ASUS meluncurkan sederet perangkat gaming baru di CES 2022, termasuk halnya sejumlah periferal gaming. Salah satu periferal yang cukup mencuri perhatian adalah sebuah mechanical keyboard bernama ROG Strix Flare II Animate.
Daya tarik utamanya datang dari segi desain. Embel-embel “Animate” pada namanya merujuk pada kemampuannya menampilkan animasi bergerak via 312 mini LED yang tertanam di atas area numpad-nya. Kalau ini terkesan familier, itu karena Anda sudah pernah melihatnya di laptop ROG Zephyrus G14 maupun headset ROG Delta S Animate.
Seperti di kedua perangkat tersebut, deretan mini LED di keyboard ini juga dapat diprogram dengan berbagai macam efek melalui software Armoury Crate. ASUS menamai fiturnya AniMe Matrix, dan ini bisa jadi pendamping yang serasi untuk pencahayaan RGB-nya yang cukup melimpah. Bicara soal RGB, ASUS memastikan bahwa RGB di sisi bawahnya bakal tetap menyala dengan apik meski wrist rest-nya sedang terpasang.
ROG Strix Flare yang dirilis di tahun 2018 mengemas sejumlah elemen desain yang cerdas, dan sekuelnya ini pun juga demikian. Posisi kenop dan tombol multimedianya sekali lagi ditempatkan di sebelah kiri, sehingga pengguna dapat mengaksesnya tanpa harus melepaskan tangan dari mouse (kecuali untuk pengguna yang kidal).
Tidak berhenti sampai di situ saja, ASUS turut membekali ROG Strix Flare II Animate dengan PCB yang hot-swappable. Artinya, mechanical switch di balik setiap tombolnya dapat kita lepas-pasang tanpa harus melibatkan proses solder-menyolder. Jadi kalau tidak suka dengan switch bawaannya (yang merupakan rancangan ASUS sendiri), pengguna tinggal mencabut dan menggantinya dengan switch lainnya.
Fitur-fitur lain ROG Strix Flare II Animate mencakup polling rate 8.000 MHz, USB 2.0 passthrough, keycap berbahan PBT double-shot, serta lapisan foam peredam suara di bagian dasar keyboard.
ASUS berniat menjual keyboard ini seharga $220. Di saat yang sama, ASUS juga bakal menawarkan varian lain dari keyboard ini yang tidak dibekali fitur AniMe Matrix, yang tentu saja dibanderol lebih terjangkau ($180). Sayangnya, selain mengorbankan deretan mini LED yang programmable, varian standar itu rupanya juga tidak dibekali hot-swappable switch.
Seperti brand besar lainnya, HP juga memanfaatkan ajang CES 2022 untuk mengumumkan sederet produk baru. Begitu pula divisi periferal gaming-nya, HyperX. Di acara tahunan tersebut, HyperX menyingkap enam periferal baru yang akan diluncurkan tahun ini.
HyperX Cloud Alpha Wireless dan dua headset gaming lain
Menurut HyperX, Cloud Alpha Wireless merupakan headset gaming nirkabel dengan daya tahan baterai terlama, hingga 300 jam nonstop dalam sekali pengisian. Tentu saja angka tersebut bisa bervariasi tergantung cara kita menggunakannya, serta faktor-faktor seperti volume suara. HyperX sendiri bilang angka tersebut didapat berdasarkan pengujian dengan volume 50 persen.
Namun baterai yang awet bukan satu-satunya keunggulan utama headset ini. Seperti Cloud Alpha standar, versi nirkabelnya ini turut mengemas driver 50 mm dan teknologi Dual Chamber untuk menghasilkan output suara yang lebih dinamis, tapi dengan sedikit modifikasi agar rancangannya bisa lebih tipis sekaligus lebih ringan — dengan mikrofon terpasang, bobot Cloud Alpha Wireless cuma sekitar 335 gram. Meski begitu, HyperX memastikan kualitas suara yang dihasilkan tidak kalah dari versi aslinya yang berkabel.
Mengikuti tren, HyperX tidak lupa menyematkan dukungan teknologi spatial audio DTS Headphone:X ke Cloud Alpha Wireless. Perangkat ini kabarnya akan dipasarkan seharga $200 mulai bulan Februari mendatang.
Dua headset baru lain yang diluncurkan adalah Cloud II dan Cloud Core, masing-masing merupakan versi berkabel dari headset gaming wireless yang bernama sama. Untuk Cloud Core, versi wireless-nya sendiri baru dirilis pada bulan November lalu, dan salah satu fitur andalannya juga adalah dukungan teknologi DTS Headphone:X tadi.
Tanpa harus terkejut, keduanya dibanderol lebih terjangkau daripada versi wireless-nya. Cloud II bakal dipasarkan seharga $100 mulai Maret, sementara Cloud Core seharga $70 mulai bulan Januari ini juga.
HyperX Clutch Wireless Gaming Controller
Controller atau gamepad biasanya dibedakan antara yang dirancang untuk PC dan smartphone. Namun terkadang, ada pula yang diciptakan untuk semua, contohnya seperti gamepad perdana HyperX berikut ini. Buat PC, ia dapat dihubungkan via kabel USB atau secara nirkabel dengan bantuan dongle USB 2,4 GHz. Buat smartphone, ada koneksi Bluetooth 4.2 yang menanti untuk disambungkan.
Sebagai bonus, Clutch turut dibekali penjepit smartphone yang bisa diatur lebarnya dari 41 mm sampai 86 mm. Dalam sekali charge, Clutch bisa beroperasi sampai sekitar 19 jam pemakaian. Gamepad ini rencananya akan dijual seharga $50 mulai bulan Maret.
HyperX Pulsefire Haste Wireless dan Alloy Origins 65
Dua periferal yang terakhir adalah mouse gaming nirkabel dan mechanical keyboard. Kalau nama Pulsefire Haste terdengar familier, itu karena Anda pernah tahu versi wired-nya yang mengemas desain honeycomb dan berbobot sangat ringan. Versi wireless-nya ini tidak terpaut jauh perkara bobot — cuma 61 gram — tapi yang istimewa adalah, ia tahan debu dan air dengan sertifikasi IP55.
Switch yang tertanam juga berbeda, yakni switch TTC Golden dengan klaim ketahanan hingga 80 juta klik. Dalam posisi terisi penuh, baterainya bisa tahan sampai 100 jam pemakaian. Dihargai $80, penjualan Pulsefire Haste Wireless dijadwalkan berlangsung mulai Februari.
Beralih ke Alloy Origins 65, ini merupakan mechanical keyboard dengan layout 65% sesuai namanya. Tidak seperti layout 60%, layout 65% masih dilengkapi tombol arah panah lengkap, serta sejumlah tombol lain seperti Delete, Page Up, dan Page Down.
