Tag Archives: MOBA

Startup pengembang game lokal Anantarupa Studios mengumumkan pendanaan tahap awal senilai $3 juta dipimpin Oriza Greenwillow Technology Fund

Studio Game Lokal Anantarupa Terima Pendanaan Awal 47 Miliar Rupiah dari Greenwillow

Startup pengembang game lokal Anantarupa Studios mengumumkan penutupan pendanaan tahap awal senilai $3 juta (lebih dari 47 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh Oriza Greenwillow Technology Fund, VC asal Singapura.

Dana segar akan digunakan untuk mempercepat ekspansi regional Lokapala, gim MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) lokal yang dibuat Anantarupa, dan menyiapkan pengembangan IP/konten Lokapala. Penandatanganan investasi ini difasilitasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI sebagai bentuk dukungan penuh pemerintah terhadap industri gim dan kekayaan intelektual nasional.

Dalam keterangan resmi, Managing Partner Oriza Greenwillow Technology Fund Loh Wai Keong menyampaikan, Anantarupa Studios mengembangkan karakter-karakter dalam Lokapala berdasarkan kesatria legendaris dalam berbagai kekayaan sejarah dan budaya di Indonesia dan Asia Tenggara. Para kesatria legendaris ini akan beresonansi dengan kuat bersama para pemain di sini dan membentuk koneksi secara emosional maupun kultural.

Menurutnya, konten gim Lokapala yang unik dapat menjadi IP unggulan dalam industri konten lain yang selalu membutuhkan konten-konten baru, seperti komik, animasi, film, medium bercerita lainnya, serta merchandising dan gamifikasi konten edukasi.

“Seluruh sektor ini tentunya akan membentuk kekuatan ekonomi kreatif baru yang berbasis IP bagi Indonesia dan wilayah Asia Tenggara lainnya, serta mampu membuka lapangan pekerjaan baru bagi para milenial.” ucapnya.

CEO Antarupa Studios Ivan Chen mengatakan, dalam ekosistem esports, mata rantai bisnisnya terpusat pada komoditas utama, yaitu gimnya. Pihaknya melihat Lokapala sebagai IP Indonesia punya potensi besar untuk menembus pasar global.

“Untuk itu kami juga mempersiapkan pengembangan IP Lokapala dengan berkolaborasi bersama sektor lain untuk memproduksi komik, animasi, film, musik, dan merchandising. Kami berharap Lokapala dapat membawa IP Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi,” kata Ivan.

Potensi bisnis gim

Ivan melanjutkan, mengutip dari data yang ia peroleh, industri gim adalah industri konten atau IP terbesar di dunia yang mampu menyumbang transaksi hingga Rp3.200 triliun pada 2022. Jumlah ini tiga kali lebih besar daripada industri film di dunia. Menurut riset, sebanyak 61% dari total transaksi industri gim seluler mencapai $136 miliar di 2022, meningkat 170% lebih cepat dari pertumbuhan industri secara menyeluruh.

Potensi tersebut menarik sejumlah pemodal ventura ternama yang berkomitmen untuk berinvestasi sebesar Rp12 triliun di 2023 untuk industri gim di Asia Tenggara. Oleh karenanya, industri gim diharapkan mampu memperoleh porsi investasi yang signifikan di antara negara Asia Tenggara lainnya.

Ivan berambisi bahwa Lokapala punya peluang besar untuk menguasai pasar Asia Tenggara, mengingat 90% pemain gim di regional ini memainkan gim esports. Bahkan, beberapa negara di Asia Tenggara mulai mengembangkan wisata esports sebagai program pariwisata di negaranya karena esports menjadi medium komunikasi bagi generasi muda, melintasi batasan-batasan budaya dan bahasa.

Saat ini, Anantarupa Studios sedang mempersiapkan uji server untuk kawasan Asia Tenggara, serta mengembangkan beberapa mode gim dan fitur baru, seperti Battle Pass dan inter-regional matchmaking untuk mengakomodasi para pemain lintas negara.

Lokapala adalah IP dari Anantarupa Studios dan dipublikasi oleh Dunia Games dan Upoint Games. Gim esports bergenre MOBA 5v5 ini mengutamakan strategi dan kerja sama tim dengan sentuhan budaya nusantara. Adapun Anantarupa Studios didirikan oleh Ivan Chen dan Diana Paskarina pada 2011, berfokus pada pengembangan bisnis custom game, AR, VR, dan layanan B2B lainnya.

