The healthtech startup Farmaku announced the acquisition of DokterSehat, which was held last November for an undisclosed amount. Post-acquisition, both platforms can still be accessed as per usual. DokterSehat’s CEO Indra Adam Darmawan is appointed as Farmaku’s CMO.
Farmaku is a platform that provides drug purchase services, while DokterSehat focuses on health information portals. Both have been operating for at least 4 years.
“Farmaku has previously collaborated with DokterSehat, therefore, this strategic merger is expected to provide more comprehensive health services to the Indonesian people,” Farmaku’s CEO Iswandi Simardjo said.
Indra added, “This acquisition is expected to complement the wider ecosystem in terms of transactional and providing health information in Indonesia.”
The healthtech sector is one of the sectors that experience massive acceleration due to pandemic. In Indonesia, there are two startups that have reached the centaur level (valuation above $100 million), Halodoc and Alodokter.
Startup healthtech Farmaku mengumumkan akuisisi, yang telah dilakukan bulan November lalu, terhadap DokterSehat dengan nilai yang tak disebutkan. Pasca akuisisi, kedua platform dapat tetap diakses seperti sebelumnya. CEO DokterSehat Indra Adam Darmawan kini menjabat sebagai CMO Farmaku.
Farmaku adalah platform yang menyediakan layanan pembelian obat-obatan, sementara DokterSehat fokus sebagai portal informasi kesehatan. Keduanya sudah berdiri selama setidaknya 4 tahun.
“Farmaku sebelumnya sudah bekerja sama dengan DokterSehat, sehingga penggabungan strategis ini diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Indonesia dengan lebih lengkap,” ujar CEO Farmaku Iswandi Simardjo.
Indra menambahkan, “Harapan dari akuisisi ini yaitu bisa melengkapi ekosistem yang lebih luas dalam hal transaksional dan pemberian informasi kesehatan di Indonesia.”
Sektor healthtech merupakan salah satu sektor yang mendapat akselerasi masif sebagai dampak pandemi. Di Indonesia sendiri dua startup saat ini sudah mencapai level centaur (valuasi di atas $100 juta), yaitu Halodoc dan Alodokter.
Salah satu sektor yang masih sangat niche di Indonesia adalah sektor biotech (bioteknologi) dan life science. Dengan aturan yang begitu kompleks, tidak banyak pemain baru yang ingin masuk ke sektor ini. Angin segar hadir ketika selama setahun terakhir mulai hadir startup-startup yang mendapat dukungan investor untuk mencoba memberikan warna baru. Sebut saja startup seperti Nusantics, Nalagenetics, dan Sensing Self.
DailySocial mencoba memahami seperti apa peluang, tantangan, dan masa depan startup bioteknologi dan life science saat ini. Lebih jauh, bagaimana dukungan investor menyikapi dan menangkap peluang yang ada.
Pasar yang “niche”
Bagi Nalagenetics, salah satu portofolio East Ventures, menjadi tantangan tersendiri untuk mulai mengembangkan bisnis di Indonesia. Startup yang didirikan oleh Jianjun Liu, Astrid Irwanto, Alexander Lezhava, dan Levana Sani ini hadir menyediakan layanan tes genetik berbiaya murah yang disesuaikan pasar Asia. Penetrasi bisnisnya dimulai di Singapura dan Indonesia.
Co-founder Nalagenetics Levana Sani mengungkapkan, salah satu kendala mengapa startup seperti Nalagenetics kesulitan memperkenalkan produknya ke target pasar adalah kurangnya pengetahuan terkait tes genetik. Proses yang bisa membantu orang banyak beradaptasi dengan obat-obatan yang mereka konsumsi sudah cukup familiar di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Untuk Indonesia, kebanyakan belum memahami lebih jauh.
“Karena hal tersebut terkadang menyulitkan kami untuk melakukan pendekatan ke pihak rumah sakit dan pemerintah. Meskipun para dokter kebanyakan sudah mengetahui layanan yang kami sediakan, tapi sebagian besar pihak terkait belum mengenal lebih jauh,” kata Levana.
Saat ini Nalagenetics telah mendapatkan hibah dan menjalin kerja sama dengan berbagai institusi terkait di Indonesia, termasuk FKUI, RSCM, dan Litbangkes. Sementara di Singapura, perusahaan juga telah berkolaborasi dengan NUHS, NNI, GIS. Dukungan yang diterima dari investor membantu perusahaan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi.
“Menurut saya, sektor ini masih sangat baru, tetapi lebih banyak dikembangkan di beberapa bidang seperti pertanian. Tingkat implementasi juga bervariasi tergantung pada kompleksitas teknologi yang terlibat. Kebanyakan permintaan yang ada datang dari industri swasta, bukan dari kalangan umum atau arahan pemerintah,” kata Levana.
Menurut CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri, meskipun dukungan yang diberikan tidak terlalu besar jumlahnya, namun perhatian investor dan pemerintah telah membantu Nusantics mengembangkan bisnis. Sebagai startup berbasis teknologi, Nusantics fokus pada pengembangan dan penerapan berbagai riset genomika dan mikrobioma untuk memenuhi gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Nusantics juga merupakan portofolio East Ventures.
“Menurut saya, pertumbuhan startup biotech dan life science seperti Nusantics dan lainnya masih dalam tahap awal. Potensi yang ditawarkan cukup besar, namun kebanyakan masih kurang dipahami karena istilahnya yang masih sangat asing, sehingga seseorang harus memulai dari suatu tempat dan terus berkontribusi dalam membangun momentum.”
