Tag Archives: Markus Liman Rahardja

BRI Ventures Akan Bagi Dividen ke Investor Sembrani Nusantara

BRI Ventures (BVI) mengumumkan akan membagikan dividen kepada para investor Dana Ventura Sembrani Nusantara menyusul kinerja laba bersih yang diperoleh beberapa portofolio investasinya. Dividen akan dibagikan dengan yield berkisar 12%-14%.

Co-Founder dan CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengatakan bahwa portofolio Sembrani Nusantara menunjukkan kinerja positif terlepas dari situasi pasar yang tidak menentu pada beberapa tahun terakhir. Industri startup sempat mengalami kenaikan valuasi fantastis di 2021, tetapi sejak tahun lalu investor mulai fokus terhadap profitabilitas.

“Memang challenging, tetapi message kami jelas bahwa kami ingin membangun industri ventura di Indonesia. Kita tidak mungkin fundraising untuk menghidupi perusahaan, melainkan memberikan funding untuk ekspansi perusahaan. Kami ingin mengembalikan kepercayaan di industri startup sehingga [portofolio] harus profit,” ujar Nicko saat Media Luncheon BVI, Rabu (24/5),

Sembrani Nusantara merupakan dana kelolaan yang menghimpun dana dari investor di luar BRI Group. Target investasinya adalah startup tahap awal di sektor non-fintech, termasuk consumer (new retail).

Diketahui, Sembrani Nusantara baru berjalan efektif pada 2021. Putaran dana pertamanya ditutup dengan nilai sebesar Rp150 miliar pada akhir 2020. Beberapa portofolionya adalah Haus! dan Broom.

Fokus di new retail

Chief Investment Officer BRI Ventures Markus Liman menambahkan, Dana Ventura Sembrani Nusantara terus mengeksplorasi peluang investasi di sektor consumer (new retail) karena telah membuktikan profitabilitas dan keberlanjutan pada model bisnisnya.

Saat ini, ada tiga sub sektor yang menjadi fokus utama Sembrani Nusantara di industri new retail, yakni F&B, beauty, dan fashion. Pelaku startup di sektor ini memanfaatkan model D2C untuk menjangkau pasar. “Beberapa tahun terakhir, penerimaan pasar terhadap brand-brand lokal di Indonesia semakin membaik,” tambah Markus.

Mengacu laporan White Paper BRI Ventures bertajuk “The Birth of New Retail”, sektor D2C di Indonesia berkembang pesat. Pertumbuhannya digerakkan oleh kenaikan penetrasi smartphone dan luasnya penggunaan media sosial, memungkinkan masyarakat untuk belanja online produk milik startup D2C.

Selain itu, keberadaan platform e-commerce juga turut membawa dampak terhadap berkembangnya komunitas pengguna. Maka itu, pelaku D2C di Indonesia diprediksi akan meningkatkan skalabilitas dengan cepat dalam beberapa tahun ke depan.

Sektor F&B terbilang menjadi sektor D2C paling produktif di Tanah Air. Sejumlah pemain F&B tak sedikit yang mengamankan investasi dari pemodal ventura, dari Kopi Kenangan (unicorn F&B pertama di Indonesia), Lemonilo, hingga Fore Coffee.

penandatanganan MoU antara CEO Tokocrypto Pang Xue Kai dengan CEO BRI Ventures Nicko Widjaja di T-Hub Batubelig, Bali

Tokocrypto dan BRI Ventures Resmikan Program Akselerator Blockchain

Setelah peluncuran TokoLaunchpad versi 2.0 di akhir 2021 lalu, Tokocrypto kini berkolaborasi dengan BRI Ventures melalui inisiatif Sembrani Wira Akselerator mengembangkan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). Program ini bertujuan untuk memberdayakan proyek startup dengan teknologi blockchain dan tokenisasi di Indonesia.

