Tag Archives: Microsoft Research

Aplikasi Microsoft Soundscape Bantu Kaum Tuna Netra Bernavigasi dengan Teknologi Audio 3D

Tahun lalu, Microsoft menciptakan sebuah aplikasi iPhone yang dapat membantu kaum tuna netra memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Tahun ini, Microsoft kembali menyentuh proyek lamanya yang dimulai di tahun 2014, yang bertujuan untuk memudahkan kaum tuna netra bernavigasi di dalam kota.

Proyek ini pada dasarnya memanfaatkan teknologi audio 3D untuk memberikan gambaran yang cukup jelas terkait keberadaan sang pengguna. Jadi selagi berkelana bersama anjing pemandu, pengguna bisa memanfaatkan audio cue dari headphone untuk mengira-ngira posisinya di suatu lokasi, memudahkan mereka untuk menentukan arah selanjutnya.

Sebelumnya, teknologi ini harus mengandalkan headphone khusus, tapi berkat hasil kerja keras tim Microsoft Research, pengguna sekarang bisa memakai headphone atau earphone lain, asalkan yang stereo. Komponen lain yang dibutuhkan adalah sebuah aplikasi iPhone bernama Soundscape, yang sejauh ini baru tersedia di Inggris.

Microsoft Soundscape

Selagi pengguna berjalan, kombinasi headphone dan aplikasi Soundscape ini akan membacakan nama-nama jalan atau bahkan nama toko yang dilewati. Fitur lain yang menarik adalah Beacon, di mana pengguna bisa menetapkan titik tertentu di suatu lokasi, semisal sebuah gedung tinggi atau patung besar di dekat tempat tujuan, lalu aplikasi akan memandunya menuju ke sana.

Microsoft menegaskan bahwa Soundscape bukan bertujuan menggantikan alat bantu lainnya seperti tongkat atau anjing pemandu, melainkan justru untuk melengkapinya. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah supaya kaum tuna netra bisa lebih percaya diri mengunjungi banyak lokasi baru, bukan lokasi itu-itu saja setiap harinya.

Sumber: Microsoft.

AI Buatan Microsoft Mampu Menciptakan Gambar Berdasarkan Deskripsi yang Kita Berikan

Kita sudah melihat kebolehan AI dalam mendeskripsikan gambar atau apapun yang sedang ‘dilihat’ olehnya. Pencapaian ini kemudian memunculkan pertanyaan sebaliknya: bisakah AI menciptakan gambar sesuai dengan deskripsi yang kita berikan? Lagi-lagi jawabannya datang dari tim peneliti Microsoft.

Mereka mengembangkan AI yang mampu membuat gambar super-realistis berdasarkan kalimat yang kita berikan, semisal “burung ini berwarna merah dan putih, serta mempunyai paruh yang amat pendek.” Tidak lama kemudian, AI tersebut akan menciptakan gambar beresolusi 256 x 256 pixel yang sepintas kelihatan seperti foto.

AI ini diberi nama AttnGAN, diambil dari cara kerjanya yang melibatkan algoritma Generative Adversarial Network (GAN), serta pendekatan yang attentive, alias begitu peka terhadap detail-detail kecil. Proses penciptaan gambarnya terbagi menjadi tiga tahap, dan di setiap tahap, ada dua AI yang bekerja bersama; satu membuat gambarnya, satu lagi mengevaluasi sekaligus mengkritisinya.

Microsoft drawing AI

Detail-detail kecil seperti “paruh yang pendek” juga dijadikan pertimbangan selama proses pembuatan gambarnya. Sejauh ini, AttnGAN cukup terlatih dalam membuat gambar/foto burung, namun masih kesulitan membuat gambar yang sesuai ketika deskripsi yang kita berikan melibatkan lebih dari satu objek, terutama yang konteksnya tidak rasional.

Contohnya, ketika diminta untuk membuat gambar sebuah bis tingkat berwarna merah yang mengapung di atas danau, AttnGAN malah membuatkan gambar sebuah perahu merah di atas danau. Kemampuan belajar AI pada dasarnya membuatnya paham bahwa bis tidak bisa mengapung di atas air, sehingga akhirnya ia malah menggambar sebuah perahu.

