Tag Archives: Local Startup Fest

Menjawab Tren Fintech, Apakah Hanya Sekadar “Hype”

Sejak awal tahun ini, pemberitaan dari guyuran investasi dari modal ventura ke berbagai startup fintech di Indonesia kian ramai. Menggeserkan tren investasi dari layanan e-commerce yang sudah terjadi sejak tiga sampai empat tahun belakangan. Apakah tren fintech ini hanya sekadar hype?

CEO DailySocial Rama Mamuaya menjadi pembicara di salah satu sesi di Local Startup Fest 2.0. Pertama, Rama membandingkan hype dalam layanan e-commerce yang terjadi beberapa tahun lalu dan hasil akhirnya pada saat ini.

Menurutnya, hasil riset Google yang diumumkan beberapa waktu lalu menunjukkan 50% porsi investasi banyak diarahkan investor untuk industri e-commerce sepanjang 2012 hingga 2017. Sisanya dikuasai oleh pemain on-demand yang mayoritas dikuasai Go-Jek, pemain OTA dengan kucuran terbesar untuk Traveloka, dan lain sebagainya.

Lagipula, kondisi saat ini perusahaan e-commerce besar yang beroperasi rata-rata sudah didukung oleh konglomerasi besar. Misalnya, Grup Djarum dengan Blibli, Grup Telkom dengan Blanja, Grup Lippo dengan Matahari Mall, Grup Salim dengan iLotte dan Rocket Internet, hingga Grup Emtek dengan Bukalapak.

“Yang kecil-kecil gimana? Mereka masih survive tapi sangat struggling karena gap-nya sudah terlalu jauh dengan pemain yang sudah disokong konglomerasi.”

Pada empat tahun lalu, startup e-commerce menemui korporasi untuk mengajak jadi investor atau berkolaborasi bisnis, namun ditolak. Korporat saat itu berpikir bila mereka dapat mengubah bisnisnya ke ranah online dapat menjadi Amazon atau Rakuten selanjutnya. Mereka merasa punya kapital dan sumber daya yang lebih banyak dari startup.

“Padahal itu kesalahan terbesar mereka. Merasa bisa mengalahkan startup dan memilih untuk compete.”

Perang harga dalam layanan e-commerce lokal pun sudah sangat tidak sehat. Kondisi yang sama juga terjadi dengan pemain operator telekomunikasi karena perang tarif. Hal ini membuat pola pikir konsumen sedikit melenceng. Mereka banyak yang menganggap belanja online itu pasti murah.

Kenyataan itu sebenarnya tidak selalu berlaku ketika berbelanja di Amazon. Barang-barang yang tersedia di layanan e-commerce raksasa asal Amerika Serikat itu malah terkadang lebih mahal dari toko offline. Amazon mencantumkan harga layanan yang terbilang mahal sebagai value added, misalnya fasilitas return, pengiriman satu hari dengan drone, atau lainnya.

Kondisi terbalik terjadi di Indonesia, layanan e-commerce besar saling banting harga. Membuat startup e-commerce cari investor karena butuh kapital bernilai besar untuk bakar duit.

Dari segi inovasi, perkembangan e-commerce di Indonesia tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Yang terbaru hanya pemanfaatan chatbot dengan kecerdasan buatan sebagai pengganti tenaga customer service. Hal ini berbeda dengan inovasi besar-besaran yang dilakukan Amazon, Alibaba, atau lainnya.

Literasi keuangan yang rendah

Berdasarkan hasil riset literasi keuangan OJK, sebanyak 67,8% penduduk Indonesia yang sudah menggunakan produk keuangan. Namun sayangnya, literasi keuangannya baru mencapai 29,7%. Artinya masih banyak orang yang belum paham dengan manfaat produk keuangan yang mereka gunakan.

Apa yang terjadi di Indonesia, sebenarnya telah terjadi di Tiongkok bertahun-tahun yang lalu. Adopsi pembayaran non tunai di sana bahkan lebih maju dibandingkan Amerika Serikat.

Hal ini terjadi karena adopsi smartphone yang luar biasa besar. Di Tiongkok yang memiliki smartphone hampir 900 juta orang, sementara yang sudah memakai pembayaran via mobile sekitar 700 juta orang.

Sementara itu, regulasi institusi keuangan di Tiongkok tidak pro untuk penggunaan kartu kredit. Sisi kenyamanan yang ditawarkan kartu kredit harus dikorbankan karena ketatnya regulasi yang harus ditaati. Kesamaan kondisi juga terjadi di Indonesia, regulasi sangat ketat ditambah ada dua regulator yang mengawasi industri keuangan.

