Loot box, gacha, dua istilah ini kerap menimbulkan kontroversi di industri gaming dalam beberapa tahun terakhir. Sebenarnya tidak ada yang salah dari pembelian dalam game (in-game purchase) menggunakan mata uang nyata, namun itu bisa jadi problem ketika sudah mengarah ke konsep pay-to-win.
Bagi sebagian orang, loot box atau gacha tidak berbeda dari judi. Pemain mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak pasti atau bersifat acak, dan karena tak kunjung mendapat apa yang diinginkan, pemain pada akhirnya harus terus mengeluarkan biaya ekstra selama bermain.
Berdasarkan studi yang dilakukan badan rating ESRB, yang mengeluhkan sistem loot box ini bukan cuma kalangan orang tua saja, tapi juga para gamer itu sendiri. Pun demikian, keduanya punya perspektif yang agak berbeda.
Dari perspektif orang tua, yang dikhawatirkan biasanya cuma sebatas berapa banyak uang yang anaknya keluarkan selama bermain game. Kalau dari perspektif sang anak, yang dikhawatirkan justru lebih spesifik, yakni apakah pembelian dalam game yang mereka mainkan sifatnya acak atau tidak.
Terkait kekhawatiran kalangan orang tua, ESRB sebenarnya sudah punya solusi dalam bentuk label “In-Game Purchases” yang ditambatkan pada game yang memang menawarkan konten ekstra yang dapat dibeli tanpa meninggalkan jendela permainan. Namun untuk kekhawatiran para pemain sendiri, ESRB menilai diperlukan indikator yang lebih spesifik.
Maka mulai hari ini, ESRB sudah menyiapkan label baru bertuliskan “In-Game Purchases (Include Random Items)” pada permainan yang mengadopsi sistem loot box atau gacha. Tujuannya adalah supaya para pemain bisa sadar akan sifat acak pada konten ekstra yang bisa dibeli dalam game sebelum mereka terlanjur mengeluarkan uang.
Mengapa “Random Items” dan bukan “Loot Box” begitu saja? Karena ESRB menilai tidak semua orang paham makna dari kata loot box, dan lagi label baru ini mereka maksudkan untuk semua bentuk in-game purchase yang sifatnya acak, entah itu cover card pack, prize wheel, dan lain sejenisnya.
Komite parlemen Australia merekomendasi peraturan terhadap loot boxes kepada pemerintah Australia. Harapannya, pemberlakuan aturan umur minimal dalam pembelian loot boxes. Hal ini termasuk dari enam rekomendasi yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Australia mengenai Legal Affairs into age verification for online wagering and pornography.
Secara spesifik, rekomendasi ini menyebutkan pelarangan akses loot boxes dan hal yang memiliki elemen perjudian di dalam video games kepada anak di bawah umur 18 tahun. Komite parlemen Australia juga meminta Digital Transformation Agency bekerja sama dengan Australian Cyber Security Centre untuk menyusun regulasi mengenai age verification. Dengan demikian, mereka berharap anak-anak tidak bisa mengakses konten di dalam video game yang bisa membahayakan mereka.
Berdasarkan Interactive Gambling Act di Australia, loot box tidak dikategorikan sebagai judi atau taruhan. Tetapi komite parlemen Australia tidak ingin hal tersebut memiliki kemungkinan untuk menstimulasi anak-anak untuk melakukan perjudian di kemudian hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BMC, menunjukan bahwa ada 40% anak-anak di Australia yang pernah melakukan judi.
Argumentasi telah berjalan, pihak pemerintah Australia menganggap bahwa loot boxes tidak sama dengan perjudian. Hal tersebut dikarenakan loot boxes tidak akan membuat seseorang kehilangan semua uangnya. Berbeda dengan perjudian yang memiliki kemungkinan untuk membuat seseorang untuk kehilangan semua uangnya yang dijadikan taruhan. Pemerintah Australia juga menyebutkan bahwa perjudian memang menjadi permasalahan serius di Australia. Tetapi minimnya data yang menyebutkan adanya keterkaitan antara loot boxes dan perjudian membuat pemerintah Australia belum bisa melakukan perubahan secara legislatif.