Pandemi mendorong akselerasi
Pandemi telah mengubah semua kebiasaan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi momentum baik bagi startup seperti Nusantics dan Nalagenetics. Bagi mereka, kondisi pandemi menjadi ideal untuk melakukan uji coba dan mempercepat akselerasi, sekaligus ajang pembuktian bahwa teknologi yang mereka tawarkan sangat relevan.
“Pandemi telah meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat yang cukup besar akan pengujian genetik di rumah,” kata Levana.
Hal senada diungkapkan Sharlini. Meskipun pandemi mempengaruhi bisnis mereka secara negatif, terutama layanan pemeriksaan mikrobioma kulit, di sisi lain perusahaan melihat pandemi juga telah memberikan dampak yang positif ke pipeline bisnis baru, yaitu produk lokal komersial pertama untuk COVID-19 PCR Test Kit.
Bulan April lalu produk serupa juga diluncurkan Sensing Self. Sebagai alat tes mandiri untuk Covid-19, alat tes ini diklaim memberikan hasil deteksi yang cepat dan akurat karena menggunakan analisis enzim. Memungkinkan setiap orang melakukan pengetesan di rumah masing-masing, dalam waktu 10 menit, dan harga terjangkau (Rp160 ribu per unit).
“Kehadiran alat tes mandiri ini dapat membantu pemerintah untuk menyediakan akses tes yang lebih aman, praktis, dan terjangkau. Ketika terdapat pasien positif, mereka dapat langsung melakukan isolasi mandiri ataupun mendapatkan perawatan di rumah sakit,” kata Co-Founder Sensing Self Santo Purnama.
Startup yang berbasis di Singapura ini, didirikan Santo dan Shripal Gandhi. Mereka berdua menempatkan Sensing Self sebagai perusahaan yang fokus menciptakan alat tes kesehatan mandiri, agar setiap orang dapat mendeteksi kesehatannya sendiri dan mendapatkan pengobatan di tahap sedini mungkin.
Dukungan investor
Menurut Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures, sektor ini masih dalam tahap pertumbuhan di Indonesia, karena proses penemuan obat membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan penelitian. Namun, dengan jumlah penduduk yang secara alami menjadi pasar potensial yang besar, startup bioteknologi Indonesia dapat mengambil peran lebih banyak dalam mengembangkan uji klinis bersama perusahaan-perusahaan farmasi (asing). Jalur kemitraan dengan perusahaan farmasi asing ini secara bertahap akan membangun kapabilitas bioteknologi Indonesia.
“Untuk memfasilitasi uji klinis, ketersediaan Rekam Medis Elektronik (EMR) yang terstruktur menjadi sangat penting. Ini adalah enabler yang akan memungkinkan perusahaan bioteknologi / life science memiliki kumpulan data yang lebih besar dan lebih komprehensif untuk dikerjakan. Ini bisa menjadi peluang langsung untuk bekerja di bidang teknologi kesehatan,” kata Tania.
Sebagai investor, Tania melihat peluang yang besar untuk menyasar bidang ini. Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi startup Indonesia untuk membangun rekam medis digital health yang akan menjadi infrastruktur pengembangan bidang bioteknologi dan life science di Indonesia.
“Seperti yang kita saksikan dalam lima tahun terakhir, dua negara di Asia, yaitu Tiongkok dan Korea, telah muncul sebagai pemain global di bidang bioteknologi dan life science. Ini adalah sektor yang secara tradisional didominasi perusahaan AS, Eropa, dan Jepang dengan perusahaan global seperti Amgen, GSK, dan Takeda. Startup di sektor ini juga baru-baru ini menemukan jalannya untuk menjadi perusahaan yang terdaftar, seperti Vir Biotechnology, yang didukung oleh Softbank dan Gates Foundation,” kata Tania.
Sementara itu menurut Sr. Executive Director Vertex Ventures Gary Khoeng, ada beberapa alasan mengapa belum banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal kepada startup yang menyasar biotech dan life science, selain kompleks dan luasnya bidang ini.
Dibutuhkan investasi dalam jangka cukup lama untuk melakukan riset dan membuat produk yang diterima masyarakat.
“Pada akhirnya solusi dan penelitian bioteknologi biasanya memiliki waktu gestation yang sangat lama karena penelitian dan uji coba. Misalnya dengan pengobatan baru untuk penyakit yang menyebar luas atau mengembangkan vaksin baru. Berdasarkan pembayaran dan pendanaan yang ada, harus dipastikan perusahaan dapat bertahan dan juga memiliki rencana akhir yang jelas.”
Sebagai venture capital, Vertex Ventures melihat potensi yang besar untuk berinvestasi ke startup di kategori ini. Salah satu dukungan perusahaan adalah melalui Vertex Healthcare Fund yang fokus ke startup yang menawarkan solusi bioteknologi.
“Dana ini berasal dari Singapura tetapi telah dipindahkan ke Amerika Serikat karena fakta bahwa sebagian besar peluang bioteknologi ada di AS dibandingkan negara lainnya. Meskipun sektor ini cukup tertinggal dan berjalan lambat dibandingkan sektor lainnya, namun memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan oleh startup yang benar-benar memiliki semangat dan kemampuan untuk beroperasi di bidang ini,” kata Gary.
Digital transformation is starting to multiply in the health sector. As one of the technology service providers in the insurance and health sector, PT Medlinx Asia Teknologi introduces Izidok as a platform that helps doctors manage medical records.
