International Data Corporation (IDC) Indonesia memprediksikan pada 2019 pemerintah Indonesia akan mulai gencar mengimplementasikan teknologi Internet of Things (IoT) untuk infrastruktur publik, seperti jalan raya, lampu jalan, dan rambu lalu lintas.
Kondisi tahun tersebut cukup kontradiktif dengan hasil prediksi IDC untuk tahun 2017 ini, IDC menyebut sebanyak 90% kota di Indonesia akan gagal mengimplementasikan secara penuh konsep kota pintar (smart city) dan aset digital lainnya. Hal ini disebabkan kurangnya proses pemahaman, manajemen proyek, dan keterampilan diri.
Seperti diketahui, pemerintah kota dan regional Indonesia saat ini giat menerapkan konsep kota pintar ke berbagai kota. Di antaranya DKI Jakarta, Balikpapan, Makassar, Surabaya, Bandung, Malang, Yogyakarta, serta kota-kota lapis kedua/ketiga lainnya seperti Boyolali, Berau, Pandeglang, Palopo, Tanjungbalai dan lain-lain.
Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan aplikasi Qlue untuk pelaporan keluhan yang ditemukan di lapangan lewat media sosial. Tak hanya itu, yang terbaru pemprov bekerja sama dengan aplikasi penyedia informasi transportasi umum Trafi untuk mendukung TransJakarta.
“Di Indonesia, transformasi digital belum diimplementasikan secara penuh dalam perusahaan. Hal ini berdampak pada perbedaan gaya kepemimpinan, di mana kecepatan pengambilan keputusan jadi lambat, sehingga ada efek negatif yang timbul. Timing itu penting dan cara berpikir yang kuno tidak relevan lagi dengan gaya kepemimpinan saat ini,” kata Country Manager IDC Indonesia Sudev Bangah saat Briefing IDC FutureScape Media.
IDC menyoroti bahwa transformasi digital akan mencapai skala ekonomi makro Indonesia selama dua hingga tahun depan mendatang, mulai dari mengubah cara perusahaan beroperasi dan membentuk kembali ekonomi global. IDC menyebutnya dengan “Ekonomi DX.”
Menurut IDC, agar implementasi teknologi bisa dilakukan secara penuh pemilik perusahaan harus mulai memikirkan relevansi bisnis mereka dalam 10 tahun mendatang. Serta bagaimana harus bereaksi saat menghadapi teknologi yang sifatnya disruptive.
Selain membahas prediksi IoT, IDC juga memprediksi hal lainnya di sektor usaha. Misalnya, pada 2019 sebanyak 50% dari perusahaan TI di Indonesia akan menciptakan layanan consumer-facing dan ecosystem-facing memenuhi kebutuhan DX.
Kemudian, di 2020, perusahaan lokal akan mulai memanfaatkan inovasi terbuka untuk mengalokasikan keahlian untuk 15% proyek baru. Tujuannya untuk meningkatkan persentase tingkat kesuksesan pengenalan produk hingga lebih dari 50%.
IDC juga memprediksi di 2018 online brand ambassador dan social media influencer akan memiliki kekuasaan pemasaran dari iklan digital tradisional. Akan tetapi di tahun berikutnya akan situasi akan mereda dan tahun seterusnya.
Selain itu, di 2019 IDC memprediksi hanya 30% produsen manufaktur yang berinvestasi untuk dukung transformasi digital dan memaksimalkan pendapatannya, sementara sisanya masih memakai model bisnis dan teknologi yang masih konvensional.
Prediksi belanja ICT Indonesia
Secara terpisah, IDC juga memprediksikan belanja ICT (Information, Communication, and Technology) Indonesia sepanjang tahun ini menembus angka Rp339 triliun. Jumlahnya naik dari realisasi belanja ICT di tahun lalu sebesar Rp320 triliun.
Sementara itu, belanja IT diprediksi tembus Rp293 triliun. Adapun komposisinya terdiri atas perangkat (device) sebesar Rp92 triliun, IT services Rp18 triliun, software Rp9 triliun, mobile data Rp112 triliun, dan mobile voice Rp62 triliun.
“2017 akan menjadi momentum di beberapa industri, mulai dari hardware hingga services. Services akan terus tumbuh, bahkan menjadi kunci pendorong untuk belanja IT,” terang Head of Consulting Department IDC Indonesia Mevina Munindra.
Sementara, belanja ICT di 2020 diprediksi menjadi Rp394 triliun. Adapun komponen belanjanya, devices Rp106 triliun, IT services Rp29 triliun, software Rp12 triliun, mobile data Rp137 triliun, dan mobile devices Rp59 triliun.
“Dengan pertumbuhan ini, industri dituntut untuk terus berinovasi menjadi perusahaan berbasis teknologi seperti otomatisasi proses bisnis. Tapi infrastruktur TI yang ada harus tetap dijalankan kalau memang itu baik bagi perusahaan,” pungkas Mevina.