Tag Archives: MIT

Nvidia Ciptakan AI yang Sanggup Membersihkan Noise pada Gambar

Februari lalu, Microsoft mendemonstrasikan AI (artificial intelligence) yang mampu menggambar sesuai deskripsi teks dari seseorang. Juni kemarin, Adobe memamerkan AI yang sanggup mendeteksi apakah suatu foto merupakan hasil editan Photoshop. Dari situ bisa kita simpulkan bahwa AI punya potensi yang sangat besar di bidang visual, dan ini semakin dipertegas oleh karya Nvidia berikut ini.

Bekerja sama dengan tim peneliti dari Aalto University dan MIT, produsen kartu grafis tersebut merancang AI yang mampu membersihkan noise dari suatu foto atau gambar. Seperti yang kita tahu, noise kerap muncul dalam bentuk bintik-bintik di sebuah foto yang ditangkap dalam kondisi cahaya yang kurang terang, sehingga otomatis foto jadi kurang enak dilihat.

Tugas AI ini adalah ‘mengusap’ suatu foto hingga bersih dari noise, sehingga detail-detailnya dapat kelihatan jelas. Yang istimewa, AI ini sanggup melakukannya tanpa sekali pun melihat seperti apa penampilan foto yang bebas noise. Sebagai gantinya, yang dipelajari oleh AI tersebut adalah pola noise yang berbeda pada gambar.

Nvidia AI denoise

Hebatnya lagi, hasilnya terkadang malah lebih bagus ketimbang jika AI tersebut dilatih menggunakan contoh gambar bebas noise. Mengingat AI ini tak perlu melihat gambar yang bersih terlebih dulu sebelum beraksi, ia pada dasarnya bisa digunakan untuk menghapus noise dari segala macam gambar.

Bukan cuma noise, gambar yang dihujani teks secara acak juga dapat ia selamatkan, seperti bisa Anda lihat pada video di bawah. Tim pengembangnya bilang bahwa AI ini punya potensi untuk dimanfaatkan di bidang medis, utamanya untuk membersihkan hasil scan MRI, yang sering kali tampak kurang jelas akibat noise.

Sumber: DPReview.

PixelPlayer Adalah AI yang Mampu Mengidentifikasi Suara Tiap-Tiap Instrumen Musik dari Sebuah Video

Kemampuan mendengar tiap-tiap individu pasti berbeda. Saat menonton suatu video konser misalnya, ada yang mampu berfokus pada suara bass-nya saja, tapi ada juga yang kesulitan sehingga suara semua instrumen terdengar membaur baginya. Batasan ini tidak berlaku buat mesin, seperti yang dibuktikan baru-baru ini oleh tim peneliti di MIT.

Para cendekiawan yang tergabung dalam Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory (CSAIL) di MIT ini mengembangkan sistem kecerdasan buatan bernama PixelPlayer, yang mampu melihat video beberapa orang bermain musik, lalu mengisolasi dan memisahkan suara tiap-tiap instrumen. Semuanya dilakukan tanpa bantuan manusia.

Ambil contoh video duet pemain tuba dan terompet yang membawakan lagu tema Super Mario misalnya. Yang keren, saat video tersebut dilimpahkan ke PixelPlayer, tim peneliti dapat mengklik pada bagian sang pemain tuba untuk mendengarkan hanya suara dari instrumen tersebut, dan hal yang sama juga berlaku untuk sang pemain terompet.

MIT CSAIL PixelPlayer

Metode deep learning yang diterapkan mengacu pada tiga neural network yang telah dilatih menggunakan berbagai video dengan durasi total lebih dari 60 jam. Ketiga network itu punya tugas spesifik tersendiri: satu untuk mengamati aspek visual dari video, satu untuk audionya, dan satu lagi bertindak sebagai synthesizer yang mengasosiasikan bagian video tertentu dengan gelombang suara yang spesifik.

Sejauh ini PixelPlayer sudah bisa mengidentifikasi suara lebih dari 20 jenis instrumen musik yang umum dijumpai. Kalau bekal berlatihnya (data) lebih banyak, tentu yang dapat dikenali bisa lebih banyak lagi. Kendati demikian, yang sulit bagi sistemnya adalah membedakan jenis instrumen yang teramat spesifik, semisal alto sax dan tenor sax.

