Dengan banderol mulai $399 dan spesifikasi jauh di atas Nintendo Switch, tidak heran apabila Valve Steam Deck berhasil mencuri perhatian banyak gamer. Kalau ditanya kenapa bisa murah, salah satu alasannya adalah karena Valve tidak membebani konsumen dengan biaya lisensi Windows. Sebagai gantinya, Steam Deck menggunakan sistem operasi rancangan sendiri yang berbasis Linux.
Berhubung memakai Linux, Steam Deck harus mengandalkan bantuan compatibility layer bernama Proton agar mampu menjalankan game–game yang dikembangkan untuk Windows. Proton masih belum sempurna. Bahkan untuk beberapa judul game, Proton sama sekali tidak bisa menanganinya akibat ‘intervensi’ dari software anti-cheat yang digunakan di game–game tersebut.
Untung tidak selamanya harus seperti itu. Belum lama ini, Epic Games mengumumkan bahwa software anti-cheat populernya, Easy Anti-Cheat (EAC), kini sudah sepenuhnya mendukung sistem operasi Linux dan macOS. Lebih spesifik lagi, EAC kini dipastikan tidak akan lagi mengganggu compatibility layer macam Wine atau Proton itu tadi.
Dengan kata lain, Steam Deck jadi bisa menjalankan deretan game yang menggunakan EAC macam Apex Legends, Black Desert Online, Fall Guys, dan masih banyak lagi. Syaratnya, developer masing-masing game harus mengaktifkan dukungan atas Proton lebih dulu. Namun kalau memang tujuannya adalah menjangkau lebih banyak pemain (para pengguna Steam Deck), saya yakin developer rela mengambil langkah ekstra tersebut, terutama jika prosesnya semudah yang diklaim oleh Epic.
EAC bukan satu-satunya software anti-cheat yang eksis di industri video game saat ini. Software lain yang tak kalah populer adalah BattlEye, yang digunakan di game–game seperti PUBG dan Destiny 2. Game kebanggaan Epic, Fortnite, bahkan menggunakan kombinasi EAC dan BattlEye.
Kabar baiknya, BattlEye pun juga dipastikan bakal kompatibel dengan Steam Deck, berdasarkan pernyataan langsung CEO BattlEye, Bastian Suter, kepada The Verge. Namun kembali lagi, keputusan finalnya — apakah game akan di-update supaya kompatibel dengan Proton dan Steam Deck — ada di tangan masing-masing developer.
Andai pengguna Steam Deck nantinya benar-benar tidak mau dihadapkan dengan problem seputar kompatibilitas, mereka masih punya satu solusi pamungkas: install sendiri Windows ke Steam Deck, sebab konsol genggam tersebut memang sepenuhnya bisa diperlakukan layaknya sebuah PC konvensional.
Single-board computer seperti Raspberry Pi sering kali lebih terkesan seperti basis dari sebuah proyek DIY ketimbang produk yang ditujukan untuk konsumen umum. Namun kalau berdasarkan pengakuan Eben Upton sendiri selaku pendiri Raspberry Pi Foundation, jumlah orang yang menggunakan Raspberry Pi 4 meningkat drastis selama pandemi COVID-19.
Itu berarti tidak sedikit yang menggunakan komputer papan tunggal semacam ini untuk keperluan bekerja maupun belajar. Seandainya Raspberry Pi bisa dibuat jadi lebih user-friendly lagi, mungkin konsumen yang tertarik menggunakannya sebagai komputer utama bakal semakin banyak lagi.
Berangkat dari pola pikir seperti itu, lahirlah Raspberry Pi 400, sebuah keyboard yang juga merupakan komputer fungsional. Cukup sambungkan monitor, lalu pasangkan mouse dan kartu microSD, maka kita bisa langsung menggunakannya untuk keperluan sehari-hari, di samping untuk belajar coding.
Komputer dalam wujud keyboard tentu bukanlah ide baru. Produk-produk legendaris seperti Commodore 64 atau Apple II sebenarnya juga merupakan komputer yang menyamar sebagai papan ketik, dan merekalah yang menjadi inspirasi utama Raspberry Pi 400. Tentu saja implementasinya jauh lebih mudah sekarang karena memang dimensi Raspberry Pi sangatlah mungil.
