Digitalisasi industri manufaktur di Indonesia dikatakan belum secepat sektor lain, misalnya keuangan, ritel, atau transportasi. Lambatnya adopsi ini dipicu oleh faktor rantai proses yang kompleks, mulai dari produksi hingga distribusi.
Survei McKinsey pada 2020 menemukan bahwa baru 21% perusahaan di Indonesia yang mengadopsi industri 4.0, lebih rendah dari negara-negara lain yang disurvei, yakni Amerika Serikat (53%), Singapura (50%), dan Jepang (40%).
Karena proses yang berlapis itu, digitalisasi manufaktur dinilai menjadi lebih sulit dan memakan biaya besar. Belum lagi kekhawatiran akan risiko kegagalan. Pelaku industri pun ragu mengalokasikan anggarannya untuk digitalisasi. Faktor lainnya adalah kurangnya talenta digital di sektor ini.
Rendahnya rasio digitalisasi tersebut dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan rintisan untuk terlibat dalam transformasi manufaktur di Indonesia. Adalah Bababos, Imajin, dan Wifkain yang berupaya mensimplifikasi sebagian proses bisnis melalui platform tanpa menghilangkan aspek fisik dalam mempertemukan mitra manufaktur dengan pelaku bisnis.
Dengan traksi yang telah mereka peroleh, ketiga founder ini membagikan catatan penting terkait dinamikanya membangun platform rantai pasok manufaktur. Sebagai informasi, Bababos dan Imajin adalah platform penyedia rantai pasok material, seperti metal dan plastik, sedangkan Wifkain untuk bahan baku tekstil.
Memahami karateristik pelanggan
Baik Bababos, Imajin, dan Wifkain mengembangkan platform yang mempertemukan mitra manufaktur di Industri Kecil Menengah (IKM) dengan pemilik bisnis atau brand. Profil penggunanya berasal dari perusahaan skala menengah ke atas hingga korporasi.
Berangkat dari situ, mereka perlu memahami penggunanya karena kebutuhan segmen B2B dinilai lebih kompleks, dan terkadang membutuhkan komunikasi yang lebih intens dan personal sebelum memutuskan pembelian. Tak seperti pelanggan individu atau ritel.
Dengan karateristik ini, upaya digitalisasinya juga tidak bisa diimplementasikan 100% online. “Profil customer B2B kami adalah enterprise. Sulit untuk mengakuisisi customer kalau pure online. [Upaya] retensinya juga tidak sepenuhnya online,” tutur Co-Founder dan CEO Wifkain Sara Sofyan.
Dari sudut pandang Co-Founder dan CEO Bababos Fajar Adiwidodo, karateristik kebutuhan kebutuhan B2C disebut dapat cepat berubah–bisa jadi didorong karena faktor seasonal dan promosi harga. Namun, proses eksekusi di pasar B2C lebih simple dibandingkan B2B.
“Sementara, kebutuhan B2B akan selalu tetap sama; harga terjangkau, kualitas produk, dan pengiriman tepat waktu. Yang kami lakukan bukan mentransformasi apa yang mereka mau, tetapi mengirimkan apa yang dibutuhkan–yang mana sangat kompleks. Kami memiliki kemampuan untuk melakukan [delivery] tepat waktu. Setiap peningkatan yang kami lakukan, langsung ada direct impact.”
Mendigitalisasi proses, mempertahankan aspek fisik
Co-Founder dan CEO Imajin Chendy Jaya mengungkap ada banyak sekali rantai proses di manufaktur yang masih dilakukan secara manual. Misalnya, pengecekan mesin atau progres produksi. Ini membuat arus informasi menjadi terpecah-pecah, tidak melalui satu pintu yang sama dan berpotensi miskomunikasi.