Microsoft Drawing AI

Imajinasi tidak harus sejalan dengan akal sehat, dan untuk sekarang AI masih kesulitan memisahkan keduanya. Dalam kasus AttnGAN, AI sepertinya masih lebih condong ke akal sehat, dan itu banyak dipengaruhi oleh bahan-bahan yang selama ini dipelajarinya.

Dalam beberapa tahun ke depan, tim pengembang AttnGAN percaya bahwa AI bisa menciptakan gambar yang lebih detail dan beresolusi lebih tinggi. Namun yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, untuk apa itu semua?

Pimpinan proyek pengembangan AttnGAN, Xiaodong He, membayangkan teknologi ini bisa dipakai untuk, misalnya, sistem pencarian gambar di Bing. Jadi ketika pengguna melakukan pencarian suatu gambar, dan gambarnya ternyata tidak ditemukan di berbagai sumber, Bing akan menginstruksikan AI untuk membuat gambar sesuai permintaan pengguna.

Ketika skenario ini sudah bisa diwujudkan, saya yakin akan muncul pertanyaan baru: siapa yang berhak menerima kredit atas gambar yang diciptakan, apakah AI-nya atau si Xiaodong He beserta timnya?

Sumber: Fast Company.

Micorosoft Path Guide Hadirkan Cara Baru Menjelajah Ruangan

Microsoft Research beberapa waktu yang lalu merilis aplikasi navigasi indoor baru yang dinamai Path Guide. Ini adalah aplikasi yang dirancang untuk menghadirkan cara keren dalam menjelajah ruang guna memangkas keterlibatan fisik secara signifikan.

Kedatangan aplikasi Path Guide bisa menjadi alternatif bagi organisasi atau perusahaan yang mempunyai keterbatasan biaya dan infrastuktur. Dengan Path Guide, pengguna dapat mengesampingkan kebutuhan perangkat GPA atau dukungan jaringan nirkabel untuk mendapatkan informasi pemetaan yang dibutuhkan sesuai volume bangunan yang mereka diami.

Path Guide saat ini tersedia di toko aplikasi Google Play Store. Menggunakan sensor accelerometer untuk menghitung langkah dan magnetometer untuk memindai area saat aktivitas dimulai, Path Guide dapat membuat visualisasi seluruh volume di mana pengguna melangkahkan kaki. Kemudian memberikan akses ke pengguna lain untuk menandai dan mengikuti jejak dari dan ke lokasi yang statis.

microsoft-path-guide-app-for-android-devices-combined-768x657

Sebagai contoh, Pelacak jejak akan merekam pergerakan Anda dari pintu masuk hingga ke ruangan lain misalnya ruang rapat di lantai 10. Seseorang kemudian dapat menjalankan aplikasi saat berada di lobi, memulai pelacakan dan berjalan normal ke ruangan tersebut tanpa harus bertanya ke resepsionis atau petugas keamanan. Dalam prosesnya, pengguna dapat informasi tingkatan dasar lengkap dengan petunjuk misalnya, jumlah langkah, belokan dan semacamnya.

navigation-recording

Pembuat jejak juga dapat menambahkan informasi lainnya seperti foto, catatan teks, dan rekaman suara dengan asumsi bangunan mempunyai sistem keamanan yang ketat.

Path Guide sendiri merupakan aplikasi kreasi Microsoft Research yang melibatkan beberapa ahli, seperti Yuanchao Shu, Börje Karlsson, Yiyong Lin dan Thomas Moscibroda. Meski sudah diluncurkan ke Android, Microsoft tak menampik aplikasinya ini masih butuh pengembangan dan perbaikan.

Sumber berita Microsoft.

Application Information Will Show Up Here

App Buatan Microsoft Ini Narasikan Apa yang Terjadi di Sekitar Pengguna Tuna Netra

Tim Microsoft Research tidak henti-hentinya bereksperimen dengan artificial intelligence (AI). Karya terbaru mereka adalah sebuah aplikasi iOS yang sangat keren sekaligus fungsional, terutama apabila Anda memiliki gangguan indera penglihatan atau bahkan merupakan seorang tuna netra.