Secara teknis, jeroan yang dimiliki Raspberry Pi 400 sangat mirip seperti Raspberry Pi 4 yang diperkenalkan tahun lalu. Yang menjadi otaknya masih prosesor quad-core 64-bit ARM Cortex-A72, hanya saja yang memiliki clock speed sedikit lebih tinggi di angka 1.8 GHz, plus RAM LPDDR4 berkapasitas 4 GB.
Konektivitasnya pun sangat lengkap, mulai dari Bluetooth 5.0 sampai Wi-Fi AC, plus sambungan Ethernet jika perlu. Total ada dua port USB 3.0 dan satu port USB 2.0, dua port micro HDMI untuk menyambungkan dua monitor sekaligus, dan satu port USB-C yang berfungsi sebagai sumber dayanya. Berhubung ini masih merupakan Raspberry Pi, tentu saja masih ada sambungan GPIO 40-pin untuk menghubungkan berbagai macam sensor atau perangkat lainnya.
Bagian terbaiknya, seperti halnya semua Raspberry Pi, adalah harga yang terjangkau. Satu unit Raspberry Pi 400 dihargai $70, atau konsumen juga bisa membeli dalam bentuk bundel lengkap seharga $100. Bundel tersebut turut mencakup mouse, power supply USB-C, kartu microSD dengan sistem operasi Raspberry Pi OS pre-installed, kabel micro HDMI ke HDMI, dan sebuah buku panduan pemula. Kabarnya, Raspberry Pi 400 akan mulai tersedia di beberapa negara pada awal 2021.
Perang dagang antara Amerika dan Tiongkok memiliki dampak yang berimbas pada perusahaan yang memiliki hubungan antar dua negara tersebut. Yang saat ini ramai dibicarakan adalah hubungan antara Google dari Amerika dan Huawei dari Tiongkok. Imbasnya adalah Huawei tidak diperbolehkan untuk menggunakan sistem operasi Android pada perangkat mereka di masa depan.
Huawei ternyata masih memiliki cadangan rencana saat hal seperti ini terjadi. Huawei sudah memiliki Hongmeng, sebuah sistem operasi yang dikembangkan mulai dari tahun 2017 silam. Baru-baru ini, Huawei memberi nama baru pada Hongmeng, yaitu Huawei HarmonyOS.
Ide awal Huawei membuat sistem operasi adalah karena produk-produk yang bakal diluncurkan nantinya tidak hanya smartphone saja. Huawei saat ini sudah memiliki smartwatch, tablet, laptop, smartband, TV, head unit, dan earphone. Di masa depan, IoT juga bakal menjadi sebuah ladang yang harus digarap oleh mereka. Huawei merasa bahwa Android yang merupakan turunan dari Linux tidak bisa mengakomodasi perangkat-perangkat tersebut.
Microkernel
Hal tersebut dikarenakan Android memiliki kernel yang sangat besar. Ada sekitar 100 juta baris kode pada kernel Android yang membuat sebuah perangkat tidak bisa berjalan dengan mulus. Menurut James Lu, Senior Manager EMUI Product Marketing Huawei Consumer Business Group mengklaim bahwa hal tersebutlah yang masih dikeluhkan para pengguna perangkat wearable saat ini. Efisiensi kode pada Android masih dipandang kurang untuk perangkat-perangkat non smartphone.
Selain itu, sebuah sistem operasi biasanya akan sangat tergantung kepada hardware yang digunakan. Hal tersebut yang masih berlaku hingga saat ini, seperti Windows tergantung pada prosesor x86 dan Android pada ARM. Ekosistem yang terbentuk juga sangat bergantung pada sistem operasi yang ada, seperti Android dan iOS.
Jadi, HarmonyOS dibuat untuk menutupi kekurangan yang ada pada Android. HarmonyOS juga dibuat agar dapat berkomunikasi antara satu perangkat dengan perangkat lainnya. James memberikan contoh pada saat ingin melakukan sebuah panggilan video, Huawei ingin agar kamera terbaik yang ada dalam sebuah ruangan yang digunakan, bersamaan dengan microphone dan speaker terbaik. Misalkan kita memiliki sebuah laptop, smart camera, smart speaker, maka HarmonyOS bisa saja menggunakan kamera pada smart camera, suara pada smart speaker, dengan layar dan mic dari laptop.