Izidok’s team explained, they developed SaaS products with various Medical e-Record features. In addition to supporting standardized ICD 10 diagnosis, they also claim to be able to receive complete medical record inputs, such as history taking, physical examination along with photos of organs, diagnosis, and procedures. It is also possible for doctors to upload other examination supporting data such as X-rays, lab results, and other examination results.
“Another Izidok’s key feature is Write and Type Ready. Using this feature, doctors can input the patient’s data by typing or writing with a stylus pen. Thus, doctors can still use the traditional way for more modern operations,” explained the Chief Operating Officer ( COO) PT Medlinx Asia Teknologi Timur Bawono.
In addition, Izidok also provides a dashboard to monitor and manage queues, daily income amounts, and input data assistant to help operations in the practice. Next, there is also a schedule control reminder feature that is automatically created.
On the medical e-record regulation and future plans
Technological developments in the digital sector should be prudent. Regulations issued by the government are also quite strict because it involves a lot of personal data that is crucial, such as medical records. In Indonesia alone, technology is slowly changing the way people access health services, there are telemedicine, drug delivery services, and applications to make appointments with doctors.
Izidok, currently is in a different segment. The solution is similar to Medigo’s Klinik Pintar, however, Izidok specifically targets doctors in private practice, while Medigo targets the Clinic.
Bawono said, the idea of making this service departs on operational problems which often encountered by doctors in opening private practices. Medical records in the conventional form are prone to damage. Therefore, Izidok tried to transform it with the help of digital technology.
“In accordance with Minister of Health Regulation No. 269 / MENKES / PER / III / 2008, medical records in non-hospital health service facilities must be kept for at least 2 years from the date the patient was last treated. Referring to this regulation, Izidok can also help private practice doctors comply with regulations with the application that keeps patient data stored in Izidok’s system for 3 years since the medical record was made,” he said.
In addition, Izidok also claims that they store the data safely as it’s secured by encryption, therefore, the data is accessible only by the doctor concerned. To date, the service, which has its debut in April 2020, is still focused on reaching doctors throughout Indonesia.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Transformasi digital mulai jamak di sektor kesehatan. Sebagai salah satu perusahaan penyedia layanan teknologi di bidang asuransi dan kesehatan, PT Medlinx Asia Teknologi memperkenalkan Izidok sebagai platform yang membantu dokter dalam mengelola rekam medis.
Dijelaskan pihak Izidok, mereka merupakan produk SaaS dengan berbagai macam fitur e-Rekam Medis. Selain dukungan standardisasi diagnosis ICD 10, mereka juga mengklaim mampu menerima input rekam medis secara lengkap, seperti anamnesis, pemeriksaan fisik disertai dengan gambar organ, diagnosis, dan tata laksana. Dokter juga dimungkinkan untuk menggunggah data penunjang pemeriksaan lainnya seperti foto rontgen, hasil lab, dan hasil pemeriksaan lainnya.
“Fitur unggulan Izidok lainnya adalah Write and Type Ready. Dengan fitur ini dokter dapat mengmasukkan data pasien dengan cara mengetik atau pun menulis dengan stylus pen. Dengan demikian, dokter tetap bisa memakai kebiasaan lama untuk operasionalisasi yang lebih modern,” jelas Chief Operating Officer (COO) PT Medlinx Asia Teknologi Timur Bawono.
Selain itu Izidok juga memiliki dasbor yang bisa digunakan untuk memantau dan mengatur antrean pasien, jumlah pendapatan harian, dan masukan data asisten untuk membantu pengoperasian di tempat praktik. Kemudian ada juga fitur pengingat jadwal kontrol yang dibuat secara otomatis.
Tentang aturan e-rekam medis dan rencana selanjutnya
Perkembangan teknologi di sektor digital harusnya penuh kehati-hatian. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah juga cukup ketat karena banyak data pribadi yang bersifat krusial di sana, seperti rekam medis. Di Indonesia sendiri saat ini teknologi perlahan mengubah cara masyarakat mengakses layanan kesehatan, ada telemedicine, layanan pengantaran obat, dan aplikasi untuk membuat janji dengan dokter.
Izidok, saat ini berada pada segmen yang berbeda. Solusinya serupa dengan Klinik Pintar dari Medigo, hanya saja Izidok spesifik menyasar dokter dalam praktik mandiri, sedangkan Medigo menargetkan Klinik.
Diceritakan Timur, ide pembuatan layanan ini berangkat pada masalah operasional yang sering ditemui dokter dalam membuka praktik mandiri. Catatan rekam medis yang masih bersifat konvensional rawan rusak. Oleh karena itu Izidok mencoba mentransformasikannya dengan bantuan teknologi digital.
“Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008, rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan non-rumah sakit, wajib disimpan sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 2 tahun sejak tanggal terakhir pasien berobat. Jika mengacu pada regulasi ini, izidok pun dapat membantu para dokter praktik mandiri mematuhi regulasi karena dengan aplikasi izidok data pasien akan tersimpan pada sistem izidok selama 3 tahun sejak rekam medis dibuat,” terang Timur.
Selain itu Izidok juga mengklaim bahwa data yang mereka simpan cukup aman karena terlindungi enkripsi sehingga data hanya bisa dibaca oleh dokter yang bersangkutan. Untuk saat ini, layanan yang mulai diresmikan April 2020 ini masih fokus untuk menjangkau dokter di seluruh Indonesia.