Proses ini yang ingin disimplifikasi oleh pelaku startup dengan menghadirkan Dashboard di platformnya, memungkinkan mitra pabrikan atau pemilik bisnis memantau progres pekerjaan, mulai dari waktu pengerjaan hingga pengiriman. Contohnya, Dashboard Imajin di mana vendor dan pelanggan dapat memantau apabila ada perubahan ukuran produk.
Sementara, Bababos menyoroti digitalisasi pada ‘dapur’ platformnya. Tak cuma mempertemukan vendor dan pemilik brand, pihaknya kini tengah mengembangkan engine yang memungkinkan pengguna untuk mendapatkan rekomendasi harga. Ada pula pengembangan fitur underwriting hingga collection pada credit engine. Menurut Fajar, fitur-fitur ini tidak akan ‘terlihat’, tetapi akan lebih terasa pada experience pengguna.
Meski sebagian proses manufaktur telah didigitasi, Chendy mengungkap aspek fisik tetap diperlukan bagi rantai pasok. Salah satunya adalah quality control (QC) dan quality assurance (QA), prosedur yang tak pernah luput dalam pengembangan sebuah produk.
“Model marketplace biasanya transaksi langsung. Bagi kami, ini akan sulit untuk kasih quality assurance karena customer terkadang khawatir dengan pesanannya. Makanya, kami ikut terlibat di tengah untuk mencarikan [mitra manufaktur], makanya kami tambahkan quality assurance. Jadi sebelum kirim ke customer, kirim ke Imajin dulu agar sesuai standar,” ujarnya.
Hal yang sama juga diterapkan Wifkain dalam menyuplai bahan baku tekstil. Sara menyebut memiliki QC sesuai standar global. Bahkan, ungkapnya, ada beberapa bahan baku yang harus melewati tingkat pengecekan lebih ketat untuk mencapai level tolerasi (rectification level). Klaimnya, Wifkain memiliki rectification level 0,5% dari rata-rata level global sebesar 3%. “Kami mendeteksi sedini mungkin agar barang yang dikirim memenuhi level toleransi tertentu.”
Seputar kendala
Sara mengungkap, pandemi telah memicu perubahan tren industri di mana pemilik merek fesyen kini mulai beralih ke manufaktur terdekat/domestik, termasuk Indonesia. Dengan memproduksi ke pabrikan terdekat, pelaku bisnis memiliki kejelasan dari sisi logistik.
Meski begitu, logistik tetap menjadi kendala yang kerap dihadapi pada rantai pasok, terutama bagi industri fesyen yang harus cepat mengejar tren. Isu yang ditemui biasanya terkait administrasi dan dokumentasi yang mengakibatkan pengiriman sample terlambat. Wifkain tengah menyiapkan fitur digital pattern sehingga pengguna dapat membuat pola sendiri dan mengurangi penggunaan bahan baku.
“Tantangan selanjutnya adalah akses pembiayaan syariah. Industri ini sangat padat modal, dan kami sudah bekerja sama dengan bank dan fintech agar brand bisa dorong produksi. Nah, Indonesia dan Malaysia adalah pasar terbesar kami, di mana permintaan produk modest wear (hijab) tinggi. Mereka strict untuk ambil pinjaman konvensional, sedangkan pembiayaan syariah di sini belum banyak. Ini membuat produksi mereka belum optimal,” jelasnya.
Sementara, Bababos enggan merinci soal tantangan pengembangan bisnisnya. Pihaknya menilai digitalisasi tak hanya sebatas soal simplifikasi saja, melainkan bagian dari sebuah proses. Meski sudah didigitalisasi, pihaknya berupaya menghadirkan proses semirip mungkin dengan biasa mereka lakukan.
“Pada setiap perubahan, kami ingin menghasilkan gain sebesar mungkin dan pain sekecil mungkin. Kami memastikan punya produk dan solusi yang tepat, serta strategi memiliki pasar, sumber daya, dan channel yang tepat. Kami ingin konsisten berikan harga, kualitas, pengiriman, dan transparansi.”