DailySocial dan Co-Founder McEasy Hendrik Ekowaluyo membahas apa itu McEasy dan lanskap sektor logistik pasca pandemi.
Menurut Hendrik, transformasi digital dalam industri logistik turut mendongkrak pertumbuhan bisnis perusahaannya. Dalam beberapa tahun ke belakang, jumlah pelanggan McEasy mengalami pertumbuhan hingga 10 kali lipat.
Ambisi McEasy, Hendrik mengatakan, adalah membuat ekosistem terintegrasi yang memudahkan para stakeholder dalam mengoptimasi semua proses logistik dan rantai pasok.
Apa yang membedakan McEasy dengan platform logistik serupa di Indonesia? Seperti apa rencana dan target bisnis McEasy menyongsong tahun 2023?
Simak pembahasannya di video wawancara berikut.
Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kegiatan startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV dalam sesi DScussion.
Makanan yang kita santap setiap hari akan melalui proses logistik, dimulai dari petani, ke pengepul, ke pasar, hingga sampai ke dapur kita. Pun demikian dengan barang-barang lain, termasuk barang yang dibeli dari online marketplace. Sistem logistik berperan krusial dalam sistem ekonomi di sebuah negara, bahkan menjadi penopang utama industri seperti ritel, manufaktur, sampai dengan pertanian.
Faktanya, permasalahan di lini logistik juga pelik, mengakibatkan inefisiensi secara sistemis dari proses di hulu hingga ke hilir. Contoh paling sederhana pada sistem transportasi. Di Indonesia, moda logistik utamanya adalah truk. Kebanyakan truk hanya memiliki muatan saat berangkat melakukan pengantaran saja, sementara saat balik ke gudang kondisinya kosong. Padahal sebenarnya banyak pihak yang mau atau bisa memanfaatkannya, sehingga bisa menekan biaya dan waktu tempuh dengan lebih baik.
Selain itu masih banyak lagi isu-isu lainnya, termasuk terkait konektivitas antarstakeholder di sistem logistik itu sendiri.
Melihat permasalahan tersebut, inovator teknologi mencoba menghadirkan sebuah transformasi di sistem logistik. Mengedepankan pendekatan berbasis digital, diharapkan bisa memberikan model bisnis yang lebih efisien. Digitalisasi ini sudah dilangsungkan sejak beberapa tahun ke belakang.
Untuk melihat sejauh mana digitalisasi logistik di Indonesia, DSInnovate meluncurkan sebuah laporan bertajuk “Indonesia’s Digital Logistics Landscape 2022”. Merangkum data dan tren terkait transformasi digital di industri logistik lokal.
Dalam laporan tersebut ditemukan sejumlah data, seperti minat investor terhadap startup yang bergerak di bidang logistik. Sepanjang tahun 2022 ini 14 transaksi pendanaan yang diberikan, membukukan $169,6 juta atau setara 2,6 triliun Rupiah. Selain itu turut dibahas tahapan transformasi digital yang umum diterapkan oleh pelaku industri dan tren dari digitalisasi logistik di masa mendatang.
Perusahaan teknologi logistik yang mengoperasikan marketplacetrucking dan kargo skala besar di Indonesia, Deliveree, merampungkan putaran pendanaan Seri C senilai $70 juta (sekitar 1 triliun Rupiah) yang dipimpin Gobi Partners dan SPIL Ventures. Inspire Ventures, investor terdahulu perusahaan, juga turut ambil bagian di putaran kali ini. Secara total mereka telah mendapatkan pendanaan sebesar $109 juta (1,6 triliun Rupiah) selama lima tahun terakhir.
Dana segar tersebut rencananya dimanfaatkan perusahaan untuk meningkatkan penetrasi pasar, memperluas jenis layanannya seiring dengan hadirnya solusi kargo kontainer, dan melakukan pengembangan skala besar yang dibutuhkan untuk menjadi marketplace logistik yang tersedia di seluruh pelosok Asia Tenggara. Selain itu, pendanaan ini juga akan digunakan untuk meningkatkan layanan bagi puluhan ribu bisnis yang setiap harinya mengandalkan Deliveree.
“Di Deliveree, misi kami adalah digitalisasi logistik dengan membuat transportasi kargo menjadi sederhana, terjangkau, fleksibel, dan terukur untuk bisnis dari segala ukuran. Hal ini diwujudkan lewat kekuatan platform marketplace kami yang menghubungkan pelanggan logistik dengan jaringan angkutan dan penyedia layanan besar – yang saya sebut sebagai logistics mega marketplace,” ujar Co-Founder & CEO Deliveree Tom Kim.
Menurut Managing Partner Gobi Partners Kay Mok, pasca-pandemi berpotensi besar mengalami inflasi yang turut diwarnai oleh permasalahan rantai
pasok. Platform teknologi dari Deliveree memungkinkan terjadinya optimasi dan penurunan total biaya operasional bagi industri pengiriman dan logistik.
“Dengan investasi strategis kami di Deliveree, kami dapat memberi mereka kapabilitas operasional supply chain yang kuat dan merupakan yang pertama di ranah industrinya, dengan menyelaraskan moda transportasi darat dan laut. Hal ini memungkinkan platform teknologi Deliveree untuk menawarkan solusi logistik yang lebih luas dan melampaui trucking darat dengan jangkauan antar pulau, didukung secara strategis oleh jaringan kapal kontainer SPIL yang melayani seluruh pelabuhan utama di Indonesia,” kata Widarta Liunanda dari SPIL Ventures.
Skalabilitas bisnis dan teknologi
Dalam 24 bulan terakhir, Deliveree mengklaim telah meningkatkan transaksi brutonya sebesar 3,2 kali dengan nilai $100 juta pada tahun ini. Perusahaan telah meningkatkan kapasitas timnya hingga hampir mencapai 500 karyawan di empat negara yang membuat perusahaan masuk ke daftar 5 angkutan kargo terbesar di Indonesia, Filipina, dan Thailand.
Akhir tahun 2021 lalu, Deliveree mengumumkan layanan Muat Sebagian untuk mengakomodasi kebutuhan bisnis yang ingin mengirim barang, kargo, bahkan paket besar/kecil tanpa harus menyewa satu kendaraan penuh. Solusi ini mendigitalisasi layanan muat sebagian yang sudah hadir di perusahaan logistik konvensional dengan memanfaatkan algoritma pintar.
Saat pemesanan dilakukan, algoritma Deliveree akan memperhitungkan rute yang paling optimal dan efisien dari gabungan muatan barang pebisnis dengan pebisnis lainnya. Hal tersebut berdampak pada efisiensi biaya dan estimasi pengiriman tercepat karena mempertimbangkan jarak dan waktu. Seluruh proses pemesanan ini dilakukan baik melalui aplikasi maupun situs.
Menurut data tahun 2021, total pasar logistik Indonesia mencapai $240 miliar atau lebih dari Rp3300 triliun. Sejauh ini sudah ada sebuah layanan unicorn logistik (J&T) dan sejumlah soonicorn (Shipper, SiCepat, Waresix) di sektor logistik, khususnya yang mengurusi segmen B2B.