Hal ini dimungkinkan jika sebuah sistem operasi memiliki kernel yang kecil. Oleh karenanya, HarmonyOS mengusung microkernel yang memiliki baris kode hanya sepersepuluh dari Android. “HarmonyOS dapat mengurangi latensi respons aplikasi hingga mencapai 25,7% dan fluktuasi latensi 55,6%,” ujar James.
Distributed Architecture
HarmonyOS nantinya bakal mampu dipasangkan pada perangkat-perangkat dengan berbagai skenario. Rencananya, pemasangan sistem operasi ini bakal bisa dijalankan pada perangkat dengan RAM dengan hitungan Kilobyte hingga Gigabyte seperti yang ada pada saat ini. Hal ini dimungkinkan dengan Distributed architecture yang baru pertama kali digunakan pada OS untuk perangkat mobile.
Distributed architecture yang digunakan oleh Huawei meliputi empat bagian, dengan menggunakan Distributed virtual bus yang bakal menangani komunikasi antar perangkat, Device virtualization, Distributed data management, dan Distributed task scheduling. Distributed virtual bus yang ada di HarmonyOs juga diefisiensikan protokolnya sehingga menjadi lebih mudah untuk terkoneksi, karena memiliki latensi di bawah 20ms, kecepatan hingga 1,2 Gbps, serta pengurangan packet loss hingga 25%.
Oleh karena Android memiliki mekanisme scheduling (proses mengatur, mengendalikan dan mengoptimalkan pekerjaan dan beban kerja) dari Linux, membuat latensi akan menjadi lebih besar. Oleh karena itu Huawei membuat scheduling yang menganalisa beban kerja secara real time dengan mencocokkan dan memperkirakan karakteristik dari sebuah aplikasi.
Tingkat keamanan yang digunakan pada HarmonyOS berbeda dari kebanyakan OS. HarmonyOS adalah yang pertama kali menggunakan metode verifikasi Trusted Execution Environment (TEE). James mengatakan bahwa TEE lebih aman dari Rich Execution Environment (REE) yang digunakan di banyak sistem operasi.
Satu hal yang ditakutkan oleh para vendor adalah akses root yang ilegal yang beresiko menghapus sistem secara keseluruhan. Pada HarmonyOS, akses root pun dihapus dengan membagi kernel ke dalam dua bagian, di mana microkernel memiliki kunci akses tersendiri, sedangkan pada kernel eksternal akan mengunci setiap service yang ada dengan kunci yang berbeda-beda sehingga lebih sulit untuk ditembus.
Integrated Development Environment (IDE)
Lalu bagaimana dengan para developer yang ingin membuat dan mengembangkan aplikasi untuk HarmonyOS? Satu kendala yang ada biasanya adalah para developer diharuskan untuk mempelajari bahasa pemrograman baru yang sudah pasti memakan waktu lama. Hal ini pun juga ternyata telah dipikirkan oleh Huawei.
Huawei menerapkan Integrated Development Environment (IDE) untuk HarmonyOS. Dengan IDE, developer hanya diharuskan untuk melakukan pembuatan satu aplikasi saja untuk dipakai pada banyak perangkat yang berujung pada efisiensi pengembangan software. Pada IDE juga sudah menerapkan kontrol dan adaptasi resolusi layar yang berbeda-beda secara otomatis, mendukung drag-and-drop, serta dapat melakukan pratinjau programming secara visual.
Pemrograman yang dilakukan juga tidak memerlukan bahasa pemrograman baru. Hal tersebut dikarenakan pada Huawei sudah membuat compiler HUAWEI ARK yang mendukung C/C++, Java, JS, Kotlin, dan lain sebagainya. James mengklaim bahwa hal ini tentu akan meningkatkan produktivitas pengembangan aplikasi.
Bukan Saingan Android dan iOS
Dari semua yang telah dijelaskan oleh James, beliau menyatakan bahwa HarmonyOS tidak dibuat untuk menjadi saingan Android. Bahkan James menyatakan bahwa semua perangkat smartphone Huawei yang ada saat ini bakal tetap menggunakan Android. Hal tersebut disebabkan oleh ekosistem yang dimiliki oleh Android sudah matang.
Aplikasi yang ada pada ekosistem Android membuatnya lebih dipilih. James mengatakan bahwa satu hal yang membuat Android bisa sukses adalah kemampuannya untuk berjalan pada berbagai platform. Selain itu, Android merupakan sistem operasi dengan metode open source, sehingga banyak developer yang bisa berkontribusi untuk mengembangkannya.
