Tag Archives: Merah Putih Fund

Merah Putih Fund

Merah Putih Fund Siap Diinvestasikan ke Startup Soonicorn

Dana kelolaan patungan BUMN, Merah Putih Fund (MPF) akan segera dikucurkan ke startup soonicorn di Indonesia dengan komitmen investasi tahap pertama sebesar $300 juta (sekitar Rp4,5 triliun).

Hampir dua tahun direncanakan sejak 2021, MPF kini diresmikan lewat Penandatanganan Perjanjian Partisipasi pada Senin (04/9). MPF merupakan inisiatif pemerintah untuk mengakselerasi startup-startup Indonesia yang mendekati status unicorn atau soonicorn.

Pendirian MPF disebut memakan waktu lama untuk memastikan dana kelolaan tersebut telah memiliki tata kelola dan mengantongi restu dari OJK. Pihaknya menyebut telah menyusun tata kelola bersama dengan pihak independen untuk proses investasi dan pengelolaan MPF memenuhi persyaratan Good Corporate Governance.

Dana tahap pertama MPF dihimpun dari lima BUMN yang akan dikelola oleh lima Corporate Venture Capital (CVC), antara lain Mandiri Capital Indonesia (MCI), MDI Ventures, BNI Ventures, BRI Ventures, dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Pada penandatanganan ini, MCI telah disepakati menjadi Fund Manager, sedangkan Bank Danamon ditunjuk sebagai bank kustodian.

“Selama ini [BUMN] investasi jalan-jalan sendiri. Sekarang ada inisiatif untuk menghimpun dan mengelola bersama. Namun, butuh dana lebih besar untuk investasi ke calon unicorn. MPF akan mengincar growth dan late stage dengan harapan bisa melahirkan unicorn baru,” ujar Ketua Project Management Office (PMO) Eddi Danusaputro saat dijumpai di Penandatanganan Perjanjian MPF 2023 di Jakarta.

Turut diperkenalkan juga anggota Komite Investasi dari perwakilan masing-masing CVC antara lain Eddi Danusaputro (BNI Ventures), Donald Wihardja (MDI Ventures), Nicko Widjaja (BRI Ventures), Dennis Pratistha (MCI), dan Mohamad Ramzy (Telkomsel Mitra Inovasi). Kemudian dua Anggota Independen, yakni Rizal Gozali (eks Credit Suisse) dan Dyota Marsudi (CEO Bank Aladin).

Adapun, startup yang diincar berasal dari sektor agnostik dengan pre-money valuation antara $50 juta-$300 juta. Kriteria lainnya, founder harus asli orang Indonesia dengan perusahaan berkedudukan di Indonesia. MPF tidak akan berinvestasi ke sektor tahap awal karena startup yang diinvestasi harus memiliki rencana exit di Indonesia.

MPF akan memanfaatkan ekosistem BUMN dengan nilai aset BUMN lebih dari $600 miliar di 12 klaster. Ekosistem ini termasuk sektor keuangan, kesehatan, telekomunikasi & media, infrastruktur, dan logistik,

Tawarkan ke LP swasta

Eddi melanjutkan, penggalangan dana MPF nantinya tidak hanya bersumber dari lima CVC saja, tetapi juga akan ditawarkan ke BUMN lain dan pihak swasta. Pihaknya menilai minat investasi dari pihak swasta maupun asing didorong oleh upaya mereka membangun kompetensi digital perusahaan.

“Rencananya, penggalangan dana kedua ditawarkan ke BUMN lainnya dan penggalangan dana ketiga ditawarkan ke pihak swasta,” tutur Eddi.

Selain itu, lanjut Eddi, pihaknya juga akan menempatkan sekitar 10% BUMN di startup untuk mengawal mereka menuju cash flow dan exit. Hal ini dilakukan mengingat industri teknologi tengah merosot dalam beberapa tahun terakhir. Alhasil, investor kian selektif dan startup dituntut untuk memiliki jalur profitabilitas yang jelas.