Kehadiran e-commerce turut mengubah infrastruktur distribusi logistik yang dapat menjangkau banyak wilayah dengan pengiriman yang cepat. Distribusi dengan pendekatan tradisional tak lagi relevan karena digitalisasi membuat banyak pengusaha mengadopsi strategi D2C (direct-to-consumer).
Penyesuaian pola distribusi dengan pola D2C menjadi suatu keharusan, hanya saja membutuhkan layanan last mile dan infrastruktur untuk mendukungnya. Solusi ini masih minim hadir di Indonesia dan menjadi kesempatan bagi Fresh Factory untuk menggarapnya.
“We like to solve big problems, and this is greatbecause the the big problem yang we’re trying to solve is our own problems,” ucap Co-founder & CEO Fresh Factory Larry Ridwan saat dihubungi DailySocial.id.
Larry Ridwan bersama Andre Septiano dan Widijastoro Nugroho merintis Fresh Factory sejak 2020. Ketiganya memiliki kesamaan latar belakang, sama-sama pelaku bisnis yang menjual produk-produk yang berhubungan dengan gudang dingin. “Kami mengalami kesulitan karena tidak adanya infrastruktur yang efisien dan efektir dalam mendistribusikan produk-produk kami,” lanjutnya.
Bicara mengenai potensi pasar, gudang pendingin ini mengalami peningkatan permintaan di Indonesia. Industri ini menyumbang menyumbang lebih dari 15% PDB di Indonesia. Secara industri, pada 2018, industri perikanan mencatatkan peningkatan produksi hingga 25 juta ton.
Di tahun yang sama, industri agrikultur juga meningkat hingga 49 juta ton. Sedangkan untuk makanan olahan, peningkatan konsumsi hingga 7 juta ton dengan potensi bisnis mencapai $13,8 miliar. Kehadiran gudang pendingin juga dibutuhkan oleh industri farmasi.
Sementara itu, laporan Forrester Research mengungkapkan bahwa bisnis makanan dan bahan makanan mengalami pertumbuhan yang signifikan pada 2020 dipicu oleh pandemi, menyumbang 11% dari pasar e-commerce global, peningkatan yang signifikan dari hanya 5% pada 2015. Industri makanan dan bahan makanan diperkirakan tumbuh lebih jauh menjadi 15% pada 2025.
“Namun, solusi last mile yang tidak memadai membatasi adopsi biaya (waktu & uang) layanan last mile alternatif saat ini masih tinggi dibandingkan dengan ukuran transaksi konsumen.“
Atas dasar kebutuhan tersebut, Fresh Factory menjadi startup yang fokus menawarkan solusi cold chain, yang terdiri dari manajemen penyimpanan produk dingin dan layanan pengadaan (pemilihan pesanan, pengemasan produk, dan pengiriman ke pelanggan melalui operator pengiriman).
Startup ini mengambil pendekatan hyperlocal dengan membuat jaringan gudang pendingin mikro dengan jarak yang terjangkau antara satu sama lain, sehingga menciptakan dampak efisiensi.
Solusi Fresh Factory
Menurut Larry, solusi cold chain yang ada di industri kebanyakan hadir untuk melayani konsumen korporat besar, sehingga infrastrukturnya lebih tersentralisasi. Sistem yang digunakan pun lebih mengarah pada warehouse management system (WMS), bukan fulfillment management system (FMS). Artinya, WMS hanya memberikan sistem tracking warehouse saja, tepatnya saat masuk keluarnya barang.
Co-Founder & CMO Fresh Factory Widijastoro Nugroho menambahkan, sementara fulfillment management system menambahkan fitur pick and pack. Dengan demikian, pengusaha bisa melakukan produk bundling, special packaging, sisipan promosi, kemasan kostum, dan sebagainya. “Jadi, Fresh Factory memiliki FMS di dalamnya juga ada WMS-nya,” katanya.
Larry melanjutkan, tidak hanya jaringan gudang pendingin saja yang dapat disewa oleh pengusaha, juga terdapat solusi pengadaan. Untuk alurnya, pebisnis dapat memiliki lokasi gudang cabang Fresh Factory sesuai wilayah ekspansi bisnis online-nya. Kemudian, produk yang akan dijual dikirimkan ke gudang dengan menggunakan pengiriman yang disediakan oleh mitra logistik Fresh Factory untuk disimpan di dalam gudang.
Ketika terjadi pesanan, melalui sistem Fresh Factory, penyewa akan memasukkan info pesanan seperti produk, jumlah, dan info lainnya. Pihak Fresh Factory akan memroses pengadaannya hingga dikirim ke pembeli. “Dengan demikian, prosesnya akan jauh lebih baik, lebih cepat, dan lebih efisien daripada sebelumnya.”
Terhitung, saat ini Fresh Factory memiliki 15 gudang mikro yang tersebar di Jabodetabek, Pulau Jawa, dan Bali. Masing-masing gudang ini berjarak 8 km satu sama lain, sehingga proses pengadaan akan jauh lebih efisien. Dilengkapi pula dengan FMS untuk bantu proses integrasi secara end-to-end pengusaha agar dapat scale up lebih cepat.
Perusahaan menerapkan dua strategi monetisasi, pertama adalah FIFO (First In First Out) dengan sistem sewa loker per hari mulai dari Rp200 per unit. Kedua, Tanpa Biaya Setup dengan penghitungan berdasarkan penjualan, mulai dari Rp2.100 per fulfillment. Diklaim, Fresh Factory saat ini memiliki lebih dari 100 tenant, termasuk usaha kecil. Sepanjang 2020, total nilai transaksi Fresh Factory mencapai $1,8 juta atau Rp26 miliar.
Ditargetkan pada tahun ini, perusahaan dapat meningkatkan infrastruktur 100 fulfillment center, mencakup ke seluruh Jawa, Bali, dan nasional, dan 10 gudang pendingin. “Kami juga berencana untuk menambah ragam layanan fulfillment, mulai dari retail fulfillment, cross docking, cross border, dan solusi logistik lainnya yang lebih efisien untuk cold chain.”
Perusahaan telah mengantongi pendanaan tahap awal sebesar $1,5 juta (lebih dari 21 miliar Rupiah) yang didapat dari sejumlah investor, seperti Prasetia Dwidharma, Numbers Capital, dan Y Combinator. Pendanaan ini diperoleh pada Januari 2021. Wiji, panggilan akrab dari Widijastoro, menuturkan saat ini perusahaan masuk sebagai salah satu peserta di YCW22. Saat ini sedang berlangsung proses bootcamp-nya selama tiga bulan.
“Bootcamp dengan YC berlangsung sampai akhir Maret 2022. Kita mulai pelan-pelan cari funding, target close-nya saat demoday di YC sekitar 15 April,” tambahnya.
Tak hanya Fresh Factory, sejumlah startup lokal juga fokus menggarap jaringan pergudangan mikro dan solusi pengadaannya untuk menciptakan dampak efisiensi. Mereka adalah Crewdible, Shipper, TokoTalk, dan platform e-commerce, seperti Shopee, dan TokoCabang (Tokopedia).