Apple juga dapat sukses dengan iOS karena berhasil membuat papan ketik pada layar dan pertama kali menggunakan metode multitouch. Sayangnya, iOS hanya dibuat khusus untuk perangkat Apple saja.
Android juga khusus dikembangkan pada perangkat smartphone saja. Sedangkan HarmonyOS pengembangannya lebih luas dari Android. Contohnya saja, sebentar lagi HarmonyOS bakal digunakan pada perangkat smartTV dari Huawei. James juga mengatakan bahwa pada tahun 2020 nanti mereka bakal meluncurkan HarmonyOS untuk smartwatch.
Akan tetapi, James mengatakan jika nantinya pemerintah Amerika kembali menerapkan pemblokiran terhadap Huawei untuk menggunakan sistem operasi Android, mereka pun sudah siap. HarmonyOS juga bakal dikembangkan untuk dapat berjalan pada perangkat smartphone dan tablet. Namun, hal tersebut akan dilakukan sebagai jalan terakhir saja.
Huawei juga membuat HarmonyOS menjadi open source. Hal itu dikarenakan Huawie menginginkan banyak developer yang dapat berkontribusi untuk mengembangkan HarmonyOS.
Hingga saat ini, Huawei masih belum memiliki jangka waktu, kapan HarmonyOS bakal tersedia untuk perangkat smartphone dan tablet. Oleh karena itu, kita masih harus menunggu kemunculan perangkat pertama yang menggunakan HarmonyOS sehingga bisa mendapatkan sedikit gambaran bagaimana sistem operasi ini berjalan.
IBM Corp dilaporkan telah setuju untuk mengakuisisi perusahaan pembuat open source Linux, Red Hat sebesar $34 miliar atau Rp 517 triliun, sebagai upaya untuk mendiversifikasi perangkat keras dan teknologi dan tentu mendorong pencapaian margin laba yang ditargetkan.
Sepanjang sejarah IBM, ini adalah akuisisi terbesar yang pernah mereka lakukan. Untuk mendapatkan Red Hat, International Business Machines Corp yang memiliki kapitalisasi pasar senilai $114 miliar, akan membayar $190 per saham secara tunai untuk Red Hat dan premi 63 persen dari harga penutupan saham pada hari Jumat.
Pembelian Red Hat dari segi finansial akan membantu IBM tumbuh dengan lebih baik, mendorong pendapatan secara langsung dan peluang lebih besar di sektor produk perangkat lunak yang telah terbukti diminati melalui kanal penjualan globalnya. Akuisisi akan mengubah peta persaingan di industri cloud, di mana IBM akan menjadi perusahaan penyedia teknologi komputasi cloud terbesar di dunia berkat dukungan komputasi cloud bersama Red Hat.
Red Hat menjual perangkat lunak dan layanan berbasis sistem operasi Linux yang berstatus open source dengan pendapatan mencapai $3 miliar untuk pertama kalinya di tahun ini. Pendapatan sebesar ini dikarenakan divisi Red Hat Enterprise Linux sukses menggaet pelanggan besar dari level korporasi dunia. Di kuartal terakhir, Red Hat dilaporkan berhasil mendapatkan 11 kontrak senilai lebih dari $5 juta untuk masing-masing proyek dan 73 proyek dengan nilai lebih dari $1 juta.
Jim Whitehurst, CEO Red Hat mengatakan bahwa bergabungnya perusahaan dengan IBM akan memberi mereka skala, sumber daya, dan kemampuan yang lebih besar untuk mempercepat dampak dari open source sebagai dasar untuk transformasi digital dan membawa Red Hat ke pasar yang lebih luas.
Di tahun 2000-an, Oracle, Microsoft, dan tentu saja IBM sudah menunjukkan ketertarikannya untuk membeli Red Hat. Tapi tak ada satupun yang benar-benar mewujudkan keinginan itu, sampai saat Linux menjadi salah satu pemain vital di industri piranti lunak yang secara otomatis membuat harga Red Hat ratusan kali lipat lebih mahal dari sebelumnya.