Lalu gunanya apa? Pertama, PixelPlayer bisa membantu mereka yang sedang belajar alat musik, yang kerap menonton video YouTube dan mengamati cara memainkan lagu-lagu favoritnya. Kedua, sistem ini juga dapat membantu produser untuk menyempurnakan karya musisi yang ditanganinya. Potensinya sangat luas kalau menurut tim pengembangnya.

Sumber: MIT News.

MIT Kembangkan Robot yang Bisa Dikendalikan Dengan Pikiran

Di tahun 2011, Toyota sempat mengembangkan sepeda Prius berkemampuan thought-control. Kendaraan roda dua itu punya kemampuan untuk membaca gelombang otak dan menerje-mahkannya menjadi perintah untuk mengganti gigi. Pencapaian ini sangat mengagumkan, namun bagi mayoritas orang, mengendalikan sesuatu hanya berbekal pikiran baru ada di alam fiksi ilmiah.

Itu alasannya upaya yang dilakukan para peneliti Massachusetts Institute of Technology baru-baru ini terdengar luar biasa. Tim Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory berhasil membuat robot yang dapat dikendalikan berbekal pikiran. Ketika robot biasa bekerja berbasis program atau dikendalikan langsung operator, manusia hanya berperan sebagai supervisor bagi robot MIT ini.

Cara kerja kreasi CSAIL itu sangat simpel. Berbekal robot Baxter buatan Rethink Robotics, sistem buatan tim ilmuwan bisa mendeteksi gelombang otak secara real-time. Yang tinggal Anda lakukan adalah mengawasinya bekerja. Lalu jika ia keliru dalam bertindak, Anda dapat mengoreksinya dengan menggerakkan tangan. Kemampuan sang robot dipamerkan oleh tim CSAIL melalui satu video singkat, silakan simak di bawah.

Di video, CSAIL memperlihatkan seorang ‘pengawas’ memerintahkan robot membor satu dari tiga titik di tubuh mock-up pesawat terbang. Saat robot itu keliru, supervisor tinggal menggerakkan tangannya hingga robot mengarahkan bor ke posisi yang tepat. Hal terbaik dari metode penyajian ini adalah: robot bisa dioperasikan oleh siapapun tanpa memerlukan pelatihan khusus mengingat ‘interface-nya’ sangat sederhana.

Buat mengontrol robot, Anda perlu memasang topi berisi rangkaian sensor otak (EEG atau electroencephalography) dan menyematkan elektroda EMG di tangan agar sistem dapat menangkap sinyal listrik di otot. Sinyal otak diproses buat mencari ‘error-related potentials‘ yang dihasilkan pikiran tanpa disadari, kemudian sinyal otot secara terus menerus dibaca untuk menentukan sasaran yang tepat.

Mengendalikan robot dengan otak pada dasarnya menuntut Anda untuk berpikir dalam cara tertentu agar sensor bisa menerjemahkan perintah secara tepat. Tak masalah jika pengoperasian dilakukan di laboratorium tertutup, tapi bagaimana jika Anda diminta mengendalikan robot di suasana gaduh?

Itulah mengapa kemampuan memindai ‘error-related potentials‘ menjadi krusial. Teknologi tersebut dapat mengetahui kesalahan begitu Anda menyadarinya dan segera menghentikan gerakan robot. Jika betul-betul diperlukan, supervisor bisa mengambil alih kendali secara manual.

Berbekal pengawasan manusia dan solusi berbasis EEG serta EMG, CSAIL melaporkan bahwa keakuratan robot Baxter meningkat dari 70 persen menjadi 97 persen.

Sumber: MIT.

Peneliti MIT Kembangkan Perahu Otomatis untuk Mengangkut Orang dan Barang

Di kota seperti Amsterdam, Bangkok maupun Venice, peran perahu atau kapal sebagai moda transportasi tidak kalah pentingnya dibanding mobil. Di masa yang akan datang, ada kemungkinan kanal di kota-kota tersebut bakal dipenuhi oleh perahu otomatis. Demikian kira-kira visi dari tim peneliti MIT yang mengerjakan proyek bernama Roboat ini.

