi efek jera untuk pelaku fintech ilegal. Pun dari sisi SWI sendiri sulit untuk mencatat nilai valid kerugian ekonomi buat negara dari potensi pajak yang berhasil lari ke luar dari negara. Juga data rill jumlah peminjam dan investor tidak berhasil diperoleh.

Berikutnya, dari sisi penegak hukum belum ada prioritas penanganan perkara. Proses hukum lebih ke arah desk collection. Ditambah, biaya perkara tidak sebanding dengan kerugian yang diderita konsumen. “Kerugian ada di masyarakat, selain rugi materil ada juga psikis karena mereka diteror dan intimidasi saat penagihan.”

Langkah preventif yang bisa dilakukan masyarakat dalam mengetahui ciri-ciri fintech lending, antara lain tidak terdaftar di OJK; bunga dan jangka waktu pinjaman tidak jelas; alamat peminjaman tidak jelas dan sering berganti nama; media yang digunakan tidak hanya memakai aplikasi, tapi juga link unduh yang disebar melalui SMS atau dicantumkan dalam situs milik pelaku.

Berikutnya, ada penyebaran data pribadi peminjam; dan terakhir, tata cara penagihan tidak hanya kepada ke peminjam, tapi juga kepada keluarga, rekan kerja, hingga atasan, penyebaran fitnah, ancaman, hingga pelecehan seksual, dan biasanya penagihan sebelum jatuh tempo.

G5TAR led by Rama Manusama and Bhimo Hantoro aims to provide loans up to IDR 15 trillion by 2023

Pegadaian Announces G5TAR Fintech Business Unit

PT Pegadaian (Pegadaian) announces the development of G5TAR business unit to support the company’s initiative as a dominant fintech player. G5TAR is a realization of IDR 1.2 trillion investment last April. It’ll be led by Rama Manusama (previously Chief of Innovation MDI Ventures) and Bhimo Hantoro (previously Accenture Netherland’s Consultant). G5TAR is expected to distribute loans up to IDR 15 trillion by 2023.

G5TAR is said to perform as an omnichannel lending platform, available online and offline, to digitize Pegadaian business which mostly are offline, including through 4300 outlets all over Indonesia.

As a separate business unit, G5TAR is prepared to become a lending platform for individual consumers and micro business segments. Currently, Pegadaian reportedly has assets of IDR 50 trillion and profit of IDR 2,5 trillion.

“On this occasion, we see an opportunity to digitize some process and business development through fintech initiative particularly for consumers and micro-segments. Fintech has grown rapidly in Indonesia, but there are some reality check should be considered, such as the high price of consumer’s acquisition which leads to limitation while scaling up. Pegadaian owns a physical footprint to answer all the challenges,” Sunarso, Pegadaian’s President Director, said.

Although the lending business will be the main guide of the company’s business, the digital platform will also support Pegadaian’s existing business, including fiduciary

“Fintech will certainly lead the future’s economy and provide financial inclusion for consumer and business segments where banks haven’t reached. We are targeting [to distribute loans] IDR 15 trillion for fintech channels over the next four years,” Teguh Wahyono, IT and Digital Service Director, said.

Sets up a Digital Team

To support this initiative, Pegadaian keeps on recruiting new talents with high experience in the digital industry, investment, and corporate innovation.

In leading this initiative, Rama Manusama and Bhimo Hantoro are supported by Herdi Sularko (VP of Digital Partnership and Business Development) and Aditya Rachman (PMO and Change Management) in the G5TAR management boards. Previously, Herdi was MDI Ventures Head of Synergy and Partnership, while Aditya was the Country Head of LotusFlare, a Silicon Valley company engaged in data science to support telco business and OTT.

“We continue to build a team consists of some background industries, including banking, consulting, telco, venture capital, and startup to support our transformation into the future fintech company,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

G5TAR dipimpin bersama oleh Rama Manusama dan Bhimo Hantoro, berharap memberikan pinjaman hingga Rp15 triliun di tahun 2023

Pegadaian Umumkan Unit Bisnis G5TAR, Siap Jadi Pemain Fintech Dominan

PT Pegadaian (Pegadaian) mengumumkan pendirian unit bisnis fintech G5TAR untuk mendukung inisiatif perusahaan menjadi pemain fintech dominan. G5TAR merupakan realisasi investasi Rp1,2 triliun yang diumumkan April lalu. G5TAR bakal dipimpin bersama oleh Rama Manusama (sebelumnya Chief of Innovation MDI Ventures) dan Bhimo Hantoro (sebelumnya Consultant di Accenture Belanda). G5TAR ditargetkan bisa menyalurkan dana hingga 15 triliun Rupiah di tahun 2023.