HyperX memberikan dua opsi mechanical switch, linear atau taktil, dua-duanya rancangan mereka sendiri dengan klaim ‘usia pakai’ hingga 80 juta klik. Keycaps yang digunakan berbahan PBT, dan tentu saja tembus LED sehingga pencahayaan RGB-nya bisa menari-nari tanpa gangguan. Harganya $100, dan penjualannya juga akan berlangsung mulai Februari.
Setahun lalu, Razer meluncurkan mouse dan keyboard non-gaming bernama Pro Click dan Pro Type. Melanjutkan upayanya menembus pasar pekerja profesional tersebut, Razer kembali memperkenalkan mouse dan keyboard nirkabel yang lebih ditujukan untuk menunjang produktivitas ketimbang untuk mengincar headshot di Valorant, yakni Pro Click Mini dan Pro Type Ultra.
Sesuai namanya, Pro Click Mini punya dimensi yang ringkas: 100 x 63 x 34 mm. Desainnya simetris dan low-profile, membuat saya langsung teringat pada Logitech MX Anywhere 3. Supaya terasa mantap dalam genggaman, Razer tak lupa menyematkan lapisan karet bertekstur pada sisi kiri dan kanannya.
Pro Click Mini punya setidaknya dua fitur unggulan. Yang pertama adalah switch yang taktil tapi senyap, dengan estimasi ketahanan hingga 15 juta kali klik. Yang kedua adalah scroll wheel yang bisa berganti mode antara Tactile atau Free-Spin, persis seperti milik Razer Basilisk V3 yang dirilis belum lama ini. Untuk berganti antara kedua mode tersebut, cukup tekan tombol di bawah scroll wheel-nya.
Mouse ini dapat terhubung ke total empat perangkat sekaligus; tiga via Bluetooth, satu via dongle USB 2,4 GHz, dengan tombol untuk berpindah koneksi di bagian dasar mouse. Menggunakan dua baterai AA, baterainya diyakini mampu bertahan hingga 725 jam dalam mode Bluetooth, atau 465 jam dalam mode wireless 2,4 GHz. Kalau mouse dirasa terlalu berat, pengguna juga bisa menyelipkan satu baterai saja, akan tetapi daya tahannya tentu tidak akan selama itu.
Terkait performanya, Pro Click Mini mengandalkan sensor optik dengan sensitivitas maksimum 12.000 DPI, sangat tinggi untuk ukuran mouse non-gaming. Ia juga dibekali mouse feet berbahan PTFE agar pergerakannya bisa terasa mulus di atas meja. Kebetulan, Razer juga punya varian mouse pad baru, yaitu Pro Glide XXL yang berukuran 94 x 41 cm.
Beralih ke Pro Type Ultra, keyboard ini juga mengunggulkan mechanical switch yang tidak berisik saat ditekan, menjadikannya sebagai pendamping yang ideal buat Pro Click Mini tadi. Masing-masing keycap-nya terbuat dari bahan ABS, tapi Razer telah melapisinya dengan soft-touch coating supaya terasa empuk pada jari-jari.
Agar semakin nyaman, ia juga datang bersama wrist rest dengan bantalan empuk berlapis kulit sintetis. Seperti mouse-nya tadi, keyboard ini juga dapat terhubung ke empat perangkat yang berbeda via Bluetooth dan dongle USB. Berbekal teknologi HyperSpeed, satu dongle saja sebenarnya sudah bisa menghubungkan Pro Click Mini dan Pro Type Ultra sekaligus ke PC atau laptop.
Dalam sekali pengisian, Pro Type Ultra diklaim mampu beroperasi selama lebih dari 200 jam, baik dalam mode Bluetooth ataupun wireless 2,4 GHz, tapi dengan catatan LED backlight-nya dimatikan. Kalau dinyalakan dalam posisi paling terang, maka daya tahan baterainya anjlok menjadi 13 jam saja. Beruntung ia masih tetap bisa digunakan selagi di-charge.
Di Amerika Serikat, Razer Pro Click Mini saat ini sudah bisa dibeli dengan harga $80, sedangkan Pro Type Ultra dijadwalkan bakal segera menyusul di kuartal keempat tahun ini juga seharga $160. Untuk mouse pad Pro Glide XXL, Razer mematok harga $30.
Alternatifnya, kita tentu bisa membeli mechanical keyboard yang wireless dan berukuran ringkas, namun itu berarti keyboard bawaan MacBook bakal sia-sia dan menganggur begitu saja. Kalau menurut produsen mechanical keyboard Epomaker, lebih baik keyboard bawaan itu ditutupi saja. Ditutupi dengan apa? Dengan mechanical keyboard tentu saja.
Kira-kira begitulah gagasan utama di balik produk bernama Epomaker NT68 ini. Secara mendasar, ia merupakan sebuah mechanical keyboard dengan layout 65% (tanpa F-row dan numpad) dan konektivitas Bluetooth. Namun yang membuatnya unik adalah bagaimana ia dirancang untuk diletakkan di atas keyboard bawaan MacBook ataupun laptop–laptop lain, sehingga penggunanya bisa mengetik dengan nyaman selagi laptop masih berada di atas pangkuannya.
Definisi nyaman itu tentu diwujudkan lewat mechanical switch di balik setiap tombolnya. Epomaker menawarkan sejumlah pilihan switch, namun konsumen tak perlu khawatir seandainya semua yang ditawarkan itu tidak sesuai dengan seleranya. Pasalnya, keyboard ini sudah mengadopsi rancangan hot-swappable, yang berarti masing-masing switch-nya bisa dilepas dan dipasang kembali tanpa bantuan solder sama sekali.
Epomaker NT68 mengandalkan konektivitas Bluetooth 5.1, dan ia bisa terhubung ke tiga perangkat secara bersamaan. Fitur multi-connection ini penting karena Epomaker NT68 hadir bersama sebuah case yang dapat merangkap peran sebagai stand untuk tablet dan smartphone.
Untuk baterainya, Epomaker mengklaim daya tahan sekitar 20 sampai 80 jam kalau lampu RGB-nya terus menyala. Kalau dimatikan, daya tahannya bisa mencapai 2 sampai 5 minggu tergantung pemakaian. Charging-nya mengandalkan kabel USB-C, dan ia pun juga dapat dihubungkan ke perangkat menggunakan kabel yang sama.
Belum diketahui kapan Epomaker NT68 bakal dijual secara luas dan berapa harganya. Namun yang pasti produk ini bukan satu-satunya opsi pengganti keyboard laptop yang tersedia di pasaran. Alternatifnya juga ada NuPhy NuType F1 yang mengusung konsep serupa, namun dengan layout yang sedikit berbeda dan tanpa mekanisme hot-swap.