Dimensi perahunya sekitar 4 x 2 meter (setara mayoritas mobil), dirancang untuk mengangkut orang maupun barang selagi membantu menurunkan angka kemacetan di jalanan. Sederet sensor dan komponen elektronik lainnya tentu sudah ditanamkan agar perahu ini dapat bergerak dengan sendirinya secara amat presisi.

Prototipenya yang dibuat menggunakan 3D printer sudah berfungsi dengan cukup baik, meski ukurannya masih belum sebesar yang dibayangkan. Sejumlah tantangan tentu masih harus dipertimbangkan, seperti misalnya pengaruh arus air terhadap pergerakan perahu, maupun ombak kecil yang dihasilkan perahu atau kapal berukuran besar.

MIT autonomous boat

Terlepas dari itu, pengembangnya memiliki visi di mana perahu otomatis ini bisa menjadi solusi alternatif di bidang transportasi maupun logistik. Mengirim barang, atau mungkin malah mengangkut sampah, bisa dilakukan dengan perahu otomatis ini; dan itu tidak harus pada jam-jam sibuk, tapi bisa juga di malam hari, sehingga pada akhirnya peluang terjadinya kemacetan bisa dikurangi, baik di darat maupun air.

Lebih lanjut, sejumlah perahu otomatis ini dapat diprogram agar membentuk semacam infrastruktur sementara. Bisa untuk dijadikan jembatan, panggung konser, atau mungkin kalau diterapkan di sini, sebagai pengganti jalanan yang ditutup karena ada pasar malam dadakan yang digelar.

Sumber: Futurism dan MIT.

Co-Founder Ruangguru Iman Usman saat berpartisipasi dalam sesi MIT SOLVE / Ruangguru

Ruangguru Dapatkan Pendanaan Hibah dari Program MIT SOLVE

Ruangguru kembali mengumumkan perolehan dana hibah. Kali ini didapat dari program SOLVE. Program tersebut adalah inisiatif global dari kampus MIT untuk mendorong inovasi. Pemberian hibah diseleksi melalui ajang seleksi “SOLVE Challenge”. Hibah tersebut berasal dari Australian Department of Foreign Affairs and Trade dan Atlassian Foundation International.

Pendanaan ini merupakan lanjutan dari putaran pertama yang diberikan tahun lalu di New York. Ruangguru mendapatkan penghargaan lewat program “Ruangguru Digital Bootcamp”, ditujukan untuk membantu anak-anak putus sekolah agar dapat mengenyam pendidikan tambahan dan membantu mendapatkan pekerjaan layak. Saat pengumuman, Head of Atlassian Foundation, Mark Reading menyebutkan bahwa putaran kedua ini diberikan kepada tim yang mereka rasa bisa mengeksekusi rencana mereka dan menunjukkan peluang skalabilitas yang tinggi.

Sebelumnya di bulan yang sama tahun lalu, Ruangguru juga mengumumkan perolehan pendanaan hibah dari Ecosystem Accelerator Innovation Fund. Kala itu Ruangguru menjadi salah satu dari beberapa startup terpilih di wilayah Afrika dan Asia untuk penerimaan sejumlah dana hibah, bantuan teknis, dan kesempatan untuk bermitra dengan operator seluler rekanan Groupe Speciale Mobile Association.

“Kami sangat senang bisa dipercaya kembali oleh MIT SOLVE dan Atlassian Foundation untuk menerima dana hibah dan dukungan mentorship selama satu tahun ke depan. Hibah putaran pertama telah kami gunakan untuk melakukan pilot kepada hampir 600 pelajar. Kini kami sedang mengevaluasi hasil dari pilot tersebut,” sambut Co-Founder Ruangguru Iman Usman.

Iman memaparkan, hibah putaran kedua ini akan digunakan untuk mengembangkan konten terkait dengan basic employability skills dan kesiapan kerja. Harapannya agar dapat digunakan oleh para pelajar pengguna Ruangguru dan masyarakat luas untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengejar pekerjaan yang layak.