Visi perusahaan adalah menjadi leading IP developer di Indonesia, dengan mengangkat kekayaan warisan budaya Indonesia dan memperkenalkan ke pasar global. Pada 2018, perusahaan bertransformasi menjadi perusahaan gim dengan genre MOBA. Timnya telah mencapai lebih dari 80 orang.

Application Information Will Show Up Here

MOBA dengan Karakter-Karakter Disney dan Pixar? Inilah Disney Melee Mania

Demam MOBA terus menjalar tanpa menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Setelah Pokémon Unite, kini giliran franchise lain yang bahkan lebih besar lagi yang ikut diadaptasikan ke kategori MOBA, yaitu Disney.

Adalah Disney Melee Mania, judul MOBA baru yang bakal mempertarungkan deretan karakter ikonis dari berbagai franchise milik Disney dan Pixar. Saat pertama mendengar judulnya, jujur saya langsung berpikir ini merupakan fighting game ala Super Smash Bros. Namun ternyata saya salah, dan jika melihat cuplikan singkat gameplay-nya di bawah, game ini memang sarat elemen-elemen MOBA.

Sepintas gameplay-nya terkesan cukup simpel, dengan format 3v3 dan durasi pertandingan sekitar lima menit saja. Di awal peluncurannya, bakal ada 12 karakter yang bisa dimainkan, masing-masing dengan skill unik dan elemen kosmetiknya sendiri-sendiri. Ke depannya, pengembangnya berjanji akan menambahkan lebih banyak karakter secara reguler.

Berdasarkan video teaser dan sejumlah screenshot-nya, berikut adalah karakter-karakter yang sudah terkonfirmasi:

  • Mickey Mouse (dengan kostum Sorcerer’s Apprentice)
  • Wreck-It Ralph
  • Moana
  • Elsa (Frozen)
  • Buzz Lightyear (Toy Story)
  • Jasmine (Aladdin)
  • Frozone (The Incredibles)
  • Timon (The Lion King)
  • Maleficent (Sleeping Beauty)
  • Bing Bong (Inside Out)

Disney Melee Mania rencananya akan dirilis pada bulan Desember 2021 secara eksklusif di Apple Arcade. Sebagai bagian dari katalog layanan gaming subscription milik Apple tersebut, Disney Melee Mania semestinya tidak akan menerapkan skema pay-to-win, sebab dari awal Apple Arcade memang selalu memprioritaskan pengalaman bebas in-app purchase dan bebas iklan.

Disney Melee Mania dikembangkan oleh studio asal Singapura, Mighty Bear Games. Ini bukan game pertamanya untuk Apple Arcade. Tahun lalu, mereka sempat merilis game berjudul Butter Royale di platform tersebut.

Sumber: Apple dan The Verge.

Game MOBA Pokemon Unite Sedang Digarap untuk Android, iOS dan Nintendo Switch

Sungguh menarik mengikuti perkembangan genre MOBA. Genre yang dipopulerkan oleh mod Warcraft III ini awalnya cuma menarik perhatian sekelompok kecil gamer akibat learning curve yang terbilang tinggi. Namun sekarang, MOBA sudah menjadi salah satu genre terpopuler berkat sederet game yang bermunculan di platform mobile.

Bahkan franchise kenamaan seperti Marvel Comics pun juga disulap menjadi MOBA, dan itu pada akhirnya memunculkan pertanyaan: franchise apa lagi yang punya banyak karakter yang sekiranya menarik untuk dijadikan MOBA? Kalau Anda menjawab Pokemon, jawaban Anda tidak salah.

The Pokemon Company baru saja mengumumkan Pokemon Unite, sebuah game MOBA 5 lawan 5 yang akan dirilis di Android, iOS, dan Nintendo Switch. Dalam siaran persnya, game free-to-play ini dikategorikan sebagai judul cross-platform, yang artinya pengguna perangkat mobile dan handheld console tersebut bisa saling bertemu.

Gameplay-nya sudah pasti mirip dengan Mobile Legends maupun MOBA lain di platform mobile, dan itu bisa kita nilai sendiri dari trailer-nya. Pokemon Unite digarap oleh TiMi Studios, anak perusahaan Tencent Games yang portofolionya meliputi judul-judul populer macam Honor of Kings, Arena of Valor, serta Call of Duty: Mobile.