Namun, pihaknya belum dapat mengungkap kapan investasi pertama akan dikucurkan termasuk target startup yang diincar. “Target [ticket size] sekitar $20 juta hingga $25 juta untuk 1 atau 2 perusahaan. Tentu kami lihat pasarnya karena cukup banyak yang akan diinvestasikan dengan dana $300 juta ini,” tambah CEO MDI Ventures Donald Wihardja dalam kesempatan sama.

Sementara itu, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menambahkan, “target return harus ambil benchmark dari [investasi] di luar, yakni sekitar 14%-16%. Perlu ada best practice untuk tahu indikator kinerja per portofolio. Kami juga akan melihat potensi sinergi dengan BUMN. Sebetulnya sinergi ini sudah terjalin, tetapi MPF akan dorong untuk scale up sinergi yang sudah terealisasi. Kami akan lihat bagaimana BUMN lain mencari apa yang ditawarkan startup.”

Plt. CEO Mandiri Capital Indonesia Dennis Pratistha / DailySocial

Dennis Pratistha: Mandiri Capital Indonesia Bentuk “Thematic Fund” di 2023

Mandiri Capital Indonesia (MCI) terus melanjutkan misinya untuk mendorong value creation bagi induk usaha Mandiri Group. Menurut Plt. CEO MCI Dennis Pratistha, pihaknya tengah menyiapkan beberapa “thematic fund” dan menjajaki peluang investasi di sektor baru, seperti construction tech dan biotech.

Sebelum menempati posisi CEO sementara pasca-penunjukkan Eddi Danusaputro di BNI Ventures, Dennis menjabat sebagai Chief Investment Officer. Adapun, saat ini MCI mengelola tiga dana kelolaan, yakni dana kelolaan bersumber dari Mandiri Group, Indonesia Impact Fund (IIF), dan Merah Putih Fund.

Sekadar informasi, Dennis telah lama berkecimpung di industri teknologi dan telekomunikasi dengan menduduki posisi Chief Technology Officer dan Chief Operating Officer, seperti di Redkendi, Ebizu, MNC, dan Nusatel. Di bidang investasi, ia juga pernah menjadi Executive di Star Capital.

Apa ada perubahan tesis investasi MCI dengan posisi saat ini?

Jawab: Saat ini kami masih fokus berinvestasi pada portofolio yang dapat berkontribusi terhadap value creation untuk Mandiri Group. Kami harus punya pembeda sehingga lainnya bisa saling co-exist dan berkontribusi. Startup saja punya [value proposition]. Kalau semua sama, the one with the most money will win. We have to have different angles to bring to the table. Justru di cap table, kita [VC] harmonis.

Beda VC, beda pula value creation. Ada VC yang kuat pada sisi teknologi, ada juga pada aspek operasional. Kami [kuat] pada aspek pengembangan bisnis. Ini yang membuat kami bisa duduk dengan nyaman dan tetap produktif di meja yang sama.

Apa value proposition yang ditawarkan?

J: Kami memiliki lima value proposition. Pertama, kami merupakan Corporate Venture Capital (CVC) milik Mandiri Group. Kedua, Mandiri Group memiliki puluhan juta customer dan 200 ribu UMKM. Ketiga, kami menghubungkan ke ekosistem BUMN. Keempat, kami dapat mendampingi pada proses value creation di pengembangan bisnis. Kami bantu ekspansi dan sinergi dengan menghubungkan ke banyak pemangku kepentingan.

Kelima, kami menghubungkan [portofolio] ke jaringan ke anak usaha Mandiri, seperti Mandiri Sekuritas. Jaringan [anak usaha] ini dapat mendukung startup untuk melakukan fundraising, merger and acquisition (M&A), atau exit melalui IPO. Sebelumnya, Mandiri Sekuritas pernah menjadi penjamin emisi (underwriter) pada IPO GoTo dan Bukalapak.

Selain itu, kami juga memiliki program matchmaking Xponent untuk mendorong Mandiri Group agar dapat ter-expose ke digital platform yang lebih inovatif.