Selama ini, kita mengenal beberapa perusahaan yang memiliki lisensi x86, seperti IBM, Intel, AMD, dan VIA. Dengan pertarungan “berdarah” selama beberapa tahun membuat Intel merajai pasar prosesor x86 dan diikuti oleh AMD. VIA sendiri saat ini ternyata masih membuat prosesor, walaupun tidak semasif Intel dan AMD.
Babak baru dilanjutkan oleh AMD dengan memamerkan arsitektur Zen dua tahun lalu. Arsitektur ini yang sampai saat ini digunakan untuk membuat prosesor terbaru mereka Ryzen. Nah, ternyata pada saat yang sama, AMD juga menjalin kerjasama dengan Tianjin Haiguang untuk mendirikan perusahaan patungan untuk mengembangkan prosesor. Saham AMD pun menjadi meningkat pada saat ini.
Setelah dua tahun tidak terdengar mengenai kerjasama kedua perusahaan ini, ternyata terkuak sesuatu mengenai kedua perusahaan ini dari sebuah kernel di Linux. Pada kernel tersebut, ada prosesor terbaru bernama Dhyana dari perusahaan Hygon.
Hygon sendiri merupakan perusahaan patungan yang didirikan oleh AMD dan Tianjin Haiguang dengan nama Chengdu Haiguang Integrated Circuit Design Co., Ltd. AMD memiliki saham 30% pada Hygon dan Tianjin Haiguang memiliki sisanya.
Bagaimana lisensi x86-nya?
Seperti yang disebutkan di atas, AMD juga memiliki lisensi x86 dan boleh memproduksi serta menjual prosesor dengan arsitektur tersebut. Hal ini juga termasuk perusahaan yang dimiliki oleh AMD.
AMD sendiri tidak boleh mentransfer lisensi x86 ke perusahaan pihak ketiga. Akan tetapi, AMD hanya memiliki saham 30% saja pada Hygon. Lalu bagaimana cara Hygon agar tidak melanggar lisensi x86 tersebut?
AMD dan Tianjin Haiguang juga mendirikan perusahaan patungan dengan nama Haiguang Microelectronics Co. Ltd. atau HMC. AMD saat ini memegang 51% saham dan Tianjin Haiguang memiliki 49%.
HMC pun memiliki lisensi x86 karena perusahaan tersebut dimiliki secara mayoritas oleh AMD. Hal ini tentunya tidak melanggar perjanjian lisensi x86 antara AMD dengan Intel. HMC akan memproduksi prosesor x86 tersebut.
HMC lalu melisensikan hak cipta x86 kepada Hygon. Hygon lalu melakukan desain prosesor x86 tersebut, lalu menjual desainnya kembali ke HMC. Hal ini dilakukan agar desain prosesor tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar Cina.
HMC lalu menyewa pabrik yang ada seperti TSMC, lalu mengembalikan chip-chip tersebut kepada Hygon. Hygon lah setelah itu yang menjual prosesor Dhyana. Produk ini sendiri hanya dapat dijual di Tiongkok saja.
Lalu, apa itu Dhyana?
Pada saat nama dari prosesor ini terkuak pada kernel Linux, terlihat bahwa Dhyana memiliki family number 17h. Padahal, prosesor Zen memiliki family number 18h. Hal ini tentunya memiliki hubungan yang dekat.
AMD sendiri mengatakan bahwa mereka tidak menjual desain chipset-nya, tetapi membiarkan Hygon mendesain prosesor mereka sendiri. Untuk arsitekturnya sendiri, Dhyana memiliki kemiripan dengan EPYC. Hal ini berarti bahwa Hygon akan menjual prosesor tersebut untuk kebutuhan pasar server di Tiongkok.
Uniknya, para pemakai Linux sendiri melakukan porting menggunakan kode dari EPYC untuk menjalankan Dhyana. Hasilnya, Dhyana pun dapat berjalan dengan baik dan juga dapat menjalankan patch yang ditujukan untuk EPYC. Bisa jadi, kedua prosesor tersebut hanya memiliki sangat sedikit perbedaan.
Pada tahun 2015 lalu, pemerintahan Obama memblokir Intel untuk berjualan prosesor Xeon ke Tiongkok. Hal tersebut dikarenakan Amerika khawatir Xeon akan menggerakkan program nuklir Tiongkok. Amerika juga telah melakukan langkah agar Tiongkok juga tidak memiliki pengetahuan mengenai pembuatan chip.
