Tag Archives: mihoyo

Pro dan Kontra Game Play-to-Earn dan Keberadaan NFT di Game

Pada Desember 2021, Ubisoft meluncurkan Quartz, platform untuk membeli Digits — playable NFT dari Ubisoft. Dengan begitu, Ubisoft menjadi perusahaan game besar pertama yang mencoba untuk membuat NFT. Namun, keputusan Ubisoft justru disambut dengan protes oleh para gamers.

Ubisoft bukan satu-satunya perusahaan game besar yang tertarik dengan NFT. Di awal tahun 2022, President Square Enix juga mengungkap ketertarikan perusahaan dengan berbagai teknologi baru dalam dunia game, termasuk blockchain dan NFT. Sekali lagi, surat terbuka dari itu disambut dengan protes atau bahkan cemooh dari para gamers. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Konami untuk meluncurkan NFT sebagai perayaan dari ulang tahun ke-35 dari seri Castlevania.

Pertanyaannya, apa yang membuat banyak gamers begitu antipati dengan NFT? Dan kenapa perusahaan-perusahaan game tetap tertarik untuk menawarkan NFT walau banyak gamers yang protes?

Serba-Serbi NFT

Sebelum membahas tentang keuntungan dan kerugian dari NFT, mari kita membahas tentang NFT itu sendiri. NFT merupakan singkatan dari Non-Fungible Token (NFT). Secara harfiah, “non-fungible” berarti unik dan tidak bisa digantikan. Sebagai contoh, Bitcoin — atau uang kertas — adalah sesuatu yang “fungible“. Jadi, Anda bisa menukar satu Bitcoin dengan Bitcoin lain dan nilai Bitcoin yang Anda miliki tetap sama. Sama seperti jika Anda menukar uang Rp100 ribu dengan uang Rp100 ribu lainnya. Walau uang yang Anda miliki tidak lagi sama, nilai dari uang itu tidak berubah.

Lain halnya dengan NFT, yang lebih menyerupai collectible atau barang yang diproduksi dalam jumlah terbatas. Misalnya, Anda mengoleksi kartu Yu-Gi-Oh. Kartu 2002 Blue Eyes White Dragon 1st Edition PSA 10 dan 2002 LOB 1st Edition Exodia The Forbidden One PSA 10, keduanya sama-sama kartu Yu-Gi-Oh paling mahal di dunia. Meskipun begitu, keduanya tetaplah kartu yang berbeda, yang punya nilai yang berbeda pula. Contoh lainnya, walau Lamborghini Veneno dan Koenigsegg CCXR Trevita merupakan mobil yang diproduksi dalam jumlah terbatas, keduanya bukanlah mobil yang sama.

Koenigsegg CCXR Trevita. | Sumber: SindoNews

NFT adalah industri yang masih sangat muda. Banyak orang mulai tertarik dengan NFT pada tahun lalu. Meskipun begitu, menurut laporan CNBC, total nilai jual-beli NFT telah mencapai miliaran dollar sejak beberapa tahun lalu. Misalnya, pada 2017, total nilai jual-beli NFT mencapai US$6,2 miliar. Sebagai perbandingan, total penjualan digital art ketika itu hanya mencapai US$1,9 miliar. Data itu diungkap oleh NonFungible, yang melacak data penjualan NFT.

“Saya merasa, karya seni dan barang koleksi kini menjadi komoditas terbesar dari NFT. Karena, barang-barang itu memang memiliki kriteria yang sesuai,” kata Jon McCormack, Professor of Computer Science, Monash University, pada CNBC. “Produk digital bisa ditiru dengan mudah. Memiliki Certificate of Aunthencity menjadi penting, karena ia bisa menjadi bukti bahwa Anda merupakan pemilik yang sah dari sebuah barang digital.”

Dalam satu tahun terakhir, industri NFT juga tumbuh pesat. Menurut analisa dari DappRader — perusahaan yang bertujuan untuk melacak NFT dan aset terdesentralisasi lainnya — pada Q3 2021, volum penjualan NFT naik 38.000%. Meskipun begitu, sebagian ahli khawatir, popularitas NFT yang meroket dengan begitu cepat akan menciptakan gelembung layaknya Dotcom Bubble.

Sebagian ahli khawatir NFT akan menciptakan bubble baru. | Sumber: Flickr

Seiring dengan semakin populernya NFT, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk ikut serta. Tak terkecuali perusahaan game, seperti Ubisoft dan Square Enix. Sayangnya, keputusan perusahaan game untuk membuat NFT menimbulkan reaksi yang terpolarisasi dari para gamers. Sebagian gamers mendukung keputusan perusahaan game untuk membuat NFT, sementara sebagian yang lain menentang.

Melalui artikel ini, saya mencoba untuk melihat sudut pandang dari kedua kubu; baik orang-orang yang pro pada NFT, maupun orang-orang yang menentang keberadaan NFT, khususnya di bidang game.

Pro dari NFT di Game

Dulu, jika Anda ingin memainkan sebuah game, Anda harus membelinya terlebih dulu. Jadi, dengan mengeluarkan uang dalam jumlah tertentu, seseorang akan bisa mendapatkan pengalaman bermain dari game yang dia beli. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, muncul model bisnis baru. Salah satunya adalah free-to-play. Sesuai namanya, game free-to-play bisa dimainkan dengan gratis. Hanya saja, game free-to-play biasanya memiliki item yang bisa dibeli oleh pemain, baik item kosmetik maupun item powerup.

Dan jangan salah, model bisnis free-to-play terbukti sangat menguntungkan. Mari kita bandingkan Legend of Zelda: Breath of the Wild dengan Genshin Impact. Ketika Genshin Impact diluncurkan, banyak orang yang menganggap game buatan miHoYo itu sebagai “tiruan” dari Breath of the Wild. Sejauh ini, Breath of the Wild telah terjual sebanyak 24,13 juta unit. Di toko digital resmi Nintendo, game tersebut dihargai US$60. Jadi, total pendapatan dari game tersebut adalah US$1,45 miliar. Sebagai perbandingan, dalam waktu satu tahun, pemasukan dari Genshin Impact diperkirakan mencapai US$3,7 miliar.

Walau harus diakui, Genshin Impact juga menggunakan model bisnis gacha — yang menyerupai judi dan bisa mendorong pemainnya untuk menghabiskan jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah. Dan model bisnis ini memang menimbulkan kontroversi sendiri, yang pernah kami bahas di sini. Terlepas dari model bisnis yang kontroversial, keberadaan game seperti Genshin Impact menunjukkan bahwa gamers tidak segan-segan untuk menghabiskan uang demi mendapatkan karakter atau item dalam game. Sayangnya, saat ini, tidak peduli berapa banyak uang yang seseorang habiskan untuk membeli item dalam game, item itu akan hilang ketika server game ditutup.

Golden Pharaoh X-Suit. | Sumber: Facebook

Sebagai contoh, jika seseorang membeli skin X-Suit Firaun Emas di PUBG Mobile — yang dihargai Rp32 jutaskin tersebut akan hilang begitu saja jika PUBG Mobile tutup. Nah, di sinilah salah satu keuntungan NFT dalam game. Jika item dalam game dibuat menjadi NFT, maka pemilik akan tetap bisa menyimpan item tersebut dalam bentuk NFT di wallet mereka walau game sudah tutup. Dalam kasus skin X-Suit Firaun Emas yang saya contohkan, pemilik skin akan tetap memiliki versi NFT dari skin tersebut meski PUBG Mobile telah tutup.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh gamers dengan adanya NFT dalam game adalah munculnya model bisnis play-to-earn. Dengan memainkan game play-to-earn, pemain bisa mendapatkan uang, bahkan tanpa harus menjadi pemain profesional. Bagaimana mekanisme game play-to-earn? Sederhananya, pemain akan mendapatkan aset digital ketika bermain game. Aset digital itu bisa ditukar dengan cryptocurrency, yang nantinya, bisa ditukar dengan mata uang tradisional. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa membaca artikel kami tentang blockchain gaming di sini.

Keuntungan NFT untuk Developer Game

Adanya NFT di game tidak hanya bisa menguntungkan pemain, tapi juga kreator game. Salah satu keuntungan untuk developer game adalah potensi sumber pemasukan baru, yaitu biaya transaksi. Jika pemain bisa memperjual-belikan NFT di sebuah game, developer bisa memungut biaya dari setiap transaksi yang pemain lakukan. Dan hal ini bisa menjadi pemasukan baru untuk sang developer.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh developer adalah pemain punya alasan untuk bermain game. Selama ini, biasanya, orang-orang bermain game sebagai pelepas penat. Namun, dengan adanya model bisnis play-to-earn, ada hal lain yang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game, yaitu untuk mendapatkan uang. Hal ini sempat dibahas oleh President Square Enix, Yosuke Matsuda, dalam sebuah surat terbuka.

“Baik dalam game online atau game single-player, pada awalnya, hubungan antara gamers dan kreator game adalah hubungan satu arah: kreator seperti kami menciptakan game yang akan dimainkan oleh konsumen,” kata Matsuda. “Sementara itu, blockchain game — yang baru muncul dan kini sedang tumbuh, –dibangun berdasarkan konsep token economy, yang membuka potensi untuk mendorong pertumbuhan industri game yang mandiri dan berkelanjutan.”

Yosuke Matsuda. | Sumber: VG247

Lebih lanjut Matsuda menjelaskan, salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan industri blockchain game adalah keberagaman, baik dalam cara pemain berinteraksi dengan game maupun alasan pemain bermain game. “Perkembangan token economy akan mendorong momentum dari keberagaman ini,” ujarnya. “Contohnya adalah konsep ‘play to earn‘ yang membuat orang-orang menjadi tertarik untuk bermain game.”

Axie Infinity adalah salah satu contoh game dengan model bisnis play-to-earn. Game itu sangat populer di Filipina. Menurut laporan Niko Partners, per April 2021, Axie Infinity telah diunduh sebanyak 70 ribu kali dan sebanyak 29 ribu downloads berasal dari Filipina. Sementara per Oktober 2021, jumlah pemain Axie Infinity di Filipina naik menjadi sekitar 300 ribu orang. Di bulan yang sama, total volum jual-beli di game itu telah menembus US$25 juta. Setiap harinya, total NFT yang terjual di Axie Inifity melebihi 50 ribu tokens.