Overwatch, CS:GO, and FIFA 18 must remove loot boxes in Belgium, or the publishers can face up to five years in jail.
This is probably the biggest development in international law on loot boxes so far. They’re going to HAVE to completely remove them for that region.
Beberapa negara memang sudah melarang adanya loot boxes di dalam video game. Belgia adalah negara pertama yang resmi menulis peraturan tersebut. Menteri Kehakiman Belgia yaitu Koen Geens berkata bahwa loot boxes merupakan perpaduan antara gaming dan gambling. “Hal ini akan berbahaya bagi kesehatan mental mereka.” Sehingga apapun yang bisa dibeli dengan uang harus dihilangkan di dalam video games.
Perkara microtransaction dan loot box atau sistem gacha sudah beberapa waktu lalu menjadi perdebatan badan legislatif pemerintahan di Barat sana. Setelah beberapa negara di Eropa angkat bicara soal hal ini, Amerika Serikat kini akhirnya turut bicara soal permasalahan ini.
Masalah ini terangkat ke permukaan setelah senator Amerika Serikat, Josh Hawley, mencanangkan sebuah peraturan untuk meregulasi microtransaction di dalam game. Proposal regulasi tersebut diberi nama sebagai The Protecting Children from Abusive Games Act. Mengutip rilisan pers sang senator, sesuai dengan namanya, kebijakan ini dibuat dengan fokus untuk melindungi anak dari praktek monetisasi eksploitatif lewat sistem pay to win dan loot box yang umum ada di dalam game.
Maka dari itu, jika regulasi ini berhasil diterima oleh pemerintahan, badan legislatif Amerika Serikat akan melarang penjualan loot box pada game yang dirancang untuk pemain berusia di bawah 18 tahun. Jadi, hanya game dengan rating 18+ yang bisa memiliki sistem loot box di dalamnya.
Entertainment Software Association (ESA), yang merupakan regulator dari sistem rating ESRB langsung angkat bicara soal hal ini. Mengutip Esports Insider, berikut apa yang dikatakan ESA: “beberapa negara termasuk Irlandia, Jerman, Denmark, Australia, New Zealand, dan Britania Raya sudah menyatakan bahwa loot box bukan perjudian.”
“Kami ingin berbagi kepada pak Senator soal perangkat dan informasi yang disediakan oleh pihak industri game. Perangkat tersebut memungkinkan para orang tua untuk mengendalikan pengeluaran mata uang nyata di dalam game. Alat tersebut memungkinkan para orang tua kini dapat membatasi atau bahkan melarang pembelian di dalam game dengan menggunakan perangkat parental control yang mudah digunakan”.
Perdebatan soal microtransaction dan loot box sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu. Tiongkok dan Korea Selatan sudah terlebih dahulu meregulasi sistem loot box. Pada dua negara tersebut, pengembang game harus mengungkap besaran kesempatan untuk mendapatkan berbagai item yang ada di dalam sebuah loot box.
Australia juga sempat memperdebatkan soal hal ini. Mereka juga merupakan negara pertama yang melakukan riset dan mengatakan bahwa loot box punya sifat mirip seperti judi secara psikologis. Pada akhirnya, Australia mencoba menerapkan regulasi yang mirip seperti apa yang diajukan oleh senator Amerika Serikat tersebut, membatasi penjualan loot box pada game dengan rating 18+ saja. Sayangnya regulasi tersebut belum diterima oleh pihak legislatif Australia.
Apa Arti Regulasi Microtransaction Terhadap Ekosistem Esports?