Hadir sejak 2016 silam dengan sistem informasi manajemen rumah sakit, Trustmedis muncul lagi dengan layanan anyar. Kali ini Trustmedis menghadirkan produk baru bernama Telemedis. Produk ini khusus dibuat untuk memudahkan layanan pemesanan dan konsultasi kesehatan untuk fasilitas kesehatan.
Layanan yang mereka rilis sejak akhir Maret lalu ini sebenarnya agak serupa dengan fitur telemedicine dari healthtech yang sudah dikenal jauh sebelumnya. Namun CEO Trustmedis Achmad Zulkarnain menjelaskan kepada DailySocial bahwa Telemedis milik mereka berbeda dengan tempat lain yang sebatas konsultasi saja.
Telemedis dibuat dengan tujuan membantu klinik dan rumah sakit yang kehilangan banyak kunjungan pasien selama wabah Covid-19 berlangsung. Achmad menyebut penurunan kunjungan pasien di klinik dan rumah sakit mencapai 40%-60%.
“Untuk itu akhirnya kita memutuskan untuk mulai mengembangkan layanan ini, Telemedis untuk klinik dan rumah sakit,” ucap Achmad lewat pernyataan tertulisnya.
Pernyataan Achmad itu juga menjawab kenapa mereka baru mengeluarkan produk telemedicine ketika yang lain sudah mengeluarkan fitur serupa jauh sebelumnya. Achmad bahkan mengaku pihaknya tak punya rencana mengembangkan Telemedis, mengingat mereka adalah startup yang fokus menyediakan Health Information System (HIS) dan Electronic Medical Record (EMR) untuk fasilitas kesehatan di Indonesia.
Terlepas dari itu, Trustmedis membawa sejumlah kebaruan di aplikasi Telemedis mereka. Salah satunya adalah pemeriksaan melalui video call. Meski melalui video, Trustmedis menjamin kualitas pelayanan kesehatannya optimal dan sesuai perundang-undangan.
“Semua pelanggan (rumah sakit dan klinik) akan kita berikan layanan ini secara gratis, ada sekitar 500 dokter di berbagai faskes yang siap menggunakan layanan ini,” imbuh Achmad.
MedisMap berhenti
Perlu diingat sebelumnya saat Trustmedis berdiri dengan tiga pilar layanan yakni e-Doctor, e-Clinic, dan e-Hospital. Mereka melengkapi layanan itu dengan modul rawat inap, rawat jalan, IGD, farmasi, keuangan, administrasi, penunjang medis, bank darah, instalasi gizi, inventori, hingga akuntansi.
Dalam perjalanannya, Trustmedis juga memiliki strategi penting lain di luar produk HIS dan EMR yakni MedisMap. MedisMap ini disebut startup baru yang beroperasi di bawah Trustmedis. Ia merupakan aplikasi yang tujuannya memudahkan pengguna mencari fasilitas kesehatan terdekat dan pemesanan online.
Kala itu Achmad menyebut faktor pembeda MedisMap dengan aplikasi serupa adalah fasilitas rekam medis yang bisa diakses oleh dokter. Namun kabar terbaru dari Achmad menyatakan MedisMap sudah tak lagi beroperasi.
“MedisMap adalah sistem booking dokter, tidak sama dengan Telemedis dan sayangnya MedisMap ini sudah sejak 2 tahun lalu kita hold dulu, karena kami ingin fokus di produk HIS dan EMR,” ucap Achmad.
Menjadi SaaS
Banyak hal yang telah terjadi pada Trustmedis selama empat tahun ini menurut Achmad. Merujuk situs web resmi mereka, Trustmedis sudah melakukan banyak hal di antaranya adalah mengembangkan infrastruktur dan platform, memberlakukan model bisnis sewa bulanan, hingga mulai menjamah segmen B2C.
Namun hingga kini, layanan HIS mereka merupakan produk andalan perusahaan. Banyaknya dinamika tersebut akhirnya bermuara ke keputusan Trustmedis menjelma sebagai platform SaaS.
“Masa itu banyak sekali inovasi yang kita bangun, banyak dinamika terjadi, kebahagiaan dan kesediaan sudah pernah kita rasakan, bisnis naik dan turun kita hadapi, hingga akhirnya 2019, kita putuskan untuk mengubah skema menjadi SaaS,” pungkas Achmad.
Fasilitas kesehatan memang terhitung besar jumlahnya di seluruh Indonesia. Data dari Kementerian Kesehatan (2018) untuk Puskesmas menunjukkan totalnya mencapai 9.993 unit, klinik 8.841 unit, dan rumah sakit 2.813 unit. Trustmedis berambisi bisa merebut 10% dari jumlah tersebut.
A startup that provides technology for health industry, Prixa, is targeting more B2B and B2G collaborations in order to achieve its vision to democratize technology in this sector. Currently, the company has partnered up with other industries, such as Alfa Group, DAV, We+, and the latest one os Generali Insurance.
Prixa’s Co-founder & CEO, James Roring revealed, the service was build to humanize the digital health service through data and technology. Therefore, the B2B service will continue to be accessible for more people can use kinds of services on Prixa.
It is said in the insurance sector, Prixa has served more than two million policyholders through cooperation with a number of insurance companies. Furthermore, Prixa is claimed to have contributed to increasing partner efficiency by maximizing the integration of the use of the Prixa symptom check system and telecommunications features that can reduce spending by 30% -40% for outpatient claims only.