Axie Infinity menjadi sangat populer di Filipina sehngga pemerintah pun memutuskan untuk mengeluarkan regulasi tentang cryptocurrency yang didapat pemain dari game tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaan game play-to-earn memang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game demi mendapatkan uang. Pada saat yang sama, model play-to-earn juga menciptakan masalah tersendiri, yang saya akan bahas dalam segmen berikut.

Argumen Kontra tentang NFT di Game

Menyertakan NFT dalam game memang memiliki keuntungan tersendiri. Namun, sebagian gamers tampaknya justru tidak suka jika perusahaan game membuat atau berencana untuk memasukkan NFT ke game mereka. Sebagai contoh, ketika Ubisoft meluncurkan platform Quartz — bersamaan dengan tiga NFT pertama mereka — reaksi gamers terpolarisasi.

Sebagian gamers, khususnya yang percaya dengan masa depan blockchain, menganggap bahwa keputusan Ubisoft akan membawa perubahan besar ke industri game. Karena, Ubisoft menjadi publisher game besar pertama yang memutuskan untuk membuat NFT. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang justru mengecam Ubisoft. Buktinya, video peluncuran Quartz — yang sekarang sudah menjadi menjadi video unlistedmendapatkan 40 ribu dislikes dan hanya 1,6 ribu likes.

Ubisoft Quartz dapat protes dari para gamers.

Salah satu hal yang membuat gamers tidak suka dengan potensi adanya NFT dalam game adalah karena keberadaan NFT membuka peluang bagi developer untuk mendorong pemain mengeluarkan uang. Seperti yang disebutkan oleh Economic Times, ketika bermain game, khususnya game AAA, pemain tidak hanya harus mengeluarkan uang, tapi juga menginvestasikan waktunya.

Tentunya, gamers ingin mendapatkan pengalaman bermain yang memuaskan. Dan pengalaman bermain itu bisa berkurang ketika developer masih mengharuskan pemain untuk membeli NFT. Masalah ini serupa dengan keberadaan microtransactions atau lootbox dalam game premium. Sebagai contoh, Star Wars Battlefront II. Game itu dijual dengan harga Rp479 ribu di Steam. Namun, game tersebut masih dipenuhi dengan lootbox dan microtransactions. Dan hal itu ini menuai kontroversi ketika Electronic Arts meluncurkan game tersebut di 2018.

Masalahnya, game NFT dengan model play-to-earn memang didesain sedemikian rupa agar gamers mau melakukan jual-beli dari aset digital yang ada. Alhasil, tujuan pemain untuk bermain tak lagi untuk bersenang-senang, tapi untuk mendapatkan uang. Pada akhirnya, hal ini bisa membuat kepuasan bermain game menjadi berkurang.

Tiga “pendiri” Fame Lady Squad. | Sumber: InputMag

Alasan lain mengapa para gamers tidak suka akan keberadaan NFT dalam game adalah karena banyaknya penipuan di ranah NFT. Jenis penipuan yang ada pun beragam, mulai dari giveaways palsu di Twitter untuk mendapatkan banyak retweets dan followers, tautan berbahaya yang disebarkan agar orang-orang mengklik tautan tersebut, sampai metode rug pull.

Secara sederhana, skema penipuan rug pull adalah ketika developer membawa lari uang investor tanpa menyelesaikan proyek yang mereka janjikan. Salah satu contoh model penipuan rug pull adalah Fame Lady Squad, yang mengklaim sebagai proyek NFT untuk pemberdayaan perempuan. Proyek itu diklaim dibuat oleh tiga perempuan, yaitu Cindy, Andrea, dan Kelda.

Ketiga perempuan itu memiliki avatar yang dibuat ke dalam NFT, yang kemudian bisa dibeli. Secara total, Fame Lady Squad berhasil mengumpulkan hampir US$1,5 juta dari investor dan komunitas sebelum mereka melarikan diri. Dan setelah diselidiki, diketahui bahwa Fame Lady Squad bahkan tidak didalangi oleh tiga perempuan, tapi oleh sekelompok pria asal Rusia, seperti yang dilaporkan oleh InputMag.

Pada awalnya, Evil Ape berjanji akan membuat fighting game, Evolved Apes. Dalam game itu, para pemain akan mengadu kera yang mereka miliki dengan satu sama lain. Pemain yang keluar sebagai pemenang akan mendapatkan Ethereum sebagai hadiah. Untuk bisa bermain, pemain harus membeli NFT dari karakter Evolved Apes, yang dijual di marketplace NFT, OpenSea.

Namun, untuk bisa membangun game Evolved Apes, Evil Ape akan memerlukan biaya. Karena itu, mereka menjual NFT dari karakter di Evolved Apes. Uang itu diklaim akan digunakan untuk biaya pengembangan dan marketing game. Namun, Evil Ape justru membawa kabur uang yang terkumpul — senilai US$2,7 juta — tanpa pernah meluncurkan game yang dijanjikan. Kabar baiknya — jika hal ini bisa disebut kabar baik — pemain yang sudah terlanjur membeli NFT masih dapat menyimpan NFT tersebut.

Evolved Apes. | Sumber: PC Gamer

Masalah penipuan terkait NFT diperburuk oleh fakta bahwa belum ada banyak regulasi yang mengatur teknologi tersebut. Faktanya, Evil APe dilaporkan ke kepolisian di Inggris, yang merupakan markas dari kru Evolved Apes. Dan pihak kepolisian menyebutkan bahwa kasus ini mungkin akan sulit untuk diprotes. Karena, orang-orang yang sudah membeli NFT memang mendapatkan NFT yang mereka inginkan. Sementara masalah janji untuk membuat game yang tidak terpenuhi, pihak kepolisian menyebutkan bahwa game itu memang tidak menjadi bagian dari apa yang pemain beli, seperti dikutip dari PC Gamer.

Dampak Buruk NFT ke Seniman dan Lingkungan

Selain gamers, kelompok yang cenderung menentang NFT adalah digital artists dan aktivis lingkungan. Bagi para digital artists, NFT memang sering disebutkan akan bisa menjadi mata pencaharian baru. Hanya saja, keberadaan NFT juga menimbulkan masalah tersendiri, yaitu membuat pencurian seni menjadi semakin marak. Memang, sebelum keberadaan NFT pun, pencurian karya digital adalah hal yang lumrah. Meskipun begitu, setelah NFT menjadi populer, tidak sedikit orang yang mencuri karya digital orang lain untuk menjadikannya sebagai NFT.

Masalah pencurian karya ini begitu marak sehingga salah satu comic artist dari DC Comics, Liam Sharp, memutuskan untuk menutup akun DevianArt miliknya. Melalui Twitter, dia menjelaskan, dia mengambil langkah drastis itu karena ada banyak karyanya yang dijadikan NFT tanpa izinnya. Seolah hal ini tidak cukup buruk, ketika dia melaporkan masalah ini ke pihak DeviantArt, laporannya justru diacuhkan, seperti yang dilaporkan oleh Futurism.

Sementara bagi aktivis lingkungan, alasan mereka menjadi antipati dengan NFT adalah karena ia memberikan dampak buruk pada lingkungan. Seperti yang disebutkan oleh Wired, marketplace besar untuk menjual NFT — seperti MakersPlace, Nifty Gateway, dan SuperRare — menggunakan Ethereum. Sama seperti Bitcoin, proses penambangan Ethereum memerlukan komputer yang bisa memproses kriptografi kompleks. Dan komputer itu biasanya membutuhkan energi besar.

Sebagai ilustasi, energi yang dihabiskan oleh penambang Bitcoin setiap tahunnya diperkirakan mencapai empat sampai lima terawatt-jam, atau sama seperti listrik yang dihabiskan oleh Hong Kong pada 2017. Sementara itu, daya listrik yang dihabiskan oleh penambang Ethereum setiap tahunnya diperkirakan sama seperti penggunaan listrik Libia. Dan semakin besar listrik yang penambang cryptocurrency habiskan, semakin banyak pula polusi yang dihasilkan.

Penutup

Teknologi baru biasanya menciptakan disrupsi di industri yang sudah ada. Namun, masyarakat cenderung enggan untuk mengadopsi teknologi baru. Sebagai contoh, sekarang, orang-orang sudah terbiasa untuk berbelanja melalui platform e-commerce. Tapi, beberapa tahun lalu, platform e-commerce sibuk untuk melakukan edukasi, meyakinkan konsumen bahwa mereka tidak akan tertipu jika mereka berbelanja secara online.

Saya rasa, hal yang sama juga berlaku untuk NFT. Mengingat betapa barunya industri NFT, tidak heran jika banyak orang yang masih sangat was-was, apalagi karena belum banyak atau bahkan belum ada regulasi yang mengatur tentang industri tersebut. Kabar baiknya, industri NFT masih terus berevolusi. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, masalah-masalah yang muncul saat ini bisa diselesaikan di masa depan.

Satu hal yang harus diingat, tidak semua teknologi baru akan diadopsi secara massal. Tidak peduli seberapa besar hype dari teknologi baru, terkadang, teknologi itu memang hanya bisa menargetkan pasar niche. Salah satu contohnya adalah teknologi mixed reality. Jadi, walau industri NFT memang tengah menarik perhatian saat ini, tidak ada jaminan bahwa industri itu akan bertahan atau menjadi mainstream di masa depan. Saya rasa, hal ini akan tergantung pada pelaku industri NFT itu sendiri.

Sumber header: Pixabay

8 Mobile Game dengan Pemasukan Lebih dari US$1 Miliar di 2021

Pandemi COVID-19 membuat industri game tumbuh pesat pada 2020. Momentum tersebut berlanjut di 2021. Menurut data dari Sensor Tower, total belanja mobile gamers pada 2021 mencapai US$89,6 miliar, naik 12,6% jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Seiring dengan meningkatnya total belanja para mobile gamers, jumlah mobile game yang pemasukannya menembus US$1 miliar pun bertambah. Di 2018 dan 2019, hanya ada 3 mobile game yang pemasukannya mencapai US$1 miliar. Angka itu naik menjadi 5 mobile game pada 2020. Dan pada 2021, ada 8 mobile game yang pemasukannya melebihi US$1 miliar.