Ruangguru saat ini menginformasikan telah merangkul lebih dari 8 juta pengguna. Layanan Ruangguru mulai berkembang, tidak hanya menyediakan marketplace guru privat, tetapi juga mulai menyediakan produk berupa konten pembelajaran.

Di Ruangguru, dana hibah difokuskan untuk melancarkan kegiatan sosial terkait transformasi digital di bidang pendidikan. Untuk dukungan bisnis sendiri, pertengahan tahun 2017 Ruangguru membukukan pendanaan seri B dari UOB Venture Management.

Application Information Will Show Up Here

Dengan Wujud Seperti Ikan, Robot ‘SoFi’ Bisa Mudah Membaur Dengan Satwa Air Lain

Di ranah robotik, para ilmuwan sudah lama memanfaatkan alam sebagai sumber inspirasi mereka. Ada banyak robot yang dibuat mengikuti hewan, misalnya salamander atau kelelawar. Konsep desain biomimicry ini biasanya diadopsi dalam pengembangan sistem pergerakan atau sensor. Namun kreasi anyar MIT ini digarap untuk keperluan yang lebih praktis.

Minggu ini, tim Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory Massachusetts Institute of Technology memperkenalkan karya unik baru mereka. CSAIL menamainya SoFi (kependekan dari Soft Robotic Fish) yaitu robot yang dirancang seperti ikan baik dalam wujud maupun gerakan, sehingga ia tak kesulitan berbaur dengan hewan air lain. SoFi dikembangkan buat membantu para ilmuwan maritim mempelajari kehidupan laut secara lebih mudah dan komprehensif.

Lewat video yang diunggah CSAIL di YouTube, Anda bisa melihat langsung bagaimana alaminya SoFi berenang. Tubuhnya memiliki penampilan hydrodynamics seperti ikan, lengkap dengan sirip atas, samping serta belakang. SoFi juga mampu menggerakkan bagian tubuh belakangnya secara natural, sekaligus menjadi cara untuk melaju dalam air. Selain itu, robot ikan ini bisa bergerak lincah, mampu melintas di bawah koral atau celah-celah sempit.

Dilihat lebih dekat, tubuh SoFi terbagi dalam beberapa ruas. Modul kamera menggantikan mata serta mulut di kepalanya. Dan di bagian tersebut, CSAIL menyematkan komponen-komponen elektronik serta komputer berbasis Linux. Untuk menggerakan buntutnya yang terbuat dari bahan silikon elastis, tim ilmuwan memanfaatkan pompa hidraulik, lalu menambahkan busa urethane buat memberi robot daya apung.

Ada banyak hal yang membuat SoFi lebih unggul dari alat pengawas kehidupan maritim lain. Selain mudah menyamar, proses setup-nya lebih sederhana, kemudian robot juga ditenagai oleh baterai lithium polymer (biasa ditemukan di smartphone) dengan durasi aktif hingga 40 menit. Proses pengendalian dapat dilakukan dari jauh via remote control (CSAIL menggunakan controller USB ala gamepad SNES plus case anti-air), lalu apa yang dilihat SoFi bisa langsung ditampilkan di layar.

“Sepengetahuan kami, ini pertama kalinya robot ikan bisa berenang secara tiga dimensi tanpa tertambat dalam waktu lama,” ujar Robert Katzschmann dari CSAIL pada Science Robotics. “Kami sangat bersemangat untuk melihat lebih jauh pemanfaatannya dalam mempelajari kehidupan maritim.”

Katanya, manusia lebih memahami permukaan bulan dibanding isi lautan di Bumi. Mungkin dengan bantuan SoFi, kita dapat lebih cepat menguak rahasia samudra. Bulan lalu, para peneliti berhasil merekam spesies hiu Arktika yang sangat langka. Siapa tahun ada lebih banyak makhluk unik yang nantinya bisa SoFi temukan.

Sumber: MIT News.