“Beda halnya dengan pemerintah di AS, bank lebih besar dari pemerintah. Makanya regulasinya itu didorong oleh swasta. Mereka ingin memastikan kartu kredit itu buat konsumen untu belanja. Beberapa alasan itu yang membuat adopsi cashless di Amerika Serikat cenderung lambat. Banyak investor yang lihat investasi fintech di Indonesia akan sama dengan Tiongkok, makanya sekarang lagi di-push banget.”

Korporasi cenderung kolaborasi dengan startup

Kondisi yang sangat kontras ditunjukkan perbankan saat diterjang berbagai startup fintech yang berlahiran. Sikap yang ditunjukkan cenderung tidak defensif, yaitu memilih untuk menggandeng.

Alasan ini cukup masuk akal karena di satu sisi perbankan sadar bahwa teknologi digital lambat laun akan datang. Namun di sisi lain, mereka tidak bisa bergerak cepat menjawab inovasi teknologi karena ada banyak regulasi yang mengikat mereka.

Incumbent itu harus tunduk dengan berbagai regulasi. Ini yang menyebabkan mereka jadi alergi dengan risiko. Startup di sisi lain butuh nasabah dari bank untuk menciptakan traksi. Tentu saja dari segi risiko, bila mengadopsi suatu teknologi baru akan lebih aman bila diterapkan secara kemitraan. Risikonya enggak nular ke pembukaan bank.”

Impelementasinya terlihat dari berbagai startup yang mengumumkan kemitraan dengan perbankan. Salah satunya, Investree dengan Bank Danamon, Modalku dengan Bank Sinarmas, Crowdo dengan BFI Finance, dan lainnya.

Isu yang perlu diperhatikan

Rama menekankan ada angle lain yang perlu diperhatikan dalam menjawab potensi fintech ke depannya di Indonesia. Pertama dari sisi solusi yang ditawarkan berpotensi jadi masalah baru, contohnya adalah bitcoin. Hingga kini, Bank Indonesia menyatakan bitcoin dan virtual currency bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah.

Kedua, pengembangan fitur yang mengubahnya jadi perusahaan entitas sendiri, misalnya credit scoring. Berikutnya belum ada pemikiran untuk intergrasi antar perusahaan dengan menggunakan infrastruktur secara bersama. Terakhir, banyak startup fintech yang tidak memiliki model bisnis yang jelas mendapat investasi.

Strategi Bertahan di Industri E-Commerce Fesyen Menurut Tinkerlust dan BelowCepek

Salah satu horizontal bisnis e-commerce yang cukup memiliki banyak vertikalnya adalah fesyen. Banyak pelaku e-commerce fesyen yang lebih niche menghadirkan produk sesuai dengan target konsumennya, misalnya untuk anak millenial, perempuan karir, baju muslim, anak-anak, dan sebagainya.

Lalu bagaimana untuk cara bersaing dan tetap bertahan dalam pasar e-commerce yang sudah sangat ramai ini? Dalam salah satu sesi diskusi panel yang diadakan Local Startup Fest 2.0 menghadirkan Co-Founder dan COO Tinkerlust Aliya Amitra dan Founder & CEO Belowcepek & ReeIndonesia Riana Bismarak. Keduanya membeberkan strategi dan tips apa saja yang perlu dilakukan agar dapat bertahan di dunia e-commerce fesyen.

Buat produk sesuai kebutuhan target konsumen

Riana Bismarak menuturkan strategi fesyen saat sebelum dan sesudah era teknologi mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pelaku tidak bisa menerapkan konsep buat baju dulu, baru dijual. Melainkan, cari target konsumennya dan buat produk sesuai kebutuhan mereka.

“Dalam fesyen itu, tren copy desain itu sangat mudah terjadi. Kita tidak bisa marah, yang bisa dilakukan adalah terus produksi barang yang dibutuhkan target konsumen Anda. Idealisme tidak bisa selalu dilakukan, karena Anda punya perusahaan yang harus dapat dipertahankan. Jadi ya harus dengarkan pasar, suka enggak suka perusahaan harus tetap sustain dengan buat sales,” Kamis (19/10).

Sebab, di tengah persaingan yang ketat, pertimbangan konsumen dalam membeli suatu produk fesyen itu salah satunya karena brand. Ketika mereka sudah nyaman dengan satu brand, berpotensi menjadi konsumen loyal.