Dinamai Seeing AI, aplikasi ini memang mengemas sistem kecerdasan buatan yang mampu melihat dan mengenali beragam objek di sekitarnya, kemudian menarasikannya kepada pengguna dengan suaranya. Seandainya satu meter di depan Anda ada seseorang yang sedang menangis, Seeing AI bakal mendeskripsikannya secara akurat.

Microsoft Seeing AI

Selain mengenali wajah orang sekaligus ekspresinya, Seeing AI juga bisa membacakan teks pendek yang misalnya terpampang di amplop secara instan, atau bahkan satu dokumen penuh dengan cara memotretnya terlebih dulu. Tak hanya itu, nantinya Seeing AI bahkan bisa mengenali uang tunai yang ada di hadapan pengguna dan membacakan jumlahnya.

Tidak kalah menarik adalah kemampuan Seeing AI mengenali berbagai produk di supermarket dengan memindai barcode-nya. Kalau Anda kesulitan melihat, bagaimana Anda bisa menemukan barcode-nya? Well, selagi Anda mengarahkan kamera ponsel, Seeing AI akan membunyikan indikator suara untuk membantu Anda menemukan barcode di suatu kaleng daging kornet misalnya.

Microsoft Seeing AI

Menggunakan Seeing AI bisa diibaratkan memiliki narator yang selalu berada bersama Anda, menceritakan apa saja yang terjadi di sekitar Anda. Microsoft bahkan sedang menguji fitur eksperimental yang memungkinkan Seeing AI untuk mengenali suatu peristiwa atau kejadian di sekitar, jadi bukan cuma benda-benda mati saja.

Seeing AI saat ini sudah tersedia secara cuma-cuma di App Store, tapi sayang baru di Amerika Serikat, Kanada, India, Hong Kong, Selandia Baru dan Singapura. Microsoft berencana untuk merilisnya di negara-negara lain, tapi saya belum menemukan indikasi kalau versi Android-nya sedang digodok. Bahasa yang didukung sejauh ini juga baru bahasa Inggris.

Sumber: The Next Web.

Microsoft AirSim Adalah Simulator Drone dan Mobil Tanpa Sopir yang Amat Realistis

Sebelum seorang pilot dapat menerbangkan pesawat, ia harus lebih dulu lulus ujian simulasi. Drone maupun mobil tanpa sopir juga demikian. Kalau tidak, tim pengembangnya bisa menghabiskan biaya banyak hanya untuk mengajari drone buatannya membedakan tembok dan bayangan.

Simulasi sejatinya sangat berperan dalam pengembangan teknologi computer vision, machine learning maupun artificial intelligence. Gampangnya, kalau pengujiannya membutuhkan banyak trial and error, simulasi merupakan cara terbaik untuk menghindari sejumlah konsekuensi yang ada, contohnya drone yang menabrak tembok kalau dalam skenario tadi.

Tim Microsoft Research baru-baru ini merilis sebuah software simulator berlisensi open-source yang bisa dimanfaatkan untuk menguji drone, mobil maupun gadget lain yang mengandalkan AI dan teknologi kemudi otomatis. Dinamai Aerial Informatics and Robotics Platform, atau AirSim singkatnya, simulator ini diklaim sanggup menciptakan dunia virtual seakurat dan semirip mungkin dengan dunia nyata.

Berbekal Unreal Engine, AirSim mampu me-render elemen-elemen grafik yang kompleks macam bayangan atau refleksi secara akurat dan realistis. Para pengembang drone pada dasarnya bisa menguji berbagai teorinya dan menabrakkan drone buatannya berulang-ulang sampai ratusan bahkan ribuan kali tanpa harus mengalami kerugian finansial.

Microsoft menegaskan bahwa AirSim tidak dimaksudkkan untuk menggantikan pengujian di dunia nyata, namun setidaknya bisa jadi pelengkap yang efektif sekaligus efisien. Singkat cerita, sebelum pengembang menguji apakah vacuum cleaner robotik garapannya bisa benar-benar berhenti sebelum terjatuh dari tangga, mereka bisa lebih dulu mematangkan teknologinya dengan simulator ini.