EventSummer Summit yang digelar oleh Cooler Master baru-baru ini menampilkan sederet hardware baru besutan sang produsen asal Taiwan. Produk-produknya bukan cuma dari kategori CPU cooler, PSU, dan casing saja, melainkan juga dari kategori periferal sampai kursi dan meja gaming segala.
Berikut adalah rangkuman produk-produk paling menarik yang Cooler Master umumkan.
Cooler Master MM730 dan MM731
Bagi para gamer yang mendambakan mouse yang tidak neko-neko, Cooler Master punya penawaran menarik dalam bentuk MM730 dan MM731. Keduanya hadir dengan desain yang sangat simpel dan nyaris membosankan. Bobotnya pun luar biasa ringan: MM730 cuma 48 gram, MM731 cuma 59 gram, dan semua itu tanpa mengandalkan sasis bolong-bolong seperti biasanya.
Terkait performanya, MM730 didukung oleh sensor dengan sensitivitas maksimum 16.000 DPI, sedangkan MM731 dengan sensor 19.000 DPI. Keduanya sama-sama dibekali optical switch yang lebih responsif sekaligus lebih awet daripada mechanical switch tradisional, dengan klaim ketahanan hingga 70 juta kali klik.
Perbedaan di antara kedua mouse terletak pada konektivitasnya. MM730 itu wired, sedangkan MM731 sudah wireless dengan pilihan opsi sambungan 2,4 GHz maupun Bluetooth 5.1. Dalam sekali charge, baterainya diklaim tahan sampai 190 jam jika menggunakan sambungan 2,4 GHz, atau sampai 72 jam jika memakai Bluetooth, semuanya dalam posisi lampu RGB-nya mati.
Sayang sejauh ini belum ada info soal harga maupun ketersediaannya.
Cooler Master CK721
Mengikuti tren yang sedang populer di segmen mechanical keyboard, CK721 hadir membawa layout 65% yang super-ringkas, tapi di saat yang sama masih mempertahankan tombol panah dan beberapa tombol esensial lain macam “Del”. Sebagai bonus, CK721 turut dilengkapi sebuah kenop yang dapat diputar dan diklik, dan yang bisa diprogram fungsinya sesuai kebutuhan.
CK721 menggunakan mechanical switch buatan TTC, dan konsumen dapat memilih antara yang bersifat linear (red), tactile (brown), atau clicky (blue). Keseluruhan sasisnya terbuat dari bahan aluminium, dengan bobot berada di kisaran 764 gram. Cooler Master cukup bermurah hati dan menyertakan wrist rest pada paket penjualannya.
Selain via kabel USB-C, CK721 juga dapat disambungkan secara wireless, baik menggunakan dongle 2,4 GHz maupun Bluetooth 5.1. Dalam mode tanpa kabel, baterainya diyakini sanggup bertahan sampai 73 jam. Namun kalau lampu RGB-nya menyala terus, angkanya tentu bakal lebih rendah dari itu.
Terkait harga dan jadwal pemasarannya, Cooler Master rupanya masih belum bisa memastikan.
Cooler Master Motion 1
Dari seabrek kursi gaming yang Cooler Master singkap, Motion 1 adalah yang paling mencuri perhatian. Pada bagian atas rodanya, tampak sejenis boks yang sepintas tidak jelas kegunaannya. Namun ternyata boks tersebut menampung haptic engine rancangan D-Box, mirip seperti yang terdapat pada teater 4D di taman hiburan, atau di mesin simulator balap.
Premisnya adalah, selagi pengguna duduk di atas Motion 1, kursinya bakal bergetar dan bergerak-gerak mengikuti jalannya permainan atau film. D-Box mengklaim ada sekitar 200 judul game dan lebih dari 2.000 film yang didukung. Jadi selama game atau filmnya termasuk dalam daftar tersebut, pengguna Motion 1 bakal mendapatkan pengalaman yang lebih immersive ketimbang memakai kursi gaming biasa.
Tertarik? Siapkan saja dana sekitar $2.000 sampai $2.300. Pre-order produk ini kabarnya bakal dibuka di kuartal ke-4 tahun ini, dan penjualan resminya akan dimulai pada bulan Januari 2022.
Cooler Master Orb X
Alternatif lain untuk menikmati sesi gaming yang lebih immersive adalah dengan menggunakan Orb X, semacam kombinasi kursi dan meja gaming sekaligus, lengkap dengan sistem audio surround yang terintegrasi. Kalau Anda pernah membaca tentang Acer Predator Thronos atau Razer Project Brooklyn, Orb X pada dasarnya menawarkan gagasan yang kurang lebih sama.
Orb X dapat menampung monitor sampai sebesar 49 inci, atau alternatifnya pengguna juga bisa menggantungkan tiga monitor 27 inci. Yang cukup menarik, Orb X rupanya tidak ditujukan untuk kalangan gamer PC saja, sebab ia sebenarnya juga dapat dijejali game console jika mau.
Kabarnya, Orb X bakal dirilis di Amerika Serikat pada bulan Desember mendatang dengan kisaran harga $12.000 sampai $14.000. Kalau melihat harganya, semestinya itu sudah mencakup gaming PC beserta monitornya.
Cooler Master StreamEnjin
Bagi yang sehari-harinya mencari nafkah melalui platform livestreaming, Cooler Master punya produk baru yang dirancang untuk memudahkan pekerjaan mereka, terutama jika mereka terpaksa harus melakukannya di luar kediaman masing-masing. Perangkat bernama StreamEnjin ini merupakan sebuah mixer komplet dengan desain ringkas yang mudah dibawa-bawa.
Ia dibekali tiga input HDMI (satu mendukung resolusi 4K, dua sisanya 1080p) plus dua output HDMI, dan semuanya dapat diatur langsung melalui deck berukuran compact ini. Kalau masih memerlukan fitur ekstra, pengguna juga bisa menyandingkannya dengan aplikasi pendamping di iPad. Kebetulan StreamEnjin juga punya dudukan yang bisa diselipi sebuah iPad.
Harga dan jadwal penjualannya masih misterius, namun bisa dimaklumi berhubung kita semua masih harus lebih banyak berdiam diri di rumah.
Keyboard TKL alias tenkeyless bukanlah satu-satunya solusi untuk menghemat ruang di atas meja selagi bermain game, sebab masih ada banyak layout keyboard lain yang berukuran lebih ringkas lagi, mulai dari 75%, 65%, 60%, bahkan sampai 40%.
Buat yang tidak tahu, persentase di situ merujuk pada ukurannya relatif terhadap keyboard full-size. Keyboard 60% berarti ukurannya cuma 60% dari keyboard full-size, dan kebetulan layout ini cukup populer di kalangan gamer hingga akhirnya brand periferal kenamaan macam Razer maupun Corsair pun ikut bermain di segmen ini.