Apa tujuan utama dari program Xponent?

J: Program ini murni ingin membantu dua pihak, yakni Mandiri menjadi inovatif dengan leveraging platform digital dan platform memanfaatkan Mandiri untuk mendorong bisnisnya. Ini murni sebuah acara matchmaking untuk menghasilkan kesepakatan bisnis. No investment involved. Kami tidak undang investor, tetapi unit bisnis dan startup.

Tentu saja, MCI sambil melihat, kira-kira mana yang bisa ditindaklanjuti. Makanya, saya garis bawahi MCI berinvestasi pada startup yang membawa valueA lot of money out there, economy is a bit slow, so good deals tidak terlalu banyak.

Kami menyadari ada shifting terjadi. Kami harus fokus pada startup yang sudah memiliki path to profitability atau profitable. Mereka harus tumbuh, tapi bukan berhenti karena sudah profitable. Startup yang sudah profitable harus mereplikasi model bisnis ke area atau produk lain. Artinya, mendorong pertumbuhan yang memiliki dampak positif ke bottom line. Kami ingin mereka menjadi a self-sustain company. Pertumbuhan tetap dikejar, bukan berarti berhenti.

Pada akhirnya, startup harus mencari model yang tepat, pahami model bisnisnya, dan lakukan ekspansi. We will help you expand.

Apakah ada portofolio baru yang akan diumumkan selanjutnya?

J: Kami akan mengumumkan dua portofolio di sektor aquaculture dan FMCG supply chain pada kuartal keempat ini. Selain itu, kami juga sedang menjajaki peluang di sektor autotech, proptech, construction tech, dan biotech. Ada banyak angle [di sektor ini], yang sedang kami lihat adalah supply chain.

Di construction tech, kami juga mencari model supply chain; dari prinsipal, toko bangunan, kontraktor, dsb. Supply chain di Indonesia masih belum efisien, tidak ada transparansi, dan prosesnya kompleks. Kami ingin empower mereka menjadi bagian dari ekosistem, tetapi memberikan margin yang lebih efisien. Teknologi memberdayakan bisnis, bukan sebaliknya. Kita harus punya bisnis dulu, baru di-empower oleh teknologi.

Kemudian, biotech. Saat ini, [biotech] di Indonesia masih di tahap awal. Kami sedang mempelajari use case dan commercial viability. Kami belajar dari pemain biotech yang sudah ada, dari startup atau perusahaan teknologi. Bukan berarti kami langsung berinvestasi, justru kami belajar dari mereka. Kami pahami dulu industri dan tantangannya. Menganalisis industri harus menyeluruh, apalagi spektrum biotech sangat luas sekali. Ada microbio hingga DNA. Kami perlu lihat, mereka bisa sustain dengan [use case] mana dulu.

Untuk autotech, ada beberapa hal menarik. Pertama, supply chain. Kedua, kami adalah bagian dari konglomerasi di bidang keuangan, Mandiri memiliki perusahaan multifinance dan bank. Bagaimana caranya, kami bisa menemukan marketplace yang fokus pada multifinance. Kami tertarik berinvestasi ke multifinance marketplace. Selama ini pengisian data lewat form harus satu-satu, sedangkan pengisian data di marketplace hanya satu kali. Marketplace lebih nyaman untuk dealer dan multifinance. Tidak perlu menghubungi satu-satu.

Bagaimana rencana pembentukan thematic fund MCI selanjutnya?

J: Kami belum bisa disclose mengenai pembentukan thematic fund ini, tetapi ini berbeda dengan Merah Putih Fund. Rencananya, kami ingin berkolaborasi dengan VC atau institusi. Kami lagi ngobrol dengan beberapa.

Mengapa memilih theme-based? Kami melihat [VC] yang fokus di semua bidang atau sektor agnostik itu sudah banyak. Kami mau fokus pada tema spesifik. Kami ingin dapat membantu ekosistem mereka. Ujung-ujungnya, kami harus create value. Semoga, [thematic fund] bisa terealisasi tahun depan.