Pada akhirnya, kita tidak bisa melepaskan antara regulasi microtransaction di dalam game dengan ekosistem esports. Hal ini mengingat beberapa game esports yang sifatnya kompetitif juga turut menggunakan sistem ini. Game-game tersebut menggunakan sistem dalam bentuk loot box, untuk memberikan berbagai macam skin yang bisa mempercantik penampilan karakter di dalam game. Contoh nyatanya adalah game seperti CS:GO, Overwatch, atau Dota 2.
Lalu bagaimana dampak regulasi loot box dan microtransaction terhadap ekosistem esports? Hal tersebut sebenarnya tergantung bagaimana bentuk regulasinya, dan bagaimana hubungan antara sistem microtransaction yang diterapkan di dalam game, dengan ekosistem esports yang sudahberjalan.
Mari kita berandai-andai ada regulasi yang isinya melarang sepenuhnya microtransaction yang bersifat pay to win serta loot box. Kalau regulasi ini berlaku secara internasional, mungkin hype dan hadiah Dota 2 The International mungkin tidak akan sebesar seperti sekarang. Kenapa? Sistem Battle Pass di Dota 2 merupakan sebuah bentuk microtransaction yang menggunakan sistem loot box, dan terintegrasi dengan kompetisi Dota 2 The International.
Jadi kalau regulasi tersebut melarang sistem loot box, maka Battle Pass mungkin jadi terbatas hanya pembelian Battle Pass Level 1 saja. Anda jadi tidak dapat membeli level untuk membuka skin yang menggunakan sistem loot box. Tidak bisa membeli level, berarti tidak ada kontribusi hadiah untuk Dota 2 The International. Artinya hadiah TI akan jadi lebih kecil, yang membuat hype Dota 2 The International menurun.
Scene CS:GO juga bisa jadi sceneesports lain yang turut terkena dampaknya. Hype ekosistem esports CS:GO dijaga lewat item in-game yang sifatnya loot box. Memang ekosistem esports CS:GO tidak seperti Dota, yang mana pemain dapat menggunakan microtransaction untuk menyumbang total hadiah turnamen. Namun tanpa kehadiran item in-game berupa sticker yang dijual lewat sistem loot box, ekosistem esportsCS:GO mungkin tidak akan hype seperti sekarang.
—
Soal microtransaction dan loot box sebenarnya memang lebih esensial untuk diperdebatkan, dibanding soal dampak konten game terhadap perilaku kekerasan. Sebab sistem ini seperti buah simalakama, satu sisi memberi keuntungan dan berfungsi menjaga game tetap hidup. Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri sistem ini punya dampak tersendiri di dalam masyarakat.
Battlefield merupakan seri andalan tim DICE dalam berkompetisi dengan franchise-franchise milik rival-rival utamanya seperti Blizzard, Infinity Ward, 2K Games serta Bungie. Dan sebagai studio kebanggaan Electronic Arts, tim asal Stockholm itu juga diberi kepercayaan untuk menggarap remake dari permainan shooter Star Wars: Battlefront, yang melakukan debutnya 14 tahun silam.
Tapi Battlefield 1 dan Star Wars Battlefront II (2017) punya nasib yang sangat bertolak belakang. Ketika Battlefield 1 memperoleh pujian dari gamer dan media, Battlefront II mendapatkan kritik keras terkait pemanfaatan loot box sehingga membuat permainan jadi tak seimbang, serta sulitnya mengakses sejumlah karakter ‘hero‘. Kini gamer khawatir praktek serupa juga diterapkan pada permainan Battlefield selanjutnya.
Eksistensi game Battlefield baru terdengar di akhir minggu lalu lewat laporan dari VentureBeat. Di sana dikabarkan bahwa permainan berjudul Battlefield V itu akan membawa Anda ke medan tempur Perang Dunia kedua. Namun kita tidak perlu terlalu cemas soal sistem microtransaction di sana. Berdasarkan pengakuan sejumlah narasumber anonim pada Kotaku, DICE kini lebih berhati-hati dalam penerapannya.