Namun keyboard 60% bukan untuk semua orang. Pasalnya, keyboard yang memakai layout ini pada umumnya tidak dilengkapi arrow key sama sekali. Sebagai gantinya, arrow key harus diakses dengan menekan kombinasi tombol, dan ini kerap menjadi deal-breaker bagi mereka yang rutin menggunakan arrow key.
Alternatifnya, mereka bisa melirik keyboard 65%, macam Razer BlackWidow V3 Mini HyperSpeed berikut ini. Ukurannya memang sedikit lebih lebar daripada keyboard 60%, akan tetapi seperti yang bisa dilihat, layout ini masih mengemas arrow key secara lengkap sekaligus sejumlah tombol lain macam “Del”, “Ins”, “PgUp”, maupun “PgDn”.
Embel-embel “HyperSpeed” pada namanya mengacu pada konektivitas nirkabel 2,4 GHz. Namun itu bukan satu-satunya cara menyambungkan keyboard ini ke perangkat, sebab ia turut dibekali koneksi Bluetooth yang dapat di-pair dengan tiga perangkat sekaligus.
Cara yang ketiga adalah dengan meminta bantuan kabel USB-C, yang juga berfungsi sebagai kabel charger untuk BlackWidow V3 Mini, sehingga baterainya akan terus terisi selama keyboard digunakan dalam mode wired. Dalam sekali pengisian, baterainya diyakini bisa bertahan sampai 200 jam pemakaian.
Untuk switch-nya, Razer menawarkan dua pilihan mechanical switch: Green yang tactile sekaligus clicky (berisik), atau Yellow yang linear dan dilengkapi peredam suara. Tiap-tiap switch-nya itu kemudian dibungkus oleh keycap dengan bahan ABS doubleshot, yang berarti tulisan yang tercetak tidak akan pernah pudar seiring penggunaan.
Razer saat ini telah memasarkan BlackWidow V3 Mini HyperSpeed seharga $180 di Amerika Serikat. Kabar baiknya, perangkat ini juga dipastikan bakal hadir di Indonesia mulai awal Juni mendatang, dengan banderol resmi Rp2.799.000.
Laptop gaming yang mengemas mechanical keyboard bukanlah suatu ide baru. Adalah MSI yang pertama mengeksekusi gagasan ini di tahun 2014, tepatnya ketika mereka menjejalkan switch Cherry MX Brown ke dalam laptop bernama GT80 Titan. Namun seiring bertambah ringkasnya dimensi laptop gaming, tentu saja dibutuhkan upaya ekstra ketimbang sebatas menyematkan mechanical switch biasa begitu saja.
Buat Alienware, tidak ada cara yang lebih baik selain berkolaborasi dengan nama yang pada dasarnya sudah sangat identik dengan mechanical keyboard, yakni Cherry. Selama lebih dari tiga tahun, Alienware bekerja sama dengan perusahaan asal Jerman tersebut guna menciptakan mechanical switch jenis baru yang ditujukan secara khusus untuk laptop.
Hasilnya adalah Cherry MX Ultra Low Profile, sebuah mechanical switch yang luar biasa tipis, dengan tingkat ketebalan hanya 3,5 mm. Sebagai perbandingan, switch Cherry MX standar yang biasa kita jumpai di banyak mechanical keyboard mempunyai tebal 18,5 mm, sedangkan switch Cherry MX Low Profile sedikit lebih tipis di 11,9 mm. Saking tipisnya switch ini, Alienware sama sekali tidak perlu mengubah desain fisik laptop-nya.
Meski sangat tipis, switch ini masih menawarkan key travel sedalam 1,8 mm, sehingga jari-jari pengguna masih akan merasakan menekan sesuatu. Kalau berdasarkan penjelasan Alienware sekaligus suara typing test-nya, karakteristik switch ini lebih condong ke tactile ketimbang clicky atau linear. Soal durabilitas, tiap-tiap switch diklaim mampu beroperasi secara normal hingga 15 juta kali klik.
Selama pengembangannya, kedua perusahaan sempat berkutat dengan lebih dari 160 prototipe sebelum akhirnya mendapatkan desain finalnya ini. Lucunya, yang menjadi inspirasi justru adalah pintu gull-wing milik mobil sport DeLorean (yang terkenal lewat seri film Back to the Future), dan itu bisa kita lihat dari pelat stainless steel di bagian atas switch yang bisa bergerak membuka dan menutup.
Switch unik ini dapat kita temui pada Alienware m15 R4 dan m17 R4 generasi terbaru yang sudah mengemas GPU Nvidia RTX 30 Series. Namun ketimbang menawarkannya sebagai opsi default, Alienware justru menjadikannya sebagai salah satu konfigurasi opsional yang harus ditebus dengan biaya tambahan sebesar $150.
$150 jelas jauh dari kata murah, dan kita sebenarnya bisa membeli mechanical keyboard yang lebih nyaman digunakan dengan harga yang sama atau bahkan lebih murah. Pun begitu, saya yakin mereka yang sanggup membeli laptop Alienware tidak akan kesulitan menyiapkan dana ekstra.
Terakhir, kita tahu bahwa produsen senang sekali menyisipkan kata “pertama” saat memperkenalkan suatu produk baru, akan tetapi Alienware m15 R4 dan m17 R4 bukanlah laptop pertama yang mengemas mechanical switch super-tipis semacam ini. Tahun lalu, Gigabyte sempat meluncurkan laptop Aorus 15G yang mengusung premis serupa. Bedanya, yang Gigabyte gunakan adalah mechanical switch bikinan Omron, yang mungkin lebih dikenal sebagai produsen switch untuk mouse ketimbang keyboard.
Persaingan brand–brand gaming mainstream di ranah mechanical keyboard berukuran ringkas terus memanas. Razer boleh dibilang mengawalinya di pertengahan tahun 2020 lewat Huntsman Mini — sebenarnya ada brand lain seperti Glorious yang lebih dulu meluncurkan mechanical keyboard dengan layout 60%, akan tetapi pengaruhnya jelas belum bisa menandingi brand sekelas Razer.
Setelahnya, HyperX menyusul dengan Alloy Origins 60 di awal 2021, dan sekarang giliran Corsair yang unjuk gigi — berapa lama lagi sebelum Logitech dan SteelSeries ikut menyusul? Satu hal yang membuat saya agak bingung adalah namanya: Corsair K65 RGB Mini. Awalnya saya mengira keyboard ini mengemas layout 65% yang dilengkapi arrow key, namun ternyata ia mengusung layout 60%.
Alasannya mungkin karena Corsair sudah punya keyboard lain bernama K60, yang ternyata memakai layout full-size standar 104 tombol. Well, setidaknya masih ada embel-embel “Mini” pada namanya.
Premis yang ditawarkan keyboard ini tentu adalah terkait desainnya yang compact sekaligus portable. Tanpa function row, nav cluster, dan arrow key, dimensinya jelas jauh lebih mungil ketimbang keyboard tenkeyless (TKL) sekalipun. Namun seperti halnya keyboard 60% lain yang dijual di pasaran, semua tombol-tombol yang hilang itu tetap bisa diakses dengan mengandalkan kombinasi tombol Fn.