Untuk menciptakan identitas brand tersebut, yang dilakukan Riana dalam ReeIndonesia adalah membuat produk dengan harga dan kualitas yang tidak kalah dengan brand luar negeri, packaging yang menarik, dan menyertakan ucapan terima kasih. Hal-hal yang bersifat personal sangat dibutuhkan dalam membangun brand produk fesyen.

Pihaknya melakukan strategi yang agak berbeda untuk BelowCepek. Agar produknya dapat diterima masyarakat, Riana menggunakan orang lokal yang bukan seorang model dengan tinggi dan ukuran tubuh rata-rata orang Indonesia.

“Kalau menggunakan orang bule sebagai model, kurang cocok bila menyasar orang Indonesia sebagai konsumen karena tidak semua orang lokal bertubuh tinggi. Sekaligus meyakinkan konsumen bahwa produk BelowCepek memiliki ukuran proporsional sesuai orang lokal.”

Strategi pemasaran yang sesuai target konsumen

Kendati sudah ada pemain serupa seperti Tinkerlust, yang menyediakan barang-barang preloved. Tidak melunturkan semangat Aliya Amitra untuk terus mengembangkan Tinkerlust. Dia mengaku saat ini target penjual di Tinkerlust adalah perempuan kelas A yang miliki barang mahal layak jual, sementara target pembelinya adalah ibu-ibu yang berasal dari Jakarta juga.

Padahal, dari hasil riset yang dilakukan sebelum Tinkerlust berdiri adalah ingin menjangkau orang-orang dari luar Jakarta yang kesulitan mencari barang branded. Terkait terbatasnya pembukaan gerai barang branded seperti Zara dan H&M yang masih terfokus di sekitaran Pulau Jawa saja.

“Awalnya kami identify target konsumen, awalnya kami definisikan pembelinya adalah anak kuliah dan orang-orang dari luar Jakarta. Dari situ kami sesuaikan cara pemasarannya dan tampilan Tinkerlust yang lebih cheerful. Namun ketika dilakukan, kenyataannya berbeda. Sejak saat itu kami mulai ganti identitas dan ubah cara pemasarannya,” terang Aliya.

Pihaknya pun banyak melakukan pemasaran secara offline dengan membentuk komunitas-komunitas, sekaligus upaya membentuk brand awareness. Menurut Aliya, dengan menyesuaikan strategi akan membuat konsumen jadi lebih nyaman saat menggunakan layanan Tinkerlust.

Menerapkan teknologi terkini

Perkembangan teknologi yang sangat pesat, membuat pelaku usaha harus rajin-rajin memanfaatkannya agar dapat menciptakan penjualan. Dalam Tinkerlust, Aliya melakukan pemanfaatan teknologi dengan membuat dashboar untuk memudahkan para penjual melacak status barang mereka apakah sudah terjual atau belum.

Lalu, menganalisis data konsumen untuk membaca kebiasaan konsumen berdasarkan minat dan daftar belanja mereka yang terakhir. Hasilnya akan terlihat ketika mengunjungi situs Tinkerlust, konsumen akan disuguhkan dengan daftar barang-barang yang mereka inginkan berdasarkan kebiasaan sebelumnya.

“Sekarang setiap harinya kami menerima 200-300 produk fesyen. Cara untuk orang mau belanja di kita harus menerapkan strategi sesuai data. Ini juga salah satu strategi kami dalam meminimalkan budget pemasaran yang masih terbatas, harus tetap hati-hati.”

Hal yang sama juga diutarakan Riana. Menurutnya, ketika membandingkan teknologi yang ada di 2011 saat BelowCepek baru berdiri dengan kondisi sekarang ada banyak efisiensi yang bisa dia terapkan.

Dia mencontohkan, untuk membeli website BelowCepek di 2011 harganya tergolong investasi terbesar yang harus digelontorkan saat pertama kali mendirikan BelowCepek. Namun kini, dengan teknologi yang ada dia hanya menggelontorkan biaya situs sebesar Rp400 ribu per bulan.

“Bentuk inovasi dari teknologi adalah kami bisa saving cost. Karena saya tidak punya investor, jadi tidak bisa hiring orang-orang teknologi. Makanya saya manfaatkan apa yang saya punya dengan budget seadanya. Inovasi terbaik itu dilakukan ketika kita paham dengan bisnisnya itu sendiri,” pungkas Riana.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Local Startup Fest 2017