CEO Tokocrypto Pang Xue Kai menyebut kolaborasi ini sebagai pencapaian karena berhasil mendapatkan kepercayaan dari salah satu CVC di bawah naungan bank pelat merah Indonesia, BRI Ventures. Harapannya untuk program akselerator ini dapat mengembangkan ekosistem dan memberi dampak bagi industri startup dan blockchain di Indonesia.

“Kami berharap, kolaborasi ini dapat menjadi akselerator dari berbagai inisiatif Web3 dan perkembangan ekosistem metaverse. Terlebih kami memiliki dua dana ventura yang tengah berkembang yaitu Sembrani Nusantara dan Sembrani Kiqani yang berfokus pada pendanaan di sektor-sektor non-fintech,” ungkap CEO BRI Ventures Nicko Widjadja dalam pernyataan resmi.

Program akselerator dan kriteria pesertanya

Melalui TSBA, kedua perusahaan membentuk program akselerator yang menyediakan modul ekstensif khusus dirancang demi membawa proyek dan startup blockchain untuk muncul ke panggung dunia. Program ini meliputi berbagai aspek seperti pengembangan teknologi blockchain itu sendiri, nilai ekonomi atau tokenomics, pembentukan budaya tim, pendampingan untuk listing, serta fundraising.

Adapun kriteria proyek blockchain untuk program ini adalah startup yang sudah memiliki validasi dari sisi kapital atau pendanaan tahap awal. Lalu, perusahaan juga diwajibkan untuk memiliki teknologi blockchain sendiri serta rencana pengembangan secara smart contract. Lalu, perusahaan harus sudah memiliki working products atau white paper secara tokenomics. 

Markus Liman Rahardja, VP of Investment dan Business Development BRI Ventures yang turut hadir dalam acara penandatanganan MoU di Seminyak, Bali (20/1) menyoroti bahwa dua sisi aspek penggalangan dana yaitu crypto fundraising dan venture fundraising akan menjadi fokus dari partisipasi BRI Ventures.

BRI Ventures sendiri telah melakukan investasi ke lebih dari 18 startup baik fintech maupun non-fintech dan meluncurkan dua dana ventura yang diikuti oleh Grab Ventures, Celebes Capital, Mahanusa Capital, Buana Investment, Pulau Intan, dan beberapa bisnis keluarga.

Dana Ventura Sembrani Nusantara yang diluncurkan pada awal 2021 telah melakukan investasi di bidang agritech seperti Sayurbox, sektor new retail seperti Haus!, Brodo, Yummy Corp, dan sektor logistik seperti Andalin. Sedangkan, Dana Ventura Sembrani Kiqani yang baru diluncurkan awal tahun 2022 dengan fokus di sektor D2C atau consumer brands serta metaverse.

Menyediakan hub bagi para penggiat kripto

Selama tahun 2021, Tokocrypto dengan gerilya meluncurkan berbagai inisiatif untuk mengembangkan ekosistem aset kripto di Indonesia. Mulai dari meluncurkan token sendiri (TKO) di bulan April lalu, meresmikan platform marketplace NFT (TokoMall) di bulan Agustus, hingga menggandeng Bekind untuk mengembangkan berbagai CSR program melalui TokoCare.

Bersamaan dengan peluncuran TSBA, Tokocrypto resmi mengenalkan T-Hub yang berlokasi di Batubelig, Bali. Ini diharapkan bisa menjadi sarana edukasi dan berkumpulnya komunitas untuk berdiskusi dan mengembangkan berbagai ide guna mendorong perkembangan investasi kripto di Bali. Sebelumnya, Tokocrypto telah lebih dulu mengoperasikan T-hub yang berlokasi di Senayan, Jakarta.

Sebagai marketplace aset kripto yang legitimate, Tokocrypto merasa adalah sebuah keharusan untuk bisa mewadahi setiap kegiatan yang berpotensi untuk mengembangkan ekosistem aset kripto, “Karena salah satu cara agar blockchain dan aset kripto bisa mengakar dan bertumbuh dalam industri ini adalah dengan koneksi. Maka dari itu, Tokocrypto ingin menjembatani semua kebutuhan terkait pengembangan aset kripto di tengah sistem finansial tradisional yang ada,” tutup Kai.