Mengikuti tren, keycap yang digunakan pun terbuat dari bahan PBT double-shot. Di baliknya, ada pilihan switch Cherry MX Red, Silent Red, atau Speed Silver. Anehnya, Corsair sama sekali tidak menjual varian yang menggunakan optical switch seperti yang mereka tawarkan pada K100. Sebagai konteks, Razer Huntsman Mini malah hadir membawa optical switch saja, tanpa ada pilihan yang mengemas mechanical switch standar.
Secara estetika, K65 RGB Mini tampak jauh lebih simpel daripada keyboard–keyboard lain yang pernah Corsair buat. Desain case-nya juga tidak floating seperti biasanya, sehingga bagian switch-nya tidak langsung kelihatan begitu saja. Bagian belakangnya tidak dilengkapi adjustable feet, akan tetapi dari samping ia sudah kelihatan cukup miring untuk menyuguhkan posisi mengetik yang nyaman.
Di Amerika Serikat, Corsair saat ini sudah memasarkan K65 RGB Mini dengan harga $110, atau kurang lebih sekitar 1,6 jutaan rupiah. Lagi-lagi sebagai perbandingan, Razer Huntsman Mini punya banderol resmi di Indonesia sebesar Rp1.949.000 untuk versi clicky-nya, atau Rp2.099.000 untuk versi linearnya.
Pasar keyboard mechanical di Indonesia memang mungkin masih sangat terbatas variannya jika dibanding dengan pasar Tiongkok. Pasalnya, kebanyakan mechanical keyboard yang tersedia di Indonesia adalah yang berukuran standar alias full-sized (104 keys) ataupun TKL (87 keys). Rexus pun nampaknya menangkap peluang tersebut dan memanfaatkannya dengan baik, termasuk dengan mengeluarkan keyboard yang satu ini.
Setelah sebelumnya cukup sukses dengan Rexus Daxa M71 Pro (dan Classic), Rexus kembali menjadi pusat perhatian dari komunitas keyboard mechanical di Indonesia dengan mengeluarkan varian 75%. Saya pun membeli satu unit Rexus Daxa M84 Pro dan telah menggunakannya selama beberapa hari.
Sebelum kita masuk ke reviewnya, mungkin saya perlu menceritakan pengalaman pribadi saya soal keyboard mechanical — sebagai justifikasi review kali ini karena faktanya review gaming peripheral akan sangat subjektif tergantung pengalaman sang reviewer. Pertama, saya memang sudah kerap review gaming peripheral saat masih menulis di majalah cetak beberapa tahun silam. Saya sudah mencoba dan mengulas puluhan gaming peripheral kala itu, mulai dari mouse, keyboard, mousepad, ataupun gaming headset.
Selain itu, belakangan saya juga sedikit kecanduan dan belanja impulsif sejumlah gaming peripheral. Saat ini, saya bahkan punya 7 mechanical keyboard yaitu SteelSeries Apex 7 (full-sized), Dareu EK840 (full-sized), Razer Blackwidow V3 (wired, full-sized), GK61 (60%, 61 keys), GK64 (60%, 64 keys), GK73 (65%, 73 keys), Rexus Daxa M84 Pro (75%, 84 keys).
Itu tadi sedikit cerita tentang saya yang mungkin bisa jadi sedikit justifikasi dan pertimbangan Anda dalam membaca review Rexus Daxa M84 Pro kali ini.
Build Quality
Rexus Daxa M84 Pro sebenarnya tidak memiliki build quality yang terlalu istimewa alias biasa saja. Tidak seperti Dareu EK840 yang benar-benar solid, berbobot berat, dan sungguh bisa dibanggakan kualitas fisiknya di segala aspek — mulai dari bodi bahkan sampai keycaps yang disertakannya.
Sebaliknya, M84 memiliki bodi yang biasa saja. Bottom case-nya tipis seperti yang disuguhkan Razer Blackwidow. Case dan plate yang digunakan pun tidak setebal yang ditawarkan GK61, GK64, ataupun GK73. Di bagian dalamnya, karena saya juga langsung membukanya, PCB nya pun tidak istimewa — tidak tebal dan memiliki beberapa lapisan seperti yang saya temukan di GK61, GK64, ataupun GK73. Namun demikian, untuk beberapa bagian tadi, saya masih bisa memakluminya karena memang banderol harga M84 yang sangat terjangkau. M84 Pro dibanderol dengan harga Rp950 ribu — bandingkan dengan Razer Blackwidow V3 yang sama-sama tipis case-nya tapi dibanderol dengan harga Rp2,2 juta.
Sayangnya, ada satu bagian yang tidak bisa saya toleransi dari M84 ini. Keycaps-nya sungguh jelek bukan main dan saya langsung buang ke tong sampah. Dari semua keyboard yang pernah saya pegang, keycaps M84 adalah yang paling tipis yang pernah saya temui. Jadi, pastikan saja Anda menyediakan dana tambahan untuk membeli keycaps yang lebih baik jika berniat membeli M84 Pro.
Di bawah keycaps yang berukuran panjang, Anda akan melihat stabilizer dengan lube yang sangat berlebihan. Meski memang jadi aneh dilihatnya namun setidaknya hal ini membuatnya terasa cukup stabil — tidak seperti stabilizer dari Razer Blackwidow V3 yang jeleknya bukan main.
Switch dan Hotswap Socket
Jujur saja, tanpa fitur hotswap 3/5 pin, saya tidak akan membeli keyboard ini. Karena saya benar-benar merasa fitur hotswap harusnya sudah jadi standard buat mechanical keyboard keluaran 2021 atau yang lebih baru. Fitur hotswap akan membuat Anda terbebas dari switch yang bermasalah satu saat nanti tanpa harus membeli keyboard baru atau belajar dan membeli peralatan solder ataupun desoldering.
Apalagi saya sebelumnya bermasalah dengan salah satu switch yang stuck di SteelSeries Apex 7. Memang M84 ini sudah menggunakan switch Gateron yang mungkin relatif lebih awet ketimbang keluaran Outemu. Namun, tetap saja, switch dari Cherry MX yang biasanya ditemukan di keyboard-keyboard usianya lebih dari 5 tahun. Meski Cherry MX memang mungkin lebih baik dalam hal durabilitas, switch Gateron menawarkan feel yang lebih smooth untuk kelas linearnya. Saya punya 2 keyboard dengan Gateron Yellow serta 1 keyboard dengan Gateron Red dan saya sangat menyukai feel yang ditawarkan dari switch linear besutan Gateron — meski memang masih kalah smooth dengan switch Durock L2 yang ada di keyboard saya satu lagi.