Total Belanja Gamers dari 8 Mobile Game Tembus US$1 Miliar

Di tahun 2021, PUBG Mobile berhasil menjadi mobile game dengan total belanja paling banyak. Sepanjang tahun ini, pemain PUBG Mobile menghabiskan US$2,8 miliar di game tersebut. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, total spending PUBG Mobile pada tahun ini naik 9%.

Pada tahun lalu, PUBG Mobile sempat mengalami masalah dan diblokir di India, salah satu pasar terbesarnya. Namun, tahun ini, masalah tersebut telah terselesaikan. Di India, PUBG Mobile diluncurkan dengan nama Battlegrounds Mobile. Selain di India, PUBG Mobile juga melalui proses pelokalan di Tiongkok. Di sana, PUBG Mobile dikenal dengan nama Game For Peace.

Dengan total spending sebesar US$2,8 miliar, Honor of Kings berhasil menjadi mobile game dengan total spending terbesar ke-2 di 2021. Pada tahun ini, total belanja gamers Honor of Kings — yang juga dikenal dengan nama Arena of Valor — mengalami kenaikan sebesar 14,7%. Baik PUBG Mobile dan Honor of Kings merupakan mobile game di bawah bendera Tencecnt.

Delapan mobile game dengan total belanja lebih dari US$1 miliar. | Sumber: Sensor Tower

Selain PUBG Mobile dan Honor of Kings, mobile game lain yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar pada tahun ini adalah Genshin Impact dari miHoYo. Sejak diluncurkan pada September 2020, Genshin Impact telah meraup US$1,8 miliar, menjadikannya sebagai mobile game dengan total belanja terbesar ke-3. Untuk membuat para gamers tetap tertarik memainkan Genshin Impact, miHoYo terus merilis update secara berkala. Strategi miHoYo ini terbukti efektif. Setelah mereka meluncurkan Version 2.1 pada September 2021, total spending mingguan para pemain Genshin Impact naik hingga 5 kali lipat.

Dalam daftar 8 mobile game dengan total spending terbesar di 2021, Roblox ada di posisi ke-4. Sepanjang 2021, total spending gamers Roblox mencapai US$1,3 miliar, naik 20,3% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Peringkat 5 diisi oleh Coin Master dari Moon Active, yang juga mendapatkan total spending sebanyak US$1,3 miliar. Dari tahun lalu, total belanja gamers Coin Master tahun ini naik hingga 13,8%.

Posisi ke-6 dan ke-7 diisi oleh Pokemon Go dari Niantic dan Candy Crush Saga dari King. Kedua game itu sama-sama mendapatkan total spending sebesar US$1,2 miliar. Game ke-8 yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar adalah Free Fire dari Garena. Selain delapan mobile game tersebut, Sensor Tower mengatakan, ada satu mobile game lain yang berpotensi untuk mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar.

Ialah Uma Musume Pretty Derby dari Cygames. Walau mobile game itu baru diluncurkan pada Februari 2021 dan hanya diluncurkan di Jepang, game tersebut telah berhasil mendapatkan US$965 juta per 14 Desember 2021. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, total spending dari game itu akan menembus US$1 miliar dalam dua minggu terakhir dari 2021.

900 Aplikasi Dapatkan US$1 Juta untuk Pertama Kalinya di 2021

Sepanjang 2021, konsumen tidak hanya menghabiskan uangnya untuk membeli item dalam mobile game, tapi juga untuk aplikasi lain. Buktinya, total spending pengguna aplikasi mobile di 2021 juga mengalami kenaikan. Berkat hal itu, sepanjang 2021, lebih dari 900 publisher aplikasi mobile berhasil mendapatkan pemasukan sebesar US$1 juta untuk pertama kalinya.

Dari semua publisher itu, sebanyak 581 publishers merilis aplikasi mereka di iOS dan 325 publisher lainnya meluncurkan aplikasi mereka di Android. Sebagai perbandingan, pada 2016, jumlah publisher aplikasi iOS yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta hanyalah 310 perusahaan dan jumlah publisher aplikasi Android yang berhasil mendapatkan pencapaian itu hanyalah 165 perusahaan. Hal itu berarti, dalam 5 tahun lalu, jumlah publisher aplikasi iOS yang pemasukannya bisa menembus US$1 juta meningkat 87%. Angka pertumbuhan itu lebih tinggi di Android, mencapai 97%.

Jumlah aplikasi yang pemasukannya berhasil menembus US$1 juta. | Sumber: Sensor Tower

Sebagian besar aplikasi yang pemasukannya mencapai US$1 juta merupakan mobile game. Menurut Sensor Tower, tahun ini, ada 185 publisher mobile game yang berhasil mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta. Selain mobile game, banyak aplikasi dengan pemasukan lebih dari US$1 juta yang masuk dalam kategori Social Networking dan Entertainment. Jumlah aplikasi Social Networking yang berhasil mendapatkan US$1 juta di tahun ini adalah 62 aplikasi. Sementara di sektor Entertainment, ada 41 aplikasi yang berhasil mendapatkan US$1 juta.

Selain mobile game, Social Networking, dan Entertainment, aplikasi-aplikasi yang berhasil mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta berasal dari kategori Productivity dan Sports. Jumlah aplikasi Productivity dengan total spending lebih dari US$1 juta di 2021 mencapai 34 aplikasi, naik dari 21 aplikasi pada tahun lalu. Sementara di kategori Sports, di tahun ini, ada 18 aplikasi yang berhasil mendapatkan pemasukan sebesar US$1 juta, naik dari 5 aplikasi pada tahun lalu.

Kategori aplikasi-aplikasi yang berhasil mendapatkan US$1 juta. | Sumber: Sensor Tower

Di masa depan, spending yang dilakukan oleh konsumen di mobile game dan aplikasi mobile diperkirakan masih akan mengalami kenaikan. Sayangnya, jumlah aplikasi yang akan bisa mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta justru diduga akan berkurang. Alasannya adalah perubahan kebiasaan konsumen.

Pandemi COVID-19 pada 2020 membuat kebiasaan konsumen dalam memasang aplikasi mobile berubah drastis. Mereka cenderung mau untuk memasang aplikasi baru. Namun, seiring dengan semakin terkendalinya pandemi, maka kebiasaan penggunaan aplikasi konsumen mulai kembali normal seperti sebelum pandemi. Hal ini tercermin dari menurunnya jumlah aplikasi yang diunduh oleh konsumen pada tahun ini jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Selain itu, jumlah aplikasi yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta di tahun 2021 sebenarnya lebih sedikit dari tahun 2020. Di tahun lalu, jumlah aplikasi dengan total spending lebih dari US$1 juta adalah 1.003 aplikasi: 636 aplikasi iOS dan367 aplikasi Android.

Sumber header: Sensor Tower

Alasan Di Balik Strategi Investasi Agresif Tencent

Sekarang, Tencent merupakan publisher game terbesar di dunia. Sejauh ini, strategi Tencent untuk mengembangkan bisnis game mereka adalah dengan mengakuisisi atau membeli saham dari berbagai perusahaan game. Sepanjang 2021, Tencent masih menggunakan strategi yang sama untuk membangun bisnis game mereka.

Bulan Desember 2021, Tencent mengakuisisi Turtle Rock, developer dari Left 4 Dead. Pada Juli 2021, Tencent mengeluarkan US$1,27 miliar untuk membeli developer asal Inggris, Sumo. Di era sebelum 2020, strategi Tencent dalam mengakuisisi atau menanamkan investasi di perusahaan-perusahaan game terbilang konservatif. Mereka hanya tertarik dengan perusahaan-perusahaan yang telah meluncurkan game sukses. Contohnya, Riot Games, yang membuat League of Legends.

Namun, pada 2020, Tencent mulai mengubah strategi mereka. Pada 2021, mereka bahkan sangat aktif dalam melakukan akuisisi atau membeli saham dari perusahaan-perusahaan game. Menurut Niko Partners, rata-rata, Tencent melakukan 2,5 transaksi bisnis per hari, mulai dari pembelian saham sampai akusisi. Per 10 Mei 2021, Tencent telah menandatangani 51 transaksi bisnis, jauh lebih banyak dari total transaksi bisnis yang mereka lakukan pada 2020 — yang hanya mencapai 31 transaksi sepanjang tahun.

Walau Tencent menjadi lebih agresif dalam mengakuisisi atau membeli saham perusahaan-perusahaan game, mereka tidak mencoba untuk melakukan rebranding pada perusahaan yang sudah mereka akuisisi atau modali. Sebaliknya, Tencent biasanya membiarkan perusahaan-perusahaan itu beroperasi secara mandiri.

Tencent kini masih menjadi publisher game nomor satu. | Sumber: Niko Partners

Melihat sikap Tencent yang menjadi lebih agresif dalam mengakuisisi atau membeli perusahaan gameNiko Partners mencoba untuk menjelaskan tiga alasan di balik perubahan strategi tersebut.

1. Ancaman dari Alibaba dan ByteDance

Salah satu alasan mengapa Tencent menjadi lebih agresif dalam melakukan investasi dan akuisisi di industri game sepanjang 2021 adalah karena mereka menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan dua raksasa teknologi Tiongkok lain: Alibaba dan ByteDance, perusahaan induk TikTok.

Memang, pada awal 2020, ByteDance dikabarkan berencana untuk membuat divisi gaming. Tak hanya itu, sekarang, mereka juga mempekerjakan hampir 3 ribu orang untuk membuat game sendiri. Sejauh ini, mereka telah sukses dengan Ragnarok X: Next Generation di Hong Kong dan Taipei, serta One Piece: The Voyage di Tiongkok. Tak berhenti sampai di situ, pada Maret 2021, ByteDance mengakuisisi Moonton, developer dari Mobile Legends.

ByteDance beli Moonton di tahun 2021. | Sumber: IGN

Sementara itu, pada September 2019, Alibaba meluncurkan Three Kingdoms: Tactics, game yang didasarkan intellectual property (IP) Koei Techmo. Berkat game tersebut, Alibaba sukses menjadi publisher mobile game terbesar ke-4 di Tiongkok pada 2020. Di tahun yang sama, mereka memutuskan untuk memindahkan divisi gaming mereka dari segmen “inisiatif inovasi” — berisi bisnis-bisnis kecil yang bersifat eksperimental — ke segmen “hiburan dan media digital”. Alasannya adalah karena mereka menganggap, bisnis game mereka sudah berkembang cukup besar.