Dermal Abyss Ialah Tato ‘Pintar’ yang Bisa Memantau Kondisi Tubuh Kita

Salah satu fungsi utama perangkat wearable adalah membantu pengguna mengetahui keadaan tubuhnya. Informasi umumnya disuguhkan lewat UI yang mudah dipahami, dan di sana, kita bisa melihat frekuensi detak jantung hingga jumlah pembakaran kalori per hari. Namun ‘wearable‘ baru buatan tim dari MIT dan Harvard bukan hanya berbeda, tapi juga mampu mendeteksi data tubuh lebih detail.

Penemuan tersebut diberi nama Dermal Abyss, tato pintar yang berfungsi memonitor kesehatan tubuh. Ia dirancang sebagai jawaban atas kelemahan umum dari perangkat wearable standar: device tidak betul-betul terintegrasi ke badan, sangat bergantung pada konektivitas wireless, lalu daya tahan baterainya juga terbatas. Metode tato memastikan sensor betul-betul menempel pada kulit, tanpa memerlukan injeksi.

Dermal Abyss memanfaatkan bahan tinta biosensitive, dikembangkan oleh peneliti dari Harvard Medical School dan dipimpin doktor Katia Vega dari MIT Media Lab. Tinta tersebut berperan baik sebagai sensor sekaligus interface untuk menyajikan informasi. Cara kerja Dermal Abyss sangat unik: tinta tato bisa berubah berdasarkan kadar zat kimia pada cairan yang ada di permukaan kulit.

Kondisi cairan yang ada di kulit dipercaya bisa merepresentasikan persentase zat kimia di darah. Glukosa ditunjukkan oleh perubahan warna hijau ke coklat, lalu kombinasi tinta hijau lain dan cahaya biru dimanfaatkan buat mendeteksi kenaikan konsentrasi sodium sebagai indikator dehidrasi. Selain itu, tingkat keasaman cairan (pH) juga dapat mengekspos data-data lainnya.

Saat ini Dermal Abyss masih dikembangkan, hadir berupa proof-of-concept. Di sesi uji coba, Dermal Abyss dibubuhkan pada kulit babi, dan tato bekerja efektif dalam menampilkan warna berbeda berdasarkan kadar zat kimia di sana. Tim ilmuwan sedang mecari cara untuk menstabilkan tinta, sehingga gambar yang ada di kulit tidak mudah pudar atau larut ke jaringan di sekitarnya.

Ali Yetisen, seorang doktor yang berpartisipasi dalam proyek tersebut, menjelaskan bagaimana Dermal Abyss dapat dimanfaatkan di beragam ranah. Sebagai contohnya, tato ini bisa diaplikasikan ke pasien penyakit kronis atau sekedar dijadikan alat pemantau keadaan tubuh. Jika Anda tidak suka tato (karena alasan estetika atau ‘spiritual’), implementasinya bisa menggunakan tinta tak kasatmata, dan indikator warna hanya muncul di bawah tertentu – UV atau sekedar LED smartphone.

Namun bahkan jika para ilmuwan sudah menemukan solusinya, tato pintar ini berpeluang memicu perdebatan terkait etis atau tidaknya jika informasi kesehatan seseorang diekspos ke publik.

Sumber: Harvard.

Embr Wave Ialah AC Personal Dalam Wujud Perangkat Wearable

Dalam beraktivitas sehar-hari, para penduduk negara tropis – Indonesia contohnya – mau tak mau harus berhadapan dengan dua kondisi yang kurang nyaman: udara panas dan lembab. Umumnya kita mengandalkan AC untuk menyejukkan udara, tapi perangkat ini tidak tersedia di semua tempat, dan terus-menerus berada dalam ruang ber-AC juga tidak baik bagi tubuh.

Sebuah solusi jenius ditawarkan para peneliti dari MIT buat mengatasi masalah ini. Bukannya mengandalkan cara konvensional seperti air conditioning, tim Embr Labs menggunakan metode yang sangat unik: mendinginkan (atau menghangatkan) badan dari ‘dalam’. Penemuan mereka itu dinamai Embr Wave, perangkat wearable unik yang berfungsi sebagai thermostat pribadi.

Embr Wave 3

Embr Wave memiliki penampilan seperti smartband, dirancang untuk dikenakan di pergelangan tangan. Saat Anda merasa gerah ataupun kedinginan, silakan aktifkan perangkat ini dan sesuaikan temperaturnya dengan menekan satu tombol di modul utama. Dalam waktu singkat, tubuh akan segera jadi sejuk atau bertambah hangat. Modul tersebut memiliki ukuran 50x32x13mm dan berbobot 85 gram.