M84 memang menawarkan beberapa pilihan switch gateron seperti Red, Yellow, Brown, dan Blue. 4 opsi sebenarnya juga sudah cukup lengkap namun saya sebenarnya berharap mereka ada varian juga untuk switch yang kalah mainstream seperti Gateron Black. Meski demikian, karena M84 ini menyuguhkan fitur hotswap 3/5 pin, Anda tetap bisa mengganti switch dengan mudah layaknya mengganti keycaps.
Fitur hotswap 3/5 pin ini juga layak diacungi jempol karena beberapa keyboard hotswap lainnya, seperti Tecware Phantom Elite saya, hanya menawarkan hotswap 3 pin (atau plate mount). Dengan hotswap 5 pin (alias PCB mount), Anda bisa menggunakan switch yang kelasnya lebih tinggi seperti Durock, NovelKeys, Gateron Ink, Tealios, Tangerine, dan kawan-kawannya.
Layout dan Ukuran
Di bagian inilah Rexus M84 Pro menyuguhkan kelebihan utamanya. Pasalnya, seperti serinya, M84 ini menawarkan layout 75% dengan 84 tombol. Saya pribadi juga sangat menyukai layout 84 tombol ini karena ada beberapa alasan.
Pertama, layout 84 tombol ini bisa dibilang setara dengan TKL — hanya selisih 3 tombol karena TKL punya 87 tombol — namun dengan bodi yang lebih compact dan membuat layout-nya tampil lebih rapih. Di TKL, tombol arah dan bagian Ins, Home, dkk. jadi punya banyak ruang kosong. Namun di layout 84 tombol, ruang kosong tersebut dihilangkan sehingga membuatnya lebih enak dilihat — setidaknya menurut saya.
Kedua, dibanding dengan keyboard 60% dengan 61 tombol, keyboard ini punya lebih banyak tombol yang mungkin akan sangat berguna bagi Anda. Tombol F2 misalnya akan sangat berguna jika Anda ingin merapihkan dan menamai ulang koleksi ehm… tugas kuliah yang biasanya namanya hanyalah 4 huruf konsonan diikuti 3 angka (IYKWIM). Keyboard dengan 61 tombol juga biasanya tidak memiliki arrow keys yang akan sangat berguna buat para penulis seperti saya.
Di layout 84 tombol, benar-benar bagian Numpad saja yang mungkin Anda rasakan hilang — jika Anda sering berkutat dengan angka-angka dan Spreadsheet.
Ketiga, jika dibandingkan dengan GK64 (60% tapi 64 tombol), saya juga lebih suka M84 ini karena di sini ukuran Shift sebelah kiri masih standard (2.25u). Sedangkan di GK64 ukuran Shift jadi lebih kecil sehingga mungkin akan menyebabkan Anda pegal-pegal saat mengetik lama dan sudah terlalu biasa menggunakan keyboard full-sized ataupun TKL.
Jika berbicara soal ukuran keycaps, karena harus mengecilkan ruang, tetap ada beberapa tombol modifier kanan yang dikecilkan di layout 84 tombol seperti Shift kanan, Alt kanan, Ctrl kanan, dan Fn. Lucunya, meski saya sendiri tidak pernah menggunakan modifier kanan, saya tetap merasa ada yang berbeda dengan beberapa tombol yang ukurannya mengecil tadi. Saya lebih merasa cepat pegal dibanding saat menggunakan GK61 yang ukurannya benar-benar standard di semua tombol.
Ditambah lagi, berkat keycaps-nya yang amit-amit jeleknya, Anda berarti harus mencari set keycaps yang punya tombol non-standard seperti Alt 1u ataupun Shift 1.75u (untuk di kanan). Keycaps yang harganya lebih murah biasanya hanya menawarkan 104 tombol yang ukurannya standard. Sedangkan keycaps yang memberikan sampai 130 tombol misalnya dibanderol dengan harga yang lebih mahal.
Meski begitu, menurut saya, layout 84 tombol ini masih berada di tengah-tengah jika berbicara soal adaptasi dan kenyamanan penggunaan. Ia masih kalah nyaman dibanding dengan keyboard yang semua keycaps-nya standard (104, 87, dan 61) namun lebih nyaman dibanding dengan keyboard yang mengubah ukuran Shift kiri (seperti GK64).
Lucunya, menurut saya, jika Anda memang hanya butuh F2 ataupun F5 (yang bisa di-remap dengan software bawaannya), Rexus M71 sebenarnya mungkin lebih nyaman digunakan karena bagian utama keyboardnya memiliki ukuran yang full standard, termasuk modifier kanan dan kiri, namun juga menawarkan tombol arrow.
Seperti yang saya bilang tadi, layout inilah yang membuat Rexus M84 jadi sangat menggoda karena tidak banyak varian 84 tombol yang mudah Anda dapatkan di Indonesia, selain Keychron K2. Namun sayangnya Keychron tidak memiliki software bawaan yang akan merepotkan jika Anda ingin fitur remapping ataupun fungsi makro. Selain K2 tadi, VortexSeries juga sebenarnya punya layout 84 tombol yaitu VX8 namun barangnya sangat langka — setidaknya saat artikel ini ditulis.
Selain pilihan-pilihan tadi, jika memang ingin mencari layout 84 tombol, Anda mungkin harus membeli sendiri dari Tiongkok seperti dari AliExpress (meski dengan resiko uang refund-nya tidak ada kejelasan seperti saya atau pengiriman gratis yang lamanya minta ampun). Opsi lain yang lebih baik juga ada, dengan menunggu beberapa importir eceran yang memasukkan barang dari luar namun biasanya jumlah yang bisa mereka bawa masuk memang tidak sedikit.
Software
Sekarang kita ke software. Sampai hari ini saya sudah mencoba beberapa software bawaan mulai dari Razer Synapse, Logitech G Hub, SteelSeries Engine, software dari Tecware, dari Rexus, VIA untuk QMK, ataupun software GK6X Plus Driver (yang biasanya digunakan untuk produk Skyloong, Geek Customized, atau Epomaker).
Menurut saya, software dari Rexus ada di tingkat yang sama dengan milik Tecware. Fungsinya memang tidak selengkap yang ditawarkan Razer Synapse ataupun GK6X Plus Driver (keduanya adalah yang terbaik bagi saya dalam hal kelengkapan fitur) namun sudah sangat cukup buat mayoritas gamer dan sangat mudah digunakan. Anda bisa remapping semua tombol yang ada di keyboard ini jadi tombol ataupun fungsi lainnya.
Membuat fungsi makro juga tidak seribet dengan menggunakan VIA untuk QMK karena Anda tinggal merekam tombol-tombolnya. Meski sayangnya, software-nya tidak mengizinkan fungsi remapping kombinasi tombol Fn seperti yang ada di Synapse (dengan menggunakan fungsi Hypershift) ataupun GK6X Plus Driver. Misalnya, FN+Shift jadi Num Lock atau jadi makro.
