Kehadiran e-commerce turut mengubah infrastruktur distribusi logistik yang dapat menjangkau banyak wilayah dengan pengiriman yang cepat. Distribusi dengan pendekatan tradisional tak lagi relevan karena digitalisasi membuat banyak pengusaha mengadopsi strategi D2C (direct-to-consumer).
Penyesuaian pola distribusi dengan pola D2C menjadi suatu keharusan, hanya saja membutuhkan layanan last mile dan infrastruktur untuk mendukungnya. Solusi ini masih minim hadir di Indonesia dan menjadi kesempatan bagi Fresh Factory untuk menggarapnya.
“We like to solve big problems, and this is great because the the big problem yang we’re trying to solve is our own problems,” ucap Co-founder & CEO Fresh Factory Larry Ridwan saat dihubungi DailySocial.id.
Larry Ridwan bersama Andre Septiano dan Widijastoro Nugroho merintis Fresh Factory sejak 2020. Ketiganya memiliki kesamaan latar belakang, sama-sama pelaku bisnis yang menjual produk-produk yang berhubungan dengan gudang dingin. “Kami mengalami kesulitan karena tidak adanya infrastruktur yang efisien dan efektir dalam mendistribusikan produk-produk kami,” lanjutnya.
Bicara mengenai potensi pasar, gudang pendingin ini mengalami peningkatan permintaan di Indonesia. Industri ini menyumbang menyumbang lebih dari 15% PDB di Indonesia. Secara industri, pada 2018, industri perikanan mencatatkan peningkatan produksi hingga 25 juta ton.
Di tahun yang sama, industri agrikultur juga meningkat hingga 49 juta ton. Sedangkan untuk makanan olahan, peningkatan konsumsi hingga 7 juta ton dengan potensi bisnis mencapai $13,8 miliar. Kehadiran gudang pendingin juga dibutuhkan oleh industri farmasi.
Sementara itu, laporan Forrester Research mengungkapkan bahwa bisnis makanan dan bahan makanan mengalami pertumbuhan yang signifikan pada 2020 dipicu oleh pandemi, menyumbang 11% dari pasar e-commerce global, peningkatan yang signifikan dari hanya 5% pada 2015. Industri makanan dan bahan makanan diperkirakan tumbuh lebih jauh menjadi 15% pada 2025.
“Namun, solusi last mile yang tidak memadai membatasi adopsi biaya (waktu & uang) layanan last mile alternatif saat ini masih tinggi dibandingkan dengan ukuran transaksi konsumen.“
Atas dasar kebutuhan tersebut, Fresh Factory menjadi startup yang fokus menawarkan solusi cold chain, yang terdiri dari manajemen penyimpanan produk dingin dan layanan pengadaan (pemilihan pesanan, pengemasan produk, dan pengiriman ke pelanggan melalui operator pengiriman).
Startup ini mengambil pendekatan hyperlocal dengan membuat jaringan gudang pendingin mikro dengan jarak yang terjangkau antara satu sama lain, sehingga menciptakan dampak efisiensi.
Solusi Fresh Factory
Menurut Larry, solusi cold chain yang ada di industri kebanyakan hadir untuk melayani konsumen korporat besar, sehingga infrastrukturnya lebih tersentralisasi. Sistem yang digunakan pun lebih mengarah pada warehouse management system (WMS), bukan fulfillment management system (FMS). Artinya, WMS hanya memberikan sistem tracking warehouse saja, tepatnya saat masuk keluarnya barang.
Co-Founder & CMO Fresh Factory Widijastoro Nugroho menambahkan, sementara fulfillment management system menambahkan fitur pick and pack. Dengan demikian, pengusaha bisa melakukan produk bundling, special packaging, sisipan promosi, kemasan kostum, dan sebagainya. “Jadi, Fresh Factory memiliki FMS di dalamnya juga ada WMS-nya,” katanya.
Larry melanjutkan, tidak hanya jaringan gudang pendingin saja yang dapat disewa oleh pengusaha, juga terdapat solusi pengadaan. Untuk alurnya, pebisnis dapat memiliki lokasi gudang cabang Fresh Factory sesuai wilayah ekspansi bisnis online-nya. Kemudian, produk yang akan dijual dikirimkan ke gudang dengan menggunakan pengiriman yang disediakan oleh mitra logistik Fresh Factory untuk disimpan di dalam gudang.
Ketika terjadi pesanan, melalui sistem Fresh Factory, penyewa akan memasukkan info pesanan seperti produk, jumlah, dan info lainnya. Pihak Fresh Factory akan memroses pengadaannya hingga dikirim ke pembeli. “Dengan demikian, prosesnya akan jauh lebih baik, lebih cepat, dan lebih efisien daripada sebelumnya.”
Terhitung, saat ini Fresh Factory memiliki 15 gudang mikro yang tersebar di Jabodetabek, Pulau Jawa, dan Bali. Masing-masing gudang ini berjarak 8 km satu sama lain, sehingga proses pengadaan akan jauh lebih efisien. Dilengkapi pula dengan FMS untuk bantu proses integrasi secara end-to-end pengusaha agar dapat scale up lebih cepat.
Perusahaan menerapkan dua strategi monetisasi, pertama adalah FIFO (First In First Out) dengan sistem sewa loker per hari mulai dari Rp200 per unit. Kedua, Tanpa Biaya Setup dengan penghitungan berdasarkan penjualan, mulai dari Rp2.100 per fulfillment. Diklaim, Fresh Factory saat ini memiliki lebih dari 100 tenant, termasuk usaha kecil. Sepanjang 2020, total nilai transaksi Fresh Factory mencapai $1,8 juta atau Rp26 miliar.
Ditargetkan pada tahun ini, perusahaan dapat meningkatkan infrastruktur 100 fulfillment center, mencakup ke seluruh Jawa, Bali, dan nasional, dan 10 gudang pendingin. “Kami juga berencana untuk menambah ragam layanan fulfillment, mulai dari retail fulfillment, cross docking, cross border, dan solusi logistik lainnya yang lebih efisien untuk cold chain.”
Perusahaan telah mengantongi pendanaan tahap awal sebesar $1,5 juta (lebih dari 21 miliar Rupiah) yang didapat dari sejumlah investor, seperti Prasetia Dwidharma, Numbers Capital, dan Y Combinator. Pendanaan ini diperoleh pada Januari 2021. Wiji, panggilan akrab dari Widijastoro, menuturkan saat ini perusahaan masuk sebagai salah satu peserta di YCW22. Saat ini sedang berlangsung proses bootcamp-nya selama tiga bulan.
“Bootcamp dengan YC berlangsung sampai akhir Maret 2022. Kita mulai pelan-pelan cari funding, target close-nya saat demoday di YC sekitar 15 April,” tambahnya.
Tak hanya Fresh Factory, sejumlah startup lokal juga fokus menggarap jaringan pergudangan mikro dan solusi pengadaannya untuk menciptakan dampak efisiensi. Mereka adalah Crewdible, Shipper, TokoTalk, dan platform e-commerce, seperti Shopee, dan TokoCabang (Tokopedia).