Tag Archives: mark suckling

Pendanaan Startup Asia Tenggara 2020

Sepanjang 2020 Unicorn Indonesia Dominasi Perolehan Pendanaan di Asia Tenggara

Cento Ventures baru saja merilis laporan terbaru terkait lanskap investasi sektor teknologi di kawasan Asia Tenggara pada 2020. Dalam laporan bertajuk Southeast Asia Tech Investment 2020, total pendanaan startup di Asia Tenggara tercatat mencapai $8,2 miliar atau sebesar Rp118,8 triliun.

Nilai investasi startup di Asia tenggara dilaporkan turun 3% dibandingkan 2019. Demikian juga jumlah kesepakatan (deal) investasi merosot 8% di periode yang sama. Dari total investasi tersebut, hampir 50% dari total pendanaan di Asia tenggara masuk ke kantong startup raksasa, antara lain Grab, Gojek, Gopay, Bukalapak, dan Traveloka.

Laporan ini juga menyoroti tren pendanaan startup dengan ticket size $50-100 juta dengan total akumulasi hingga $1,1 miliar (Rp15 triliun) atau naik 26% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pendanaan startup dengan ticket size $10-50 juta turun 17% menjadi $1,5 miliar atau Rp21 triliun di 2020.

Menurut pemaparan Investment Associate Cento Ventures Laphat Tantiphipop, kesepakatan investasi yang diterima startup raksasa (mega deals) biasanya mendominasi total akumulasi pendanaan. “Namun, perlu dicatat bahwa smaller deals dapat menjadi satu indikator terhadap ekosistem startup yang lebih baik,” ucapnya.

Lebih lanjut, Indonesia tercatat sebagai penerima investasi paling besar dengan porsi dua pertiga terhadap total pendanaan di Asia Tenggara. Utamanya ini dipicu oleh investasi ke Gojek dan sejumlah deal besar lain, seperti Bukalapak, Kopi Kenangan, Waresix, dan LinkAja.

Tren kenaikan investasi juga terjadi di sejumlah negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara, Vietnam justru mengalami penurunan signifikan di 2020 karena sejumlah startup later stage di sana sudah menutup putaran pendanaan dengan nilai besar di 2019.

Sebagai catatan, data ini mengecualikan pendanaan yang diterima grup besar di kawasan tersebut, yaitu Grab, Sea Group, dan Lazada, untuk menghindari bias tren investasi di negara tertentu.

Dari sisi vertikal bisnis, laporan ini juga menemukan bahwa fintech menjadi sektor yang paling banyak memperoleh kesepakatan investasi di Indonesia atau sekitar 51% dibandingkan negara lainnya.

Asia Tenggara paling resilient

Jika dibanding negara-negara besar lain, pasar di Asia Tenggara mengalami dampak fluktuatif paling rendah dalam hal investasi. Partner di Cento Ventures Mark Suckling mengatakan volume investasi di kawasan ini memang menurun, tetapi tidak terlalu signifikan.

Berbeda dengan sejumlah negara lain di luar kawasan ini yang mengalami penurunan tajam, baik dari volume maupun jumlah deal investasi. Asia Tenggara mencatat penurunan volume investasi dan jumlah deal masing-masing 3% dan 8%.

Penurunan ini masih lebih baik daripada Tiongkok yang volume investasinya naik 6%, tetapi deal-nya turun 20%. Sebaliknya, deal investasi di India naik 3%, tetapi volumenya terjun ke 31%.

Tren “exit

Dalam laporannya, Cento mencatat jumlah aksi exit di 2020 tidak jauh berbeda dengan pencapaian di 2018, yaitu dengan nilai di bawah $1 miliar. Menurut Cento, tren ini dinilai wajar mengingat sejumlah rencana exit potensial bernilai besar terpaksa ditunda akibat pandemi. Kebijakan travel restriction menyulitkan proses due dilligence sejumlah rencana exit.

Hal ini salah satunya tercermin dari upaya liquidity dan proceeds untuk nilai $50-100 juta yang turun dari 6 aksi ($404 juta) di 2019 menjadi 3 ($221 juta) di 2020. Yang cukup signifikan adalah upaya liquidity dan proceeds untuk nilai di atas $100 juta merosot dari 5 aksi ($2,09 miliar) di 2019 menjadi 1 aksi ($176 juta) di 2020.