Di luar TSBA, hingga saat ini, sudah ada berbagai startup maupun proyek yang berpartisipasi program inkubator TokoLaunchpad yang sudah berjalan. Beberapa di antaranya termasuk Play it Forward DAO, Avarik Saga dan Nanovest. Kai juga menyebutkan terdapat lebih dari 15 startup maupun proyek yang masih dalam tahap penjajakan.

Sebagai informasi, proses registrasi program akselerator TSBA akan ditutup pada 10 Februari 2022, lalu peserta yang lolos seleksi akan diumumkan pada 14 Februari 2022, sementara kick-off akselerator akan dimulai pada 21 Februari 2022.

Application Information Will Show Up Here
DailySocial mewawancarai Markus Liman Rahardja dari BRI Ventures / DailySocial

[Video] Memahami Perbedaan “Corporate Venture Capital” dan “Venture Capital”

DailySocial bersama Markus Liman Rahardja dari BRI Ventures berbagi cerita tentang manfaat yang bisa didapat startup saat menerima pendanaan dari corporate venture capital (CVC) dan apa bedanya CVC dan venture capital (VC).

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Lebih Dekat dengan Program Akselerator Sembrani Wira dari BRI Ventures

BRI Ventures (BVI) memperkenalkan program akselerator “Sembrani Wira”, bekerja sama dengan Fazz Financial dan didukung Prasetia Dwidharma. Tujuannya untuk membantu founder mempercepat pertumbuhan startupnya, sehingga siap memasuki pasar yang lebih luas secara regional maupun global.

Dalam rangkaian pertamanya, dari ratusan peserta yang mendaftar, telah dipilih 9 startup meliputi GajiGesa, Biteship, MYCL, CookLab, Gredu, Restock.id, Minapoli, Tumbasin, dan Brick.io. Selanjutnya mereka akan mengikuti rangkaian kegiatan selama 8 minggu dibimbing para mentor dan investor dari Indonesia, Singapura, Australia, sampai Amerika Serikat.

Sembrani Wira

Secara filosofis, Wira (वीर) diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti “ksatria”. Itu juga menjadi akar kata dari “wirausaha” atau “wiraswasta”, sesuai dengan DNA seorang founder startup.

“Selama satu dekade terakhir, ekosistem startup Indonesia tumbuh lebih besar, lebih baik, dan lebih berkelanjutan meskipun terjadi krisis di tahun 2020. Sektor teknologi sudah jelas menjadi pemenang meskipun banyak penurunan industri di seluruh dunia. Sekarang founder sudah sangat jauh berbeda, dari tingkat eksekusi ke tingkat pola pikir. Kami sangat optimis bahwa kelompok ini akan menjadi salah satu yang terbaik yang pernah saya tangani dalam karier saya,” ujar CEO BRI Ventures Nicko Widjaja.

Dalam wawancara bersama DailySocial, VP Investment & Business Development BRI Ventures Markus Liman Rahardja memaparkan, ada beberapa alasan yang menjadi dorongan kelahiran Sembrani Wira. Pertama, BVI merasa bahwa ini waktu yang tepat untuk “go earlier”. Seperti diketahui saat ini CVC tersebut memiliki beberapa dana kelolaan, untuk growth-stage ke atas dengan main fund yang dimiliki dan untuk early-stage dengan Sembrani Nusantara yang belum lama ini diumumkan.

Lewat program ini, BVI juga memiliki misi untuk melakukan pembinaan dan pengembangan ekosistem lokal untuk generasi startup selanjutnya. “The time is now, pandemi banyak mengakselerasi industri dan sektor baru, sehingga kami melihat banyak startup baru bermunculan dan mereka menarik-menarik [..] Wira itu juga diartikan sebagai ‘perang’, jadi kita ingin mencari ksatria digital baru di Indonesia,” ujar Markus.