 2. Munculnya Game-Game Populer dari Developer Menengah

Tencent tidak hanya menghadapi persaingan dari perusahaan raksasa seperti Alibaba dan ByteDance, tapi juga dari perusahaan-perusahaan game skala menengah, seperti miHoYo, Lilith Games, dan QingCi Digital. Dari tiga perusahaan itu, Tencent hanya memiliki saham di QingCi Digital. Dan nilai saham yang mereka miliki hanyalah 3,33%, yang mereka beli seharga RMB101 juta (sekitar Rp225, 6 miliar). Padahal, ketiga perusahaan itu telah mengeluarkan game-game sukses.

Developer miHoYo berhasil meraih sukses di kancah global dengan Genshin Impact. Game itu hanya membutuhkan waktu 12 hari untuk mendapatkan US$100 juta, yang merupakan total biaya produksi dari game tersebut. Tak hanya itu, pada Maret 2021, 5 bulan sejak Genshin Impact diluncurkan, game itu telah berhasil menjadi mobile game dengan pemasukan terbesar ke-3 di dunia. Dan menurut Niko Partners, total pemasukan dari Genshin Impact di semua platform telah menembus US$1,5 miliar.

Rise Kingdoms berhasil mengalahkan game Tencent dengan genre yang serupa.

Sementara itu, Lilith Games meluncurkan AFK Arena dan Rise of Kingdoms di Tiongkok pada tahun lalu. AFK Arena adalah turn-based RPG sementara Rise of Kingdoms merupakan real-time multiplayer 4x strategy game. Menariknya, pada tahun lalu, Tencent sebenarnya juga meluncurkan game dengan genre yang sama seperti AFK Arena dan Rise of Kingdoms. Namun, game dari Tencent masih kalah populer dari kedua game buatan Lilith.

3. Keinginan untuk Kuasai Pasar Game International

Saat ini, Tiongkok memang masih menjadi pasar game paling besar. Sekitar 33% dari total pemasukan game PC dan mobile berasal dari Tiongkok. Meskipun begitu, Tencent juga tertarik untuk memasuki pasar game internasional. Sekarang, pasar game internasional hanya berkontribusi sebesar 21% dari total pemasukan Tencent. Mereka berencana untuk meningkatkan angka itu menjadi 50%.

Di pasar game internasional, sebagian besar dari pemasukan Tencent berasal dari IP yang lisensinya mereka beli, seperti PUBG Mobile dan Call of Duty Mobile. Dari segi platform, mobile masih memberikan kontribusi paling besar. Meskipun begitu, Tencent juga sadar, nilai pasar game PC dan konsol di luar Tiongkok bernilai US$70 miliar. Jadi, walau mobile jadi salah satu prioritas mereka, mereka juga tidak mengacuhkan pasar game PC atau konsol. Selain itu, mereka juga merasa, mereka masih bisa menumbuhkan bisnis game PC mereka di Tiongkok.

Di masa depan, Tencent juga berencana untuk mengembangkan game AAA yang bisa dimainkan di berbagai platform. Sementara mereka membuat game tersebut, mereka juga akan terus menanamkan investasi di perusahaan-perusahaan game yang memang sudah punya pengalaman dalam membuat game AAA.

Menilik Strategi Investasi Agresif Tencent

Per 10 Mei 2021, Tencent telah mengakuisisi atau menanamkan investasi di 51 perusahaan game. Dari semua perusahaan game itu, sebanyak 39 perusahaan berasal dari Tiongkok dan 12 sisanya berasal dari luar Tiongkok. Lima dari 12 perusahaan asing yang Tencent akuisisi atau berikan modal berasal dari Korea Selatan. Kesamaan lain dari lima perusahaan itu adalah mereka fokus untuk membuat game PC atau mobile. Tahun ini, Tencent sama sekali tidak melirik perusahaan Amerika Serikat. Kemungkinan, alasannya adalah karena masalah geopolitik. Bahkan saat ini, kepemilikan saham Tencent di Riot Games dan Epic Games menjadi perhatian dari Committee on Foreign Investments in the United States (CFIUS).

Hampir setengah dari 51 perusahaan game yang menarik perhatian Tencent punya pengalaman dalam membuat game konsol atau PC. Menariknya, banyak dari perusahaan tersebut yang bermarkas di Tiongkok. Seperti yang disebutkan oleh Niko Partners, keputusan Tencent untuk menanamkan investasi di perusahaan Tiongkok yang membuat game PC dan konsol adalah sesuatu yang baru. Pasalnya, di 2020, kebanyakan perusahaan game asal Tiongkok yang mendapatkan investasi atau diakuisisi oleh Tencent merupakan perusahaan yang membuat mobile game.

Pada 2021, Tencent justru menginvestasikan dana mereka ke perusahaan yang membuat game PC atau konsol, seperti Game Science yang membuat Black Myth: Wu Kong, Surgical Scalpels yang merupakan kreator dari Project Boundary, atau UltiZero Games yang membuat Lost Soul Aside. Tujuan Tencent menanamkan modal di perusahaan-perusahaan tersebut adalah karena mereka ingin memperkuat posisi mereka di pasar game PC lokal, yang diperkiran akan kembali tumbuh pada 2022.

Tak hanya di dalam negeri, Tencent juga tertarik untuk menanamkan saham atau mengakuisisi perusahaan game yang membuat game atau konsol di luar Tiongkok, seperti Fatshark, Bohemia Interactive, Dontnod Studios, dan Klei. Salah satu tujuan mereka adalah untuk membawa game-game dari perusahaan itu ke Tiongkok. Tujuan lainnya adalah karena mereka ingin bisa mendapatkan keahlian perusahaan-perusahan itu dalam membuat game PC dan konsol.

Tencent Mulai Perhatikan Gamers Perempuan

Pada 2021, Tencent juga berusaha untuk memperkaya portofolio akan perusahaan yang mereka akuisisi atau modali. Sekarang, mereka juga tertarik dengan perusahaan yang membuat game untuk gamers perempuan atau game dengan konten anime. Dalam satu tahun terakhir, mereka telah menanamkan modal di 14 perusahaan yang membuat game dengan gaya anime dan game untuk perempuan.

Sebelum ini, Tencent sebenarnya telah membuat game yang didasarkan pada anime, seperti Naruto dan Dragon Ball. Meskipun begitu, game anime Tencent tidak sesukses Genshin Impact dari miHoYo atau Onmyoji dari NetEase. Alasan mengapa Tencent tertarik dengan game bergaya anime atau game yang menargetkan gamers perempuan adalah karena pada akhir 2020, ada lebih dari 350 juta gamers perempuan dan 300 juta fans ACGN (Animation, Comic, Game, dan Novel) di Tiongkok.

Perubahan lain dalam strategi investasi Tencent adalah sekarang, mereka lebih bersedia untuk menanamkan modal ke perusahaan-perusahaan muda. Dalam dua tahun terakhir, mereka telah memberikan investasi pada enam perusahaan yang baru membuat sedikit produk atau bahkan belum mengeluarkan produk sama sekali. Tampaknya, alasan mengapa Tencent menjadi lebih proaktif dalam menanamkan investasi adalah karena ancaman dari developer game skala menengah seperti miHoYo dan Lilith Games.

Fan-Made Content: Tanda Cinta atau Pembawa Celaka?

Setiap orang punya love language masing-masing. Sebagian orang menunjukkan rasa sayangnya dengan memberikan hadiah, sebagian yang lain lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama. Hal yang sama juga berlaku dalam hubungan antara fans dengan hiburan yang mereka konsumsi. Sebagian fans sudah puas dengan memainkan game kesayangannya selama puluhan — atau bahkan ribuan — jam. Sementara sebagian fans yang lain ingin berinteraksi dengan hiburan yang mereka konsumsi, seperti dengan membuat fan art, fan fiction, animasi, fan game, sampai melakukan cosplay dari karakter kesayangan mereka.

Fan Labor, Kenapa Fans Melakukannya?

Terlepas dari konten yang Anda buat — fan art, fan fiction, fan game, dan lain sebagainya — membuat konten tersebut akan memakan waktu, dan terkadang, menghabiskan biaya juga. Padahal, biasanya, konten yang dibuat fans tidak bisa dikomersilkan. Menurut Lynn Zubernis, Psychologist and Professor, West Chester University of Pennsylvania, salah satu alasan mengapa fans secara aktif melibatkan diri dalam fandom dan membuat konten adalah karena mereka terinspirasi dari media yang mereka konsumsi dan mereka ingin menjadi bagian dari dunia dalam media tersebut, ungkap Zubernis pada WIRED.

Alasan lain mengapa fans tidak keberatan untuk menghabiskan waktu — dan terkadang uang — mereka untuk membuat konten dalam fandom adalah karena hal itu bisa menjadi cara untuk mengasah kemampuan mereka; meningkatkan kemampuan menggambar dengan membuat fan art atau kemampuan menulis dengan membuat fan fiction. YouTuber 3D Print Guy membenarkan hal ini.

3D Print Guy adalah fan dari film-film science-fiction, seperti The Thing dan 2001: A Space Odyssey. Dia juga menyukai Among Us. Karena itu, dia mencoba untuk membuat trilogi animasi untuk Among Us bertema horor. Dia mengatakan, ada banyak hal yang dia pelajari selama membuat trilogi tersebut, seperti memilih musik yang tepat untuk membangun mood penonton. Dan kemampuan yang dia pelajari dari membuat fan animation bisa dia terapkan ketika dia membuat animasi lain di masa depan.

Aktif membuat konten untuk fandom juga bisa menjadi cara bagi seseorang untuk mencari jati diri mereka. Studi berjudul What Art Educators Can Learn from the Fan-Based Artmaking of Adolescents and Young Adults mencoba untuk mempelajari perilaku para fan artists berumur 14-24 tahun. Dari studi itu, diketahui bahwa 70% partisipan mengaku, mereka tertarik dengan karakter tertentu dalam media karena karakter itu punya sifat yang mereka ingin miliki.