Pada saat itu juga, terjadi spekulasi mengenai hal yang sama akan melebar ke perusahaan lainnya. Benar saja, saat ini ZTE dan Huawei memiliki nasib yang kurang lebih sama di Amerika.
Dengan kerjasama AMD dan Tianjin Haiguang, tentu saja membuat banyak pihak terkejut. Pasalnya, Intel dilarang untuk bekerjasama dengan Tiongkok, namun AMD bisa melakukan hal tersebut. Tentunya, hal ini bisa jadi tidak terlepas dari upaya AMD untuk mendapatkan investasi dalam memperpanjang bisnis mereka di pasar teknologi.
Menjajal satu demi satu custom ROM merupakan keasyikan yang hanya bisa dinikmati pengguna perangkat Android. Namun situasinya sedikit berbeda di smartwatch. Meski mayoritas menjalankan Wear OS (Android Wear) yang berbasis Android, tidak banyak sistem operasi alternatif yang bisa konsumen coba.
Namun sekarang setidaknya sudah ada satu sistem operasi open-source yang dapat digunakan di sejumlah smartwatch. Namanya AsteroidOS, dan versi stabil pertamanya (v1.0) baru saja dirilis ke publik setelah dikembangkan selama sekitar empat tahun.
AsteroidOS menawarkan fitur-fitur esensial yang sudah semestinya menjadi standar untuk smartwatch, mulai dari notifikasi, kalender, alarm, kalkulator, remote control pemutar musik sampai aplikasi ramalan cuaca. Pengembangnya juga telah menyiapkan SDK (software development kit) agar komunitas developer bisa membuat aplikasi untuk AsteroidOS.
Karena berbasis Linux, SDK AsteroidOS pada dasarnya juga menawarkan kemudahan untuk membuat porting aplikasi dari platform lain. Semua ini tentu harus menunggu keterlibatan dari kalangan developer, tapi setidaknya sekarang pengguna bisa bermain-main dengan sejumlah watch face dan aplikasi bawaan AsteroidOS.
Guna memudahkan konsumen, pengembang AsteroidOS juga telah menyediakan panduan instalasi bagi para pengguna Asus ZenWatch, ZenWatch 2, ZenWatch 3, Sony Smartwatch 3, LG G Watch, G Watch R dan G Watch Urbane. Namun mungkin yang menjadi pertanyaan, mengapa kita harus meninggalkan Android Wear dan beralih ke AsteroidOS?
Well, coba Anda lihat deretan perangkat yang kompatibel itu tadi. Mayoritas adalah smartwatch lama, dan kebanyakan juga sudah tidak menerima update OS terbaru dari pabrikannya masing-masing. Alternatif seperti AsteroidOS ini setidaknya masih bisa memberikan nafas baru seandainya pengguna masih ingin menggunakan perangkat lamanya.
Saat diperkenalkan di tahun 1996, Nokia Communicator terasa merepresentasikan masa depan perangkat bergerak. Satu hal yang paling ikonis darinya ialah kehadiran keyboard QWERTY untuk memudahkan pengguna mengetik. Namun pendekatan desain ini perlahan-lahan menghilang dari smartphone, hingga satu produsen menyadari krusialnya eksistensi dari papan ketik fisik.
Di tengah-tengah dominasi perangkat berlayar sentuh, tim Planet Computers asal Inggris memperkenalkan Gemini. Singkatnya, Gemini adalah perpaduan antara ringkasnya smartphone dengan komputer laptop yang siap mendukung segala macam aktivitas produktif. Menariknya lagi, pengguna dipersilakan ‘menentukan sendiri’ fungsi utama Gemini – apakah akan diprioritaskan sebagai laptop atau smartphone.
Gemini mengusung penampilan clamshell yang tak terlalu berbeda dari Nokia Communicator, namun Planet Computers tak lupa memastikan desainnya atraktif, ringkas dibawa-bawa, serta nyaman digunakan. Saat layar tertutup, tubuhnya hanya berukuran 17,14×7,93×1,51-sentimeter sehingga mudah digenggam dan dimasukkan dalam kantong. Saat dibuka, Anda disuguhkan layar sentuh 6-inci FHD dan keyboard ‘full-sized‘ tanpa numpad.
