Tag Archives: McKinsey & Company

Survei Keuangan Digital McKinsey

McKinsey: Penetrasi Keuangan Digital Melesat 58%, Sementara Fintech Baru 5%

Survei McKinsey & Company menyebut penetrasi keuangan digital Indonesia mencapai 58% di tahun 2017. Sementara penetrasi fintech baru 5% di tahun yang sama. Artinya orang Indonesia masih lebih menyukai produk bank, namun pada saat yang sama produk fintech memiliki ruang besar untuk tumbuh.

Padahal penetrasi keuangan digital pada 2014 baru mencapai 36%. Sehingga tercatat kenaikan hingga 1,6 kali lipat dalam tiga tahun. Perkembangan ini dinilai terjadi karena masifnya jumlah kepemilikan smartphone.

Alhasil, McKinsey menobatkan Indonesia sebagai negara dengan penetrasi keuangan digital tercepat dari 17 negara yang disurvei. Adapun negara lain yang disurvei di antaranya Tiongkok, India, Korea Selatan, Jepang, Asia Tenggara, sampai Australia. Ada 17 ribu responden yang diambil sebagai sampelnya, termasuk diantaranya 900 responden dari Indonesia.

“Indonesia bergerak paling cepat di antara negara Asia di seluruh kategori, baik internet banking, smartphone, dan digital secara keseluruhan,” terang Partner McKinsey Indonesia Guillaume de Gantes, kemarin (11/2).

Dari paparannya, jumlah pengguna smartphone di Indonesia mencapai 124 juta menempati urutan ketiga di Asia Pasifik, setelah Tiongkok dan India. 74% di antaranya adalah pengguna Android.

Lalu, jumlah pengguna internet mencapai 133 juta atau 51% dari total populasi. Sebanyak 106 juta orang Indonesia atau 40% dari total populasi memiliki akun Facebook dan 41% pengguna smartphone telah melakukan belanja online.

Penetrasi fintech rendah

Kendati demikian, sambung Gantes, skor Indonesia masih cukup rendah yakni 36 dari skala 100. Hal ini karena ekosistem digital yang belum matang seperti Singapura dan Korea Selatan. Tercermin dari salah satu indikasinya penetrasi produk keuangan non bank atau fintech yang baru 5%.

Angka ini jauh di belakang negara tetangga seperti Singapura (48%), Filipina (23%), Australia (17%), Vietnam (16%), Malaysia (15%), Thailand (10%), dan Myanmar (6%). Gantes menilai rendahnya penetrasi ini lantaran orang Indonesia masih menyukai transaksi tunai ketimbang non tunai.

Oleh karena itu, menurutnya Indonesia butuh beberapa tahun lagi untuk mencapai dua digit melampaui negara tetangga. Di Tiongkok, penetrasi fintech yang tinggi karena kehadiran Alipay dan WeChat sebagai pendukung skema pembayarannya.

“Di sana, ritelnya sangat masif mengadopsi fintech. Bank pun pada akhirnya beralih ke digital.”

Dia memprediksi skema penetrasi fintech di Indonesia akan lebih hybrid. Jadi, masyarakat akan tetap menggunakan bank dan layanan fintech. Pun demikian transaksi dengan uang tunai, meski secara signifikan akan beralih seperti India.

Partner McKinsey Indonesia Bruce Delteil menambahkan penetrasi fintech di tiap negara itu berbeda karena dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, melihat dari seberapa dalam penetrasi digitalnya. Berikutnya, seberapa besar ketergantungan masyarakat terhadap uang tunai. Terakhir, proporsi produk digital yang tersedia.

Adapun, saat ini ketersediaan produk fintech masih didominasi oleh berbasis sistem pembayaran dan tabungan. Semakin mendalamnya variasi produk fintech tentunya akan mendorong tingkat penetrasi. Diprediksi produk yang berbasis pinjaman dan asuransi bakal memiliki panggung di Indonesia.

Perilaku mengonsumsi suatu produk dipengaruhi oleh aspek komunitas yang kental di Indonesia. Menurut Gantes, orang Indonesia akan memilih menggunakan produk setelah mendapat validasi dari orang terdekat atau lingkungan sosialnya.

“Kalau di Tiongkok, orang lebih cenderung eksperimen. Sementara di Indonesia ada pengaruh aspek komunitasnya. Itulah mengapa Indonesia tumbuh begitu cepat.”