G5TAR disebutkan bakal mengarah menjadi platform lending secara omni-channel, tersedia secara online maupun offline, yang berharap mendigitalisasi bisnis Pegadaian yang kebanyakan saat ini masih berupa kantor fisik, termasuk 4300 gerai di seluruh Indonesia.

Sebagai unit bisnis tersendiri, G5TAR disiapkan menjadi platform peminjaman bagi segmen konsumen perorangan dan bisnis mikro. Saat ini Pegadaian disebutkan memiliki aset Rp50 triliun dan profit Rp2,5 triliun.

“Pada kesempatan ini, kami melihat saatnya untuk melakukan digitisasi beberapa proses dan pertumbuhan bisnis melalui inisiatif fintech terlebih kepada segmen konsumen dan mikro. Fintech di Indonesia memang pesat pertumbuhannya, namun banyak reality check yang harus diperhatikan seperti tingginya harga akusisi konsumen yang akhirnya harus melihat keterbatasan ketika scaling up. Pegadaian memiliki footprint fisik yang dapat menjadi jawaban bagi tantangan ini,” ujar Dirut Pegadaian Sunarso.

Meskipun bisnis lending bakal menjadi pendorong utama bisnis perusahaan, platform digital ini juga akan mendukung bisnis existing Pegadaian, termasuk bisnis gadai.

“Fintech tentunya akan menjadi penggerak ekonomi di masa depan, di mana akan memberikan inklusi finansial bagi segmen konsumen dan usaha yang selama ini belum dijangkau oleh perbankan. Kami menargetkan [menyalurkan dana pinjaman] Rp15 Triliun untuk channel fintech selama empat tahun ke depan,” kata Direktur IT dan Digital Service Teguh Wahyono.

Menyiapkan tim digital

Untuk mendukung inisiatif ini, Pegadaian terus merekrut talenta yang sudah berkecimpung di industri digital, investasi, dan inovasi korporasi.

Selain Rama Manusama dan Bhimo Hantoro yang memimpin inisiatif ini, termasuk dalam jajaran manajemen G5TAR adalah Herdi Sularko (VP Digital Partnership dan Business Development dan Aditya Rachman (PMO dan Change Management). Herdi sebelumnya adalah Head of Synergy and Partnership MDI Ventures, sementara Aditya sebelumnya adalah Country Head LotusFlare, sebuah perusahaan Silicon Valley yang bergerak di bidang data science untuk membantu bisnis perusahaan telekomunikasi dan OTT.

“Kami terus membangun tim yang terdiri dari latar belakang industri yaitu bankingconsulting, telco, modal ventura, dan startup untuk mendukung transformasi kami menjadi perusahaan fintech di masa depan,” tutup Teguh.

PayLater from Go-Jek available only for Go-Foo. Having credit up to Rp500,000, users can pay bills by the end of the month with zero interest

Introducing PayLater, Go-Jek’s “Virtual Credit Card” with Zero Interest

Go-Jek introduces PayLater, a new payment feature to facilitate customers with credit under a certain limit. PayLater is a Fintech Lending product from Findaya (PT Mapan Global Rekas), developed by Mapan. Mapan is one of the three fintech startup acquisitions by Go-Jek last year.

Findaya has acquired the license as a lending service provider from OJK. In its business, Findaya has worked for Go-Jek, Go-Food, Go-Clean, Go-Massage, and Mapan with various facilities, such as installment for laptop, smartphones and its accessories, and many more.

Catherine Hindra, Go-Jek’s Chief Commercial Expansion, said, PayLater for now is only available for select Go-Food customers. The select customers are sorted out by Go-Jek and Findaya without any further details.

She illustrated PayLater mechanism similar to postpaid subscription. Customers have credit up to Rp500,000 and will be charged Rp12,500 monthly fee.