“To further improve efficiency, meet the needs of partners and users, Prixa is developing additional features for our platform to be able to serve comprehensive health services,” he told DailySocial.
Together with Generali Insurance, Prixa is the AI technology partner for Doctor Leo’s features in the iClick Gen application. This technology is used by Generali who wants to run the tele-consulting and other tele-health services more efficiently. For example, checking for symptoms and detecting more than 600 types of diseases.
Generali Insurance customers can consult with live chat, voice calls, and video calls for free via smartphone devices. It is hoped that Doctor Leo can reduce the burden of medical staff in detecting early symptoms of a disease, especially related to Covid-19.
“We comply with all government regulations regarding data privacy and the use of personal information. In addition, we regularly undergo penetration testing to identify vulnerabilities that can be exploited in a cyber-attack scenario.”
Partnership with the government
Aside from B2B partners, Prixa also has a B2G partnership with the Government of West Java Province. The company is an asset and one of the early filters for the detection and countermeasures for the Covid-19 pandemic for 50 million local residents.
Further explained, the Prixa system analyzes the answers given by users based on complaints and related questions, as will be asked by doctors. Then, the Prixa system processes these answers and provides the results of possible conditions based on the information submitted.
“Ours is an evidence-based analysis system, where our team of doctors studies the results of research and research publications, utilizes the results, and combines them with guidelines set by WHO and the Ministry of Health to build a comprehensive tool for assessing symptoms and risks.”
In order to fasten the expansion plan, James revealed that his team is considering raising new funding at the end of this year. Without further details, Prixa has been supported by strategic partners in the Health and technology sector as its investors.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Startup penyedia teknologi untuk industri kesehatan Prixa mengincar lebih banyak kerja sama B2B dan B2G agar visinya dalam mendemokratisasi teknologi di sektor ini dapat dirasakan luas. Saat ini perusahaan telah memiliki kemitraan dari lintas industri seperti Alfa Group, DAV, We+, dan yang terbaru Asuransi Generali.
Co-Founder & CEO Prixa James Roring menjelaskan, layanannya dibangun untuk memanusiakan layanan kesehatan melalui data dan teknologi. Oleh karenanya, kerja sama B2B seperti ini akan terus dilanjutkan agar akses tersebut bisa dirasakan lebih banyak semua orang dan memanfaatkan layanan yang tersedia di Prixa.
Menurutnya, di sektor asuransi saja, Prixa telah melayani lebih dari dua juta pemegang polis berkat kerja sama dengan sejumlah perusahaan asuransi. Dari situ Prixa diklaim ikut andil meningkatkan efisiensi mitra dengan memaksimalkan integrasi penggunaan sistem periksa gejala Prixa dan fitur telekomunikasi yang dapat mengurangi pengeluaran 30%-40% untuk klaim rawat jalan saja.
“Untuk lebih meningkatkan efisiensi, memenuhi kebutuhan mitra dan pengguna, Prixa sedang mengembangkan fitur tambahan untuk platform kami agar dapat melayani layanan kesehatan yang menyeluruh,” tuturnya kepada DailySocial.
Bersama Asuransi Generali, Prixa menjadi mitra teknologi AI untuk fitur Dokter Leo di dalam aplikasi Gen iClick. Teknologi ini dimanfaatkan Generali yang ingin menjalankan layanan tele-konsultasi dan tele-kesehatan lain agar lebih efisien. Misalnya, melakukan pengecekan gejala dan mendeteksi lebih dari 600 jenis penyakit.
Nasabah Asuransi Generali dapat berkonsultasi dengan cara live chat, voice call, maupun video call secara gratis lewat perangkat smartphone. Harapannya Dokter Leo dapat mengurangi beban petugas medis dalam mendeteksi gejala awal dari suatu penyakit, apalagi terkait Covid-19.
“Kami mematuhi semua peraturan pemerintah tentang privasi data dan pemanfaatan informasi pribadi. Selain itu, kami secara teratur menjalani pengujian penetrasi untuk mengidentifikasi kerentanan yang dapat dieksploitasi dalam skenario serangan siber.”
Bermitra dengan pemerintah daerah
Selain mitra B2B, Prixa juga menjalin kemitraan B2G dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Perusahaan menjadi aset dan salah satu filter awal untuk deteksi dan langkah penanggulangan pandemi Covid-19 buat 50 juta warga setempat.
Dijelaskan lebih jauh, sistem Prixa menganalisis jawaban yang diberikan pengguna berdasarkan keluhan dan pertanyaan terkait keluhan, seperti yang akan ditanyakan dokter. Kemudian, sistem Prixa memroses jawaban-jawaban tersebut dan memberikan hasil kemungkinan kondisi berdasarkan informasi yang disampaikan.
“Sistem kami didasarkan pada analisis berbasis bukti, di mana tim dokter kami mempelajari hasil riset dan publikasi penelitian, memanfaatkan hasilnya, dan menggabungkannya dengan pedoman yang ditetapkan WHO dan Kementerian Kesehatan untuk membangun sarana yang komprehensif dalam menilai gejala dan risiko.”
Agar ekspansi Prixa lebih kencang, James mengungkapkan pihaknya sedang mempertimbangkan untuk menggalang pendanaan baru pada akhir tahun ini. Tanpa mendetailkan, Prixa telah didukung oleh mitra strategis di sektor Kesehatan dan teknologi sebagai investornya.
Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Enterpreneurship memang bukan untuk semua orang. Hal ini membutuhkan kerja keras bertahun-tahun, tanggung jawab yang tidak sedikit, resiko tinggi serta banyak pengorbanan lainnya. Namun, semua itu tidaklah menjadi isu ketika Anda memiliki tujuan yang konkret. Setidaknya, prinsip ini yang dipegang Natali Ardianto, yang pernah memimpin sebuah tim teknologi di salah satu layanan OTA ternama, Tiket.com, sepanjang perjalanannya mengarungi bahtera industri teknologi.
Saat ini, Natali menjabat sebagai Co-founder dan CEO PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia, sebuah perusahaan yang ia dirikan bersama beberapa rekan setelah menjajal beberapa sektor industri. Mulai dari tata kota, bisnis OTA, fintech, lalu healthtech, masing-masing mengajarkan hal beragam yang telah membentuk pribadinya sebagai seorang pakar industri .
Sebagai seorang penggiat teknologi serta maniak komputer, ia sempat berjibaku dengan isu introvert kronis sampai pada akhirnya bisa bangkit lalu berhasil menguasai kemampuan berkomunikasi. Salah satu kuncinya adalah memiliki tujuan yang jelas, konkret, sesuatu yang bisa dipegang teguh dan terukur.
Seperti tertulis di profil profesionalnya, “Life is a journey, not a destination”(Hidup adalah sebuah perjalanan, bukan hanya soal tujuan), DailySocial berkesempatan untuk menggali lebih dalam tentang perjalanan karir seorang Natali Ardiante, berikut rangkumannya.
Dimulai dari posisi saat ini sebagai Co-founder & CEO di Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan terakhir.
Ini merupakan startup ke-5 saya, sebuah perusahaan teknologi kesehatan bernama PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Kami menawarkan solusi digital yang berfokus pada produk suplemen. Mengunakan teknologi achine learning yang sepenuhnya mempersonalisasikan data untuk memberikan rekomendasi suplemen terbaik untuk kesehatan Anda. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa healthtech?
Sederhananya, apakah Anda menganggap kesehatan sebagai kebutuhan primer atau sekunder? Sejujurnya, kebanyakan orang akan menempatkan kesehatan di atas segalanya, kesehatan akan selalu diposisikan pertama. Padahal, itu [kesehatan] adalah kebutuhan pokok yang membuat orang rela merogoh kocek. Sementara industri hiburan serta yang lainnya memerlukan perhitungan menyeluruh karena itu bukan kebutuhan utama. Dari segi keuntungan, memang lebih bagus. Karena pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) dapat meningkat beberapa kali lebih tinggi daripada industri hiburan lainnya. Dengan kata lain, suatu tujuan yang sama dapat dicapai dengan usaha lebih sedikit.
Duabelas tahun yang lalu, ketika pertama kali terjun ke dunia startup, apa yang ada dalam pikiran Anda? Bagaimana anda memulai perjalanan bisnis ini?
Pada tahun 2008, ketika startup belum hype, kami hanya berpikir untuk membangun perusahaan digital. Adapun, memiliki perusahaan telah menjadi impian saya sejak saya masih kecil. Pengalaman pertama saya terpapar teknologi dan jatuh cinta pada komputer ada di kelas 5 SD, saya juga mulai coding sekitar usia tersebut. Saya lalu menetapkan fokus pada teknologi sampai saya berhasil masuk ke Ilmu Komputer di Universitas Indonesia.
Pada tahun 2003, saya sudah memulai beberapa proyek freelance lintas wilayah. Saat startup mulai populer pada tahun 2010, saya mengalami kesulitan dengan Urbanesia, perusahaan pertama di mana saya belajar banyak setelah 13 bulan pengembangan. Saya memiliki pola pikir bahwa hidup adalah tentang menyelesaikan masalah. Ketika kita memecahkan masalah berulang-ulang, kita akan menguasai ilmu tersebut. Kemudian, yang terjadi selanjutnya pada perusahaan kedua saya hanya membutuhkan 8 bulan pengembangan, lalu kami membangun Tiket.com dalam waktu 3 bulan.
Apa yang ingin saya lakukan sangat jelas dari awal. Saya melabeli diri saya sebagai hardcore engineer. Namun, saya sadar bahwa insinyur tanpa pengetahuan dasar komunikasi tidak akan bisa melangkah lebih jauh. Apalagi jika Anda ingin menjadi pemimpin. Kepemimpinan adalah segala hal tentang mengarahkan dan mendelegasikan, itu membuat komunikasi sangat penting.
Sebagai seorang maniak teknologi, apakah Anda pernah merasa kesulitan dalam berkomunikasi? Apa yang bisa Anda bagikan pada para engineer di luar sana?
Ini sebenarnya sangat sederhana, hanya dengan berbicara dengan orang. Di sini bukan cuma perkara literatur, namun sebuah proses belajar sambil bekerja. Setelah dua tahun mengajar, saya menjadi lebih baik dalam pemasaran. Masalah yang ada pada kebanyakan teknisi adalah mereka tidak bisa melakukan pemasaran. Saya beruntung memiliki mitra untuk membantu saya belajar cara menghadapi orang dan berbagi wawasan penting.
Dengan latar belakang pendidikan di bidang teknologi informasi, ditambah pengalaman di berbagai sektor industri, mulai dari tata kota, OTA, fintech dan sekarang healthtech. Bagaimana anda mendeskripsikan masing-masing perusahaan?