Dorong kolaborasi

Dari kedua hal di atas, McKinsey menyoroti perlunya kolaborasi antara kedua belah pihak untuk saling memanfaatkan peluang yang besar dalam dunia digital. Teknologi yang dimiliki pemain fintech bisa dimanfaatkan untuk menjangkau nasabah terdalam yang selama ini sulit di jangkau bank.

Bank pun dapat memanfaatkan data yang dikumpulkan pemain fintech untuk membaca tingkat risikonya. Kolaborasi seperti ini pada akhirnya akan menguntungkan semua pihak. Kondisi ini beda dengan Tiongkok, di mana kehadiran pemain fintech besar yang akhirnya banyak diadopsi oleh peritel membuat bank akhirnya beralih ke digital.

Di satu sisi, laporan ini juga menyoroti dorongan bank untuk lebih masif mengadopsi digital dan mengakuisisi nasabah baru. Berkaitan dengan hal tersebut, McKinsey menemukan bahwa konsumen digital itu dianggap lebih loyal dalam membeli produk perbankan daripada tipe konsumen pada umumnya. Mereka aktif membeli produk perbankan dua kali lebih banyak pada 2017 dibandingkan konsumen non digital sebesar 1,5 kali lipat.

Menariknya, 55% konsumen non digital menyatakan kemungkinan untuk menggunakan perbankan digital dalam enam bulan ke depan. Angka ini tertinggi ke-2, setelah Myanmar untuk negara berkembang manapun di kawasan Asia. Responden juga menyatakan bahwa mereka akan mengalihkan 25% hingga 50% saldo mereka dari rekening bank ke aplikasi digital, meski kantor cabang tetap dianggap penting.

McKinsey: Pemanfaatan Industri Digital di Indonesia Masih Rendah, Tahun 2025 Bisa Sentuh Angka $150 Miliar

Dari paparan forum yang diadakan oleh McKinsey & Company dalam acara bertajuk “Indonesia in a digital world” mengungkapkan fakta yang menarik dari hasil riset yang berjudul “Unlocking Indonesia’s digital opportunity” mengenai pemanfaatan industri digital di Indonesia saat ini masih terendah dibandingkan 19 negara lainnya yang disoroti McKinsey.

Dari hasil risetnya, McKinsey melihat belanja investasi IT di Indonesia masih sangat rendah untuk 10 sektor utama dibandingkan 19 negara lainnya yang masuk ke dalam daftar riset. Sektor minyak dan gas (migas), manufaktur, sumber daya alam, yang merupakan 50% kontributor utama dalam GDP, masih sangat terbelakang untuk adopsi ke digital.

Sementara untuk sektor industri keuangan dan ritel terbilang cukup baik untuk tingkat spending IT-nya. Perlu adanya kolaborasi antara pemerintah dan swasta untuk fokus menaikkan nilai investasi IT mulai dari hulu hingga hilir demi peningkatan kualitas infrastruktur, tingkat penetrasi internet masyarakat, dan produktivitas kerja.

McKinsey juga menerangkan pemanfaatan digital bisa juga dilakukan lewat kolaborasi antara perusahaan startup dengan incumbent. Menurut McKinsey, kehadiran perusahaan startup yang rata-rata sudah mengadopsi penuh industri digital dalam model bisnisnya dapat menjadi bahan ajar yang penting, agar perusahaan existing tetap bisa bersaing dan tidak menjadi startup sebagai inovasi yang disruptive.

Perlu diketahui, rendahnya pemanfaatan industri digital juga terlihat dari harga data internet di Indonesia terhitung murah namun kualitasnya masih buruk.

Ditambah lagi, dari sisi pengguna digital di Indonesia masih sangat rendah dan belum merata. Dari total populasi, hanya sekitar 30%-40% yang sudah bisa mengakses internet. Dibandingkan dengan Malaysia sudah mencapai 2x lipat dan Singapura sekitar 3x lipatnya.

Terakhir, masih rendahnya pemanfaatan big data yang dimiliki perusahaan. Secara rerata, dari total data yang dimiliki hanya memakai 1%-nya saja dipakai untuk pengambilan keputusan bisnis.