“Our focus with Findaya is to give the best experience for Go-Food’s select customers. We’ll learn from this to develop subscription feature in the future,” she said to DailySocial.

Regarding subscription, she said, it’s to be billed every month when using PayLater. If isn’t exercised, this feature will not take any administration fee. Free administration fee promo was given for the first month.

Hindra has no further explanation on when this feature will be available to all Go-Jek customers.

PayLater exploration

As we dig deeper, PayLater allows users to use credit up to Rp500,000. It should be paid before the last day of the month via Go-Pay.

There’s no further information regarding arrears and interest. Go-Jek will continue to provide notifications on the 25th of each month and every due date until payment’s finally made.

DailySocial has an opportunity to try this feature first. The flow is similar to Go-Food delivery, only on the check out page will appear PayLater as a payment option.

When choosing PayLater, the costs will automatically appear just as you’re paying with Go-Pay or cash. Once the order is received, the amount of PayLater credit will be reduced.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

PayLater dari Go-Jek saat ini bisa dipakai pelanggan Go-Food terpilih. Memiliki limit maksimal Rp500 ribu tanpa bunga dengan biaya langganan bulanan

Mengenal PayLater, “Kartu Kredit Virtual” Tanpa Bunga dari Go-Jek

Go-Jek meluncurkan PayLater, fitur pembayaran terbaru memungkinkan pengguna untuk berutang dengan limit tertentu. PayLater merupakan produk fintech lending dari Findaya (PT Mapan Global Reksa) yang dikembangkan oleh PT Mapan Global Reksa (Findaya), tergabung sebagai bagian dari Mapan. Mapan sendiri adalah satu dari tiga startup fintech yang diakusisi Go-Jek akhir tahun lalu.

Findaya telah memperoleh surat tanda terdaftar sebagai penyelenggara lending dari OJK. Dalam bisnisnya, Findaya telah melayani mitra Go-Jek, Go-Food, Go-Clean, Go-Massage, dan Mapan dengan fasilitas cicilan laptop, smartphone beserta aksesorisnya, dan kebutuhan lainnya.

Dalam keterangannya, Chief Commercial Expansion Go-Jek Catherine Hindra mengatakan, untuk sementara ini PayLater baru bisa dinikmati secara terbatas untuk pengguna Go-Food. Mereka yang terpilih sudah disaring terlebih dahulu berdasarkan kriteria-kriteria yang ditentukan Go-Jek dan Findaya, namun Catherine tidak menjelaskan detailnya.

Dia mengibaratkan mekanisme PayLater yang mirip dengan berlangganan paket telekomunikasi pascabayar. Pengguna memiliki batas pemakaian hingga Rp500 ribu dan akan dikenai biaya berlangganan sebesar Rp12.500 per bulannya.

“Fokus kami bersama Findaya adalah memberikan pengalaman terbaik kepada pengguna Go-Food terpilih terlebih dahulu. Pelajaran yang kami petik tentunya akan dimanfaatkan untuk pengembangan fitur berlangganan di masa mendatang,” tuturnya kepada DailySocial.

Terkait biaya berlangganan, sambung Catherine, hanya akan ditagih sekali setiap bulan apabila menggunakan PayLater. Apabila fitur ini tidak dipakai, maka biaya administrasi juga tidak akan dikenakan. Untuk bulan pertama, biaya berlangganan akan digratiskan sebagai promosinya.

Catherine juga tidak memberikan penjelasan lebih lanjut kapan fitur ini akan digulirkan ke semua pengguna Go-Jek.

Menjajal PayLater

Bila ditelusuri lebih dalam, PayLater memperbolehkan pengguna untuk berutang sampai limit maksimal Rp500 ribu. Tagihan harus dibayarkan setiap akhir bulan lewat Go-Pay.

Apabila menunggak, tidak ada penjelasan dari Go-Jek apakah ada bunga yang dibebankan. Pihak Go-Jek hanya akan terus memberikan notifikasi mulai dari tanggal 25 setiap bulannya dan juga setiap tanggal jatuh temponya sampai akhirnya utang terlunasi.

DailySocial berkesempatan menjajal fitur tersebut untuk pertama kalinya. Alurnya sama seperti saat memesan Go-Food pada umumnya, namun akan muncul pilihan PayLater dalam opsi pembayaran.