Di Indonesia, strategi exit di sepanjang 2020 cukup banyak terjadi. Mengacu Startup Report 2020 oleh DailySocial, terdapat 13 aksi korporasi melalui skema merger and acquisitions (M&A). Salah satunya adalah akuisisi startup SaaS Moka oleh Gojek pada April 2020. Selain itu, laporan ini juga mencatat dua IPO yang dilakukan oleh startup Indonesia, yakni Pigijo dan Cashlez masing-masing dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp17,57 miliar dan Rp400,71 miliar.

Beberapa startup unicorn telah memberikan sinyal untuk melakukan IPO, seperti Gojek, Tokopedia, dan Bukalapak. Demikian juga kabar aksi merger yang akan dilakukan Gojek dan Tokopedia di mana keduanya dikabarkan telah melakukan perjanjian jual beli saham bersyarat (conditional sales purchase agreement/CSPA).

Gambar Header: Depositphotos.com

Principal Cento Ventures Mark Suckling memberikan pandangannya tentang persiapan dan kesiapan investor, khususnya VC, memasuki industri fintech

Memahami Kesiapan Investor Masuki Industri Fintech

Fintech merupakan salah satu contoh primadona dibandingkan industri lainnya karena terus bertransformasi. Fintech tidak melulu berbicara soal sistem pembayaran dan lending, tapi ada juga vertikal bisnis lainnya seperti insurtech, remitansi, regtech, blockchain, kripto, data analytics, dan lain sebagainya.

Besarnya peluang di industri fintech perlu dibarengi kesiapan investor, termasuk VC, untuk mempelajari pergerakan trennya. Terlebih investor harus memiliki pola pikir ke depan dibandingkan yang lainnya. Wawancara singkat DailySocial dengan Principal Cento Ventures Mark Suckling memberikan sejumlah pandangannya tentang isu ini.

Cento Ventures adalah VC yang berbasis di Singapura sejak 2011, memfokuskan diri pada investasi seri A untuk berbagai industri di negara berkembang. Di Indonesia beberapa portofolionya adalah Kalibrr, Jirnexu, Migme, Ctrl/Shift, CodaPay, dan 2C2P.

Perkembangan industri fintech

Suckling menjabarkan, seiring matangnya perusahaan teknologi di ASEAN, semakin banyak solusi yang ditawarkan di tiap sektornya, termasuk fintech. Setidaknya ada 1000 perusahaan yang telah membangun teknologi baru untuk mengatasi masalah di industri fintech selama beberapa tahun belakangan.

Dari hasil riset Cento Ventures untuk fintech, vertikal fintech yang bergerak di pembayaran online dan kredit adalah dua sub fintech yang paling awal didirikan. Dua vertikal tersebut telah menarik sebagian besar anggaran tahunan investasi VC, sekitar US$200 juta.

Vertikal berikutnya yang kini mulai bermunculan adalah asuransi dan investasi, diikuti startup fintech dengan fokus B2B untuk bidang keamanan dan analitik data. Menurut laporan EY ASEAN Fintech Census 2018, jumlah perusahaan fintech di regional ASEAN terbanyak ada di Singapura sebanyak 490 perusahaan.

Kemudian disusul Indonesia dengan total 262 perusahaan, Malaysia (196), Thailand (128), Filipina (115), dan Vietnam (77). Sektor pembayaran mendominasi dengan total 269 perusahaan, lalu investasi (189), insurtech (86), consumer finance (83), dan alternative lending (75).

Menurut Suckling, meski Indonesia masih kalah jauh dari segi jumlah perusahaan dengan Singapura, namun apabila dilihat dari pertumbuhannya lebih drastis dibandingkan negara lainnya. Salah satu faktornya bisa dilihat dari kemajuan yang cepat dalam hal inklusi keuangan yang diukur dari meluasnya akses terhadap layanan keuangan digital.

Kendati akses ini tidak menyiratkan penerimaan berbagai jasa keuangan baik digital maupun tidak, namun jadi pertanda bahwa hambatan industri keuangan tradisional terhadap ekonomi digital akhirnya berkurang.

“Ini menjadi keputusan buat pemain fintech untuk merancang produk keuangan digital yang menarik dan relevan bagi orang Indonesia, apakah mereka pengguna baru layanan keuangan digital ataupun tidak,” terangnya.