Bagaimana Anda menanggapi industri startup Indonesia di situasi saat ini?

J: Pada dasarnya, startup adalah bisnis. [Pelaku startup] mengidentifikasi masalah dengan skala pasar yang cukup besar. Jangan mengidentifikasi masalah hanya di level kecamatan atau RT saja. Dengan itu, cobalah ciptakan solusi.

Namun, [menciptakan solusi] tidak semudah, “I have an idea, let’s develop full version”. Di antara idealism dan practicality, pasti ada disparity. Lakukan uji coba, mulai dengan skala kecil dengan sedikit modal, hingga memperoleh Minimum Viable Product (MVP). Ketika MVP jalan, baru kembangkan full-face product.

Begitu Anda punya full-face product dan mencapai product-market fit, artinya Anda sudah memvalidasi masalah. Anda tweak apa model bisnisnya, bukan hanya produk saja. Misalnya, model berbasis langganan, transaksi, atau penggunaan. Setelah Anda menemukan model bisnis, Anda menemukan kecocokan pasar-produk, Anda memiliki profitabilitas, dan keberlanjutan. Itu yang dilupakan banyak pihak.

[Mindset] dulu, ketika pelaku bisnis konvensional bertemu, mereka berdiskusi tentang EBITDA, misalnya. Sementara, startup bicara soal seberapa besar valuasinya. Sekarang, startup sudah mulai pikirkan sustainable growth, itu kata kuncinya. Bukan berarti mengerem [pertumbuhan bisnis].

Bagaimana Anda melihat founder mentality dari awal pandemi hingga sekarang?

J: Pandemi—tanpa bermaksud mendiskreditkan health issue, it’s very unfortunate—mendorong transformasi digital lebih cepat. Selama pandemi, kita banyak memanfaatkan aplikasi untuk berbagai hal, seperti memesan makanan. Pola pikir kita telah bergeser.

Para founder memanfaatkan peluang digital [untuk menciptakan solusi]. Sayangnya, banyak [startup] yang belum siap [merespons] pertumbuhan tersebut. Mereka belum mencapai product-market fit dan model bisnisnya belum ketahuan. Memang mereka bisa memperoleh angka pertumbuhan, tetapi memiliki keberlanjutan tanpa model bisnis yang tepat.

Sekarang, pertumbuhan ekonomi mulai melambat. Saya tidak mau bilang resesi atau apapun karena situasi setiap negara berbeda-beda. Saya optimistis dengan Indonesia. Pemerintah melakukannya dengan baik dalam mengendalikan perlambatan ekonomi ini. Harus disadari bahwa Indonesia adalah negara konsumtif. Ngegas dan ngerem harus balance.Anda ingin mengendalikan inflasi tetapi Anda tidak ingin menghentikan pertumbuhan.

Lalu, bagaimana upaya menghadapi perlambatan ekonomi? Ini sesuatu yang baru. Kita tidak tahu mau ke mana, apa yang perlu dilakukan. Nah, mentality harus diubah. Pada [masa awal pandemi] kemarin ada banyak peluang di mana terjadi akselerasi transformasi digital. Saat ini, dari peluang tersebut, kita harus berupaya menjadikannya sebagai bisnis yang sustainable. 

BNI Ventures

Eddi Danusaputro Paparkan Tesis Investasi BNI Ventures

PT BNI Modal Ventura atau BNI Ventures memaparkan fokus investasi startup pada ajang Nexticorn International Summit 2022 beberapa waktu lalu. BNI Ventures mengincar startup yang dapat mendukung misi induk usaha PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) untuk mengglobal.

Diungkapkan CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro, pemerintah telah memberi mandat masing-masing kepada Corporate Venture Capital (CVC) BUMN lain. Misalnya, BRI Ventures (BRI) fokus pada sektor mikro dan Mandiri Capital Indonesia (Mandiri) pada sektor korporasi dan ritel.