Ketika memilih PayLater, secara otomatis akan tertera biaya pesanan makanan yang harus dibayar, sama halnya bila memilih opsi pembayaran dengan Go-Pay atau tunai. Setelah pesanan diterima, secara otomatis akan muncul notifikasi limit PayLater telah berkurang. Kita bisa memilih membayar tagihan tersebut kapan saja, sejak limit berkurang, sampai akhir bulan.

Application Information Will Show Up Here

Jurus Platform Pinjaman Khusus Mahasiswa Cicil Mencegah Pengajuan Kredit Konsumtif

Penyalahgunaan akses pembiayaan oleh debitur menjadi suatu hal yang wajib dimitigasi sejak awal oleh penyedia layanan pinjaman. Semangat yang ingin ditularkan oleh penyedia layanan adalah kredit produktif, bukan konsumtif. Untuk mencegah penyalahgunaan, platform pinjaman khusus mahasiswa Cicil memiliki jurus tersendiri untuk menangkalnya.

Cicil adalah platform pembiayaan khusus mahasiswa untuk membeli kebutuhan kuliah secara mencicil tanpa kartu kredit dari situs e-commerce mana saja di Indonesia. Mereka dapat memilih produk yang ingin dibeli dengan cara meng-copy link produk dan paste link dalam platform Cicil untuk mengetahui jumlah cicilan setiap bulannya.

Untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan dari Cicil, mahasiswa dapat mengajukan uang muka dan jangka waktu cicilan mulai dari 12 bulan hingga 24 bulan. Dengan demikian, mereka dapat menyesuaikan besaran cicilan dengan budget masing-masing.

Untuk menangkal kredit konsumtif, pihak Cicil menghindari pembiayaan dana tunai. Dari sini, Cicil mengunci tujuan penggunaan pembiayaan dengan cara membeli langsung produk tersebut sesuai instruksi mahasiswa pemohon kepada layanan e-commerce yang ditunjuk.

Tim Cicil

Selain itu, pihak Cicil juga memiliki data berupa hasil survei tentang produk apa yang dibutuhkan mahasiswa dalam setiap semester, serta menganalisasnya berdasarkan data diri mahasiswa tersebut. Data tersebut menjadi gerbang utama bagi Cicil untuk memastikan fasilitas yang diajukan sesuai kebutuhan.

Kategori produk yang dibeli dan latar belakang dari mahasiswa pemohon menjadi salah satu faktor utama Cicil dalam penilaian dan persetujuan aplikasi fasilitas.

“Kami juga sangat ketat dalam melakukan pengawasan mengenai produk yang ingin dibeli, contohnya kami tidak akan melayani pembiayaan bila produk yang dibeli menyimpang dari kebutuhan kuliah seperti produk rokok elektronik, saat ini sedang marak di kalangan masyarakat,” terang Co-Founder Cicil Edward Widjonarko kepada DailySocial.

Selain menangkal potensi penyalahgunaan, Cicil juga melakukan edukasi untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Cicil melakukan edukasi mengenai personal budgeting dan product financial, dengan menggandeng beberapa pengajar dari universitas ternama untuk mengadakan workshop khusus untuk kalangan mahasiswa.

“Selain mendorong misi kami untuk memberikan akses pembiayaan, kami juga memiliki misi untuk meningkatkan financial literacy di kalangan kampus.”

Target Cicil di 2017

Sepanjang tahun ini, Cicil memiliki sejumlah rencana strategis pasca mendapatkan pendanaan tahap awal dari East Ventures pada November 2016 lalu, mulai dari ekspansi ke kota lain, bekerja sama dengan merchant agar harga produk yang diinginkan jadi lebih terjangkau, dan meluncurkan aplikasi mobile dalam waktu dekat.

Saat ini Cicil diklaim sudah melayani di 16 universitas. Ketika ditanya mengenai jumlah pinjaman tersalurkan dan total debiturnya Edward enggan membeberkannya.

“Cicil telah menambah layanan lagi bagi para mahasiswa di Jakarta dan melihat kebutuhan yang tinggi dari berbagai daerah, dalam waktu dekat kami juga akan segera memberikan akses pembiayaan bagi mahasiswa di Yogyakarta dan Surabaya,” pungkasnya.