Sembrani Wira tidak menargetkan sektor tertentu saja (agnostik), namun ada beberapa kriteria yang menjadi variabel dalam proses seleksinya. Yang paling kentara, mereka mencari startup yang lebih siap secara model bisnis dan produknya — beberapa peserta bahkan sudah mendapatkan pendanaan dari angel investor maupun pemodal ventura.

Fokus program ini adalah untuk memvalidasi lagi model bisnis yang sudah dimiliki, sembari mempertajam produk. Kemudian, ada kesempatan untuk dibantu membuka pangsa pasar lewat jaringan yang dimiliki BRI maupun BVI. Dengan harapan ketika selesai program mereka lebih siap masuk ke pipeline Sembrani Nusantara.

Markus juga menjelaskan, berbeda dengan program akselerator yang model pembelajarannya berupa classroom model, Sembrani Wira lebih banyak menyuguhkan sesi eksklusif untuk mempertemukan founder dengan mentor. Interaksi yang dijalankan lebih banyak fokus ke pengembangan bisnis secara spesifik sesuai kebutuhan masing-masing startup, alih-alih menambah wawasan bisnis secara umum.

Lebih lanjut Nicko menyampaikan, “Salah satu hal penting dalam agenda kami adalah membantu para founder tidak hanya mendapatkan product-market fit, tapi juga go beyond. Jadi kami akan berdiskusi dengan para founder untuk melihat apa tujuan mereka dan membantu mereka untuk menarik kembali apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai tujuan tersebut.”

“Ekosistem startup di setiap negara memiliki pola pikir yang disebut Paying It Forward. Hal ini terlihat ketika Google, Facebook, Amazon, Alibaba, dan lainnya percaya pada ekosistem tempat mereka tumbuh dan berinvestasi ulang untuk mendorong inovasi yang berasal dari para pendiri baru,” imbuh Nicko.

BRI Ventures juga bekerja sama dengan DailySocial sebagai media partner dan penyedia platform akselerator. Selain itu, peserta juga akan mendapatkan bantuan layanan hukum melalui KontrakHukum, kredit AWS, dan manfaat menarik lainnya yang dapat membantu mereka mengembangkan bisnisnya ke tahap yang lebih baik.

Sembrani Nusantara’s Structure Resembles Mutual Fund, BRI Ventures to Launch Venture Debt

BRI Ventures (BVI) last week announced the closing of the first round of the Sembrani Nusantara Venture Fund. This fund booked 150 billion Rupiah in managed funds from a number of investors. Not just ordinary managed funds, Sembrani has a relatively new structure in the landscape of Indonesia’s digital industry. The structure is in the form of a Joint Investment Contract (KIB), which takes a similar concept to a Collective Investment Contract (KIK) in mutual funds. The Net Asset Value (NAV) calculation index will be issued quarterly by the custodian bank.

As a fund registered with the OJK, BVI wants to comply with the applicable legal rules. Meanwhile, currently in Indonesia, there are no official rules regarding limited partnership agreements (Limited Partners) which venture capitalists usually adopt to manage their funds. A form similar to mutual funds is expected to make it easier for the public to accept the concept that Sembrani has adopted.

This fund structure is very unique, because participating investors can subscribe and redeem from the Sembrani Nusantara Ventura Fund on every window of subscription that is opened every quarter. That is something limited partners cannot do with the existing VC fund model,” BVI’s VP of Investment Markus Liman Rahardja said.

With this structure, BVI is said to offer a level of flexibility and liquidity that cannot be owned by existing VC funds (from abroad). Fund backers can choose to deposit and redeem their funds for a certain period. This mechanism encourages Sembrani’s claim to be similar to a mutual fund with a scheme that is common among Indonesians.

In addition, he hopes that this venture fund can be a more effective way for organizations or individuals with a high net worth (high net worth individual) to take part in investing in the fast-growing Indonesian tech startup ecosystem. Previously, when investing in Indonesian startups, their most common practice was to enter into limited agreements with venture capitalists registered in Singapore.