Terakhir, alasan mengapa banyak orang mau aktif di fandom adalah karena mereka bisa menjadi bagian dari komunitas. Karena, konten buatan fans biasanya hanya dibagikan di dalam komunitas mereka sendiri. “Menjadi bagian dari komunitas dari orang-orang yang punya pemikiran yang sama dengan Anda, hal ini akan menjadi validasi dari ide yang Anda coba ekspresikan melalui fan art yang Anda buat,” kata Zubernis.

Bagaimana Fan Labor Bisa Membantu Perusahaan

Pada tahun 2019, ada lebih dari 8,2 ribu game yang dirilis di Steam. Agar bisa dilirik oleh konsumen, penting bagi publisher untuk bisa memarketkan game yang mereka rilis. Media sosial jadi salah satu alat yang bisa digunakan oleh publisher. Sayangnya, terkadang, perusahaan mengalami masalah berupa kekurangan konten. Di sinilah peran fan content.

Keuntungan lain yang didapat perusahaan dari fan content adalah konten itu lebih dipercaya oleh konsumen lainnya. Menurut Nielsen Trust Index, 92% konsumen lebih mempercaya konten buatan pengguna — User-Generated Content (UGC) — daripada iklan yang dibuat oleh perusahaan.

Di industri game, bentuk konten yang fans buat tidak terbatas pada gamber, cerita, atau animasi, tapi juga modifikasi pada game itu sendiri atau bahkan fan game. Sama seperti konten buatan fans lainnya, mods bisa menguntungkan komunitas dan developer game. Di sisi komunitas, para gamers diuntungkan karena mereka bisa menggunakan mods untuk mendapatkan pengalaman bermain yang mereka inginkan.

Misalnya, Anda ingin visual yang lebih bagus ketika bermain Minecraft? Anda bisa pasang mods. Anda ingin mengendalikan cuaca di The Elder Scroll V: Skyrim? Tinggal pasang mods. Anda tidak ingin menyiram tanaman di Stardew Valley? Ada mods yang bisa membuat semua tanaman Anda secara otomatis tersiram.

Sementara itu, keuntungan yang developer dapat dengan keberadaan mods adalah hal itu membuat umur game mereka menjadi lebih panjang. Skyrim diluncurkan 10 tahun lalu, tapi sampai sekarang, ribuan orang masih memainkan game itu. Selain itu, keberadaan mods juga membantu developer untuk menjangkau lebih banyak orang. Karena, mods memungkinkan pemain untuk menyesuaikan pengalaman bermain sehingga menjadi seperti yang mereka inginkan. Mods yang populer bahkan bisa menjadi game sendiri. Dota, Counter-Strike, dan Team Fortress adalah beberapa contoh game populer yang berasal dari mods.

Walau mods bisa menguntungkan developer, biasanya mereka juga menetapkan syarat dan ketentuan bagi orang-orang yang hendak memodifikasi game mereka. Sebagai contoh, Bethesda Game Studios memang mendukung keberadaan mods untuk Skyrim. Namun, mereka hanya mengakui mods yang dibuat menggunakan software yang sudah mereka sediakan di creation kit pada situs resmi mereka.

Tak terbatas pada mods atau konten digital, perusahaan game juga terkadang membiarkan fans membuat merchandise fisik. Dua contoh perusahaan yang memberikan izin pada fans untuk membuat dan menjual merchandise berdasarkan IP mereka adalah miHoYo dengan Genshin Impact dan Supergiants Games dengan semua game mereka. Tentu saja, keduanya juga menetapkan syarat dan ketentuan bagi para fans yang ingin menjual merchandise berdasarkan IP mereka.

Misalnya, Supergiant Games melarang fans untuk memproduksi massal merchandise yang hendak mereka jual. Jika mereka ingin menjual merchandise yang diproduksi secara massal, para fans harus mendapatkan izin dari Supergiant. Selain itu, fans yang menjual merchandise juga harus menegaskan bahwa produk yang mereka jual bukanlah produk resmi alias unofficial. Fans juga tidak boleh menggunakan logo atau trademark dari  Supergiant Games, Hades, Pyre, Transistor, atau Bastion atau menggunakan aset resmi dari game-game Supergiant.

Salah satu merchandise resmi dari Supergiant. | Sumber: Supergiant

Peraturan lain yang Supergiant tetapkan adalah fans tidak boleh membuat merchandise yang mirip dengan merchandise resmi dari Supergiants. Fans juga tidak boleh menjual produk mereka melalui toko-toko online besar, seperti Amazon, Redbubble, Displate, dan Society6. Supergiant juga tidak mau dikaitkan dengan nilai yang bertentangan dengan nilai yang diusung oleh perusahaan.

Sementara itu, salah satu peraturan yang miHoYo terapkan pada fans yang ingin membuat merchandise Genshin Impact adalah mereka tidak boleh menjelekkan Genshin Impact, miHoYo, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan game dan developer. Batas maksimal merchandise yang bisa fans jual adalah 200 unit. Namun, untuk light merchandise, fans bisa menjual hingga 500 unit. Fans juga tidak boleh menggunakan, menjual, atau memodifikasi konten asli dari Genshin Impact, termasuk screenshot, menurut laporan Grid.

Olivinearc adalah salah satu penggemar yang menjual merchandise Genshin Impact di Twitter. Kepada Kotaku, dia menjelaskan alasan mengapa para fans Genshin Impact mau membeli merchandise buatan fans lain. “Para fans Genshin Impact lebih bersedia untuk membeli merchandise fisik karena kemungkinan, mereka sudah mengeluarkan banyak uang di dalam game. Jika mereka tidak menghabiskan uang, mereka sudah menginvestasikan banyak waktu di game Genshin Impact,” ujarnya. “Hal itu berarti, para fans punya kedekatan emosional dengan para karakter Genshin Impact.”

Kontra: Alasan Perusahaan Tidak Mendukung Fan Content

Tidak semua perusahaan mendukung konten yang dibuat oleh fans, baik dalam bentuk digital maupun fisik. Disney adalah salah satu perusahaan yang dikenal sangat ketat dalam menjaga IP mereka. Menurut hemat saya, alasan Disney melarang fans menjual merchandise yang didasarkan pada IP mereka sederhana: karena keberadaan merchandise itu akan mengganggu bisnis Disney. Buktinya, Disney pernah melarang penjualan merchandise “Baby Yoda” dari The Mandalorian di platform e-commerce Etsy pada awal tahun lalu. Alasannya, karena Disney ingin meluncurkan merchandise mereka sendiri.

Disney punya beberapa sumber pemasukan. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, divisi media and entertainment memberikan kontribusi terbesar, mencapai US$50,87 miliar. Sementara itu, divisi parks, experiences and products — divisi yang kemungkinan menaungi pemasukan dari penjualan merchandise — hanya memberikan kontribusi sebesar US$16,55 miliar.

Sumber pemasukan Disney. | Sumber: Statista

Walau penjualan merchandise bukan sumber pemasukan terbesar Disney, hal itu tidak mengubah fakta bahwa jika Disney membiarkan fans untuk memperjualbelikan merchandise berdasar IP mereka, bisnis merchandising mereka akan terganggu. Tak hanya itu, membiarkan fans menjual merchandise juga berpotensi untuk mengurangi sumber pemasukan Disney dari divisi content sales/licensing.

Sementara itu, perusahaan yang dikenal ketat dalam memberlakukan peraturan hak cipta adalah Nintendo. Pada Januari 2021, Nintendo pernah mengajukan Digital Millennium Copyright Act (DMCA) takedown pada Game Jolt, situs yang menampilkan fan game. Alhasil, ada 379 fan game yang harus dihapus dari situs tersebut, seperti yang disebutkan oleh Nintendo Life.

Sebulan sebelum Nintendo mengeluarkan permintaan takedown, mereka telah memberikan peringatan. Dalam surat peringatan itu, mereka menjelaskan bahwa di Game Jolt, ada game-game yang menggunakan IP Nintendo. Padahal, Game Jolt mendapatkan pemasukan dari pemasangan iklan banner yang tayang di situs atau dari iklan yang muncul ketika game tengah loading. Dari sini, kita bisa menyimpulkan, salah satu alasan Nintendo melarang keberadaan fan game adalah karena mereka tidak ingin ada pihak ketiga yang mendapatkan untung dari IP mereka.

Alasan lain mengapa perusahaan game tidak mendukung mods atau fan game adalah karena mereka ingin melindungi hak cipta dari IP mereka. Kepada WIRED, Alex Tutty, Digital Media IP Expert, Sheridans menjelaskan bahwa walau fan game dibuat dengan niat baik, tapi fan game tetap melanggar hak cipta. Memang, perusahaan game bisa tutup mata akan keberadaan fan game. Namun, jika perusahaan terus mengacuhkan pelanggaran akan hak cipta mereka, maka perlindungan dari hak cipta itu justru bisa memudar atau bahkan menghilang.

Nintendo tidak mendukung keberadaan fan game. | Sumber: Red Bull

“Ketika perusahaan mengacuhkan kasus pelanggaran hak cipta satu kali, di masa depan, mereka akan kesulitan untuk menuntut pihak lain yang melanggar hak cipta mereka,” kata Tutty.

Kabar baiknya, jika fans ingin membuat fan game berdasarkan IP dari  milik sebuah developer game, mereka bisa meminta izin pada perusahaan. Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak. Fans akan bisa membuat fan game yang mereka mau dan developer bisa mendapatkan sumber pemasukan baru. Hanya saja, developer tidak punya kewajiban untuk menjawab izin permintaan dari para fans. Terkadang, walau fans sudah meminta izin pada perusahaan, pihak perusahaan tidak memberikan jawaban sama sekali.

Kesimpulan

Bagi perusahaan media, termasuk developer game, fan-made content layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, keberadaan fan-made content menunjukkan kecintaan fans pada sebuah media hiburan, termasuk game yang dibuat oleh developer. Kecintaan ini membantu developer untuk memarketkan game yang mereka buat. Di sisi lain, konten buatan fans juga bisa menghilangkan sumber pemasukan perusahaan. Tak hanya itu, fan-made content juga bisa dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.