“Sementara mandat ke BNI berbeda. BNI akan bergerak menjadi international bank demi mendukung diaspora dan perusahaan yang punya bisnis di luar. Kami mencari startup yang mendukung customer BNI, seperti layanan remitansi di Hong Kong atau tenaga kerja di Arab Saudi. Ini coba kami capture,” ungkap Eddi.

Namun, tambahnya, bukan berarti BNI Ventures selalu mengincar portofolio dari luar Indonesia. Pihaknya juga mencari startup yang dapat mendukung pelaku UMKM yang ingin mengekspor produknya ke luar negeri. “Paling tidak ada komponen itu, ekspor kan bisa dari lokal,” tuturnya.

Adapun, BNI Ventures mengincar sektor agnostik pada pendanaan startup di tahap seri A atau early stage yang belum masuk ke pasar.

Sebagai informasi, BNI menyetorkan dana Rp500 miliar atau setara 500 ribu lembar saham yang menjadi pemegang kendali mewakili 99,98% kepemilikan di BNI Ventures. Sementara, sisanya dipegang oleh PT BNI Asset Management.

Adapun, rencana terjunnya BNI ke ekosistem digital mencuat usai pendirian Merah Putih Fund. Saat didirikan, Merah Putih Fund akan didukung oleh lima BUMN melalui CVC masing-masing, terdiri dari Telkom, Telkomsel, Mandiri, BRI, dan BNI. Namun, saat itu hanya BNI yang belum memiliki CVC.

Merah Putih Fund

Dalam wawancara terpisah, Eddi yang juga menjabat sebagai Chief PMO Merah Putih Fund, menargetkan pendanaan startup melalui Merah Putih Fund dilakukan pada awal 2023. Saat ini, pihaknya masih menyiapkan proses administrasi.

“Ada lima investor awal, tetapi [dana] dari masing-masing tidak bisa di-disclose karena tidak semua porsinya sama. Di kuartal I 2023 kami enter market, sekarang sedang proses, sudah tunjuk bank kustodian, legal counsel. Dana $300 juta ini perlu diinjeksi ke rekening Merah Putih Fund,” kata Eddi.

Menurutnya, saat ini ia sudah mulai menjajaki startup potensial meski belum ada yang pasti. Dalam pipeline-nya, ia menargetkan lebih dari 30 pertemuan dengan startup dari berbagai startup. Perlu dicatat, untuk mendapat pendanaan dari Merah Putih Fund, seluruh founder dan operating company harus berasal dari Indonesia.

“Perlu diketahui pula, kami terbuka [dengan startup apapun]. Bukan berarti [mencari] startup yang sudah pernah didanai oleh MDI atau MCI, terus dapat jalur cepat, tidak juga. Tidak harus portofolio existing dari lima investor itu. Kita harus adil.” Tutupnya.

Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengungkapkan akan menyuntik tiga hingga empat startup baru yang bergerak di sektor fintech dan fintech enabler sepanjang tahun ini

Mandiri Capital Lanjutkan Tesis Investasi “Beyond Fintech”, Siap Danai Empat Startup Baru Tahun Ini

Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengungkapkan akan menyuntik tiga hingga empat startup baru yang bergerak di sektor fintech dan fintech enabler sepanjang tahun 2022 ini. MCI akan masuk dengan nominal mulai dari Rp100 miliar ke atas ke tahapan investasi yang lebih beragam dari tahap awal hingga seri C, melalui fund yang berbeda-beda di bawah naungan MCI.

Vertikal startup yang diincar “beyond fintech”, mulai dari corporate enabler, SME enabler, wealthtech, earned wage access (EWA), logistic tech, dan edutech. Kepada DailySocial.id, Direktur Utama MCI Eddi Danusaputro mengatakan strategi tesis MCI dalam berinvestasi itu bergantung pada fund yang dikelola. Bila fund tersebut datang dari Mandiri Group, sudah tentu harus berkaitan dengan mandat grup, yakni mendorong inisiatif transformasi dan dampak positif bagi Mandiri Group melalui optimalisasi sinergi.