Aside from capital, there are many other inquiries and criteria that startup founders look for in investors. It particularly happens for later-stage startups in Series A, B, and C. This is the finding that DailySocial obtained from a mini survey of some startup founders in the particular stage. We also conduct short polls on this topic on Twitter and LinkedIn.
Why do we narrow it down to Series A, B, and C startups? It is because the startups in this phase have gained traction, secured customer base, and are starting to plan for scale-up or business expansion. It means that they will have more complex criteria along with business growth, and are no longer glued to capital alone.
A different hypothesis might arose as it is compared to the early-stage startups, where capital is necessary to develop products/services. The goal is to get customers and find out whether the product/service has been accepted by the market (market-fit).
The following are the summarized results of our mini survey.
Global investment network
Some startup founders participated in our mini survey, including those engaged in e-logistics, edtech, agritech, and musictech. Apart from capital, their expectations lie down for access to global network (85.7%), technology advisory (42.9%), business advisory (28.6%), and mentoring for founders (14.3 %).
In line with the above statement, as many as 48% have high expectations for access to global investor networks, followed by business advisory (40%), technology advisory (7%), as well as VC brand name and experience (4%)
In this survey, Shipper‘s Co-founder, Budi Handoko said that investors already have a lot of experience in managing a business. The role of investors is very important in providing input regarding trends and business models to be explored in the future.
In the context of VC as an investor, eFishery‘s Founder, Gibran Huzaifah added that they can help with the access to global investor network, especially for funding in the next round with a bigger size check.
Track record as the main factor
Next, what are the criteria that respondents looking for in investors? The partners’ track record is at the top of 85.7%, followed by personalities and portfolio ranks with 57.1% respectively, managed funds 42.9%, also portfolio feedback and aligned vision and mission 14.3%.
Budi said, it is important to know the track record and positive feedback of the portfolio before accepting an investment. This is because some investors may act persuasive during the ‘approach’, then turn into controlling moed as they made the investment.
Gibran agreed to the statement, it is important to know how investors work ethic and how they determine the funding hypothesis. These criteria can be the key to considering whether investors and startups can collaborate together.
“Another important consideration is the track record of investors’ managed funds, regarding the fund cycle in what year and the total fund size in particular. This will affect their exit expectations and how strong they can continue in the next funding round,” Gibran said.
For Zenius’ Co-founder, Sabda PS, another equally important criterion is finding investors who have an understanding of how to sustainably create a deep and broad impact. This point becomes very relevant to the extend of the Indonesian education with all the great challenges.
Struggling for investors
All respondents stated that it is difficult to find investors who understand the startup business in certain sectors, the intricacies of the Indonesian market, along with work ethics. According to respondents, it is not easy to find investors with the same value and believe that there are lots of other things besides numbers.
“We believe that good product sells itself. The agreement of time to pocket a return on investment (ROI) is tough if it is forced. This is as long as we prefer to [seek funding] through bootstrapping,” told one respondent.
Gibran added that it was difficult for him to find investors as few people understood the business model he was running in the agritech sector. Due to this condition, he admitted that he had experienced difficulties in convincing investors, especially in appreciating progress. The benchmarks in the agritech sector was not really build then, therefore, it was difficult to find a round size comparison and valuation.
VCs set more focus on managing business growth
Regarding startup funding sources, Venture Capital (VC) is the investor category most chosen by respondents at 71.4%, followed by Corporate Venture Capital/0CVC, private equity, corporations with 28.6% each, and the rest was angel funds at 14.3%.
One respondent said, corporations are considered to be more mature, calm and stable in terms of business. However, there are also respondents who think that VC is more suitable for long-term, lighter, and generic investments.
On the other hand, Gibran believed that VC is more focused on business growth, there is no takeover and strategic collaboration efforts like CVC. In addition, VCs with experience and a strong team can provide insight into strategy, organizational design, and business models.
“From technology support, some VCs provide channels to tech talent and best practices. Some also have internal teams that can support development. As a startup, technology becomes defensibility. VCs who can provide this support will bring a lot of value to the company,” Gibran explained.
Most of our respondents also have a high tendency to seek foreign investors (42.9%), especially investors who have networks or specific interests in more niche industries, such as sustainable innovation. There are also those who are interested in trying to invest through crowdfunding (14.3%).
When you get investors, founders has other expectations include business advisory by 85.7%, then participation for the next round and to be linked to a global investor network of 57.1% respectively, and for investors get into the advisory ranks of 14.3%.
“I don’t think there is a ‘certain type’ of investor that is sought after, it’s rather the person and what is the best funding strategy for the startup. Therefore, it can be a match between goals and long-term relationships as a whole. For example, SME enabler startups will be very strategic to join Sembrani and received investment from BRI Ventures,” Kuassa’s Co-Founder, Grahadea Kusuf said.
–
Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Selain dukungan permodalan, ada banyak kebutuhan dan kriteria yang dicari para founder startup pada investor. Hal ini terutama dialami startup tahap lanjut (later stage) di Seri A, B, dan C. Temuan ini diperoleh DailySocial dari survei kecil-kecilan terhadap sejumlah founder startup di tahapan tersebut. Kami juga melakukan polling singkat terkait topik ini di Twitter dan LinkedIn.
Mengapa kami kerucutkan pada startup Seri A, B, dan C? Startup di fase tersebut rata-rata sudah memperoleh traction, mengantongi customer base, dan mulai memikirkan scale up atau ekspansi bisnis. Artinya, kebutuhan mereka semakin kompleks seiring dengan pertumbuhan bisnis, dan tak lagi sebatas pada dukungan permodalan.
Hipotesisnya tentu berbeda jika dibandingkan dengan startup tahap awal (early stage), di mana mereka membutuhkan modal untuk mengembangkan produk/layanan. Tujuannya adalah memperoleh pelanggan dan mengetahui apakah produk/layanannya sudah diterima pasar (market-fit).
Berikut ini hasil survei yang telah kami rangkum.
Jaringan investor global
Sejumlah founder startup berpartisipasi dalam mini survey kami, antara lain yang bergerak di bidang e-logistic, edtech, agritech, dan musictech. Selain permodalan, ekspektasi yang paling banyak mereka cari adalah jaringan investor global (85,7%), pedoman/bimbingan teknologi (42,9%), pedoman/bimbingan kewirausahaan (28,6%), dan pendampingan untuk founder (14,3%).
Senada dengan di atas, sebanyak 48% memiliki ekspektasi besar terhadap akses jaringan investor global, kemudian diikuti dengan bimbingan/pendampingan untuk bisnis (40%), bimbingan/pendampingan untuk teknologi (7%), serta nama VC dan pengalaman (4%)
Di survei ini, Co-founder Shipper Budi Handoko mengatakan bahwa investor telah memiliki pengalaman banyak dalam mengelola bisnis. Peran investor sangat penting untuk memberikan masukan terkait tren dan model bisnis yang dapat dieksplorasi di masa depan.