Pada akhirnya, perusahaan bebas menentukan apakah mereka akan mendukung keberadaan fan-made content. Namun, berdasarkan contoh-contoh yang saya sebutkan di atas — Supergiant Games, miHoYo, Disney, dan Nintendo — tampaknya, bisa disimpulkan bahwa perusahaan yang tidak mendukung fan-made content biasanya perusahaan yang memang memiliki IP super populer. IP mereka sudah dikenal semua orang sehingga mereka tidak lagi membutuhkan marketing dari fan-made content. Malah, keberadaan fan-made content bisa mengganggu bisnis perusahaan, seperti ketika fans membuat dan menjual merchandise fisik dari IP Disney.

Developer Genshin Impact Punya Game Baru, Ubisoft Perkenalkan Ghost Recon Frontline

Minggu lalu, ada beberapa berita menarik di dunia game. Salah satunya, Electronic Arts mengungkap bahwa mereka tengah mempertimbangkan untuk mengganti nama dari seri game sepak bola mereka, FIFA. Selain itu, Ubisoft juga memperkenalkan Ghost Recon Frontline. Game yang bisa dimainkan oleh lebih dari 100 orang itu mengusung genre FPS PvP dan bisa dimainkan dengan gratis. Sementara itu, developer Genshin Impact, miHoYo, baru saja membuka pendaftaran closed beta dari game baru mereka, Honkai: Star Rail.

Tapjoy: Mobile Jadi Platform Favorit Gamers Milenial

Perusahaan riset mobile Tapjoy baru saja merilis laporan tentang kebiasaan bermain game dari para milenial. Menurut laporan tersebut, mobile merupakan platform pilihan bagi para gamers milenial. Buktinya, sekitar 82% milenial bermain game di smartphone mereka. Sebagai perbandingan, hanya 37% gamers milenial yang bermain di konsol serta handheld dan 27% milenial yang bermain game di PC.

Dari laporan tersebut, juga diketahui bahwa 70% gamers milenial memainkan mobile game setiap hari. Tanggapan mereka akan iklan mobile game juga cukup positif, khususnya iklan yang menawarkan hadiah dalam game. Menurut Lauren Baca, Senior Director of Marketing, Tapjoy, alasan mengapa gamers milenial senang bermain game di mobile adalah karena milenial merupakan salah satu generasi pertama yang bisa menikmati kemudahan yang ditawarkan oleh mobile internet, menurut laporan VentureBeat.

Developer miHoYo Buka Pendaftaran Closed Beta untuk Game Baru

Minggu lalu, miHoYo, developer Genshin Impact mengumumkan bahwa pendaftaran untuk closed beta dari game baru mereka — Honkai: Star Rail — telah dibuka. Star Rail akan mengambil setting dunia seperti Honkai Impact 3rd. Dalam Honkai Impact 3rd, dunia sudah diambang kehancuran. Para Valkyries — sebutan untuk para perempuan yang punya kekuatan super — harus melawan sebuah kekuatan yang tidak hanya bisa menciptakan monster, tapi menyebabkan bencana alam. Star Rail akan bisa dimainkan di PC dan mobile.

Dari video trailer-nya, Star Rail terlihat menggabungkan elemen action game dengan tactical game. Namun, berdasarkan screenshot di situs resminya, para pemain akan bisa memainkan hingga empat karakter pada saat bersamaan, mengimplikasikan bahwa Star Rail merupakan turn-based RPG. Sementara dari segi visual dan art style, Star Rail tampaknya lebih menyerupai Genshin Impact daripada Honkai, menurut laporan Kotaku.

Universal Studios Jepang Kerja Sama dengan The Pokémon Company

Universal Studios Jepang bekerja sama The Pokemon Company untuk membuat wahana bertema Pokemon, serupa Super Nintendo World. Saat ini, keduanya memiliki beberapa proyek untuk membuat “hiburan bertema Pokemon yang inovatif”. Rencananya, wahana pertama hasil kerja sama Universal Studios Jepang dan The Pokemon Company sudah terpasang di taman hiburan di Osaka pada akhir 2022.

“Kami bangga karena bisa menjalin kerja sama dalam jangka panjang dengan The Pokemon Company untuk membuat wahana bertema Pokemon di Universal Studios Jepang, baik untuk para fans Pokemon maupun para pengunjung taman bermain kami,” kata CEO dan presiden Universal Studios Jepang, J.L. Bonnier, seperti dikutip dari Games Industry.

Ghost Recon Frontline Sudah Bisa Dicoba oleh Masyarakat Umum

Minggu lalu, Ubisoft memperkenalkan game baru mereka, Ghost Recon Frontline. Game FPS itu akan mengadu lebih dari 100 pemain, seperti kebanyakan game battle royale. Mode utama dari Ghost Recon Frontline adalah Expedition. Dalam mode itu, 102 orang pemain akan dibagi ke dalam kelompok berisi 3 orang.

Ghost Recon Frontline jadi mobile game PVP yang bisa dimainkan secara gratis.

Untuk menang, setiap tim harus mengumpulkan tiga informasi. Setelah itu, mereka bisa pergi ke drop zone untuk memanggil helikopter dan pergi dari medan perang. Hanya saja, ketika sebuah tim berhasil memanggil helikopter, pemain lain akan mendapatkan peringatan. Jadi, mereka akan bisa pergi ke drop zone dan menyerang tim yang memanggil helikopter.

Ghost Recon Frontline sudah bisa dicoba oleh masyarakat umum pada bulan ini. Namun, masih belum diketahui kapan Ubisoft meluncurkan game tersebut, lapor IGN.

EA Pertimbangkan untuk Ganti Nama Franchise FIFA

Electronic Arts mengungkap bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk mengubah nama dari franchise game sepak bola mereka, FIFA. Namun, meski mereka memutuskan untuk mengganti nama FIFA, mereka akan tetap menjalin kerja sama dan membeli lisensi agar bisa menampilkan atlet, tim, dan liga sepak bola yang sebenarnya.

EA pertama kali bekerja sama dengan FIFA pada 1993, ditandai dengan peluncuran game FIFA International Soccer. Sejak saat itu, EA selalu merilis setidaknya satu game FIFA baru setiap tahunnya. Saat ini, tidak diketahui kenapa EA ingin mengubah nama franchise game sepak bola mereka. Menurut laporan IGN, ada kemungkinan, EA tidak lagi ingin menggunakan nama FIFA karena muncul berbagai berita kontroversial terkait organisasi sepak bola tersebut. Salah satunya adalah keterlibatan FIFA dalam skandal korupsi.

App Annie & IDC: A Year after the Pandemic Started, Gamers Still Love Spending Money

The COVID-19 pandemic has highly benefited the growth of the gaming industry. In addition to the boost in sales of games, consoles, and gaming hardware, the pandemic has also increased the average playing time of most gamers. Although citizens of some countries have been freed from the COVID-19 calamity and went back to living life normally, the trends that emerged due to the pandemic — such as playing more games and watching more gaming streams — are surprisingly persisting.

The Driving Force of the Game Industry’s Growth: Mobile Gaming

Currently, mobile gaming seems to have the largest contribution in terms of consumer spending growth in digital games. According to the report published by App Annie and IDC, the total expenditure of mobile gamers around the world was over $120 billion USD, 2.9 times as much as the total spending of PC gamers, which only reached $41 billion USD. Console and handheld console players, on the other hand, had a total expenditure of $39 billion USD and $4 billion USD, respectively.

In the case of mobile gaming, Asia Pacific is still the region with the largest contribution to gamer’s total spendings, 50% to be exact. Interestingly, this figure actually plateaued throughout the pandemic. Instead, gamers in other regions, like NA and Western Europe, experienced an increase in gaming expenditure. Although the Asia Pacific region had massive spending in mobile games, expenses from PC/Mac gamers in the region declined marginally by 4%. This trend can be explained perhaps by the unfortunate closing of many internet cafes in the pandemic.

Gamers’ Spending in each platform. | Source: App Annie

On the other hand, the total worldwide expenditure in the realm of console gaming is expected to rise due to the launch of PlayStation 5 and Xbox Series X/S at the end of 2020. App Annie and IDC also mentioned that the console gaming audience has the potential to grow exponentially in the Asia Pacific region. With the recent launch of Xbox Series X in China on June 10, 2021, and PlayStation 5 on May 15, 2021, we should expect to see a surge in the console player population in Asia. In terms of handheld consoles, Nintendo Switch Lite is currently the only console that incentivizes consumption growth. As of September 2020, Nintendo has discontinued the production of the 3DS. Fortunately, the e-shop of the 3DS is still accessible.

In the United States, console sales increased rapidly in April 2020 after the US government announced the country’s lockdown. As console sales increase, more and more people subsequently download companion apps — such as Steam, PlayStation App, Nintendo Switch, and Xbox — that allow their PC/console game accounts to be accessible through their smartphones. Additionally, these companion apps also has chatting features so users can interact with their friends. Some apps also offer cloud gaming features that allows gamers to play their console games via smartphones.

Cross-Platform Games

One of the gaming trends that persisted after the COVID-19 pandemic is the rate of mobile game downloads. In the first quarter of 2021, there were over 1 billion mobile game downloads globally. This figure is 30% greater compared to Q4 of 2019. Expenditures on mobile games also increased in the same period. In Q1 2021, the total spending of mobile gamers around the world reached $1.7 billion USD per week, an astounding increase of 40% from the pre-pandemic period. Many game publishers, as a result, began placing their interest in launching games on the mobile platform.

Global weekly game downloads and consumer spendings. | Source: App Annie

Just like the mobile game segment, PC gaming also experienced some degree of growth during the pandemic. We can find this trend in the rise of Steam’s concurrent users and players. From October 2019 to April 2020, the number of daily concurrent users on Steam increased by 46% to a staggering 24.5 million users. Steam’s daily concurrent players also surged by 61% to 8.2 million. However, if we extend the period to March 2021, Steam’s daily users and player numbers reached 26.85 million (46% increase) and 7.4 million (60% increase), respectively. As we see from the statistics above, Steam’s player and user count did not decline but, instead, persisted after the pandemic.