“For now, we are still selecting investors who join. Given the very early age of the venture capital industry and its high risk, we limit it to those who have experience investing in startups. Investors continue to discuss with us to increase industrial development. venture capital in Indonesia,” BVI’s CEO Nicko Widjaja added.

Venture debt with Investree

Adian Gunadi dan Nicko Widjaja dalam virtual press conference pendanaan seri C pada April 2020 lalu / Investree
Adrian Gunadi with Nicko Widjaja in Series C virtual conference last April 2020 / Investree

BVI has also signed a partnership with Investree to offer capital in the form of venture debt. In the early phase, BVI has prepared 60 billion Rupiah through Sembrani. Investree is BVI’s portfolio and is also an investor in Sembrani Nusantara.

The productive financing model is considered to be able to provide solutions for early-stage startups, especially for those yet to have tangible assets and sufficient cash flow for submission to traditional debt instruments.

This option can be an option for founders to obtain capital funds while maintaining ownership of their business, plus simpler governance. They do not need to allocate board seats for investors, provide voting rights to multiple stakeholders, and so on.

Investree plays a role in performing the initial screening process and due diligence for the startup submissions. Later, startups that successfully paid off the first stage loan can apply for a return to the next stage with a greater value.

There are several benchmarks for startups in order to pass. First, the purpose of capital must be related to company expansion, which means it must have a valid business model.

Second, startups must not have an alarming debt history for the past 12 months and must pass risk and credit assessments according to the requirements set by PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).

“Venture debt will be in the form of productive financing. Investree, as experienced in productive financing, will assist us in conducting initial screening and KYC assessments for startups. Funds will come from the Sembrani Nusantara Venture Fund,” Nicko said.

According to Investree’s Co-Founder & CEO Adrian Gunadi, productive financing is often the preferred initial financing option for startups over equity investment. If a company is truly healthy, it can pay back its round of debt without sacrificing business ownership. Usually, equity (which has been given) is very difficult for startups to recover.

“There are not many debt financing options available for technology startups, because of their risk. [..] We believe that our ability to provide an assessment allows us to capture the risk profile of startups,” said Adrian.

Markus added, “In recent years, there have been several players who claim to have offered venture debt in Indonesia, but in fact, they are not active in the market. For that, we are confident that we can call ourselves the first local VC to offer productive financing. ] This is one way of identifying early on which companies are achieving sustainable growth and real profitability. It will also help us better understand which startups will be eligible for IPOs in the near future.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Dana Ventura Sembrani Nusantara berbentuk Kontrak Investasi Bersama (KIB). Mengambil konsep mirip Kontrak Investasi Kolektif (KIK) di reksa dana

Struktur Sembrani Nusantara Mirip Reksa Dana, BRI Ventures Juga Luncurkan “Venture Debt”

BRI Ventures (BVI) minggu kemarin mengumumkan penutupan putaran pertama Dana Ventura Sembrani Nusantara. Dana ini membukukan dana kelolaan 150 miliar Rupiah dari sejumlah investor. Tidak sekadar dana kelolaan biasa, Sembrani memiliki struktur yang terbilang baru di lanskap industri digital Indonesia. Strukturnya berbentuk Kontrak Investasi Bersama (KIB), yang mengambil konsep mirip Kontrak Investasi Kolektif (KIK) di reksa dana. Indeks perhitungan Net Asset Value (NAV) akan dikeluarkan tiap kuartal oleh bank kustodian.

Sebagai dana yang terdaftar di OJK, BVI ingin patuh dengan aturan hukum yang berlaku. Sementara saat ini di Indonesia belum ada aturan resmi mengenai perjanjian kemitraan terbatas (Limited Partner) yang biasanya diadopsi pemodal ventura untuk mengelola fund mereka. Bentuk yang mirip dengan reksa dana diharapkan memudahkan masyarakat menerima konsep yang diadopsi Sembrani ini.