Dalam konteks VC sebagai investor, Founder eFishery Gibran Huzaifah menambahkan bahwa mereka dapat membantu menghubungkan ke jaringan investor global, terutama untuk pendanaan di putaran selanjutnya dengan size check yang lebih besar.
Rekam jejak jadi kriteria utama
Selanjutnya, apa kriteria yang paling dicari oleh responden pada investor? Rekam jejak partner berada di urutan teratas sebesar 85,7%, diikuti oleh kepribadian dan jajaran portofolio yang masing-masing 57,1%, dana kelolaan 42,9%, serta feedback portofolio dan kesamaan visi-misi 14,3%.
Menurut Budi, penting untuk mengetahui rekam jejak dan feedback positif dari portofolio sebelum menerima investasi. Hal ini karena ada potensi investor berlaku manis di masa ‘pendekatan’, lalu malah berubah menjadi controlling ketika sudah berinvestasi.
Hal ini turut diamini Gibran yang menambahkan bahwa penting untuk mengetahui bagaimana gaya investor bekerja dan cara mereka menentukan hipotesis pendanaan. Kriteria ini dapat menjadi kunci untuk melihat apakah investor dan startup dapat berkolaborasi bersama.
“Kriteria penting lainnya adalah rekam jejak dana kelolaan investor, terutama soal fund cycle di tahun ke berapa dan total fund size-nya. Hal ini akan berpengaruh pada ekspektasi exit mereka dan seberapa kuat mereka bisa berlanjut di putaran pendanaan berikutnya,” ujar Gibran.
Bagi Co-founder Zenius Sabda PS, kriteria lain yang tak kalah penting adalah menemukan investor yang memiliki pemahaman tentang bagaimana menciptakan dampak yang dalam dan luas secara sustain. Poin tersebut menjadi sangat relevan jika bicara konteks pendidikan di Indonesia yang memiliki tantangan besar.
Tantangan mencari investor
Seluruh responden menyatakan bahwa sulit mencari investor yang memahami bisnis startup di sektor tertentu, lika-liku pasar Indonesia, serta memiliki etika dalam bekerja. Menurut responden, tak mudah menemukan investor yang memiliki value yang sama dan meyakini bahwa ada hal lain di luar angka.
“Kami meyakini bahwa good product sells itself. Kesepakatan mengenai kapan bisa mengantongi return of investment (ROI) ini berat jika dipaksakan. Ini asalan kami prefer untuk [cari pendanaan] lewat bootstrapping saja,” tutur salah satu responden.
Gibran kembali menambahkan, pihaknya sempat kesulitan mencari investor karena masih sedikit yang paham model bisnis di sektor agritech yang dijalankannya. Karena kondisi ini, ia mengaku sempat mengalami kesulitan dalam meyakinkan investor, terutama mengapresiasi kemajuan. Benchmark di sektor agritech juga saat itu belum banyak sehingga sulit mencari perbandingan round size dan valuasi.
VC lebih fokus kelola pertumbuhan bisnis
Bicara sumber pendanaan startup, Venture Capital (VC) menjadi kategori investor yang paling banyak dipilih responden sebesar 71,4%, diikuti Corporate Venture Capital/CVC, private equity, korporasi masing-masing 28,6%, dan sisanya adalah angel fund sebesar 14,3%.
Menurut salah satu responden, korporasi dinilai lebih mature, tenang, dan stabil secara bisnis. Namun, ada juga responden menganggap bahwa VC lebih cocok untuk investasi jangka panjang, lebih light, dan generik.
Di sisi lain, Gibran menilai VC lebih fokus ke pertumbuhan bisnis, tidak ada takeover dan upaya kolaborasi strategis seperti CVC. Selain itu, VC yang memiliki pengalaman dan tim yang kuat sehingga dapat memberikan insight soal strategi, desain organisasi, hingga model bisnis.
“Dari dukungan teknologi, beberapa VC memberikan channeling ke tech talent maupun best practice. Beberapa juga punya tim internal yang bisa support untuk development. Sebagai startup, teknologi menjadi defensibility. VC yang bisa kasih dukungan ini akan banyak bawa value ke company,” jelas Gibran.
Kebanyakan responden kami juga memiliki kecenderungan besar untuk mencari investor luar negeri (42,9%), terutama investor yang memiliki jejaring atau ketertarikan spesifik di industri yang lebih niche, seperti sustainable innovation. Ada juga yang tertarik untuk mencoba investasi lewat crowdfunding (14,3%).
Ketika sudah mendapat investor, ekspektasi lainnya yang diharapkan oleh para founder antara lain dukungan untuk membantu bisnis sebesar 85,7%, lalu bergabung ke putaran selanjutnya dan dihubungkan ke jaringan investor global masing masing 57,1%, dan investor masuk ke dalam jajaran penasihat sebesar 14,3%.
“Saya pikir tidak ada ‘jenis’ investor yang lebih banyak dicari, tetapi lebih ke siapa personalnya dan apa strategi funding terbaik buat si startup. Jadi bisa lebih match antara goal dan hubungan jangka panjang secara keseluruhan. Misal UKM enabler startups akan sangat strategis untuk ikutan Sembrani dan mendapat investasi dari BRI Ventures,” ungkap Co-Founder Kuassa Grahadea Kusuf.
Sering dianggap sebagai ruang yang didominasi laki-laki, logistik sebenarnya memiliki peluang besar bagi perempuan sebagai pekerja. Industri ini sangat luas, meliputi proses fisik pengumpulan sumber daya, pengangkutan atau penempatan sumber daya tersebut menuju distribusi akhir. Namun, terkadang ada kerikil kecil ketika orang mencoba bergerak melawan kepercayaan utama dalam masyarakat. Ada bias gender yang tidak disadari yang menempel di pikiran untuk bertindak sesuai dan menahan niat sebenarnya dari ambisi seseorang.
Berdasarkan penelitian International Labour Organisation (ILO) bertajuk Breaking barriers: Unconscious gender bias in the workplace, bias gender yang tidak disadari diartikan sebagai asosiasi mental yang tidak disengaja dan otomatis berdasarkan gender, yang bersumber dari tradisi, norma, nilai, budaya, dan/atau pengalaman. Asosiasi otomatis dimasukkan ke dalam pengambilan keputusan, memungkinkan penilaian cepat terhadap individu menurut gender dan stereotipnya.
Seorang asisten profesor di Departemen Psikologi Universitas Denver yang juga penulis utama makalah tersebut, Daniel Storage mengamati, “Stereotip yang menggambarkan kecemerlangan sebagai sifat laki-laki cenderung menahan perempuan untuk mencapai berbagai karir bergengsi.”
Namun, tidak demikian halnya dengan Roolin Njotosetiadi. Sebagai salah satu dari sedikit mahasiswi di jurusan teknik mesin di Nanyang Technological University, tidak pernah menjadi masalah baginya untuk mendaki jenjang pendidikan yang setara dengan kelompok pria lainnya. Semangat dan upaya tanpa akhir inilah yang membawanya ke posisi C-Suite di salah satu perusahaan logistik terkemuka di Indonesia, Logisly.