Microsoft AirSim saat ini masih dalam tahap beta, akan tetapi developer sudah bisa mengaksesnya lewat GitHub.

Sumber: 1, 2, 3.

Microsoft Patenkan Teknologi ala Holodeck di Star Trek

Dengan begitu banyak jumlah penggemarnya, Star Wars memang merupakan franchise fiksi ilmiah terbesar, tapi Star Trek-lah yang boleh dibilang sebagai sci-fi sejati. Alasannya sederhana: beberapa gadget di film itu terealisasi jadi perangkat yang biasa kita gunakan, contohnya seperti komputer tablet, penerjemah digital, communicator wearable, hingga virtual reality.

Salah satu teknologi fiksi ilmiah Star Trek yang paling terkenal ialah Holodeck, sebuah ruangan dengan fungsi mensimulasikan kondisi di tempat lain melalui teknik ‘manipulasi materi’. Penjelmaan paling dekat teknologi ini di dunia nyata adalah perangkat virtual serta augmented reality, meski implementasinya masih belum secanggih Holodeck. Begitu esensialnya ide ini, bahkan Microsoft menggunakan nama hampir sama untuk device mixed reality-nya.

Meneruskan pengembangan HoloLens, Microsoft belakangan ini diketahui telah mengajukan paten untuk menggarap solusi mirip Holodeck. Pengajuannya sendiri sebetulnya dilakukan pada bulan Juni silam dan baru dipublikasi tanggal 22 Desember kemarin. Langkah ini merupakan upaya Microsoft menanggulangi satu kekurangan pada HoloLens, yaitu keterbatasan pada field of view. Desain optik yang ada saat ini menyekat FOV di 40 derajat, padahal penglihatan manusia hampir mendekati 180 derajat.

Metodenya memang tidak mengatasi kendala itu secara langsung di unit headset, melainkan dengan memproyeksikan gambar-gambar ke objek di sekeliling pengguna buat memperluas jangkauan pandangan head-mounted display. Ruangan mirip Holodeck tersebut dilengkapi rangkaian sensor dan proyektor, beberapa di antaranya mengusung teknologi 3D. Mereka bekerja serempak dan terus-menerus untuk mendongkrak FOV.

Penerapannya memang cukup kompleks. Di beberapa skenario, konten tambahan di-render dari perspektif berbeda, kadang proyeksi akan saling menyempurnakan, dan bisa mengubah penampilan objek sesungguhnya. Lalu posisi dan gerakan headset dilacak oleh sensor di sana. Microsoft percaya, pendekatan augmented reality ini juga akan menciptakan pengalaman penggunaan baru, baik untuk gaming sampai fungsi instruktif ataupun demonstrasi.

Tak sekedar paten, upaya pengerjaan teknologi ini telah dilakukan oleh Microsoft Research. Agar mudah dimengerti, tim mendemonstrasikan cara kerjanya dalam sebuah video:

Layaknya pengajuan paten lain, tidak ada jaminan Microsoft akan betul-betul memanfaatkan solusi tersebut. Menariknya, ini bukanlah satu-satunya upaya sang produsen menggarap versi asli ruangan hologram di Star Trek itu. Di bulan Oktober kemarin, Microsoft sempat bilang mereka berhasil menciptakan Holodeck yang dapat mereproduksi objek tanpa memerlukan kacamata/headset, berlokasi di kantor pusatnya.

Sumber: MS Power User. Gambar header: Memory Alpha wikia.

DuoSkin Ialah Tato Elektronik yang Bisa Digunakan Buat Mengendalikan Gadget Lain

Tato mempunyai artian berbeda di tiap tempat: simbol status, menandai tingkatan spiritual, dekorasi yang melambangkan keberanian atau kesuburan, hingga dipercaya membawa keberuntungan. Menariknya, terobosan di ranah teknologi turut membuat dekorasi kulit ini berevolusi, melahirkan istilah smart  tattoo, dengan fungsi yang tidak kalah bervariasi.

Kali ini, peneliti dari MIT Media Lab dibantu oleh tim Microsoft Research mencoba mengembangkan DuoSkin, sebuah device berwujud lapisan tipis, mirip stiker atau tato temporary yang bisa ditempel ke tubuh. Selain menghias kulit, perangkat digarap untuk megendalikan gadget-gadget lain, berperan sebagai sistem input  smartphone dan komputer; berfungsi jadi tombol, slider, hingga trackpad.