Sang informan yang terlibat dalam proses pengembangan game Battlefield baru itu menyatakan bahwa DICE tidak akan lagi memanfaatkan pendekatan pay-to-win. EA DICE mengaku, mereka menanggapi kasus loot box yang terjadi di Battlefront II dengan sangat serius.
Hal senada juga dikonfirmasi oleh situs US Gamer dalam artikel terpisah. Menurut pengakuian narasumbernya, sistem microtransaction di Battlefield V hanya diimplementasikan untuk menyajikan item-item kosmetik saja. Dengan terbukanya akses ke item-item tersebut, maka opsi kustomisasi jadi lebih luas. Tingkatan konfigurasi di game anyar tersebut diklaim lebih tinggi dibanding permainan sebelumnya.
Loot box atau prize crate sudah lama ditemukan di game-game free-to-play, umumnya kreasi studio-studio asal Negeri Timur, namun prakteknya di ranah global sendiri dipopulerkan oleh Overwatch. Penggunaan loot box di permainan shooter multiplayer Blizzard ini memberi developer pemasukan sangat besar pasca peluncurannya, juga memungkinkan mereka untuk terus memperkaya konten game lewat item baru dan event.
Tapi betulkah item kosmetik tidak memengaruhi keseimbangan permainan?
Mungkin tidak di game ‘penuh warna’ seperti Overwatch. Gamer veteran bisa tetap mahir bermain terlepas dari kostum karakter yang ia pilih. Namun di game bertema serius seperti Battlefield, kostum pilihan Anda boleh jadi memengaruhi kemampuan karakter dalam kamuflase atau bersembunyi dari lawan…
Loot box sudah lama diusung dalam video game, tapi kesuksesan penerapannya di Overwatch menyebabkan game shooter Blizzard itu jadi kiblat penyajian loot box di judul-judul blockbuster di periode 2016 sampai 2017. Namun implementasi ‘prize crate‘ yang kelewatan di Star Wars Battlefront II membuat metode ini dibenci gamer, bahkan dianggap sebagai praktek judi.
Tingginya respons negatif pemain terhadap loot box di Battlefront II memaksa Electronic Arts untuk menonaktifkan sistem monetisasi ini, meski masih terbuka kemungkinan buat dihadirkan lagi. Dan berdasarkan informasi terbaru, kontroversi loot box ternyata berdampak signifikan pada penjualan game serta pemasukan perusahaan.
Berdasarkan pengakuan CFO Blake Jorgensen pada Wall Street Journal, sang publisher hanya berhasil menjual sembilan juta kopi Battlefront II di musim liburan kemarin. Padahal, target EA adalah 10 juta kopi. Jorgensen menyalahkan drama loot box sebagai penyebab utamanya. Sembilan juta kopi memang tidak terlihat buruk, tetapi tetap terbilang rendah jika dibandingkan dengan total penjualan Battlefront pertama dalam satu triwulan, yang mencapai 13 juta kopi.
Wall Street Journal juga menginformasikan bahwa pemasukan sang publisher hanya meningkat tipis dibanding di periode liburan tahun lalu, dari US$ 1,15 ke US$ 1,16. Berita baiknya, penjualan digital Star Wars Battlefront II memperlihatkan peningkatan dibanding pendahulunya, memakan porsi 37 persen dari total penjualan, versus 32 persen buat Battlefront pertama.
Kabar buruknya, Electronic Arts menyatakan rencana untuk mengembalikan fitur monetisasi di Battlefront II ‘dalam beberapa bulan lagi’. Sang CFO tidak memberi tahu kapan tepatnya loot box (atau sistem sejenis) akan diimplementasikan, hanya bilang ‘jika mereka merasa telah siap’. Dahulu, keluhan utama dari adanya microtransaction adalah hal ini memberi keunggulan gameplay bagi pemain yang bersedia membayar lebih banyak.