Peluang baru

Platform digital merupakan tools terbaik untuk berinovasi layanan keuangan. Terlebih, ada nilai tambah yang ditawarkan yakni memberikan cara baru bagi orang untuk bertukar nilai, menawarkan pengalaman yang lebih baik, ada kepercayaan baru, dan menangkap volume data yang besar.

Salah satu contoh terdekat yang bisa dirasakan adalah layanan keuangan yang dihadirkan Gojek dan Grab. Keduanya sudah menawarkan layanan keuangan buat para penggunanya baik dari sistem pembayarannya, pinjaman online, dan asuransi, entah berbentuk kerja sama dengan mitra atau membentuk sendiri.

Di luar itu, sambung Suckling, masih banyak peluang lainnya yang bermunculan untuk melayani sektor industri utama yang belum tersentuh secara langsung oleh internet. Juga menawarkan layanan keuangan yang terkait dengan industri tersebut.

“Contoh lainnya, platform perangkat lunak yang bisa diadopsi secara luas oleh ritel demi menciptakan peluang untuk distribusi lending atau asuransi, mungkin tidak dianggap fintech namun sebagai sisi enabler-nya.”

Kesiapan investor

Semakin terdiversifikasinya aktivitas fintech ini menunjukkan waktu yang tepat untuk menambah modal, selain yang tersedia dari VC yang ada. Investor pun butuh tim yang bertugas untuk memonitor seluruh tren tersebut. Caranya dengan membuat tim khusus untuk tiap sektor niche dengan tahapan nilai investasi yang beragam.

Suckling mencontohkan Start Today Ventures adalah sebuah contoh fund yang sengaja dibuat dan didedikasikan khusus untuk industri fesyen. Dalam fund ini, tim dapat mendalami lebih jauh proses manufaktur dan distribusi industri fesyen digital. Kemudian melakukan investasi untuk seluruh rantai proses di dalamnya.

“Kami percaya bahwa pada waktunya yang tepat pendekatan ini akan terjadi di sektor fintech yang dengan cepat telah berubah jadi industri yang kompleks.”

Dari tiga portofolio perusahaan fintech di Cento, ketiganya disebutkan telah memberikan masukan yang menarik tentang bagaimana setiap aspek yang berbeda di layanan keuangan digital bekerja dan bisa memberikan pembelajaran yang bagus untuk diterapkan kepada startup fintech generasi baru.

Sebuah tim yang berdedikasi dapat berkonsentrasi pada pemahaman peluang yang muncul, serta memberikan founder dukungan yang sangat relevan. Entah itu mengidentifikasi talenta yang tepat, terhubung dengan mitra, atau menarik lebih banyak investasi saat perusahaan mereka tumbuh.

Hasil survei terhadap lebih dari 125 investor di ASEAN menyebut secara rerata ada enam vertikal dari total 14 vertikal fintech yang telah difokuskan dengan membentuk tim khusus. Keenam vertikal tersebut adalah analitik data, blockchain, financing, payment solutions, regtech, dan insurtech.

Hal ini memperlihatkan tumbuhnya vertikal industri fintech perlu didukung pemahaman investor yang mendalam agar tidak selalu terpaku dengan definisi tradisional.

Rencana berikutnya di Indonesia

Tahun 2019 akan menjadi kelanjutan perusahaan untuk terus berinvestasi di ASEAN, seperti yang sudah dilakukan selama delapan tahun terakhir. Suckling enggan menjelaskan sektor apa yang menjadi incaran Cento, namun pihaknya memastikan akan tetap berhati memilih startup, mendukung visi misi founder, dan meniru kesuksesan dari portofolio perusahaan.

“Pendekatan industri demi industri akan kami jalankan dengan hati-hati, memastikan kami mengembangkan keterampilan dan wawasan yang dibutuhkan untuk membuat pemenang di kategori baru, seperti fintech dan sektor lainnya.”

Suckling juga menuturkan saat ini pihaknya sedang dalam proses pengumpulan fund terbaru dari investor yang sudah ada dan mitra strategis baru. Fund tersebut memungkinkan Cento untuk meningkatkan fokus di industri fintech. Saat ini Cento masih aktif mengelola fund dengan total US$60 juta.