Jujur saya sedikit penasaran bagaimana mekanisme evolusi Pokemon bakal diterapkan dalam game ini. Apakah pemain yang pada awalnya memilih Charmander atau Squirtle nantinya bisa memainkan Charizard atau Blastoise seiring karakternya menginjak level tertentu? Atau malah evolusi dijadikan salah satu skill ultimate pada Pokemon tertentu seperti Magikarp?

Tidakkah curang kalau pemain bisa memakai Pokemon sekuat Gyarados dari awal match? Atau malah itu bakal dijadikan salah satu item premium yang harus ditebus dengan rupiah seiring bertambah maraknya praktik pay-to-win?

Detail lengkapnya masih harus menunggu mengingat game ini masih dalam tahap pengembangan, dan jadwal rilisnya juga belum ada. Map-nya sendiri kelihatan memiliki dua jalur yang berbeda, lalu siaran persnya juga sempat menyinggung soal sistem poin yang dijadikan objektif permainan – mungkin salah satu mode alternatif di samping adu cepat menghancurkan markas lawan seperti biasanya?

Via: Eurogamer.

[REVIEW] Lokapala, Status Beta yang Penuh Keterbatasan

Awal Februari ini khalayak gamers Indonesia disemarakan dengan rilisnya Lokapala: Saga of Six Realms. Masuk masa pra-pendaftaran sejak November 2019 lalu di Play Store, iterasi MOBA pertama pengembang Indonesia ini segera mendapat sambutan positif. Banyak yang tidak sabar untuk mencoba dan memainkannya.

Proyek ambisius ini dibesut oleh ANANTARUPA Studio, gamedev lokal yang sudah beroperasi sejak tahun 2011. Kini, walau masih menyandang status beta, Lokapala sudah dapat diakses secara terbuka di Play Store. Namun demikian, saya merasa bahwa perilisan beta terbuka Lokapala masih terlalu terburu-buru. Kenapa? Karena banyak hal di dalam game ini yang terlihat seperti masih setengah jadi. Lebih lanjut, mari simak ulasan saya terhadap MOBA lokal Indonesia yang satu ini.

MOBA Indonesia yang Kurang Indonesia

Dalam MOBA, satu hal yang konsisten selalu muncul adalah karakter yang dapat kita gunakan di dalam permainan. Ada beberapa sebutan untuk karakter ini, ada yang menyebutnya Hero ada yang menyebutnya Champion. Lokapala sendiri memilih menyebut karakter-karakter heroik yang akan bertarung bersama Anda di dalam permainan sebagai Ksatriya.

Untuk rilisan pertama, Lokapala menghadirkan 15 Ksatriya, yang semuanya bisa Anda coba dan mainkan. Namun sayang, beberapa karakter yang dihadirkan pada Lokapala mungkin belum tentu dikenal oleh orang Indonesia sendiri. MungkIn pendapat saya ini muncul karena nilai pelajaran sejarah Indonesia saya tidak terlalu baik, saat masih bersekolah dulu…hehehe.

Sumber: Facebook Fanpage Lokapala
Beberapa Ksatriya yang dihadirkan di dalam Lokapala. Sumber: Facebook Fanpage Lokapala

Hal ini mungkin karena beberapa Ksatriya mungkin memang bersifat orisinil atau dibuat sendiri oleh tim ANANTARUPA Studio. Tetapi saya merasa agak sayang jika tidak ada karakter-karakter populer, karena bisa jadi membuat pemain enggan mencoba game ini. Padahal Lokapala bisa saja memunculkan Ksatriya dari sejarah atau cerita rakyat populer seperti Gajah Mada sang Mahapatih Kerajaan Majapahit , atau tokoh kenamaan dalam pewayangan seperti Gatot Kaca.

Untungnya ANANTARUPA Studio sudah melakukan beberapa usaha untuk memperkenalkan cerita orisinil Lokapala kepada khalayak. Salah satunya seperti contoh di bawah ini, sebuah postingan media sosial yang bercerita asal pertarungan Lokapala. Ceritanya, pertarungan di Lokapala berdasarkan kepada konsep multiverse, yaitu penggabungan berbagai ruang dan waktu dalam satu semesta.