EA turut melaporkan beberapa informasi lain, terutama terkait jumlah pemain game-game-nya. Kabarnya, komunitas FIFA di console naik jadi 42 juta gamer, pemain FIFA Mobile meningkat ke 26 juta orang, lalu angka player base FIFA Ultimate Team melompat 12 persen. Selanjutnya, Battlefield 1 sukses menghimpun 25 juta pemain, kemudian gamer The Sims 4 juga melonjak 35 persen.
Sebagai penggemar Star Wars, saya memang punya rencana untuk meminang Battlefront II jika harganya sudah murah dan merasa yakin praktek loot box tak akan kembali. Namun dengan munculnya berita ini, sepertinya saya harus mengurungkan niat tersebut.
Terlepas dari segala upaya DICE menggarap Star Wars: Battlefront II agar lebih baik dibanding pendahulunya, permainan shooter ini dirundung masalah sejak momen pelepasannya. Sistem progres permainan ini ternyata sangat kompleks, tapi intinya, pemain harus melakukan proses grinding yang menjemukan agar bisa mengakses karakter terkenal seperti Darth Vader atau Luke Skywalker.
Gamer juga sangat kecewa pada kehadiran sistem microtransaction via loot box yang secara nyata memengaruhi keseimbangan permainan. Electronic Arts mencoba menjustifikasi keputusan mereka, namun penjelasan mereka di Reddit malah mendapatkan lebih dari 680 ribu downvote – downvote terbanyak di sepanjang sejarah Reddit. Dan pada akhirnya, EA menghapuskan sistem store ‘untuk sementara waktu’.
Tergerak karena kehebohan yang ditimbulkan oleh masalah ini, Belgium Gaming Commision (Komisi Gaming Belgia) mulai melangsungkan investigasi terhadap praktek penjualan item secara acak di dalam Battlefront II. Dari temuan mereka, badan tersebut memutuskan bahwa sistem loot box yang berpilar pada uang dan elemen adiktif video game adalah praktik perjudian.
Sentimen ini juga senada dengan opini Perwakilan Negara Bagian Hawaii Chris Lee. Dalam pernyataannya, Battlefront II bisa diibaratkan seperti kasino online bertema Star Wars yang didesain buat menjebak dan mendorong anak-anak mengeluarkan uang. Bagi Lee, sistem loot box ialah praktik berbahaya yang berpeluang memberikan dampak negatif bagi keluarga di Amerika.
Namun sepertinya hal itu tidak bisa menyetop langkah EA untuk mengimplementasi kembali micropayment di Battlefront II. Dalam konferensi di Credit Suisse belum lama ini, chief financial officer Electronic Arts Blake Jorgensen menyampaikan bahwa mereka belum menyerah, dan masih punya rencana buat membubuhkannya lagi di sana. Hanya waktunya saja yang belum ditentukan.
“Saat ini kami masih mengawasi bagaimana gamer menikmati permainan,” kata Jorgensen, dikutip oleh Eurogamer. “Kami mencoba mempelajari, apakah ada mode yang membuat microtransaction lebih menarik; lalu apa pendapat konsumen mengenainya, serta mencari tahu cara mereka memainkannya. Kami tengah memahami dan mendengarkan masukan komunitas sebelum memutuskan cara menerapkannya.”
EA sendiri meniadakan microtransaction di Battlefront sebagai respons dari keluhan pemain. Gamer merasa sistem ini menyebabkan adanya mekanisme pay-to-win – kian banyak mengeluarkan uang, maka Anda akan semakin unggul dalam permainan.
“Nyatanya, ada beberapa tipe pemain dalam game,” sanggah Jorgensen. “Beberapa dari mereka punya lebih banyak uang dibanding waktu, tapi sebagian lagi memiliki lebih banyak waktu kosong ketimbang uang. Kami ingin mencoba menyeimbangkannya.”