What makes games so popular in the pandemic? According to App Annie and IDC, online real-time features — such as PvP — are highly common in today’s popular games, regardless of the gaming platform. In other words, most gamers want to play and interact with each other. After all, games can help cope with the loneliness of the pandemic isolation by providing a medium to connect with friends. Another feature that is rising in popularity is cross-play: a feature that allows gamers to play one game on multiple platforms. For example, players can start a game on PC and continue playing it on mobile or vice versa.

Steam’s daily concurrent users and players. | Source: IDC

An example of a game that, by far, has implemented the best cross-play feature is Genshin Impact. Since its launch in September 2020, miHoYo (the game dev of Genshin Impact) immediately released the game on several platforms at once: PC, console, and mobile. miHoYo’s decision to prioritize cross-play features — such as cross-save and co-op modes across platforms — is one of the reasons why Genshin Impact has successfully become a phenomenon in the gaming world.

Another popular cross-platform game is Among Us. In the span of just a few months in 2020, the player count of Among Us skyrocketed. In January 2020, the number of concurrent players in Among Us was less than a thousand. However, in September 2020, over 400 thousand people around the world were playing the game. Among Us is also incredibly popular on the mobile platform. At some point, Among Us download numbers in mobile were able to peak in the US, UK, and South Korea.

Gaming Stream Watch Times

The pandemic has also increased the amount of time people spend watching gaming content broadcasts. Up until April 2021, user engagement rates from Twitch and Discord continue to rise. In China, the watch times of game streaming platforms such as bilibili, Huya, and DouyuTV, have also gone up. The largest increase, uncoincidentally, occurred in the first half of 2020, which is when the COVID-19 pandemic started to emerge and forced people into quarantining in their homes.

 

The average time users spend watching gaming streams per month in different streaming platforms. | Source: App Annie

Viewers also become less hesitant in spending money on these platforms as they become more invested in them. Recently, there has been a steady rise in the total expenditure of Twitch and Discord users. In Q4 2020, Twitch managed to enter the list of 10 non-gaming applications with the largest total revenue. Twitch even climbed to 8th place on the list during the first quarter of 2021.

Featured Image: Unsplash. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

App Annie & IDC: 1 Tahun Setelah Pandemi, Gamers Tetap Doyan Belanja

Pandemi COVID-19 justru memberikan dampak positif pada industri game. Selain mendorong penjualan konsol, hardware, dan game, pandemi juga membuat para gamers menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game. Menariknya, meskipun kehidupan sudah mulai kembali normal di beberapa negara, tren yang muncul karena pandemi — seperti mengunduh lebih banyak game dan menonton streaming game lebih lama — juga tetap bertahan.

Mobile Jadi Pendorong Pertumbuhan Industri Game

Mobile game menjadi pendorong utama pertumbuhan spending konsumen di digital game. Menurut laporan App Annie dan IDC, total belanja dari para mobile gamers mencapai US$120 miliar, 2,9 kali lipat dari total belanja gamers di PC/Mac, yang hanya mencapai US$41 miliar. Sementara itu, total belanja dari pemain konsol mencapai US$39 miliar dan konsol handheld US$4 miliar.

Untuk segmen mobile game, Asia Pasifik masih menjadi kawasan dengan kontribusi terbesar pada total spending gamers. Sekitar 50% dari total belanja mobile gamers berasal dari Asia Pasifik. Namun, dari persentase kontribusi Asia Pasifik tidak bertambah. Alasannya karena total belanja mobile gamers di kawasan lain juga mengalami kenaikan. Di kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat, dua negara yang menjadi pendorong pertumbuhan spending mobile gamers adalah Amerika Serikat dan Jerman. Walau Asia Pasifik memberikan kontribusi besar pada total spending mobile game, total belanja dari gamers PC/Mac justru mengalami penurunan, sekitar 4%. Hal ini terjadi karena banyak warung internet yang tutup akibat pandemi.

Total spending gamers berdasarkan platform. | Sumber: App Annie

Secara global, total belanja di segmen konsol diperkirakan akan mengalami kenaikan berkat peluncuran PlayStation 5 dan Xbox Series X/S pada akhir tahun 2020. App Annie dan IDC juga menyebutkan, segmen konsol punya potensi besar untuk tumbuh di kawasan Asia Pasifik. Pasalnya, Xbox Series X baru saja diluncurkan di Tiongkok pada 10 Juni 2021 dan PlayStation 5 bahkan telah dirilis pada 15 Mei 2021. Sementara di segmen konsol handheld, saat ini, Nintendo Switch Lite menjadi satu-satunya konsol yang mendorong pertumbuhan spending di segmen ini. Memang, pada September 2020, Nintendo telah mematikan 3DS. Meskipun begitu, e-shop dari 3DS masih bisa diakses oleh kebanyakan gamers.

Di Amerika Serikat, penjualan konsol meningkat pesat pada April 2020, setelah pemerintah mengumumkan bahwa mereka akan melakukan lockdown. Bersamaan dengan meningkatnya penjualan konsol, semakin banyak pula orang yang mengunduh aplikasi pendamping — seperti Steam, PlayStation App, Nintendo Switch, dan Xbox. Tren ini muncul karena aplikasi pendamping memudahkan para gamers untuk mengatur akun game PC/konsol mereka melalui smartphone. Selain itu, aplikasi pendamping juga punya fitur sosial sehingga para gamers bisa mengobrol dengan teman-teman mereka via aplikasi tersebut. Ada juga aplikasi yang menawarkan fitur cloud gaming. Sehingga para gamers bisa memainkan game konsol mereka via smartphone.

Fitur Cross-Platform Buat Game Jadi Populer

Salah satu kebiasaan gamers yang tetap bertahan satu tahun setelah pandemi COVID-19 muncul adalah kebiasaan untuk mengunduh mobile game. Pada Q1 2021, jumlah download mobile game per minggu mencapai 1 miliar game setiap minggunya, naik 30% jika dibandingkan pada total download pada Q4 2019. Total spending mobile gamers di periode yang sama juga mengalami kenaikan. Pada Q1 2021, total spending para gamers mencapai US$1,7 miliar per minggu, naik 40% dari masa sebelum pandemi. Hal ini membuat publisher tertarik untuk meluncurkan game mereka di mobile untuk menumbuhkan jumlah pemain mereka. Saat ini, beberapa mobile game dengan pemasukan terbesar antara lain Lineage M, Lords Mobile, Roblox, dan PUBG Mobile.

Total download dan spending per minggu di tingkat global. | Sumber: App Annie

Sama seperti segmen mobile game, segmen PC gaming juga mengalami pertumbuhan selama pandemi. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah concurrent users dan players di Steam. Sejak Oktober 2019 sampai April 2020, jumlah concurrent users harian di Steam mengalami peningkatan 46%, menjadi 24,5 juta orang. Dan jumlah concurrent players harian Steam bertambah 61%, menjadi 8,2 juta orang. Sementara para periode Oktober 2019-Maret 2021, jumlah concurrent users harian Steam mencapai 26,85 juta orang — naik 46% — dan jumlah concurrent players mencapai 7,4 juta orang — dengan tingkat kenaikan 60%. Hal ini menunjukkan, peningkatan jumlah pengguna dan pemain di Steam yang terjadi selama pandemi masih akan bertahan.

Lalu, apa yang membuat game menjadi populer? Menurut App Annie dan IDC, fitur real-time online — seperti PvP — merupakan fitur yang banyak ditemui di game-game populer, terlepas dari platform game tersebut. Dengan kata lain, banyak gamers yang ingin bisa bermain dengan gamer lain. Tampaknya, bermain game membantu para gamers untuk tetap terhubung dengan teman-teman mereka dan mengatasi perasaan terisolasi akibat pandemi. Fitur lain yang menjadi populer adalah cross-play, fitur yang memungkinkan gamers untuk memainkan satu game di beberapa platform. Contohnya, pemain bisa memainkan sebuah game di PC dan melanjutkannya di mobile atau sebaliknya.

Jumlah conccuret users dan players di Steam. | Sumber: IDC

Salah satu contoh game yang bisa mengeksekusi fitur cross-play dengan baik adalah Genshin Impact. Memang, ketika diluncurkan pada September 2020, developer miHoYo langsung merilis game tersebut di beberapa platform sekaligus: PC, konsol, dan mobile. Dan keputusan miHoYo untuk mengutamakan fitur cross-play — seperti cross-save dan co-op mode antar platform — menjadi salah satu alasan mengapa Genshin Impact berhasil menjadi populer secara global.

Contoh game lain yang punya fitur cross-platform adalah Among Us. Pada 2020, hanya dalam beberapa bulan, jumlah concurrent players dari game tersebut meningkat drastis. Pada Januari 2020, jumlah concurrent players dari Among Us kurang dari seribu orang. Sementara pada September 2020, angka itu naik menjadi lebih dari 400 ribu orang. Tak hanya itu, Among Us juga sukses di mobile. Buktinya, game itu pernah menjadi game dengan jumlah download terbanyak di Amerika Serikat, Inggris, dan Korea Selatan.

Durasi Menonton Streaming Game Naik

Pandemi tidak hanya membuat orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk bermain game, tapi juga untuk menonton siaran konten gaming. Hingga April 2021, tingkat engagement pengguna dari Twitch dan Discord terus mengalami kenaikan. Sementara di Tiongkok, jumlah waktu yang orang-orang habiskan untuk menonton konten di platform streaming game seperti bilibili, Huya, dan DouyuTV, juga naik. Kenaikan terbesar terjadi pada Q1 dan Q2 2020. Memang, ketika itu, gelombang pertama COVID-19 telah muncul, memaksa orang-orang untuk tidak keluar rumah.

Jumlah waktu yang dihabiskan untuk menonton konten game per bulan. | Sumber: App Annie

Seiring dengan bertambahnya waktu yang dihabiskan orang-orang untuk menonton konten game, maka besar uang yang mereka keluarkan pun ikut bertambah. Belakangan, total spending dari pengguna Twitch dan Discord menunjukkan kenaikan yang stabil. Pada Q4 2020, Twitch berhasil masuk dalam daftar 10 aplikasi non-gaming dengan total spending terbesar. Dan pada Q1 2021, mereka bahkan naik ke peringkat 8.