Perempuan sebagai tenaga kerja
Secara global, wanita kerap kurang terwakili di perusahaan, dan partisipasi wanita kian menurun semakin menaiki hierarki perusahaan. Namun, banyak perusahaan telah menunjukkan komitmen mereka terhadap kesetaraan gender dengan menetapkan kebijakan yang ramah keluarga dan memfasilitasi karier dan jaringan profesional wanita. Misalnya cuti hamil dan fasilitas kantor lainnya seperti ruang menyusui dan lain sebagainya.
Namun demikian, bias gender yang tidak disadari terus berdampak pada perempuan di tempat kerja, dan lebih banyak yang harus dilakukan untuk memungkinkan perempuan yang sangat terampil untuk menempati posisi sebagai pemimpin. Seperti dikutip dari The Economic Times, pada 2010, perempuan hanya menyumbang delapan persen dari angkatan kerja logistik yang terus meningkat hingga 20 persen pada 2018.
Sejak ditetapkannya Raden Ajeng (RA) Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Soekarno tahun 1964, Indonesia telah mengalami perubahan sosial ekonomi dan pertumbuhan yang pesat dalam pencapaian pendidikan perempuan. Namun, selama periode ini, perempuan Indonesia hanya terlibat dalam pasar tenaga kerja, dengan rasio partisipasi angkatan kerja perempuan-laki-laki berada di sekitar 0,6, berdasarkan Female Labor Force Participation in Asia: Indonesia Country Study oleh Cornell University ILR School.
Bagi Roolin, ada dua hal yang patut disoroti. Pertama, ini semua tentang persepsi, wanita tidak pernah bisa lebih pintar dari pria merupakan salah satu hal yang sangat salah. Kedua, ketika orang mulai membangun rumah tangga dan keluarga, mereka akan menghadapi beberapa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keseimbangan kehidupan kerja. Namun, karena ada kewajiban “kodrat” yang ditempelkan pada wanita untuk mengurus keluarga, terkadang hal itu menjadi 10 kali lebih sulit.
“Di Logisly, kami berusaha memberikan ruang aman bagi perempuan untuk membangun karir sekaligus mengampu tanggung jawab dalam rumah tangga. Dengan 40% karyawan kami adalah perempuan, saya pribadi ingin menciptakan lingkungan yang sehat bagi mereka untuk mengembangkan bakat mereka di bidang logistik ,” tambah Roolin.
Faktanya, industri teknologi Indonesia semakin mendapat dukungan dari kehadiran perempuan di dalam ekosistem. Ada juga beberapa inisiatif yang diluncurkan, misalnya gerakan non profit bertujuan untuk mendidik dan memberdayakan perempuan yang memiliki passion di bidang teknologi, Girls in Tech. Belum lagi program Elevate Women untuk memfasilitasi womenpreneur di industri kreatif.
Kehadiran perempuan di industri teknologi akan selalu dinantikan. Masalahnya, masih ada persepsi yang melekat di beberapa industri bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan laki-laki. Roolin juga menyebutkan bahwa banyaknya CEO pria di Indonesia bukan karena lingkungan yang tidak mendukung, namun terkadang wanita memiliki prasangka bawah sadar terhadap diri sendiri, yang menurut mereka kurang mampu. Faktanya, tidak seperti itu.
“Bergabunglah di meja! Jika Anda memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, lakukanlah! Jangan pernah berpikir bahwa Anda tidak pantas menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Tingkatkan kepercayaan diri Anda. Jika Anda berada di tempat itu, Anda berhak berada di sana,” pungkasnya.
Kebangkitan sektor logistik
Dengan naik turunnya kebijakan restriksi di awal krisis pandemi, alih-alih melambat, industri logistik mampu pulih dan berakselerasi, baik dari kinerja bisnis maupun penambahan modal yang dibuktikan dengan berita pendanaan terkini dari banyak pihak platform logistik lokal.
Secara keseluruhan, ada penurunan permintaan logistik di tahun lalu, namun beberapa sektor masih tumbuh. Logisly, sebagai salah satu pemain teknologi yang mencoba melakukan diversifikasi, karena beberapa sektor melemah, secara refleks mereka beralih ke pasar yang ramai. Karena pandemi menciptakan efek yang belum pernah terjadi sebelumnya, perusahaan berusaha mempertahankan arus kas. “Beruntung bagi kami, hal itu yang menjadi proposisi nilai kami untuk transporter,” tambah Roolin.
Roolin, melalui Logisly, sekarang berfokus pada tiga hal, memperluas jaringan dengan pengirim dan pengangkut menggunakan strategi flywheel untuk meningkatkan layanannya; meningkatkan operasi dengan otomatisasi yang tersedia yang didukung oleh teknologi terbaru, dengan model B2B, kinerja sangat penting. Mereka ingin membangun tidak hanya solusi teknologi, tetapi juga kepercayaan dari semua mitra untuk mengelola kinerja ujung-ke-ujung mereka; juga bertumbuh dalam hal pengembangan manusia. Logisly adalah perusahaan teknologi dengan aset ringan, karyawan menjadi aset utamanya.
“Kami melanjutkan upaya kami untuk tidak hanya merekrut orang-orang terbaik untuk bergabung dengan tim kami, tetapi juga memastikan tim kami benar-benar tumbuh bersama Logisly dan merasa bahwa mereka dapat melihat ini sebagai tempat di mana mereka dapat tumbuh dengan potensi terbaik mereka,” tambah Roolin. .
Berdasarkan riset Startus-insights, transformasi digital menyumbang €1,42 triliun investasi di bidang logistik pada tahun 2025. Namun, penetrasi platform digital di industri logistik masih cukup rendah, setidaknya itulah yang diamati Roolin. Dalam hal shipper, inilah saatnya meninggalkan cara pemesanan manual konvensional hingga semua faktur berbasis kertas. Banyak platform tersedia untuk mendukung transformasi digital. Selain itu, bagi transporter, akan lebih leluasa dalam mendapatkan pesanan. Dengan usaha seminimal mungkin, mereka dapat meningkatkan pemanfaatan truk dan pendapatan pokok. Bisnis akan lebih mulus dan sepenuhnya digital, biaya akan semakin berkurang. Namun, dengan semua dukungan otomatisasi yang ada, disrupsi harus selalu terjadi setiap hari di dalam diri masyarakat.
“Disrupsi di bidang logistik sangatlah luas dan ini hanyalah sebagian kecilnya,” tambahnya.
Logistik sebagai industri bersinggungan dengan banyak industri lainnya, terutama e-commerce. Di Logisly, setidaknya ada dua titik untuk menghubungkan titik-titik ke bidang e-commerce. Banyak dari operasinya yang last-mile, tetapi beberapa telah berinvestasi di gudang sendiri, dimana mereka membutuhkan armada yang lebih besar dari gudang ke gudang. Selain itu, pemain jarak jauh membutuhkan dukungan dengan hub mereka di kota-kota tertentu. Selain itu, pembayaran digital juga menjadi salah satu teknologi yang wajib diadopsi. “Sebagai perusahaan teknologi, kita perlu cepat beradaptasi dengan otomasi terbaru guna meningkatkan produktivitas dan kecepatan. Selama ini yang saya tahu, kuncinya logistik adalah kecepatan,” tambahnya.