Fitur Tambahan
Terakhir kita akan membahas beberapa fitur tambahan yang dimiliki oleh M84 ini. Meski memiliki case dan plate yang cukup tipis, untungnya, Rexus memberikan frame di bagian atas yang membuat keyboard ini terasa lebih solid. Jika Anda mau, Anda juga bisa melepas frame atasnya untuk membuat keycaps-nya terlihat floating meski saya lebih suka menggunakannya dengan frame tadi karena selain lebih solid tampilannya pun jadi lebih rapih.
Keyboard ini juga dilengkapi dengan fungsi wireless dengan menggunakan Bluetooth. Saya pribadi jujur malas mencobanya namun jika saya harus memilih fungsi wirelss saya akan memilih koneksi 2.4GHz. Namun dengan koneksi Bluetooth, keyboard ini juga mudah jika ingin digunakan dengan ponsel Anda.
Fitur tambahan terakhir adalah magnetic feet yang akan membuat keyboard ini miring dan lebih nyaman digunakan — berhubung saya memang kurang suka dengan keyboard yang rata. Magnetic feet-nya memang goyang-goyang jika dipasangkan namun ia menempel cukup kuat saat digunakan dan saya belum pernah mengalami copotnya feet tersebut meski sering menggeser keyboard.
Kesimpulan
Rexus Daxa M84 Pro ini memang sangat menarik untuk dimiliki karena menawarkan jumlah tombol yang cukup lengkap namun tak terlalu sempit, fitur hot-swap, dan software yang cukup lengkap dan intuitif. Sayangnya, build quality nya memang tak bisa dibanggakan meski tak bisa dibilang jelek juga — kecuali keycaps-nya.
Dibanding dengan beberapa saingan yang sama-sama menawarkan layout 84 tombol seperti Keychron K2 ataupun VortexSeries VX8, M84 juga lebih menarik karena menawarkan software bawaan (dibanding Keychron) dan stoknya mudah didapat (dibanding VX84).
Meski begitu, menurut saya saingan terberat M84 Pro ini justru datang dari saudaranya sendiri, M71 Pro. M71 Pro menawarkan ukuran keycaps yang standard di area utama keyboard, sehingga Anda tak perlu pusing mencari keycaps ataupun lebih cepat pegal-pegal karena beradaptasi dengan layout yang sedikit berbeda. Saya sendiri juga sebenarnya tidak butuh tombol F rows semuanya (hanya F2 dan F5 — buat Quick Save) namun lebih butuh arrow keys yang tersedia di M71. Saya yakin mayoritas kebanyakan pengguna juga mungkin tak butuh semua 12 tombol dari F rows.
Meski begitu, jika Anda benar-benar mencari keyboard setara TKL namun dengan layout dan bodi yang lebih ramping, Rexus Daxa M84 Pro ini sungguh layak buat dibawa pulang — pastikan saja Anda beli keycaps baru…
“Mechanical keyboard itu bukan cuma untuk gamer.” Pernyataan itu terus terngiang-ngiang dalam benak saya usai berbincang dengan Mario Hendrawan, salah satu founder dari brand mechanical keyboard lokal Noir yang sedang naik daun belakangan ini. Di saat mechanical keyboard semakin dikenal di kalangan gamer, Noir justru ingin mendiversifikasi target pasarnya hingga turut mencakup kalangan pekerja maupun pelajar.
Setidaknya dalam setahun terakhir ini, memang ada banyak mechanical keyboard baru keluaran merek-merek lokal. Noir bahkan baru menjalani debutnya di bulan Desember 2020, namun berkat respon positif dari sejumlah YouTuber, namanya kini sudah lumayan dikenal di komunitas IMKG (Indonesia Mechanical Keyboard Group).
Produk perdana mereka adalah Noir N1, sebuah wireless mechanical keyboard dengan layout 65%. Kalau Anda lihat di Tokopedia maupun Shopee, keyboard ini sudah habis terjual sejak beberapa pekan lalu. Stok barang yang tersedia memang tidak banyak kalau berdasarkan pengakuan Mario sendiri — sayang ia enggan menyingkap berapa persisnya jumlah unit yang terjual — tapi paling tidak ini bisa menunjukkan bahwa produk dari brand yang belum punya nama sama sekali pun bisa laris asalkan dieksekusi dengan baik.
Seperti yang saya bilang tadi, Noir tidak mau mengasosiasikan namanya sepenuhnya dengan ranah gaming. Sebaliknya, Noir justru ingin mengedukasi masyarakat tanah air bahwa mechanical keyboard bukanlah produk yang eksklusif untuk kalangan gamer. Menurut Mario, konsumen yang masih memakai membrane keyboard tidak harus menekuni hobi gaming terlebih dulu agar bisa dicap pantas untuk membeli mechanical keyboard.
Arahan “tidak sepenuhnya gaming” ini juga bisa kita tinjau dari desain Noir N1 yang tampak minimalis sekaligus elegan. Ketika saya tanya brand apa saja yang menjadi inspirasi Noir, Mario memang menjawab “Keychron” dan “Leopold”, dua brand mechanical keyboard yang produk-produknya bisa dibilang tidak gaming sama sekali.
Di saat yang sama, Noir tentu tidak ingin melewatkan pasar gamer yang begitu besar dan menguntungkan. Tagline yang Noir gunakan adalah “boost your productivity, elevate your gaming experience,” yang sederhananya bisa diartikan bahwa Noir ingin menciptakan produk yang balanced, yang bisa menunjang kegiatan bekerja dan belajar sekaligus kegiatan bermain dengan baik, tanpa mengorbankan salah satu di antaranya.
Visi ini justru menjadi tantangan tersendiri buat Noir, sebab memenuhi kebutuhan dua kalangan konsumen sekaligus adalah hal yang lebih mudah diomongkan daripada dilakukan. Pekerja atau pelajar umumnya mencari keyboard nirkabel dengan alasan kenyamanan atau kepraktisan, sedangkan gamer kompetitif biasanya menghindari konektivitas wireless demi memastikan performanya tidak menurun akibat adanya latency dari koneksi Bluetooth.
Solusi jalan tengahnya adalah konektivitas wireless via dongle USB (2,4 GHz), dan inilah yang menjadi salah satu nilai jual utama Noir N1. Di samping itu, Noir tidak lupa menyertakan software pendamping agar pengguna bisa mengatur fungsi-fungsi macro sesuai kebutuhannya masing-masing, tidak ketinggalan pula pengaturan pencahayaan RGB milik perangkat. Semua ini merupakan fitur-fitur yang bisa dikatakan wajib pada keyboard gaming.