Saya seorang penganut industri agnostik, startup pertama saya berfokus pada direktori kota tanpa latar belakang terkait. Perusahaan kedua saya bernama Golfnesia, padahal faktanya, saya belum pernah bermain golf dalam hidup saya. Selanjutnya, di perusahaan ketiga saya, Tiket, tidak ada dewan direksi yang memiliki latar belakang terkait layanan OTA. Sebelum ini, adalah perusahaan fintech bernama Pluang [dulu EmasDigi], dan sekarang kapal saya berlabuh di industri healthtech.
Di antara semua ini, ada hikmah yang dirasakan, sebuah pencapaian sebagai seorang pakar industri. Hal ini bukan hanya tentang latar belakang pendidikan, kepribadian, atau keluarga. Untuk mencapai tahap itu, seseorang harus melalui hampir semua hal.
Saya sendiri percaya pada rahasia ilahi. Ada sesuatu yang disebut RAS (Reticular Activating System) di otak kita yang dapat menyaring pikiran hal-hal penting. Ketika Anda memiliki sesuatu yang benar-benar Anda inginkan dan tanam di kepala Anda sejernih dan sejelas mungkin. Pada akhirnya, Anda bisa mendapatkannya.
Dalam empat perusahaan terakhir, Anda memimpin tim teknisi, sementara saat ini Anda menjabat sebagai CEO. Bagaimana Anda melihat gap dalam transisi ini? Apakah hal ini membutuhkan kemampuan khusus?
Dalam gambaran besar ketika kami memulai Tiket, saya membuat dek lapangan dan rencana keuangan. Saya selalu bekerja bagian bisnis untuk CEO kadang-kadang. Juga, saya memiliki latar belakang sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan. Jika harus saya katakan, saya selalu menjadi CTO yang berorientasi bisnis. Saya sangat sadar akan anggaran dan angka.
Kebanyakan CTO sangat high maintenance dalam hal teknologi. Mereka hanya ingin menggunakan teknologi terbaru dan paling keren, tetapi berbiaya tinggi, Sementara itu, Anda masih bisa menciptakan sesuatu yang berdampak dengan teknologi sederhana yang ada. Saya membuat sistem Tiket dengan sistem yang sangat korporat dengan detail finansial. Setiap transaksi tercatat, menghindari penipuan dan korupsi. Saya adalah tipe orang yang suka belajar sesuatu, oleh karena itu saya tidak bisa hanya fokus pada teknologi, tetapi juga bisnis.
Namun, beberapa orang salah kaprah hanya karena mereka belajar sepotong demi sepotong, bukan ujung ke ujung. Sistem agile cukup menarik tetapi tanpa visi hal itu tidak akan menjadi efektif.
Memiliki pemikiran strategis. Sebagai CEO, kata kuncinya adalah Anda tahu apa yang akan Anda capai dalam 5 hingga 10 tahun. Beberapa CTO masih bertahan dengan rencana selama 6 bulan hingga 2 tahun karena industri yang dinamis. Adapun, yayasan seperti hukum, keuangan, bisnis merupakan target yang terpenting. Saya beruntung memiliki mentor yang baik dan pengalaman selama sebelas tahun. Jujur, hari ini saya agak merasa lega, karena mengambil keputusan sudah menjadi proses yang berulang. Ketika Anda sudah tahu strateginya, selanjutnya adalah untuk mengulangi proses yang sama.
Dalam hal bisnis dan kehidupan pribadi, siapakah yang menjadi role model anda? Mungkin sebagai mentor, pendamping, seseorang yang menemani anda samapai pada tahap seperti ini.
Dalam hal pendamping, tentunya adalah istri saya. Saya bertemu dengannya pada tahun 2002 pada saat masih mengalami introvert kronis. Sebenarnya, dia turut membantu saya berubah, dan mengajarkan banyak hal tentang cara berkomunikasi, berpakaian bagus, serta yang lainnya. Saat ini ia sudah meraih gelar master dalam psikologi konseling. Istri adalah mitra belajar saya, terutama dalam memahami orang.
Kata kunci dalam hal kepemimpinan adalah kemampuan memahami pribadi orang. Anda harus bisa menemukan cara untuk membuat mereka tetap tinggal, meskipun apa yang Anda tawarkan tidak sebesar perusahaan raksasa di luar sana. Saya mencoba memahami dan memenuhi celah emosional tidak hanya secara finansial. Karena kami berusaha membuat yayasan tidak hanya berdasarkan uang. Masalahnya, ketika orang punya uang, mereka mencoba menyelesaikan semuanya dengan membayar. Untuk bisa memecahkan masalah adalah dengan belajar menjadi orang yang efektif. Ketika Anda menjadi orang yang efektif, secara tidak langsung Anda menjadi orang yang efisien.
Secara pribadi, dalam hal menjalankan perusahaan, Jonggi Manalu dari Tiket menjadi salah satu inspirasi saya. Secara umum, Larry Page & Sergey Brin akan selalu menjadi contoh terbaik, walaupun pada 11 tahun pertama, Eric Schmidt yang menjadi eksekutif berpengalaman dan membuat google sangat korporat. Saya menyebutnya dengan corporate agility, korporasi adalah dasar dari sebuah perusahaan sedangkan agile adalah bagaimana kita menjalankan perusahaan. Mengapa sebuah perusahaan harus korporat? Karena saya sering menemukan perusahaan yang mengalami kesulitan dengan keborosan, korupsi, kelemahan finansial, masalah hukum, dan kekurangan manajemen.