Karena tenaga kerja adalah elemen penting dari setiap model operasi logistik, maka peluang besar tidak hanya bagi laki-laki tetapi juga bagi perempuan untuk bergabung dengan angkatan kerja, dan sektor logistik sekarang mendukung perempuan berbakat dan energik dengan menumbuhkan budaya di mana perempuan diberikan berbagai platform untuk mengembangkan dan merawat diri mereka sendiri. Banyak perusahaan telah mengambil langkah positif dengan memperkenalkan budaya aman dan berorientasi pada perempuan serta inisiatif keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance).
“Logistik berada dalam posisi untuk melayani semua pihak dengan barang sampai ke tujuannya. Ini melibatkan banyak orang dan mencakup semua bidang. Kami tidak dapat melakukan semuanya sendiri, oleh karena itu, kami membutuhkan mitra, untuk mengembangkan solusi hyperlocal-on-demand. Kuncinya adalah kolaborasi. Jika hanya satu yang membangun semuanya, kita tidak akan memiliki biaya yang cukup dan tidak akan ada cukup waktu,” jelas Roolin.
– Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian
Often considered as the male-dominated space, logistics actually holds a big opportunity for women in the workforce. It is a very broad industry, encompasses the physical process of accumulating resources, the transportation or positioning of those resources to the final distribution. However, sometimes it hits different when people move against the major beliefs in society. There’s unconscious gender bias that plastered the mind to act accordingly and hold back the true intention of one’s ambition.
Based on a research by International Labour Organization (ILO) titled Breaking barriers: Unconscious gender bias in the workplace, unconscious gender bias is defined as unintentional and automatic mental associations based on gender, stemming from traditions, norms, values, culture, and/or experience. Automatic associations feed into decision-making, enabling a quick assessment of an individual according to gender and gender stereotypes.
An assistant professor in the University of Denver’s Department of Psychology and the paper’s lead author, Daniel Storage observed, “Stereotypes that portray brilliance as a male trait are likely to hold women back across a wide range of prestigious careers.”
However, that is not the case for Roolin Njotosetiadi. As one of the few female students in mechanical engineering major of Nanyang Technological University, it is never been much of an issue for her to climb the educational ladder along with the other male group. The spirit and unconditional effort are what carried her to the C-Suite position at one of the leading logistics companies in Indonesia, Logisly.
Women in the workforce
Globally, women are underrepresented in corporations, and the share of women decreases with each step up the corporate hierarchy. However, many companies have shown their commitment to gender equality by establishing family-friendly policies and facilitating women’s careers and professional networks. For example, pregnancy leave and other office facilities such as nursing room and so on.
Nevertheless, unconscious gender bias continues to impact women in the workplace, and more must be done to enable highly skilled women to advance into leadership positions. As quoted from The Economic Times, in 2010, women formed only eight percent of the logistics workforce which has steadily increased to 20 percent in 2018.
Since the designation of Raden Ajeng (RA) Kartini as a National Independence Hero based on the Presidential Decree of President Soekarno in 1964, Indonesia has experienced socioeconomic change and rapid growth in women’s educational attainment. However, throughout this period, Indonesian women have remained only moderately engaged in the labor market, with the female-male labor force participation ratio hovering around 0.6, based on Female Labor Force Participation in Asia: Indonesia Country Study by Cornell University ILR School.
For Roolin, there are two things that should be highlighted. First, it’s all about perception, women can never be smarter than men is a very wrong one. Second, as people starting a family, they will face some difficulty adjusting to the work-life balance. However, since there’s this naturalized obligation in women to take charge of the care of family, it sometimes becomes 10 times harder.
“In Logisly, we tried to provide a safe space for women to build a career while also having responsibility in a household. With 40% of our employees are women, I personally want to create a healthy environment for them to develop their talent in logistics,” Roolin added.
In fact, the Indonesian tech industry is getting more support from women’s presence in the field. There are also some initiatives launched, for example, non-profit aims to educate and empower women who are passionate about technology, Girls in Tech. Also, the recent one, Elevate Women program to facilitate womenpreneur in the creative industry.
Women’s presence in the tech industry will always be expected. The thing is, there’s still an inherent perception in some industries that women are less capable than men. Roolin also mentioned that the higher number of male CEO in Indonesia is not due to an unsupportive environment, but sometimes women have their own unconscious bias against themselves, that they think they’re less capable. In fact, they’re not.
“Sit at the table! If you have the opportunity to participate, do it! Don’t ever think that you don’t deserve to be part of something big. Boost your confidence. If you’re there, you deserve to be there.” She added.
The rise of logistics
With the ups and downs due to the restriction policy at the beginning of the pandemic crisis, instead of slowing down, the logistics industry was capable to recover and accelerate, both from its business performance and the additional capital as proven by recent funding news from many local logistics platforms.
Overall, there is a decline in logistics demand last year, but some of the sectors are still growing. Logisly as one of the tech players trying to make diversification, as some of the sectors lay low, they reflexively shifted into the crowded market. As the pandemic creates unprecedented effects, companies are trying to sustain the cash flow. “Luckily for us, that is our value proposition for the transporter,” Roolin added.
Roolin, through Logisly, is now focused on three things, expanding network with shippers and transporters using the flywheel strategy in order to better its services; improving operations with available automation supported by the latest technology, with the B2B model, performance is essential. They want to build not only tech solutions, but also trust from all our partners to manage their end-to-end performance; growing in terms of people development. Logisly is an asset-light tech company, people are its main asset.
“We continue on our effort to not only recruit really good people to join our team but make sure the team we have actually grown with Logisly and feel that they can see this as a place where they can live to their fullest potential,” Roolin added.
Based on the Startus-insights research, Digital transformation accounts for €1.42 trillion investments in logistics by 2025. However, the digital platform penetration in the logistics industry is still quite low, at least, that is what Roolin observed. In terms of Shipper, it’s time to leave the conventional way of manual ordering to all the paper-based invoicing. Many platforms are available to support digital transformation. Also, for the transporter, it will be more flexible to get an order. With the minimum effort, they can increase truck utilization and basic income. The business will be more seamless and totally digital, cost will be less and less burdening. However, with all the support of all the existing automation, disruption should always happen every day within the people.
“Disruption in logistics is quite extensive and this is just the tip of the iceberg,” she added.
Logistics as an industry intersects with many other industries, especially e-commerce. In Logisly, there are at least two to connect the dots to the e-commerce field. Many of its operations are last-mile, but some are investing in its own warehouse where they need a bigger fleet from warehouse to warehouse. Also, the last-mile players need support with their hub in certain cities. In addition, digital payment is also one of the must-adopted technology. “As a tech company, we need to fastly adapt to the latest automation in order to increase productivity and speed. For as long as I know, the key of logistics is speed,” she added.