Jadi kalau ditanya Noir N1 ini keyboard gaming atau bukan, saya bakal menjawab gaming karena terbukti beberapa kriteria dasarnya bisa dipenuhi, terlepas dari desainnya yang kurang begitu terkesan gaming. Di saat yang sama, desainnya cukup simpel untuk bisa memenuhi kriteria konsumen yang umumnya mengikuti akun-akun inspirasi minimal desk setup di Instagram ataupun YouTube.
Awal terbentuknya Noir dan rencana ke depannya
Noir merupakan buah pemikiran dua orang gamer kompetitif. Mario dan kawannya, Irwandi, adalah pemain Counter Strike: Global Offensive (CS:GO), sehingga eksposur mereka ke dunia mechanical keyboard awalnya bermula dari penawaran merek-merek seperti SteelSeries, Razer, maupun Logitech.
Melihat harga mechanical keyboard dari berbagai brand mainstream yang tergolong mahal ini, tercetuslah ide iseng untuk menciptakan brand sendiri yang mampu menawarkan mechanical keyboard dengan kualitas yang tidak kalah dari brand luar, tapi di saat yang sama harganya bisa lebih terjangkau. Sebelum mendirikan Noir, Mario sendiri mengawali karirnya di sebuah startup yang bergerak di bidang esports, jadi wajar seandainya semangat enterpreneurship-nya langsung terpicu seperti ini.
Kebetulan Irwandi memiliki koneksi ke pabrik OEM (original equipment manufacturer) yang dapat memproduksi keyboard dalam jumlah banyak, jadi mulailah mereka merancang mechanical keyboard pertamanya; mulai dari memikirkan desain casing-nya, desain keycap, menentukan layout, sampai memikirkan packing beserta tema yang hendak diangkat. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, kiblat Noir adalah Keychron dan Leopold, dan Noir banyak mempelajari keunggulan-keunggulan yang ditawarkan oleh kedua brand tersebut.
Dari Keychron, yang dijadikan inspirasi adalah cara mereka menyematkan unsur produktivitas, mulai dari font yang identik dengan platform macOS (yang juga digunakan oleh Noir), sampai kombinasi warna yang tidak terkesan gaming tapi masih dilengkapi RGB. Bukan cuma itu, bahkan website dan strategi marketing Keychron pun juga Noir amati dan jadikan pelajaran.
Untuk Leopold, Noir ingin produk-produknya mempunyai build quality yang mengingatkan konsumen terhadap brand asal Korea Selatan tersebut. Buat yang tidak tahu, keyboard besutan Leopold memang sangat dikenal memiliki fisik yang amat kokoh sekaligus feel mengetik yang sangat nyaman tanpa harus menerima satu pun modifikasi, dan ini merupakan salah satu kriteria mechanical keyboard yang ideal kalau menurut Mario — meski pada kenyataannya dia sendiri mengaku sudah cukup terjerumus ke dunia modding keyboard.
Selain belajar dari dua brand tersebut, Noir juga banyak belajar dari komunitas IMKG. Masukan demi masukan yang diterima pada akhirnya Noir jadikan prioritas, dan mereka tidak segan untuk menanyakan langsung ke komunitas IMKG mengenai hal-hal apa saja yang diinginkan dari keyboard–keyboard mereka selanjutnya.
Untuk produk keduanya misalnya, yakni Noir N2 yang mengusung layouttenkeyless (TKL), mereka sempat menanyakan ke komunitas IMKG mengenai kombinasi warna yang paling cocok untuk keyboard baru tersebut. Bukan cuma itu, testimoni konsumen juga Noir gunakan untuk menyempurnakan produk sebelumnya.
Jadi bersamaan dengan Noir N2 yang dijadwalkan hadir pada bulan April – Mei mendatang, juga akan ada Noir N1v2 yang mengemas sejumlah pembaruan. Salah satunya adalah switch yang hot-swappable, yang mudah sekali diganti tanpa harus melibatkan proses solder-menyolder. Saat Noir N1 dirilis Desember lalu, salah satu kekurangan terbesar yang dikeluhkan konsumen memang adalah absennya fitur hot-swappable switch tersebut, dan Noir rupanya tidak mau tinggal diam begitu saja.
Hal lain yang Noir pelajari dari konsumen Indonesia adalah perihal garansi. Tidak jarang konsumen menilai keberanian suatu brand berdasarkan durasi garansi yang diberikan. Semakin lama periode garansinya, semakin menarik suatu produk di mata konsumen, kira-kira begitu penjelasan sederhananya.
Noir sendiri memberikan garansi selama 1 tahun, dan menurut Mario itu cukup bisa menggambarkan keyakinan Noir akan kualitas produk yang mereka tawarkan. Bahkan untuk konsumen yang gemar memodifikasi keyboard-nya seperti Mario sendiri, garansi tetap menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan saat membeli suatu mechanical keyboard.
Tentunya masih ada banyak hal yang harus dibenahi oleh Noir, salah satunya adalah terkait stok barang yang langka. Percuma saja produknya bagus dan terjangkau kalau ‘ghoib’. Mengenai hal itu, Mario mengakui bahwa salah satu kelemahan Noir sejauh ini memang adalah kapasitas produksinya yang masih terbilang kecil.
Bukan cuma Noir, menurut saya tidak sedikit pula brand mechanical keyboard lokal lain yang juga mengalami kendala serupa. Dipadukan dengan harga produk yang memang lebih terjangkau daripada penawaran brand luar, otomatis stok barang yang tersedia pun ludes dalam waktu singkat. Noir sendiri sudah punya komitmen untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka ke depannya.
Poin terakhir yang tak kalah menarik dari perbincangan saya dengan Mario adalah terkait ketertarikan Noir untuk merambah kategori periferal lain, khususnya yang bisa menjembatani kebutuhan produktivitas dan gaming seperti tagline-nya itu tadi. Jadi selain Noir N2 dan N1v2 tadi, Noir juga telah menyiapkan sebuah wrist rest untuk mouse yang diciptakan dengan tujuan untuk mengurangi angka kasus carpal tunnel syndrome (CTS) yang cukup umum terjadi di kalangan gamer kompetitif.
Dibandingkan wrist rest untuk keyboard, wrist rest untuk mouse jauh lebih jarang digunakan. Namun justru menarik melihat Noir merencanakan produknya bukan berdasarkan apa yang sekiranya bakal laku keras di pasaran, melainkan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh kalangan konsumen yang spesifik — yang cenderung menggunakan pengaturan sensitivitas yang tinggi pada mouse-nya selagi bermain.
Setelahnya, Noir juga akan meluncurkan desk mat hasil kolaborasi mereka dengan desainer produk ternama di tanah air. Mario turut memastikan bahwa Noir sudah ada rencana untuk berkolaborasi dengan orang-orang di komunitas IMKG ke depannya. “Dari komunitas, untuk komunitas,” demikian pernyataan Mario sembari mengakhiri perbincangan kami.