“Struktur dana ini sangat unik, karena investor yang berpartisipasi dapat subscribe dan redeem dari Dana Ventura Sembrani Nusantara pada setiap window of subscription yang dibuka setiap triwulan. Itu hal yang tidak bisa dilakukan oleh limited partner dengan model VC fund yang sudah ada,” jelas VP of Investment BVI Markus Liman Rahardja.

Dengan struktur ini, BVI mengklaim bisa menawarkan tingkat fleksibilitas dan likuiditas yang tidak dapat dimiliki VC fund yang ada (dari luar negeri). Penyokong dana bisa memilih menaruh dan menebus dananya selama periode tertentu. Mekanisme ini mendorong klaim Sembrani mirip reksa dana dengan skema yang sudah umum di kalangan masyarakat Indonesia.

Selain itu, harapannya dana ventura ini bisa menjadi cara yang lebih efektif untuk organisasi atau individu dengan kekayaan tinggi (high net worth individual) untuk turut andil berinvestasi di ekosistem startup teknologi Indonesia yang tengah bertumbuh pesat. Sebelumnya, ketika ingin berinvestasi ke startup Indonesia, praktik paling umum mereka harus membuat perjanjian terbatas dengan pemodal ventura yang terdaftar di Singapura.

“Untuk saat ini memang kami masih menyeleksi investor yang tergabung. Mengingat usia industri modal ventura yang masih sangat dini dan risiko yang cukup tinggi, maka kami batasi kepada mereka yang telah berpengalaman berinvestasi kepada startup. Para investor pun terus berdiskusi dengan kami untuk menambah perkembangan industri modal ventura di Indonesia,” imbuh CEO BVI Nicko Widjaja.

Venture debt bersama Investree

Adian Gunadi dan Nicko Widjaja dalam virtual press conference pendanaan seri C pada April 2020 lalu / Investree
Adian Gunadi dan Nicko Widjaja dalam virtual press conference pendanaan seri C pada April 2020 lalu / Investree

BVI juga telah menandatangani kerja sama dengan Investree untuk menawarkan permodalan dalam bentuk venture debt. Di fase awal, BVI telah menyiapkan dana 60 miliar Rupiah melalui Sembrani. Investree merupakan portofolio BVI dan turut menjadi investor dalam Sembrani Nusantara.

Model productive financing dinilai dapat memberikan solusi bagi startup tahap awal, terutama bagi mereka yang masih belum memiliki aset berwujud dan arus kas memadai untuk pengajuan ke instrumen utang tradisional.

Opsi ini dapat menjadi pilihan bagi founder dalam mendapatkan dana modal dengan tetap mempertahankan kepemilikan bisnis mereka, plus tata kelola yang lebih sederhana. Mereka tidak perlu mengalokasikan kursi board untuk investor, memberikan hak suara kepada banyak pemangku kepentingan, dan lain-lain.

Investree berperan melakukan proses penyaringan awal dan uji tuntas startup yang mengajukan. Nantinya startup yang berhasil melunasi pinjaman tahap pertama bisa mengajukan kembali ke tahap berikutnya dengan nilai yang lebih besar.

Ada beberapa tolok ukur yang harus dipenuhi startup agar lolos. Pertama, tujuan permodalan harus terkait ekspansi perusahaan, yang berarti harus memiliki model bisnis yang telah tervalidasi.

Kedua, startup tidak boleh memiliki riwayat utang yang mengkhawatirkan selama 12 bulan terakhir dan harus melewati penilaian risiko dan kredit sesuai persyaratan yang diatur PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).

Venture debt dilakukan dalam bentuk productive financing. Investree, sebagai yang berpengalaman dalam melakukan productive financing, akan membantu kami dalam melakukan assessment yang sifatnya initial screening dan KYC bagi para startup. Dana untuk hal tersebut akan berasal dari Dana Ventura Sembrani Nusantara,” ujar Nicko.

Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, pembiayaan produktif sering kali jadi opsi pembiayaan awal yang disukai startup daripada investasi ekuitas. Jika sebuah perusahaan benar-benar sehat, ia dapat membayar kembali putaran utang tanpa mengorbankan kepemilikan bisnis. Karena, biasanya ekuitas (yang sudah diberikan) jadi hal yang sangat sulit diperoleh kembali oleh startup.

“Tidak banyak opsi pembiayaan utang yang tersedia untuk startup teknologi, karena risiko mereka. [..] Kami percaya bahwa kemampuan kami dalam memberikan penilaian memungkinkan untuk menangkap profil risiko dari startup,” ujar Adrian.

Markus menambahkan, “Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa pemain yang mengklaim telah menawarkan utang ventura di Indonesia, tapi sebenarnya mereka tidak aktif di pasar. Untuk itu, kami yakin dapat menyebut diri kami sebagai VC lokal pertama yang menawarkan pembiayaan produktif. [..] Ini adalah satu cara untuk mengidentifikasi sejak awal perusahaan mana yang mencapai pertumbuhan berkelanjutan dan profitabilitas riil. Ini juga akan membantu kami lebih memahami startup mana yang akan layak IPO dalam waktu dekat.”

Application Information Will Show Up Here
Transformasi Digital Korporasi

Kolaborasi Strategis dengan Startup untuk Mendukung Inovasi Korporasi

Makin menjamurnya startup berbasis teknologi secara langsung telah mengubah kebiasaan masyarakat luas mengadopsi layanan digital. Didukung dengan digital native company yang mulai banyak bermunculan dan secara langsung men-disrupt berbagai bisnis, termasuk finansial dan berbagai sektor lainnya. Tidak dapat dipungkiri, dengan tetap relevan dan inovatif kini menjadi kunci sukses korporasi.

Melihat tren tersebut, dalam sesi #SelasaStartup teranyar, DailySocial mencoba mengupas potensi kerja sama strategis antara korporasi dengan startup dan perusahaan teknologi. Ada tiga narasumber yang dihadirkan, yakni VP of Investor Relation & Strategy BRI ventures Markus Liman Rahardja, VP of Dgital Business Partnership & Development PT Pegadaian (Persero) Herdi Sularko, dan Plt. Direktur Ekonomi Digital Kominfo I Nyoman Adhiarna.

Upaya untuk tetap relevan

Salah satu alasan mengapa pada akhirnya korporasi harus dengan cepat mengadopsi teknologi ke dalam proses dan sistem mereka adalah agar tetap relevan. Baik di mata pelanggan hingga pihak terkait lainnya. Untuk mencapai hal tersebut, korporasi mulai banyak melakukan perubahan dan inovasi baru yang secara keseluruhan menyentuh teknologi. Apakah yang terkait dengan produk hingga potensi untuk kolaborasi dengan pihak eksternal.

“Kami menyadari sepenuhnya perubahan perilaku dari masyarakat luas saat ini yang terjadi karena mulai banyaknya fintech yang menawar layanan seperti p2p lending, asuransi teknologi, hingga wealth management. Sebagai perusahaan yang sudah menginjak usia 120 tahun, kami juga memiliki beragam produk lainnya di luar bisnis utama kami yaitu gadai, dengan mengadopsi digital kami ingin memperluas eksistensi perusahaan,” kata Herdi.

Sama halnya dengan bank dan pasar, Pegadaian memiliki jumlah cabang yang cukup besar. Tentunya menjadi menarik ketika sumber daya tersebut dimanfaatkan sepenuhnya dengan mulai mengadopsi digital dengan tujuan untuk menyentuh kepada transformasi digital.

Hal serupa juga disampaikan oleh BRI Ventures, yang selama ini mencoba untuk terus menghadirkan inovasi agar bisa tetap relevan, terutama untuk perusahaan yang sudah berusia sekitar 100 tahun. Bukan hanya inovasi saat ini saja namun juga ke depannya. Dalam hal ini Markus menegaskan, ada dua jalur yang kemudian ditempuh oleh BRI Ventures, yaitu eksploitasi dan eksplorasi.