As labor is a critical element of any logistics operating model, it holds big opportunities not only for men but also for women to join the workforce and the logistics sector is now supporting talented and energetic women by fostering a culture where women are provided with a various platform to develop and groom themselves. Many companies have taken positive steps by introducing a safe and women-oriented culture as well as work–life balance initiatives.
“Logistics is in a position to serve all parties with goods to its destination. It involves many people and covers all areas. We can’t do everything on our own, therefore, we need partners, in order to develop the hyperlocal-on-demand solution. The key is collaboration. If one should build everything, we wouldn’t have enough cost and there wouldn’t be enough time,” Roolin said.
Recently, digitization for SME is getting intense to create competitiveness amidst the economic challenges caused by the pandemic. Startups are using this huge business cake by presenting various digital solutions through all aspects, fintech, supply chain, logistics, e-commerce, marketing, and others.
In order to present the bigger picture, DailySocial describes the players in each segment. Here’s the summary:
A. Go Digital
1. E-commerce enabler: omnichannel, commerce site builder
The existence of a brand on an online platform is quite an obligation to be recognized by many people nowadays. These e-commerce enabler players usually present various solutions according to their business stages to facilitate the overall migration process, starting from online store creation services and synchronizing sales to various marketplaces and online shop sites in one dashboard.
The larger the business scale, the more complex the e-commerce solution. For example, when you want to implement an omnichannel strategy or need a supply chain system to help the logistics process, you need experts and the right solution. Some of the players are:
Commerce site builder:
– Sirclo
– aCommerce
– ForStok
– Egogo Hub
– Intrepid22. On demand services: online delivery, online order
This on-demand service is generally dominated by the culinary sector, which is fully supported by GrabFood and GoFood. By combining the strength of the driver’s fleet and some culinary business, the food delivery service is increasingly booming in Indonesia.
Apart from offering easy access and delivery, there are many digital solutions for MSMEs, such as marketing solutions, payments, inventory, financial records, and so on. We divided these solutions into two parts, as follows:
Online delivery:
– GoBiz
– GrabMerchant
Online order:
– DigiResto
– Mangan.id
3. Online marketplace: B2B, B2C, partnership
The presence of the e-commerce platform creates an impact as it’s easier for MSMEs to reach many new users. With the whole ecosystem prepared for the e-commerce players, it is expected that more MSMEs will take advantage of this opportunity to expand their business. Here are the players:
Amid the efforts of e-commerce players to encourage more MSMEs to enter their platforms, MSMEs are keen to sell through social media platforms such as Instagram and Facebook. This application is considered more personal as it can directly interact with consumers.
The enthusiasm of MSMEs to join social media does not immediately subside, in fact, it is getting increased. The social commerce players are using the big opportunity by offering easy sales via short message applications and social media. The players are quite diverse:
– Woobiz
– Storie
– Chilibeli
– RateS
– Super
– Desty
– Halosis
– Qios by Kata.ai
– GoStore by Gojek
– Kitabeli
– Evermos
B. Financial
1. Loan: working capital, supply chain
In order for MSMEs to grow continuously, they need capital loans from conventional financial institutions. However, as their business is unbankable, there are difficulties in accessing loans. Fintech lending players are trying to solve this issue, not only providing working capital, another form of which is being provided is supply chain loans. The players include:
Working capital
– Amartha
– Modalku
– Investree
– KoinWorks
– Akseleran
– Modal Rakyat
Payment players are paying attention to the sustainability of MSMEs to be connected to various payment methods, adjusting to the latest conditions. The presence of the POS application is also considered very helpful for MSMEs as this all-in-one application does not only function to record finances. There are many players in this segment:
E-money:
– LinkAja
– OVO
– DANA
– GoPay
– ShopeePay
Although it still in the MSME stage, taxation should not be taken lightly. There are several players in this sector trying to invite business owners to comply as taxpayers as soon as possible. The services provided start from the payment process, reporting, and tax management. Some of the players are:
When businesses have rapidly grow, the digital solutions needed will continue to follow the needs. API enabler players are here to answer these needs, especially in the financial-related field. They provide integrated solutions in one API, for payment, financial and banking services, therefore, businesses can add value to their customers. Here are some of the players:
– Ayoconnect
– Finantier
– Brankas
– Brick
C. Marketing: email marketing, influencer marketing
SMEs should also pay attention to marketing strategies to acquire consumers with existing budgets. Simple marketing via social media platforms or short messages is not necessarily enough. Therefore, there are players in this sector who specifically help MSMEs to market their products:
Email marketing: MTarget
Influencer marketing: Allstar
D. Operational
1. Accounting: micro-small, medium-large
The biggest reason why MSMEs are unbankable is due to poor financial management, they still use manual recording, making it difficult to see how the business is progressing or is it actually experiencing loss. Therefore, the existence of special software is clearly required. Here’s a list of startup players who present financial management solutions:
As MSMEs grow, it will face advanced challenges. One that is often highlighted is the human resources management, from payroll, attendance, annual leave, reimbursement, and so on. It takes the presence of a software to help make it quick and efficient. Here are some startups that focus on providing HR management:
E. Business Growth: CRM, ERP, loyalitas, Environment Health Safety (EHS)
In order for the company to continue to survive, it requires a business development strategy that does not only focus on product expansion, but how the company can maintain relationships with customers. It has to do with CRM. Another thing is the ERP solution when the business starts become real.
ERP solutions are not only for the enterprise level, it’s also gaining popularity at the SME level because of the benefits. For example, purchasing raw materials, maintaining network with other companies, and managing job descriptions for workers.
The objectives of CRM and ERP are interrelated for the development of the company’s business, there are also other supporting elements that startups should take seriously. Here are the players who focus on business development services:
F. Logistics: Transportation management, warehouse, warehouse management system (WMS), 3PL aggregator, last mile logistics
Logistics is essential for the MSME business as it’s going digital related to service to consumers. Moreover, Indonesia’s logistics issues are still a handful. Various logistics players who are specialists in their respective fields offer solutions for MSMEs:
Last mile logistics:
– Paxel
– Ninja Express
– SiCepat
– Anteraja
– JNE
– TIKI
– Pos Indonesia
– Wahana
G. Legal
As the MSMEs getting more developed, it requires preparation for legality in order to become a legal entity. However, as the legal language is difficult for common people to understand, the existence of startups in this field to provide assistance is needed. The startups in this segment are:
– Legalku
– Lexar
– Izin.co.id
– HukumOnline
H. Software/IOT
MSMEs are not always about businesses engaged in services or trade, but also fisheries, livestock, and others that need digital solutions to help develop their businesses. Generally, the solutions presented for this sector are in the form of smart devices powered by IoT. This tool operates many tasks, one of which is to provide automatic feed for a successful harvest in the future. The players in this sector are:
Pandemi Covid-19 memaksa banyak pelaku bisnis di Indonesia untuk mengadopsi layanan digital, tak terkecuali industri logistik, baik di first mile, mid mile, maupun last mile. Dengan situasi saat ini, bagaimana upaya ekosistem digital dalam mendukung tren logistik ke depan?