Ember Labs menjelaskan bahwa temperatur itu bersifat personal dan tiap orang memiliki suhu nyamannya sendiri. Misalnya: 24 derajat Celcius mungkin cukup sejuk buat Anda tapi bagi penduduk negara beriklim dingin seperti Kanada, 20 derajat Celcius adalah suhu ruang paling ideal. Embr Wave memperkenankan pengguna menentukan temperatur ternyaman untuk dirinya sendiri.

Embr Wave 2

Cara kerja Embr Wave mirip seperti sensasi saat Anda memegang gelas teh hangat ketika kedinginan atau mengenakan kaus kaki basah sewaktu kepanasan. Modul Embr Wave mempunyai pelat pendingin di sisi bawah yang menyentuh kulit, memungkinkannya bekerja efisien. Saat diaktifkan, device mengirimkan gelombang temperatur yang diinginkan secara cepat, mampu memengaruhi sistem saraf tubuh sehingga pengguna segera merasa nyaman.

Embr Wave 1

Di mode ‘pemanas’, pelat akan menjaga suhu kulit tetap hangat; lalu di mode ‘penyejuk’, suhu panas akan dibuang lewat heat sink aluminium di bagian atas modul. Embr Wave dibekali 16 level temperatur, dari opsi Very Cold hingga Very Warm, lalu developer mempersilakan Anda mengenakan modulnya di atas lengan seperti jam tangan, atau dekat nadi. Unit baterai built-in-nya dijanjikan mampu menjaga device aktif selama dua sampai tiga hari (atau 25-50 sesi pemakaian).

Di periode crowdfunding via Kickstarter yang masih berlangsung ini, developer berhasil mengumpulkan dana berkali-kali lipat dari target awal mereka. Di sana, produk dijajakan seharga mulai dari US$ 200. Distribusi rencananya akan dilakukan di bulan Juli 2018.

Perangkat berkonsep serupa sebetulnya pernah diajukan oleh Embr labs tiga tahun silam. Namun sepertinya, Embr Wave merupakan realisasi sesungguhnya dari gagasan tersebut.

Biologic Ialah Teknologi Pakaian Pintar Dengan Sel Hidup, Bisa Bereaksi Terhadap Kondisi Tubuh

Berbicara soal perangkat wearable, bayangan kita akan tertuju pada bagaimana alat tersebut membantu menyempurnakan aspek konektivitas, misalnya menyajikan notifikasi app atau membuat Anda selalu terhubung. Namun dalam pengembangan baju pintar terbarunya, tim MIT fokus pada salah satu aspek dasar penciptaan pakaian: menjaga kenyamanan penggunanya.

Dalam mengembangkannya, metode yang dilakukan para peneliti Tangible Media Group di Massachusetts Institute of Technology sangat tidak biasa. Mereka memanfaatkan teknologi biohybrid Biologic (ditulis bioLogic) di pakaian bernama Second Skin. Keunikan dari Biologic adalah penggunaan sel hidup mikroba demi memastikan baju tersebut memberikan sistem sirkulasi udara terbaik.

Biologic 1

Dipimpin oleh Wen Wang, tim ilmuwan menggunakan teknik bioprinting untuk melapisi bahan lateks dengan sel bakteri E. coli. Layer mikroba mengapit lateks, berada di sisi terluar dan terdalam pakaian. Anda mungkin bertanya-tanya apa fungsinya. Dari penjelasan Wang kepada Digital Trends, sel hidup dipilih karena sensitif terhadap tingkat kelembapan lingkungan di sekitarnya – berukuran kecil ketika kering dan membengkak saat basah.