Layaknya tato sungguhan, developer tidak melupakan aspek estetika. DuoSkin bisa dirancang secara artistik, misalnya membentuk pola-pola simetris atau ilustrasi tertentu. Device memanfaatkan lembaran emas dan perak konduktif; material tersebut diklaim tidak mahal, aman untuk kulit, dan cukup kuat buat dipakai sehari-hari. Di dalam, DuoSkin menyimpan komponen elektronik yang sangat tipis.

Cara mengenakannya sangat sederhana, mirip temporary  tattoo: tempelkan DuoSkin di lengan Anda, gunakan air agar ia menempel di kulit, dan selanjutnya Anda segera mempunyai trackpad/touchpad instan untuk mengendalikan handsetmusic  player, atau buat browsing koleksi foto. Lapisan emas/perak di sana merupakan interface-nya, tersambung ke bagian elektronik internal buat mengirimkan data ke komputer.

DuoSkin 1

Proses pembuatan ‘stiker’ bisa memanfaatkan software desain apapun, kemudian Anda tinggal mencetaknya di mesin vinyl  cutter. DuoSkin memiliki daya tahan seperti tato sementara, paling lama hanya beberapa hari saja.

Dan tak cuma input kendali, DuoSkin dapat bekerja sebagai output  display di kulit, mampu mengubah warna dan pola berdasarkan suhu tubuh serta emosi (kondisi mental seseorang memang memengaruhi fisiknya) – memanfaatkan pigmen thermochromic. Zat ini merespons berbedaan temperatur dengan mengubah warna.

Selain itu, DuoSkin juga bisa dimanfaatkan untuk menyimpan data buat dibaca perangkat lain via metode near field communication (NFC), serta dapat disambungkan ke LED buat memberikan efek cahaya.

Sebagaimana tato sungguhan, pengembangan DuoSkin berbasis pada bidang fashion, ditekankan oleh perwakilan dari MIT Media Lab, Cindy Hsin-Liu Kao di video. Namun untuk sekarang, device belum siap dikomersialisasikan. Dalam makalah MIT Media Lab, peneliti memperkirakan kita hanya perlu mengeluarkan uang sebesar US$ 2,5 untuk smart tatto berukuran 3×4-sentimeter.

Via Geek Wire. Sumber: MIT.

Microsoft Kembangkan Teknologi Hand Tracking Canggih untuk Berinteraksi dengan Objek Virtual

Pernahkah terbayang di benak Anda cara berinteraksi dengan berbagai objek virtual di layar seperti kita berinteraksi dengan objek fisik sehari-harinya? Jadi untuk memutar sebuah kenop virtual, kita pun akan menerapkan gerakan ibu jari dan telunjuk yang menjepit lalu memutar. Yup, Anda mungkin teringat akan hal ini dari adegan dalam film Iron Man, namun tim Microsoft Research tengah berupaya membuatnya menjadi kenyataan.

Para cendekiawan ini percaya bahwa hand tracking dan navigasi berbasis gesture adalah masa depan interaksi manusia dan perangkat pintar. Mengapa demikian? Karena ini sesuai dengan cara kita berinteraksi dengan objek di dunia nyata. Maka dari itu, kita pun semestinya juga bisa menjangkau dan menyentuh objek virtual.

Sayangnya memonitor gerakan tangan tidak semudah yang kita bayangkan. Namun tim Microsoft Research sudah menyiapkan solusinya dalam wujud proyek riset bernama Handpose. Proyek ini pada dasarnya melibatkan perangkat Kinect milik Xbox untuk memonitor gerakan tangan pengguna secara real-time, lalu menampilkan versi virtual-nya di layar.

Digabungkan dengan VR headset, pengguna bisa merasa seakan-akan tangan virtual-nya merupakan tangan asli, sebuah indikasi bahwa tingkat akurasinya cukup tinggi. Lalu mungkin Anda bertanya, di mana kesan tactile yang muncul seperti saat kita menyentuh sebuah objek fisik?