Sumber: Facebook Fanpage Lokapala
Sumber: Facebook Fanpage Lokapala

Mengutip dari laman resmi Lokapala, para Ksatriya yang bertarung datang dari enam Loka (alam semesta) yang tergabung di dalam Lokapala, yaitu Narakaloka, Pretaloka, Tiraccanaloka, Manusyaloka, Asuraloka, dan Svargaloka. Dari 6 Loka yang diceritakan, muncullah karakter-karakter yang ada di Lokapala. Beberapa ada yang datang dari sejarah Vijaya atau Pangeran Wijaya dan beberapa ada yang orisinil seperti Ilya yang ceritanya datang dari masa depan.

Selain soal daftar Ksatriya yang dihadirkan, ada satu hal lagi yang buat saya merasa menjadi poin penting kenapa Lokapala menjadi game Indonesia yang kurang Indonesia. Lokapala kehilangan satu hal penting yang bisa membantu game ini lebih mudah diterima oleh gamers Indonesia, yaitu in-game language Bahasa Indonesia. Ya Anda tidak salah dengar, versi beta Lokapala yang menekankan khasanah lokal Indonesia lewat latar tempat dan cerita karakter Ksatriya malah hadir menggunakan Bahasa Inggris, dan tidak ada opsi Bahasa Indonesia.

Ini sebenarnya cukup membingungkan, karena saya merasa tidak ada alasan yang tepat untuk menggunakan bahasa Inggris pada Lokapala. Jika alasannya untuk mengincar pasar global, rasa-rasanya Lokapala terbilang sudah ketinggalan cukup jauh jika dibanding beberapa pengembang lain yang sudah lebih dulu terjun di pasar MOBA untuk mobile.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Amat disayangkan, Lokapala versi beta malah tidak memiliki opsi bahasa Indonesia, Alhasil,cerita Pangeran Wijaya dari kerajaan Singhasari jadi agak sulit dipahami karena menggunakan bahasa Inggris. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Jika alasannya untuk mengenalkan budaya Indonesia ke khalayak global, orang Indonesia sendiri saja mungkin belum mengenal Ksatriya yang dihadirkan dalam Lokapala. Jawaban untuk semua ini sebenarnya adalah dengan menghadirkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ke dalam game. semoga saja update berikutnya dapat menghadirkan in-game language, dan mungkin juga menghadirkan voice-act bahasa Indonesia. Apalagi, menurut opini saya personal, membaca cerita legenda Indonesia dengan bahasa ibu akan terasa lebih nyaman dan mudah dimengerti.

Walau dengan segala kekurangannya, saya cukup mengapresiasi bagaimana tim pengembang ANANTARUPA membangun cerita dunia Lokapala, terutama dari cerita 6 Loka yang menjadi satu di dalam arena pertarungan Lokapala. Dalam hal lore Ksatriya, walau orisinil, namun sayangnya cerita yang disajikan masih  terlalu singkat. Hal ini membuat saya tidak bisa mengenal asal muasal sang Ksatriya secara lebih mendalam.

Sisi Indonesia lain yang menurut saya patut diapresiasi adalah musik yang disajikan oleh Inharmonics. Composer yang juga mengisi musik pada game Legrand Legacy ini berhasil memunculkan nuansa peperangan penuh semangat khas MOBA sembari tetap menonjolkan khazanah Indonesia dalam musik yang mereka sajikan pada menu utama. Dalam musik tersebut, musik orkestra yang modern melebur halus dengan aksen khas etnis lewat gamelan Jawa, yang hampir membuat saya lupa dengan pengalaman bermain Lokapala yang akan saya jelaskan pada poin berikutnya.

Esports Game Pertama Indonesia yang Belum Esports Ready

Istilah “esports ready” pertama muncul sebagai meme di tengah perbincangan komunitas ketika PUBG dijadikan esports untuk pertama kalinya. Istilah tersebut muncul karena pada awal rilis, PUBG mendukung kegiatan esports untuk game tersebut. Sementara core gameplay PUBG masih memiliki terlalu banyak kendala teknis seperti respon yang tidak sinkron, serta bug di sana dan sini.

Pada kasus PUBG, kendala tersebut terjadi karena PUBG adalah game multiplayer online pertama yang mempertemukan 100 orang sekaligus secara real-time. Kejadiannya Bluehole mungkin mirip dengan ANANTARUPA. Lokapala sudah dicap sebagai game esports pada saat perilisan beta, mungkin karena mereka memilih genre MOBA. Namun nyatanya, Lokapala belum esports ready, yang mungkin disebabkan karena ANANTARUPA belum punya banyak pengalaman membuat real-time online multiplayer yang kompleks seperti MOBA.