“Kami selalu mencari apa kebutuhan dari grup, seperti itu tesisnya. Baru kemudian mencari startup-startupnya. Dana dari Mandiri juga terus bergulir, terkadang bisa untuk dua tahun, atau ada setahun dua kali, itu semua kembali lagi dari kebutuhannya,” kata Eddi.

Menurut dia, sejauh ini MCI baru mengelola dua fund aktif. Pertama, fund yang dananya bersumber dari Mandiri Group. Kedua, Indonesia Impact Fund (IIF) yang menitikberatkan pada startup yang menciptakan dampak lingkungan dan sosial merujuk pada lima tujuan dalam SDG (sustainable development goals). Untuk IIF sejauh ini telah menyuntik satu startup dengan detail dirahasiakan.

Eddi juga mengonfirmasi bahwa fund baru yang menargetkan pada LP di luar Mandiri Group masih berlangsung sampai sekarang. Dia beralasan mandegnya rencana tersebut disebabkan oleh pandemi Covid-19. Awalnya, rencana tersebut sudah dibentuk sejak 2019 dengan target dana sebesar $100 juta. MCI sudah melakukan roadshow ke Jepang dan Korea Selatan untuk proses penggalangan dananya.

Tahun 2021

Sepanjang tahun lalu, MCI berpartisipasi dalam tujuh pendanaan, terdiri atas tiga investasi baru dan empat investasi follow-on. Bila dirinci sebagai berikut, I) investasi baru untuk Bukalapak, dalam pendanaan Pra-IPO dengan nominal dirahasiakan; II) AyoConnect untuk pendanaan pra-seri B dengan jumlah total sekitar Rp143 miliar; III) startup insurtech pada pertengahan Desember 2021.

Sementara, untuk investasi follow-on, terdapat investasi ke Amartha dengan jumlah total lebih dari Rp510 miliar; V) iSeller untuk pendanaan pra-seri B dengan total suntikan dana Rp120 miliar; VI) Crowdee untuk pendanaan seri B, dan VII) PrivyID untuk pendanaan seri B dengan nilai lebih dari Rp251 miliar.

Menjelang akhir tahun lalu, MCI bersama empat CVC BUMN lainnya dilibatkan oleh pemerintah untuk mendukung Merah Putih Fund (Dana Ventura Merah Putih atau MPF). MPF adalah sebuah inisiatif dari Kementerian BUMN sebagai dana kelolaan yang bertujuan untuk mengakselerasi startup lokal yang berpotensi menjadi unicorn.

Dalam fase pertama, MPF akan menutup dana kelolaan sebesar $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah yang didukung lima BUMN. Sejauh ini MPF belum beroperasi, baru diumumkan secara resmi oleh Presiden. Lima CVC BUMN yang terlibat dalam awal pembentukan dana kelolaan ini, termasuk MCI, masing-masing akan mengirimkan perwakilan untuk ditempatkan sebagai ‘Co-Fund Manager.’

Target investasi yang dibidik adalah tahap lanjutan untuk startup yang masuk status soonicorn/centaur.

Several Findings on the Merah Putih Fund

The government recently announced the “Akselerasi Generasi Digital”, a collaborative movement to support the acceleration of digital potential, innovation, and startup development in Indonesia. There are three main programs, including the Merah Putih Fund, Indonesia Digital Tribe, and Microcredential.

Indonesia Digital Tribe is a ‘skill and mindset’ educational program that aims to produce the next generation of founders. Also, it is to fulfill talent requirements in the rapidly growing local tech industry. Meanwhile, Microcredential is an internship program for a hands-on experience in tech companies – synergizing with the Kampus Merdeka program initiated by the Ministry of Education and Culture.

The Merah Putih Fund is an initiative of the Ministry of SOEs to accelerate local startups with great potential to become unicorns. It will be focused on capital provision and business collaboration to generate synergies in various industrial sectors.