Sumber header: Review Geek

Pendapatan Genshin Impact Capai Rp12,6 Triliun dari Awal Rilis dan Jadi Game Mobile dengan Revenue Terbesar Ketiga

Game jagoan baru dari miHoYo, Genshin Impact, berhasil meraup pendapatan sebesar US$874 juta (atau setara dengan Rp12,6 triliun) 5 bulan setelah dirilis September lalu, menurut perkiraan Sensor Tower.

Menariknya, angka pendapatan yang masif itu baru bisa menempatkan Genshin Impact berada di peringkat ketiga dalam daftar game mobile dengan pendapatan terbesar. Di atas Genshin Impact, ada Honor of Kings dan PUBG Mobile milik Tencent yang berhasil meraup lebih dari US$1 miliar selama 5 bulan terakhir.

Di bawah Genshin Impact, ada 2 game yang relatif lawas, yakni Pokemon GO dan Roblox. Meski berada di tengah-tengah peringkat 5 game terlaris, Genshin Impact berhasil menjadi mobile RPG dengan pendapatan terbesar di seluruh dunia dengan perkiraan pendapatan US$175 juta per bulannya.

Credit: Sensor Tower
Credit: Sensor Tower

Tiongkok menjadi negara dengan penyumbang revenue terbesar untuk Genshin Impact karena berhasil menyumbang pendapatan sekitar US$253 atau 29% dari total revenue. Jepang menjadi negara kedua yang menyumbang pendapatan terbesar dengan angka US$237 juta atau 27% dari total. Di peringkat ketiga, Amerika Serikat memberikan pendapatan sebesar US$162 juta atau 18.5%.

Sedangkan dari sisi platform, App Store (iOS) memberikan sumbangsih revenue yang lebih besar dengan angka US$521 juta (60%) ketimbang Android dan Google Play yang hanya menyumbang US$352 juta.

Meski memang bulan Oktober 2020 menjadi puncaknya Genshin Impact mendapatkan revenue (US$234 juta), 3 bulan terakhir game ini masih bisa mendapatkan pendapatan yang cukup stabil di atas US$150 juta.

Final Fantasy 7: The First Soldier

Square Enix Bakal Rilis Mobile Game FF7, BioWare Hentikan Pengembangan Anthem Next

Minggu lalu, ada beberapa pengumuman menarik di dunia game. Square Enix mengungkap bahwa mereka akan meluncurkan mobile game dari Final Fantasy 7 ber-genre battle royale. Sementara BioWare memutuskan untuk berhenti mengembangkan Anthem Next agar mereka bisa fokus pada pengembangan game terbaru dari Mass Effect dan Dragon Age.

Square Enix Bakal Rilis Game Battle Royale Final Fantasy 7 di Mobile

Minggu lalu, Square Enix mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan game battle royale dari Final Fantasy 7 di Android dan iOS pada 2021. Game yang berjudul Final Fantasy 7: The First Soldier ini memiliki gameplay serupa dengan game multiplayer shooter lainnya. Hanya saja, di sini, Anda juga akan bisa menggunakan magic spells, summons, serta mengendarai Chocobo, lapor Polygon.

Trailer dari Final Fantasy 7: The First Soldier menunjukkan sedikit cerita dari game itu. Di video itu, diketahui bahwa Shinra Electric Company ingin memperkuat divisi militer mereka. Karena itu, mereka mengadakan program Soldier. Mereka lalu menguji para kandidat melalui First Soldier. Game battle royale ini mengambil setting waktu sebelum Final Fantasy 7.

Gaming dan AI Dorong Pemasukan NVIDIA Jadi US$5 Miliar

NVIDIA mengungkap, pemasukan mereka pada Q4 2020 — yang berakhir pada 31 Januari 2021 — mencapai US$5 miliar, naik 61% dari tahun lalu. Pemasukan NVIDIA ini melebihi perkiraan para analis. Alasan pemasukan NVIDIA tumbuh pesat adalah karena tingginya permintaan akan hardware gaming dan produk AI.

Colette Kress, Chief Financial Officer, NVIDIA menyebutkan, pemasukan NVIDIA dari divisi gaming dan datacenter naik karena masih banyak orang yang harus bekerja dan bersekolah dari rumah. Dia juga mengatakan, GeForce RTX 3600 laku keras di kalangan cryptocurrency miners, lapor VentureBeat.

Fokus ke Dragon Age dan Mass Effect, BioWare Hentikan Pengembangan Anthem Next

BioWare memutuskan untuk menghentikan pengembangan Anthem Next — versi reboot dari Anthem — agar bisa fokus pada Dragon Age dan Mass Effect. Anthem pertama kali dirilis pada Februari 2019. Game multiplayer shooter buatan BioWare itu mendapatkan banyak kritik karena ia memiliki banyak bug. Konten dari game itu juga dianggap kurang. BioWare lalu memberikan beberapa update untuk Anthem dan mengungkap bahwa mereka berencana merombak ulang game itu menjadi Anthem Next.

Anthem diluncurkan pada 2019.
Anthem diluncurkan pada 2019.

“Membuat game bukan hal mudah,” kata Executive Producer, BioWare, Christian Dailey, seperti dikutip dari VentureBeat. “Kami mengambil keputusan ini dengan berat hati. Ke depan, kami harus fokus untuk membuat game terbaru dari Dragon Age dan Mass Effect dan terus memberikan update yang berkualitsa untuk Star Wars: The Old Republic.”

Pemasukan MiHoYo Pada 2020 Hampir Mencapai US$800 Juta

Pemasukan MiHoYo pada 2020 hampir mencapai US$800 juta. Hal ini diungkapkan oleh Co-founder MiHoYo, Cai Haoyu di hadapan alumni Shanghai Jaotong University. Cai mengungkap, pemasukan MiHoYo naik dua kali lipat dari tahun 2019 berkat Genshin Impact. Padahal, game itu baru dirilis pada September 2020, lapor GamesIndustry. Setelah melihat kesuksesan Genshin Impact, MiHoYo juga memutuskan untuk menambah pegawainya. Pada akhir 2020, jumlah pegawai mereka naik 70% menjadi 2.400 orang.

Pemasukan Unity di Q4 2020 Naik 39% dari Tahun 2019

Unity baru saja mengumumkan laporan keuangan untuk Q4 2020 mereka. Selain itu, mereka juga membahas tentang keadaan keuangan mereka selama 2020. Kim Jabal, Chief Financial Officer, Unity mengungkap, pemasukan Unity pada Q4 2020 mencapai US$220,3 juta, naik 39% dari tahun lalu. Sementara pemasukan mereka selama 2020 mencapai sekitar US$950-970 juta, lapor Yahoo.

Unity juga mengungkap, pemasukan dari iklan di mobile game naik 8% pada tahun lalu. Genre game yang pemasukan iklannya naik pesat adalah card game dan trivia game. Genre olahraga menjadi satu-satunya genre game yang pemasukan dari iklannya tidak naik pada 2020. Sementara itu, jumlah game HD — yang Unity definisikan sebagai game untuk PC, macOS, dan platform desktop lainnya — naik 38% pada 2020, menurut laporan GamesIndustry.

Genshin Impact Adalah Fenomena Industri Game Mobile di Tahun 2020

Genshin Impact bisa dibilang merupakan fenomena gaming tahun 2020. RPG open-world garapan miHoYo tersebut baru saja menyabet dua gelar yang cukup bergengsi, yakni “iPhone Game of the Year” dan Best Game of 2020 versi Google Play. Ya, meski baru dirilis ke publik secara resmi pada tanggal 28 September lalu, Genshin Impact rupanya sudah bisa menjadi game terbaik di dua platform sekaligus.

Bukan hanya itu, Genshin Impact juga berhasil menjadi mesin uang bagi sang developer asal Tiongkok yang memulai kiprahnya di tahun 2012 tersebut. Berdasarkan estimasi data dari Sensor Tower, Genshin Impact sukses membukukan pendapatan sebesar $393 juta (± Rp5,57 triliun) dalam kurun waktu cuma dua bulan semenjak peluncurannya, dan ini hanya untuk di platform mobile saja.

Seperti yang mungkin sudah Anda ketahui, Genshin Impact merupakan game free-to-play, yang artinya seluruh pemasukan tersebut murni berasal dari microtransaction. Lebih dari separuhnya ($226 juta / 57,5%) datang dari platform iOS, sedangkan sisanya ($167 juta / 42,5%) berasal dari kantong para pengguna perangkat Android.

Angka pendapatan sebenarnya mungkin lebih tinggi daripada estimasi ini, sebab Sensor Tower tidak mengikutsertakan data dari platform Android pihak ketiga yang ada di Tiongkok maupun di sejumlah negara lain. Sebagai referensi, di bulan pertamanya Genshin Impact mencatatkan pemasukan sebesar $245 juta – sekarang memang menurun, tapi masih masuk di tiga besar game mobile dengan pemasukan terbesar secara global.

Genshin Impact revenue Sensor Tower

Lalu kalau dibagi berdasarkan lokasi, tanpa harus terkejut pemasukan terbesar Genshin Impact datang dari kampung halamannya sendiri: lebih dari $120 juta, atau 30,5% dari total pemasukan. Di peringkat kedua ada Jepang dengan $98 juta atau 25%, disusul oleh Amerika Serikat dengan $74 juta atau 18,8 persen. Indonesia tidak termasuk tiga besar, yang berarti kita masih rasional perihal gacha 🙂

Terakhir, pencapaian Genshin Impact ini mengesankan bukan hanya karena nominal pendapatannya saja, melainkan juga karena cakupannya yang global. Kepada VentureBeat, perwakilan Sensor Tower menjelaskan bahwa game MMO mobile biasanya cuma sukses di negara asalnya, dan ini bisa dilihat dari sederet MMO besutan Tencent yang dirilis untuk pasar Tiongkok, atau seri game Lineage di Korea Selatan.

Genshin Impact tidak demikian. Seperti yang bisa kita lihat, game ini sukses secara finansial tidak hanya di negara asalnya saja, tapi juga di Jepang dan bahkan di Amerika Serikat. Pandemi jelas berpengaruh besar terhadap kesuksesannya, tapi hal ini sebenarnya tentu juga berlaku untuk gamegame lainnya, tinggal bagaimana masing-masing developer dan publisher pandai-pandai memanfaatkan kesempatannya.

Sumber: VentureBeat.