Memang, pada kenyataanya membuat game online bersifat real-time seperti MOBA punya kerumitan dari sisi teknis. Jika Anda belum tahu, ada dua jenis online games berdasarkan cara game tersebut terkoneksi ke server. Ada real-time online seperti MOBA, yang mana satu player bertemu dengan player lain secara langsung. Ada asynchronous online games, yang mana walau online, namun player satu dengan player tidak bertemu secara langsung seperti Clash of Clans.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Menghubungkan 10 pemain bermain di dalam satu server secara berbarengan tidak bisa dibilang mudah, terutama bagi pengembang Indonesia yang masih minim pengalaman. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Walau ini adalah MOBA pertama, tapi Anantarupa bukanlah pengembang lokal Indonesia pertama yang bisa membuat real-time online multiplayer game. Sebelumnya ada juga Minimo, pengembang yang berbasis di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang membuat game bertemakan balap off-road bernama Mini Racing Adventures.

Kembali membahas Lokapala, kesulitan teknis ini diakui sendiri oleh sang pengembang. Jika Lokapala memang belum “esports ready“, jadi sudah sampai mana sebenarnya rilisan beta Lokapala? Maafkan jika saya terlalu jujur namun saya merasa Lokapala sebenarnya belum pantas untuk dirilis secara open beta. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya karena Lokapala memiliki beberapa masalah fundamental, yang membuat core game experience menjadi tidak nyaman.

Sebelum menuju ke dalam permainan, masalah sudah muncul, yaitu ketika kita tap tombol dan ingin melakukan Find Match. Setelah masuk Lobby dan menekan tombol Start, Lokapala malah memunculkan kode error seperti yang satu ini.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Melihat error seperti ini, yang terbesit di pikiran saya adalah melakukan reset Lobby dengan menekan tombol back yang ada di pojok kiri atas. Apa yang terjadi? Ya, muncul kode error lagi yang membuat saya terjebak di dalam Lobby.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono
Kalau sudah begini, apa daya. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Jika hal ini terjadi, mau tidak mau jalan terakhir adalah tinggal melakukan reset game. Force close game tersebut lewat tombol recent apps, lalu buka kembali.

Setelah beberapa saat, saya akhirnya berhasil masuk ke dalam game. Saat berada di dalam permainan saya melihat banyak elemen lain di dalam game yang juga masih kurang sempurna. Seperti 3D model karakter yang terlihat kurang realistis, atau animasi karakternya yang terlalu kaku. Tapi itu mungkin tidak terlalu masalah karena 3D model karakter Mobile Legends pun demikian ketika baru pertama kali dirilis.

Masuk ke dalam game saya menemukan satu hal lagi yang cukup mengganggu, masalah tersebut datang dari model bush atau brush. Kalau Anda sering main MOBA, Anda tentu tahu mekanik bush, tempat berupa semak-semak yang bisa digunakan pemain untuk bersembunyi. Pada kebanyakan MOBA bush biasanya berbentuk seperti namanya, yaitu semak rumput yang tinggi dan lebat.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Edit: Akbar Priono
Perbandingan bentuk dan warna bush antara Lokapala dengan dua MOBA terpopuler di mobile. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Edit: Akbar Priono

Pada Lokapala visual bush memiliki dua hal yang menurut saya cukup mengganggu. Pertama, bentuknya bukan semak rumput, melainkan terlihat seperti tanaman berbunga dengan warna yang sangat mencolok. Kedua, warna antar bush juga tidak konsisten yang mungkin bisa membuat pemain baru kebingungan. Bush bagian tengah berwarna ungu, sementara pada bush bagian pinggir terlihat berwarna merah. Semoga saja nantinya model bush bisa diperbaiki sambil tetap menunjukan ciri khas tersendiri yang membedakan Lokapala dari MOBA lain.

Berlanjut ke dalam permainan, semua berjalan lancar, setidaknya sampai beberapa menit game berjalan. Seiring waktu, permainan jadi terasa laggy. Keadaan tersebut bisa jadi datang dari dua hal, masalah optimasi game engine dan masalah optimasi server.