In order to find out more about this fund, we had the opportunity to speak with Mandiri Capital Indonesia‘s CEO, Eddi Danusaputro, who is also a committee member of the Merah Putih Fund.

First managed fund

In its first phase, the Merah Putih Fund (MPF) is to close $300 million or equivalent to 4.3 trillion Rupiah managed fund; supported by five SOEs including Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, and Bank Negara Indonesia. In the second phase, Eddi said MPF will invite other SOEs to participate – as well as several Indonesian based private companies, including the Indonesia Investment Authority (INA).

“I think MPF will focus on local companies and yet to raise funds from foreign [LPs or companies],” Eddi said.

Currently, the MPF is yet to run full operation, the President has just officially announced it. Once it started, this investment unit will be led by representatives from 5 CVCs who were involved in the initial formation, including Mandiri Capital Indonesia, MDI Ventures, Telkomsel Mitra Innovation, BRI Ventures, and BNI. Each will assign a representative to become a ‘Co-Fund Manager’.

Investment category

Eddi said that there was no quantity objective for startups of the first managed fund, the focus was on the quality of startups. In the aim to deliver new unicorns, MPF will focus on providing advanced funding, particularly for centaur or soonicorn startups – valued at over $100 million.

There are 3 main requirements for startups to receive MPF funding. First, the majority of founders are Indonesian citizens. Second, the company’s operation [can be defined as the head office and main base] is in Indonesia. And third, planning a roadmap to go public on the Indonesia Stock Exchange.

“Regarding the sector, we are not targeting a specific industry. In fact, any field of startups can be invested. However, they must fulfill the three conditions above,” Eddi added.

He also said, there is no certain amount of ticket size for the investment. It will depend a lot on the agreement and demand for each startup.

“It has been discussed from the beginning. Each of us operates CVC with a specific purpose. However, in terms of MPF, the resulting investment decisions are collective and based on the majority of votes, therefore, it will avoid conflicts of interest,” Eddi said.

Startup selection

Later, the team involved in MPF will be actively searching for potential startups and creating opportunities for founders to pitch. However, there is no specific plan can be announced at this moment.

According to DailySocial.id’s data, there are currently around 50 centaurs startups, some of which have valuation over $500 million – waiting for the last funding round to become unicorns.

The IDX go public roadmap will be highly emphasized. Eddi said, it is simply to create a healthy ecosystem – investment is used as a starting point, and exit through an IPO is the end point of an investment lifecycle.

“Several SOEs have CVCs and have its own ways, through the Merah Putih Fund, we unite the spirit and vision to create a digital economy and a healthy digital ecosystem in Indonesia,” Eddi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Merah Putih Fund

Hal-Hal yang Perlu Diketahui tentang Merah Putih Fund

Pemerintah mengumumkan inisiatif “Akselerasi Generasi Digital”, sebuah gerakan kolaboratif untuk mendukung percepatan potensi digital, inovasi, dan perkembangan startup di Indonesia. Di dalamnya terdapat tiga program utama, meliputi Merah Putih Fund, Indonesia Digital Tribe, dan Microcredential.

Indonesia Digital Tribe adalah sebuah program edukasi ‘skill and mindset’ bertujuan untuk melahirkan generasi founder selanjutnya. Selain itu ditujukan untuk mengisi kebutuhan talenta di industri teknologi lokal yang tengah berkembang pesat. Sementara Microcredential berbentuk program magang untuk mendapatkan pengalaman langsung di perusahaan teknologi – bersinergi dengan program Kampus Merdeka yang diinisiasi Kemendikbudristek.

Merah Putih Fund sendiri merupakan inisiatif Kementerian BUMN untuk mengakselerasi startup lokal yang berpotensi menjadi unicorn. Pemberian modal dan kolaborasi bisnis akan menjadi fokus, untuk menghasilkan sinergi di berbagai sektor industri.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang fund ini, kami berkesempatan berbincang dengan CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro, yang juga menjadi salah satu komite di Merah Putih Fund.