Produsen berargumen bahwa rancangan seperti ini memberikan solusi terhadap keterbatasan utama di smartphone: penggunaan keyboard virtual memakan hampir separuh layar, lalu absesnnya tombol fisik membuat proses mengetik jadi tidak presisi. Elemen ini jadi perhatian utama di Gemini. Dalam menggarap keyboard, Planet Computers berkolaborasi bersama perusahaan konsultan desain milik Martin Riddiford.
Perangkat diotaki oleh system-on-chip berisi prosesor 10-core (2x Cortex A72 @2,6GHz, 4x Cortex A53 @2,0GHz, 4x Cortex A53 @1,6GHz) dan GPU ARM Mali 875MHz, juga dibekali RAM 4GB. Penyimpanan internal 64GB bisa Anda tambah dengan mencantumkan kartu microSD, lalu Gemini jug dibekali oleh dua port USB type-C. Sebagai sumber tenaganya, Planet Computers membenamkan baterai Li-Ion 4.220mAh.
Gemini memanfaatkan sistem operasi Android, namun juga siap mendukung Linux sebagai platform sekunder. Apapun OS yang dipilih, Anda kabarnya tetap bisa memanfaatkan fitur voice recognition, memungkinkan kita berinteraksi dengan Gemini walaupun ia berada dalam kantong. Tersedia dua tipe Gemini, yakni varian berkonektivitas Wi-Fi plus 4G atau Wi-Fi saja.
Produk saat ini dijajakan di situs crowdfunding Indie Gogo seharga mulai dari US$ 300 (US$ 400 buat versi 4G-nya).
Apapun pendapat Anda mengenainya, bagi jurnalis yang dituntut untuk mengetik saat ada kesempatan dan harus bekerja remote seperti saya, konsep desain Gemini sangat menjanjikan. Satu hal yang membuat saya ragu untuk memesannya adalah status dari layanan purna jual Planet Computers di sini.
Masih ingat dengan Samsung DeX, semacam docking khusus yang tugasnya mengubah tampilan sistem operasi milik Galaxy S8 menjadi mirip perangkat desktop di sebuah layar eksternal? Samsung awalnya mungkin tidak menyangka produk ini bakal sukses, tapi mereka kini sudah menyiapkan langkah selanjutnya untuk DeX.
Langkah itu datang dalam wujud Linux on Galaxy, sebuah aplikasi yang dirancang agar smartphone dapat menjalankan berbagai OS berbasis Linux. Dikombinasikan dengan DeX, ini berarti pengguna dapat mengakses tampilan desktop OS Linux hanya dengan memakai ponselnya saja.
Jadi kapan pun pengguna perlu mengakses fungsi yang tidak tersedia di Android, mereka tinggal menjalankan aplikasi Linux on Galaxy, lalu menancapkan ponsel di atas DeX untuk menjalankan program apapun yang mereka perlukan dengan bantuan mouse dan keyboard.
Evolusi DeX dan dukungan Linux ini memang lebih ditujukan buat kalangan developer, dan Samsung saat ini masih dalam tahap menyempurnakan berbagai aspek Linux on Galaxy. Di sisi lain, Samsung tak lupa mengembangkan potensi DeX untuk keperluan lain yang tak kalah penting, yaitu gaming.
Bekerja sama dengan sejumlah developer, Samsung berhasil mengintegrasikan fungsi gaming pada DeX. Ini berarti ke depannya game seperti Vainglory atau Final Fantasy XV Pocket Edition dapat dimainkan menggunakan mouse dan keyboard, selagi ponsel menancap di atas DeX dan tersambung ke sebuah monitor.
Pelepasan Jaguar dua dekade silam merupakan upaya Atari untuk berkompetisi dengan Sega Genesis dan SNES. Namun karena arsitekturnya yang kompleks, pengembangan game jadi sulit, menyebabkannya kekurangan dukungan developer third-party. Akhirnya, Jaguar hanya terjual sebanyak 250 ribu unit dan Atari memutuskan buat menghentikan produksinya di tahun 1996. Sejak saat itu, Atari tak pernah memproduksi console lagi.
Itulah salah satu alasan mengapa pengumuman mendadak Ataribox di E3 2017 membuat khalayak terkejut. Hampir tidak ada yang menyangka Atari punya agenda untuk meluncurkan hardware gaming baru ketika segmen ini sudah dikuasai nama-nama familier seperti PlayStation, Xbox dan Nintendo. Dan setelah produsen mengungkap wujudnya di bulan Juli lalu, kini tersingkaplah sejumlah detail mengenai spesifikasinya.