Padahal, industri digital pada masa mendatang dapat menjadi kunci utama meningkatkan pertumbuhan tenaga kerja dan faktor produktivitas. Diperkirakan dampaknya bisa menyentuh sebesar $150 miliar pada 2025 dengan estimasi pertumbuhan GDP sebesar 10%.

Korelasi kuat antara digital dengan produktivitas tenaga kerja

McKinsey juga mengungkapkan ada korelasi yang kuat antara digital dengan produktivitas tenaga kerja. McKinsey melihat selama beberapa tahun terakhir, tingkat partisipasi tenaga kerja stabil sekitar 70% dan tingkat pengangguran menurun 5,5%. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja lewat pemanfaatan teknologi digital.

Misalnya, melakukan pencarian talenta lewat platform digital. Dari situ, tingkat keakuratan pencarian talenta akan lebih ringkas, tidak memakan waktu, dan sesuai dengan yang dicari perusahaan. Dari pemanfaatan TI, ada potensi terbukanya lapangan pekerjaan baru sebanyak 3,7 juta di 2025. Dengan pemanfaatan digital dalam bisnis perusahaan secara menyeluruh bisa meningkatkan produktivitas kinerja antara 15%-20%.

“Dampak ekonomi yang dihasilkan dari $150 miliar per tahun di 2025 adalah hadiah terlalu besar bila diabaikan. Dengan menerapkan strategi digital secara holistik akan memungkinkan perusahaan Indonesia menjadi pemenang di era digital dan mengangkat pertumbuhan ekonomi di tingkat berikutnya,” ujar Khoon Tee Nan, Partner McKinsey, Selasa (27/9).

Masih rendahnya ketiga faktor di atas membuat Indonesia saat ini masih berada di posisi nomor dua terbawah dibandingkan 18 negara lain yang disoroti McKinsey.

Adapun negara yang masuk ke dalam daftar riset beberapa ada di ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina. Yang lain adalah Brazil, Tiongkok, India, dan Rusia. Sementara negara maju yang masuk dalam studi ini adalah Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat.

Kendati demikian, untuk menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut, ada lima solusi yang ditawarkan McKinsey. Yakni, mendefinisikan pengalaman konsumen, menggabungkan model bisnis online dan offline, menggunaan big data untuk keputusan bisnis, menyempurnakan perlindungan dari serangan siber, dan membangun DNA digital.

Digital mengubah persaingan bisnis

Dalam sesi diskusi panel yang dihadirkan McKinsey, dihadirkan narasumber dari berbagai industri, Edward Ying (Direktur Planning & Transformation), Andreas Diantoro (CEO Microsoft Indonesia), Jan van der Eijk (Ex-CTO Shell), John Riady (Executive Director Lippo Group), dan Catherine H Sutjahyo (CEO Alfacart).

Andreas mengatakan saat ini bisnis yang terbilang “seksi” adalah digital transformation. Menurutnya beberapa orang mengatakan mereka paham digital karena sudah mengakses media sosial. Namun, di sisi lain, orang-orang yang sudah paham tentang digital, memanfaatkannya untuk mempelajari karakteristik konsumen. Bahkan, ada yang menggunakan digital untuk mengubah gaya hidup sesorang.

“Jadi, persaingan saat ini sangat bergantung sejauh mana memanfaatkan big data dalam membuat produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.”

Catherine menambahkan, saat berbicara mengenai digital perlu diingat bahwa perlu dibuat sesuai dengan taste orang Indonesia, agar lebih tepat sasaran. Maka dari itu, dalam model bisnis Alfacart menggabungkan konsep offline dan online. Pembeli dapat mengambil barang pesanannya di toko offline Alfamart.

Survey McKinsey Nyatakan Media E-Mail Jauh Lebih Efektif Dalam Pemasaran Ketimbang Media Sosial

Seperti yang sudah diketahui, upaya pemasaran dalam ranah online saat ini sangat berkaitan erat dengan platform media sosial. Seperti halnya pada Facebook dan Instagram yang terakhir dilaporkan sebagai platform media sosial paling efektif dalam memacu bisnis, sebuah survey terbaru yang dilakukan oleh McKinsey & Company malah mengungkapkan media e-mail nyatanya jauh lebih efektif dalam hal pemasaran online ketimbang platform media sosial.
Continue reading Survey McKinsey Nyatakan Media E-Mail Jauh Lebih Efektif Dalam Pemasaran Ketimbang Media Sosial