Diskusi menarik di sesi #SelasaStartup bersama Co-Founder dan CEO Shipper Budi Handoko dan Startup Account Manager Amazon Web Services Nicolas Tjioe mencoba memahami upaya mempercepat laju industri logistik menuju digital selama pandemi dan pasca pandemi.
Tantangan pelaku logistik
Pasar logistik Indonesia diestimasi bernilai $221 miliar, di mana e-commerce menjadi salah satu pendorong pertumbuhan. Sementara, nilai industri e-commerce Indonesia di 2020 mencapai $40 miliar dan diprediksi meroket menjadi $88 miliar di 2025. Inipun baru kontribusi dari e-commerce saja yang diprediksi tumbuh 4-6 kali lipat.
Dengan melihat tren jasa logistik di Indonesia, pelaku startup logistik berupaya menjangkau cakupan rantai logistik di Indonesia mengingat kondisi geografis masih menjadi salah satu tantangan besar bagi pelaku bisnis.
Budi Handoko menilai bahwa saat ini pemerintah tengah menggenjot pembangunan infrastruktur dan akses internet di seluruh Indonesia. Para pelaku logistik di Indonesia juga mulai mengadopsi teknologi dan solusi berbasis digital dengan tujuan untuk memberikan kemudahaan akses kepada mitra dan konsumen.
“Salah satunya melalui solusi cloud yang dapat memudahkan mitra dan konsumen untuk mengakses produk kami. Dengan begitu, semua jarak dapat tereleminasi baik dari sisi infrastruktur utama maupun produknya,” ujar Budi.
Momentum pandemi dan hari raya
Ada insight menarik lainnya yang ditangkap Shipper dan AWS, yaitu tren logistik di masa pandemi dan hari raya Lebaran. Menurut Budi, pandemi memberikan blessing in disguise terhadap industri logistik secara keseluruhan, termasuk Shipper. Permintaan terhadap pengiriman makanan, barang, dan alat-alat kesehatan memicu kenaikan jasa logistik selama masa pembatasan sosial.
Selama situasi ini, Budi mengaku tidak mengembangkan inovasi baru karena Shipper sudah lebih dulu membangun infrastruktur dan teknologi sebelum pandemi, termasuk mempersiapkan strategi untuk menekan kemungkinan cost yang lebih besar. Dengan kesiapan tersebut, pihaknya mengaku dapat mengakomodasi lonjakan permintaan yang tinggi.
“Pandemi menjadi turning point bagi kami karena jasa logistik meningkat seiring banyaknya permintaan pengiriman dan penjual yang beralih ke alat-alat kesehatan. Teknologi yang kami bangun sebelumnya menjadi berguna di masa pandemi,” ujar Budi.
Dari sisi adopsi digital, Nicolas Tjioe mengakui bahwa pandemi memunculkan tantangan efisiensi bagi pelaku bisnis. Dari situasi ini, AWS turut berperan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku logistik yang banyak berkutat dengan proses bisnis manual.
“Selama ini banyak bisnis logistik menggunakan invoicing secara manual. Untuk menyelesaikan hal itu, mereka sebetulnya tidak perlu bangun tim IT atau data karena bisa pakai solusi managed services dari AWS. Solusi ini bantu mendigitalkan data menjadi softcopy. Ada banyak managed services yang dapat membantu tim logistik fokus di business growth tanpa perlu urus operasional,” jelas Nicolas.
Demikian juga di momentum Lebaran yang dapat memicu peningkatan pengiriman sebesar 5-10 kali lipat. Solusi yang ditawarkan AWS masih relevan dengan momentum tersebut. Dalam pengalamannya membantu pelaku bisnis, Nicolas menyebutkan bahwa solusi autoscaling dapat memprediksi tren scalability.
Artinya, setiap ada lonjakan trafik, solusi ini secara otomatis dapat membaca tren kebutuhan yang diperlukan pelaku logistik secara akurat. Dengan solusi ini, time to market menjadi lebih cepat dan customer experience terhadap pelanggan tidak terganggu.
Teknologi untuk logistik
Dari sisi teknologi, Budi juga berbagi tentang inovasi yang dikembangkan Shipper. Pertama, inovasi untuk segmen retail. Menurutnya, teknologi ini dapat membaca tren logistik di area tertentu dan membantu pelaku bisnis untuk menemukan jasa pengiriman logistik yang sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap terjangkau.
Kedua, teknologi untuk fasilitas pergudangan. Pihaknya mengembangkan solusi yang sekiranya dapat membantu pengiriman barang dari jarak jauh, Makassar ke Jakarta misalnya, dengan biaya yang lebih murah. Ketiga, mengembangkan teknologi forecast kepada merchant ketika stok barang di gudang sudah mulai menipis.
Mencari pendanaan dari investor
Di industri manapun, termasuk logistik, investor akan selalu memikirkan return of investment (ROI). Dalam kasus investor yang sudah berinvestasi di perusahaan logistik dan mendapatkan keuntungan, tentu ada kemungkinan besar investor akan tertarik berinvestasi kembali.
Namun, Budi menilai mencari investor jangan hanya terbatas di dalam negeri saja. Menurutnya, penting untuk mencari investor luar karena skala bisnis logistik tidak hanya di Indonesiaa, tetapi juga di global. Artinya, ketika ingin melakukan ekspansi ke luar, pelaku bisnis dapat memanfaatkan jaringan investor global yang dimiliki.
“Masuknya Shipper ke Y Combinator membuat kami menjadi dikenal oleh global. Kendati begitu, saat ini kami masih fokus di Indonesia karena negara kita luas sekali. Bahkan cakupan logistik di Indonesia mungkin masih seperti piramida, masih banyak di atas,” tambahnya.
Apabila mendapat investor yang baru masuk ke logistik, ia menyebut bahwa open communication menjadi kunci penting untuk menjalankan bisnis ke depan.
Memulai transformasi digital
Bagi pelaku logistik yang ingin memulai transformasi digital, saat ini sudah banyak layanan cloud yang mengakomodasi kebutuhan ini. Di AWS, Nicolas memberikan contoh tiga opsi program yang dapat dipertimbangkan oleh pelaku logistik untuk memulai adopsi digital.
Pertama, opsi founder portoflio atau ditujukan bagi pelaku bisnis yang baru membangun minimum viable product (MVP). Kedua, opsi VC portfolio atau ditujukan bagi pelaku bisnis yang sudah menerima pendanaan dari investor. Dan ketiga, program SaaS factory yang menawarkan solusi bagi pelaku bisnis yang sudah masuk ke tahapan diversifikasi produk.
“Efisiensi dan menaikkan daya saing adalah manfaat yang dapat diperoleh dari transformasi digital. Dalam konteks industri logistik, transformasi ini dapat mengurangi biaya dan membangun long-term growth. Yang ingin kami tekankan, tidak semua harus dibangun dari scratch karena AWS support dari sisi inovasi,” tutupnya.