Saat pertama kali diperkenalkan, Atari hanya bilang bahwa Ataribox dibangun berdasarkan teknologi PC. Lalu dalam newsletter, sang produsen sempat menyebutkan sejumlah konektivitas fisik di sana: empat buah port USB, HDMI, serta card reader SD. Dan baru lewat wawancara eksklusif GamesBeat bersama GM Feargal Mac, Atari memberikan info terkait prosesor, sistem operasi, harga, serta waktu perilisan Ataribox.
Ataribox kabarnya akan diotaki prosesor AMD kustom dengan GPU Radeon dan berjalan di platform Linux. UI-nya didesain untuk memudahkan pengguna navigasi konten via televisi, dan selain permainan-permainan PC, console juga siap mendukung streaming, menjalankan app non-game, musik, serta menemani Anda berselanjar di web.
Atari memang belum menginformasikan kecepatan prosesor serta performa grafis dalam bentuk angka, tapi mereka bilang, kinerja hardware Ataribox setara dengan PC kelas menengah. Besar kemungkinan, ‘PC rasa console‘ Atari itu masih belum cukup kuat menangani judul-judul blockbuster bergrafis berat. Dan menakar dari hal itu, Ataribox sepertinya ditargetkan untuk anak-anak, remaja dan penikmat game casual – bukan hardcore gamer.
Saat tersedia nanti, Feargal Mac dan timnya akan membundel Ataribox bersama koleksi permainan Atari klasik agar Anda bisa segera bernostalgia. Dan tentu saja, console juga siap menyajikan judul-judul populer semisal Minecraft dan Terraria. Mac menjelaskan, dua game indie itu merupakan salah satu pencetus ide dibuatnya Ataribox, tepatnya saat ia melihat beberapa anak mencoba menyambungkan laptop dengan TV untuk memainkan Minecraft.
Ataribox dirancang buat menjadi jembatan antara fleksibilitas ekosistem PC dan kemudahan penggunan ala console.
Atari berencana untuk memulai kampanye crowdfunding Ataribox di Indie Gogo pada musim gugur tahun ini, dan akan memasarkannya di musim semi 2018. Produk nantinya dijajakan di harga antara US$ 250 sampai US$ 300.
Raspberry Pi telah menjadi fasilitator bagi banyak orang yang ingin membangun perangkat komputernya sendiri, tidak hanya di sisi hardware, namun perangkat single-board computer ini telah pula melahirkan sejumlah pengembang software kreatif yang membangun platform-nya sendiri.
Salah satunya ialah Arne Exton, pencipta berbagai distribusi Linux itu, baru saja mengumumkan keberadaan dariRaspAnd OS, sistem operasi Android yang telah ia racik untuk bisa dijalankan pada perangkat Raspberry Pi 2 dan Raspberry Pi 3.
RaspAnd OS Build 170605, dibangun dengan basis Android 7.1.2 Nougat, versi ini merupakan pembaharuan dari RaspAnd Nougat 7.1.2 Build 170519 yang telah ia rilis kurang lebih sebulan lalu, pada versi teranyar ini Exton telah membenamkan aplikasi Kodi Media Center versi 17.3.
Versi teranyar dari RaspAnd OS ini juga telah memberikan dukungan agar bisa dimasukkan ke dalam kartu memory microSD menggunakan sistem operasi Windows 10, sehingga pengguna umum bisa melakukannya dengan mudah.
Tidak hanya itu, Exton juga telah menjejalkan sejumlah pembaharuan aplikasi pada RaspAnd OS versi teranyarnya ini seperti Spotify TV 1.2.0, Rotation Control Pro 1.1.2, Google Play Games 3.9.08, Clash of Clans 9.24.9, GMail 7.4.23, dan Aptoide TV 3.2.1. serta menghadirkan paket GAPSS yang memungkinkan pengguna untuk mengakses Google Services (bukan Google Play Store).
Exton telah menawarkan update cuma-cuma bagi pengguna yang telah membeli dan menggunakan RaspAnd OS Nougat 7.1.2 Build 170519, namun jika belum memilikinya, RaspAnd OS Nougat 7.1.2 Build 170605 ini telah ia tawarkan dengan harga $9 melalui website resminya, yang bisa diakses lewat tautan berikut ini.