Dana kelolaan tahap pertama

Dalam fase pertamanya, Merah Putih Fund (MPF) akan menutup dana kelolaan $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah; didukung lima BUMN meliputi Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Negara Indonesia. Menurut pemaparan Eddi, nantinya di tahap kedua MPF akan mengajak BUMN lain untuk berpartisipasi – juga beberapa perusahaan swasta berbasis di Indonesia, termasuk melibatkan Indonesia Investment Authority (INA).

“Saya rasa MPF akan fokus ke perusahaan lokal, belum akan menghimpun dana dari [LP atau perusahaan] luar negeri,” ujar Eddi.

Saat ini MPF belum sepenuhnya beroperasi, baru diumumkan secara resmi oleh Presiden. Ketika nantinya sudah mulai bekerja, unit investasi ini akan dinakhodai oleh perwakilan dari 5 CVC yang terlibat di awal pembentukan dana kelolaan ini, termasuk dari Mandiri Capital Indonesia, MDI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, BRI Ventures, dan BNI. Masing-masing akan mengirimkan perwakilan untuk menjadi ‘Co-Fund Manager’.

Kriteria startup yang diinvestasi

Eddi menyampaikan, tidak ada target kuantitas startup dari dana kelolaan pertama yang dibukukan, fokusnya ke kualitas startup. Dengan tujuan untuk menghadirkan unicorn baru, MPF akan fokus memberikan pendanaan tahap lanjut, khususnya untuk startup centaur atau soonicorn – yang disyaratkan MPF ini di atas $200 juta.

Ada 3 kriteria utama yang akan disyaratkan terhadap startup yang dapat menerima pendanaan MPF. Pertama, mayoritas founder merupakan Warga Negara Indonesia. Kedua, operasional perusahaan [bisa diartikan sebagai kantor pusat dan basis utama] di Indonesia. Dan ketiga, memiliki roadmap untuk melakukan go-public di Bursa Efek Indonesia.

“Terkait sektor, kami tidak menargetkan industri tertentu. Semua bidang startup pada dasarnya bisa didanai melalui fund ini. Namun tiga syarat di atas harus dipenuhi,” imbuh Eddi.

Ia melanjutkan, tidak ada ticket size definitif untuk setiap pendanaan yang nantinya diberikan. Besar-kecilnya akan banyak menyesuaikan dengan kesepakatan dan kebutuhan dari masing-masing startup yang diinvestasi.

“Ini juga sudah didiskusikan sejak awal. Masing-masing dari kami mengoperasikan CVC dengan tujuan tertentu. Namun untuk MPF ini keputusan investasi yang dihasilkan bersifat kolektif dan didasarkan pada suara terbanyak, jadi akan menghindari conflict of interest,” lanjut Eddi.

Proses seleksi startup

Nantinya tim yang terlibat di MPF akan secara aktif, baik melakukan pencarian startup potensial maupun membuka kesempatan bagi founder yang sesuai kriteria untuk melakukan pitching. Kendati demikian belum ada rencana aktivitas spesifik yang bisa dibagikan saat ini.

Jika melihat data, menurut catatan DailySocial.id saat ini ada sekitar 50 startup centaurs, beberapa di antaranya sudah bervaluasi di atas $500 juta – tinggal menunggu funding round terakhir untuk menjadi unicorn.

Soal roadmap untuk melantai di BEI ini juga menjadi aspek yang akan sangat ditekankan. Menurut Eddi hal ini dilakukan untuk menciptakan ekosistem yang sehat – investasi dijadikan sebagai sebuah titik awal, dan exit melalui IPO menjadi titik akhir dari sebuah lifecycle investasi.

“Beberapa BUMN punya CVC dan jalan sendiri-sendiri, lewat Merah Putih Fund kami menyatukan semangat dan visi untuk mewujudkan ekonomi digital dan ekosistem digital yang sehat di Indonesia,” terang Eddi.