Well, di situlah proyek kedua tim Microsoft Research mengambil peran. Mereka mencoba bereksperimen dengan objek fisik macam papan yang memiliki sejumlah tombol, kenop atau tuas. Objek ini kemudian bisa diterjemahkan menjadi beragam objek virtual, seperti misalnya kokpit pesawat.

Kehadiran objek fisik ini akan memberikan pengalaman berinteraksi secara virtual yang lebih nyata. Hebatnya, objek fisik tak perlu tersambung dengan perangkat apa-apa; sistem dapat menyimulasikan versi virtual-nya sendiri – sama seperti Handpose tadi.

Terakhir, tim Microsoft Advanced Technologies Lab di Israel mencoba mengembangkan sistem navigasi berbasis gesture yang dapat diimplementasikan ke berbagai aplikasi dalam perangkat pintar, seperti misalnya gesture meletakkan gagang telepon untuk mengakhiri video call di Skype atau gesture memutar kunci untuk mengunci komputer.

Sedikit berbeda dari Handpose, proyek bertajuk Project Prague ini memanfaatkan kamera 3D yang ada di pasaran serta teknologi machine learning untuk mengenali dan menginterpretasikan gerakan tangan seakurat mungkin.

Selengkapnya, silakan tonton sendiri video demonstrasi Project Prague di bawah ini.

Sumber: Gizmag dan Microsoft.

Microsoft Pamerkan Sistem Teleportasi Virtual Bertajuk Holoportation

Istilah teleportasi yang kita kenal selama ini berasal dari karya-karya fiksi ilmiah, dan hingga kini kemajuan sains pun masih belum bisa membuktikan keabsahannya. Namun dengan mencuatnya popularitas teknologi virtual reality dan augmented reality, sebagian dari kita pun berandai-andai tentang sistem teleportasi virtual.

Well, khayalan yang sama juga dipikirkan oleh tim Microsoft Research. Namun tidak hanya berandai-andai saja, mereka benar-benar mencoba menciptakan sebuah sistem teleportasi virtual dengan bantuan Microsoft Hololens dan sejumlah kamera tiga dimensi. Buah pemikiran mereka tersebut dijuluki dengan istilah Holoportation.

Holoportation pada dasarnya mampu merekam wujud fisik manusia, lalu memindahkannya ke tempat lain dalam wujud hologram. Dengan kata lain, teknologi ini sanggup mempertemukan kita dengan orang lain yang mungkin berada ribuan kilometer dari lokasi kita berada.

Sistem ini bekerja dalam beberapa langkah. Langkah yang pertama, kamera 3D bertugas untuk merekam dan menciptakan model tiga dimensi dari wujud fisik seseorang, lengkap beserta pergerakannya. Dari situ model tiga dimensi tersebut akan diproyeksikan tepat di hadapan pengguna Hololens, sehingga seakan-akan keduanya tengah bertatap muka di ruangan yang sama.

Interaksi dengan hologram ini rupanya juga bisa direkam, sehingga pengguna Hololens dapat sewaktu-waktu menyimak kembali momen istimewa tersebut. Karena merupakan sebuah rekaman, pengguna pun bisa memanipulasinya, seperti misalnya menciutkan ukurannya untuk ditempatkan di atas meja, lalu menontonnya dari segala arah.

Meski masih jauh dari kata sempurna, video demonstrasinya tetap terlihat cukup mengesankan. Hal ini sekaligus menambah potensi penggunaan Hololens, dimana Holoportation nantinya bisa menjadi alternatif pengganti yang lebih menarik dari teknologi video call yang sudah ada sekarang.

Sumber: Liliputing dan Microsoft.

Microsoft Kembangkan Teknologi Agar Semua Orang Bisa ‘Mendidik’ Suatu Komputer

Dengan pesatnya perkembangan teknologi prosesor dan cloud, sudah bukan rahasia apabila komputer bisa ‘belajar’ tentang sesuatu, atau yang lebih dikenal dengan istilah kerennya, machine learning. Continue reading Microsoft Kembangkan Teknologi Agar Semua Orang Bisa ‘Mendidik’ Suatu Komputer