Jadi sewaktu Second Skin terekspos ke temperatur tinggi atau kondisi lembap, sel akan berubah ukuran dan menyebabkan bahan lateks jadi ikut bertransformasi. Saat Anda mulai berkeringat, lipatan-lipatan di pakaian akan tergulung, menciptakan jendela sirkulasi lebih lebar, memungkinkan udara mengalir lebih baik dan membuat suhu cepat turun

Sel bakteri tersebut dikembangkan dan dipanen di laboratorium, disusun dalam ‘resolusi micron’ demi menciptakan ‘kulit kedua’. Dan bukan cuma faktor kenyamanan yang jadi perhatian Tangible Media Group, mereka juga ingin memastikan kemampuan Biologic bertahan lama. Untuk mengujinya, lipatan-lipatan tersebut dilembabkan dan dikeringkan sebanyak 100 kali, dan kabar gembiranya, tidak ada pengurangan kemampuan menggulung.

Meskipun unit purwarupa dituangkan dalam wujud pakaian, teknologi Biologic rencananya akan turut diimplementasikan ke bidang lain, misalnya dalam perancangan perabotan rumah tangga dan produk aksesori. Sebelumnya, peneliti sempat menciptakan ‘kantong teh hidup’, di mana sel tersebut dapat memberi tahu kita sewaktu teh sudah jadi. Lalu MIT juga pernah bereksperimen untuk membuat tutup lampu yang bisa mengubah pola tergantung dari tingkat panas.

Biologic 2

Menariknya lagi, teknologi ini kemungkinan bisa kita nikmati dalam waktu yang tak terlalu lama. Tangible Media telah menggandeng New Balance untuk menerapkan sistem Biologic ke produk pakaian olahraga, kabarnya disiapkan buat Olimpiade 2020 di Jepang.

Sumber: MIT.

MIT Kembangkan Drone dengan Kemampuan Sinematografi Otomatis Lebih Canggih dari Milik DJI

Terbang dan merekam video dengan sendirinya sudah bukan perkara besar untuk drone generasi terkini. Lihat saja Phantom 4 Advanced atau Mavic Pro dari DJI yang dibekali teknologi ActiveTrack, dimana keduanya dapat mengudara selagi menempatkan suatu objek di tengah pandangannya, lalu mengikutinya ke manapun objek itu bergerak.

Namun bagaimana dengan manuver-manuver khusus seperti ketika harus merekam adegan balap mobil di salah satu seri franchise Fast & Furious? Kalau ini mungkin masih dibutuhkan operator drone yang berpengalaman, akan tetapi hasil riset tim Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory (CSAIL) asal MIT berkata sebaliknya.

Mereka mengembangkan sebuah sistem yang memungkinkan seorang sutradara untuk mengirimkan instruksi spesifik pada drone, menetapkan parameter-paramter tertentu supaya drone bisa mengerjakan tugas sinematografinya sendiri secara mandiri selagi mengacu pada teknik yang kerap digunakan oleh operator drone pada umumnya.

Secara garis besar sistem ini merupakan versi lebih advanced dari ActiveTrack itu tadi. Perbedaannya dideskripsikan seperti ini: kalau dengan ActiveTrack, drone memang bisa mengikuti pergerakan seorang aktor, tapi ketika aktor tersebut membalikkan badannya 180 derajat, drone bakal terus merekam punggungnya.

Dengan sistem besutan MIT ini, drone dapat mendeteksi aktor yang membalikkan badannya itu, lalu bergerak mengitarinya supaya fokus kameranya tetap ada pada wajah sang aktor. Semua ini tentu saja dilakukan tetap dengan memperhatikan kondisi sekitar, sehingga drone tidak akan menabrak sebuah pohon atau rintangan lain begitu saja ketika bermanuver.

Selebihnya, sistem bernama real-time motion planning for aerial videography ini menitikberatkan pada aspek kontrol yang merinci. Seorang sutradara bisa menetapkan parameter seperti misalnya komposisi dengan sudut pandang lebar atau sempit, orientasi sang aktor, sehingga pada akhirnya drone dapat memprioritaskan variabel-variabel ini dengan sendirinya selama sesi syuting.

Singkat cerita, apa yang ingin tim CSAIL MIT ini tawarkan adalah sinematografi drone yang lebih mudah diakses sekaligus yang lebih bisa diandalkan. Anda bisa menyimak video di bawah untuk mendapat gambaran terkait cara kerjanya secara umum.

Sumber: MIT.