“Untuk eksploitasi kami ingin sistem yang saat ini ditingkatkan lagi, dan untuk eksplorasi menjadi kesempatan bagi kami untuk menyambut ekosistem digital baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk dijajaki oleh kami,” kata Markus.

Dalam hal ini BRI Ventures ingin berinvestasi kepada startup yang memiliki misi dan visi yang sejalan dengan perusahaan, sebagai corporate venture capital (CVC). Apakah itu dalam bentuk inovasi, teknologi hingga jaringan yang dimiliki. BRI Ventures ingin menjalin kolaborasi dengan startup yang high scaling dan high growing.

Kolaborasi dengan startup

Saat ini BRI Ventures menjadi salah satu CVC yang cukup aktif berinvestasi kepada beberapa startup fintech di Indonesia. Mulai dari Investree hingga Modalku, yang keduanya dinilai bisa memberikan keuntungan lebih untuk BRI maupun BRI Ventures sendiri.

“Inilah yang kemudian membedakan antara ‘vendoring’ dengan ventures. Sebagai CVC idealnya kami ingin melakukan kolaborasi yang strategis demi menghadirkan teknologi yang relevan dan bermanfaat bagi kedua pihak,” kata Markus.

Bukan hanya di sektor finansial, BRI Ventures juga telah berinvestasi kepada TaniHub yang merupakan agritech terkemuka di tanah air. Tujuannya tentu saja masih bersentuhan dengan pembiayaan, namun memanfaatkan channel baru yang lebih efektif.

Di sisi lain bagi Pegadaian yang selama ini belum bermain dalam hal investasi, untuk bisa memberikan inovasi baru dan mengadopsi teknologi dengan cepat, kolaborasi atau kerja sama strategis dengan digital native startup, secara masif sudah dilakukan oleh mereka. Mulai dari menjalin kemitraan dengan Tokopedia, hingga mempekerjakan tenaga profesional, yang tujuannya untuk membantu perusahaan melakukan transformasi digital.

“Selama ini kebanyakan korporasi hanya mengandalkan konsultan ketika ingin melakukan perubahan atau menghadirkan inovasi baru. Melalui kerja sama dengan startup dan perusahaan teknologi, paling tidak bisa menyegarkan mindset tim internal kami sekaligus mempercepat proses transformasi digital,” kata Herdi.

Dukungan pemerintah

Sebagai regulator dalam hal ini pemerintah memiliki peranan yang cukup krusial. Bukan hanya untuk melancarkan bisnis yang dimiliki oleh startup dan korporasi, namun juga memudahkan mereka untuk melakukan dialog hingga diskusi dengan para regulator. Meskipun masing-masing sektor ditangani langsung oleh kamenterian terkait, namun Kominfo bisa mendukung semua dalam hal teknologi dan inovasi terkait.

“Salah satu contoh menarik yang kemudian wajib untuk dicermati adalah saat pandemi berlangsung, layanan konsultasi dokter online yang ditawarkan oleh startup healthtech menjadi sangat relevan,” kata I Nyoman.

Namun demikian tidak dapat dipungkiri dengan luasnya persoalan yang dihadapi di berbagai sektor, teknologi dan startup yang mencoba untuk menawarkan layanan terkait harus menunda atau bersabar, karena prioritas dari masing-masing kementerian.

Sebagai contoh teknologi smart farming dan IoT yang bisa bermanfaat bagi para petani dan nelayan, menjadi hal yang tidak diprioritaskan oleh kementerian terkait karena fokus mereka lebih kepada pembiayaan dan hal lain yang lebih dibutuhkan oleh petani saat ini.

“Masing-masing kementerian memiliki prioritas dan cara pandang berbeda. Namun ada baiknya bagi pemerintah untuk mendengarkan permintaan dari startup, perusahaan teknologi atau korporasi yang ingin menghadirkan solusi baru memanfaatkan teknologi,” kata I Nyoman.