Menjalankan startup berarti menjalankan perusahaan, bukan hanya produk. Anda bisa saja membuat produk, namun ketika Anda tidak tahu apa-apa tentang pemasaran, pengembangan bisnis, serta hal-hal yang berkaitan dengan korporasi, semua itu tidak akan berhasil. Saya menemukan dua hal yang dapat membuat perusahaan gagal, yaitu ketika pendiri menyerah dan kehabisan uang.
Diantara beberapa industri yang telah dijelajahi, manakah yang paling menantang? Apa pelajaran terbesar yang ada dapatkan dari berbagai pengalaman ini?
Dalam entrepreneurship, kuncinya adalah waktu. Menjalankan perusahaan yang tidak berbasis jual-beli benar-benar sulit. Untuk mendapatkan satu transaksi, margin yang besar atau kecil membutuhkan usaha yang sama besar.
Dalam menjalankan sebuah perusahaan, saya lebih suka menyebutnya sebagai hardship. Ketika menjalankan sesuatu untuk mendapatkan profit, semuanya akan terbatas oleh anggaran. Sebagai contoh, ketika saya berada di industri OTA, dengan tim kecil saat ini bersaing melawan raksasa pesaing kami adalah satu perjuangan yang sangat berat. Dalam kasus ini, bukanlah sebuah titik terendah, tetapi sebuah kesulitan. Ketangguhan dalam mencoba menjalankan perusahaan yang profitable.
Apa yang menjadi target Anda selanjutnya? Apakah ada mimpi yang belum terwujud ataukah sesuatu yang diidam-idamkan selama ini?
Setelah “lulus”dari Tiket.com, saya ingin menikmati masa “pensiun” selama satu tahun. Saya dan istri bepergian keliling 5 benua, lebih dari 30 kota. Namun, saya tidak menikmati pensiun seperti itu sama sekali. Akhirnya, pada bulan ke-7, saya membantu teman membangun startup baru. Membangun sesuatu dari awal dan mengubahnya menjadi hal besar selalu menjadi hasrat saya. Sepertinya, saya tidak mau menukarnya dengan apa pun. Bahkan jika harus melakukan hal ini sampai berusia 70 tahun, saya masih akan melakukan hal yang sama. Menciptakan produk hebat yang digunakan dan dicintai semua orang. Juga, suatu hari saya ingin mengejar gelar Ph.D. dalam kewirausahaan atau e-commerce.
– Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian
Farmaku merupakan layanan apotek online yang berdiri sejak tahun 2017 silam. Di tahun 2020 ini Farmaku tengah menyiapkan sejumlah langkah untuk bertransformasi sebagai layanan kesehatan yang lebih lengkap. Di dalamnya termasuk rencana merangkul lebih banyak apotek untuk bergabung ke dalam sistemnya.
Selama tiga tahun perjalanannya, pihak Farmaku mengaku terus mengalami pertumbuhan. Pengguna aktif ber bulan di Farmaku sekarang sudah mencapai angka 160.000 dengan transaksi harian mencapai 500 transaksi. Saat ini mereka sudah memiliki fitur pengiriman instan, bundling produk dan penawaran menarik, dan beberapa fitur lainnya yang masih terus dikembangkan.
“Demografi pengguna Farmaku kebanyakan masih daerah Jabodetabek, tapi sudah ada beberapa customer di luar daerah, bahkan luar pulau seperti Surabaya, Bali, dan Makassar yang telah melakukan transaksi. [Yang paling laris] tentunya produk-produk kesehatan dan vitamin yang sifatnya preventif dan obat rutin untuk penderita penyakit hipertensi dan diabetes. Juga termasuk produk-produk kecantikan/skincare,” terang tim Farmaku kepada DailySocial.
Peluang di industri teknologi kesehatan memang masih terbuka lebar, terutama untuk segmen apotek online. Masyarakat semakin nyaman untuk membeli obat dari rumah. Beberapa pemain lain yang berada di segmen yang sama antara lain Halodoc, GoApotik, dan Lifepack
Besarnya peluang industri apotek online dibarengi dengan tantangan. Selain kepercayaan pelanggan yang harus tetap dijaga melalui pelayanan prima, ada juga tantangan untuk tetap patuh pada aturan kesehatan yang berlaku. Misalnya pembelian obat yang dibatasi dengan resep atau dibatasi dengan jumlah tertentu untuk mencegah penyalahgunaan. Dua permasalahan mendasar ini bisa diatasi seiring dengan pendewasaan pengguna dan regulasi yang kian mapan.
Sejumlah rencana ke depan
Sebagai startup yang mencoba untuk terus berkembang, Farmaku meletakkan perhatian lebih pada akuisisi lebih banyak pengguna sambil terus memanjakan mereka dengan fitur-fitur yang terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.
Ketika ditanya mengenai ekspansi, tim Farmaku menjawab singkat, “Tidak, kita lebih memilih untuk mengajak apotek-apotek lain bekerja sama.”
Saat ini mereka sedang menyiapkan diri bertransformasi menjadi health assistance. Menjadi lebih baik dan lebih lengkap dalam hal menyediakan layanan kesehatan, termasuk memudahkan pengguna untuk mendapatkan kebutuhan medical, baik yang bersifat curative maupun preventive.
“Untuk fitur sekarang masih dalam tahap pengembangan. Untuk saat ini kami mengunggulkan kecepatan pengiriman dan tebus resep online jika dibanding dengan kompetitor lainnya,” ujar tim Farmaku.