Dari sisi optimasi game engine, saya saat itu mencoba bermain dengan menggunakan pengaturan grafis tertinggi rata kanan. Setelah beberapa saat bermain, semakin lama animasi karakter menjadi stutter atau patah-patah setelah beberapa saat bermain. Belum lagi animasi atau gerakan karakter ketika menyerang atau mengeluarkan skill juga terasa sangat kaku, yang juga membuat saya jadi sulit menilai apakah hal tersebut merupakan stutter atau memang animasi karakter yang kurang rapih.

Hal ini terjadi mungkin karena saya menggunakan mode High Frame Rate. Jika rumor Lokapala menggunakan game engine yang sama dengan AOV dan Mobile Legends benar, maka kejadian ini jadi cukup masuk akal. Karena pada AOV dan Mobile Legends sekalipun, mode High Frame Rate kerap kali tidak stabil.

Selain itu perasaan lag juga muncul dari sisi koneksi. Ketika itu ping permainan saya hanya 8 – 16ms saja, namun pada beberapa momen saya merasakan delay yang sangat mengganggu. Beberapa kali di dalam permainan, skill yang saya lempar malah telat keluar membuatnya jadi tidak mengenai musuh. Jika ini terus terjadi, tentunya akan menjadi sangat mengganggu bagi para pemain. Apalagi jika mengatakan Lokapala sebagai game esports, hal ini tentu akan menjadi sangat kontradiktif, karena dalam permainan esports respon adalah segalanya.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Glitch Haya menyebabkan pedangnya tidak kembali setelah dilemparkan. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Sisi gameplay berikutnya adalah dari sisi hitbox. Hitbox sendiri adalah sebutan untuk sebuah kotak tak terlihat yang mendeteksi tumbukan antar objek (contohnya hero dengan skill). Pada Lokapala hitbox bisa dibilang masih inkonsisten. Jadi jika kita melempar skillshot ke satu titik tipis tertentu di bagian tubuh Ksatriya musuh, efeknya bisa jadi kena bisa jadi tidak.

Belum lagi masih ada beberapa glitch grafis yang terasa, seperti pedang Ksatriya Haya yang tertinggal setelah dilemparkan. Lalu masalah targeting yang membuat skill terlempar entah ke mana jika kita mentargetkan skill secara otomatis. Ditambah lagi efek serangan dan angka indikator damage juga terlihat kurang jelas, yang bisa membuat bingung, apakah serangan Anda sudah kena atau belum.

Lalu bagaimana dengan balancing? Rasanya agak sulit untuk bisa menilai balancing pada Lokapala jika pengalaman bermain saja masih kurang nyaman, mulai dari awal hingga akhir permainan. Satu kali saya sempat bermain menggunakan Skar, menggunakan build tank, dan menemukan ternyata hero tersebut punya damage yang cukup lumayan besar meski mayoritas item yang saya gunakan adalah item defense.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Ksatriya Haya sedang menaiki Vahana. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Mungkin satu yang cukup berbeda adalah ketidakhadiran mekanik Recall di dalam Lokapala. Recall digantikan dengan Vahana, semacam tunggangan yang sifatnya mempercepat pergerakan Anda dari satu titik ke titik lain di area map. Vahana bisa digunakan kapanpun, namun untuk mengaktifkannya Anda harus berdiam sejenak atau chanelling selama beberapa detik. Jika Anda terkena damage saat sedang mengendarai Vahana, Anda akan terjatuh dan terkena stun untuk sesaat.

Jika Anda sudah pernah memainkan MOBA mobile lainnya, mekanisme ini mungkin terasa cukup menyulitkan. Saya pun merasa demikian, karena walau Vahana mempercepat pergerakan, tanpa mekanisme Recall Anda bisa saja tertangkap ketika darah sedang sekarat. Belum lagi mekanisme ini juga terbilang cukup boros waktu, terutama jika Anda sedang push tower terdalam musuh namun sekarat dan harus pulang, menyebabkan Anda harus berjalan dengan jarak yang sangat jauh.

Kesimpulan

Pada akhirnya saya personal merasa keputusan ANANTARUPA merilis Lokapala secara publik agaknya terlalu terburu-buru. Masih terlalu banyak kekurangan pada core gameplay Lokapala. Beberapa contohnya sudah saya jabarkan saat menceritakan pengalaman saya memainkan Lokapala, mulai dari bug untuk Find Match, masalah optimasi grafis dan server, masalah hitbox dan lain sebagainya.

Kalau soal animasi dan grafis, saya rasa hal tersebut masih bisa ditoleransi, karena MOBA lainnya pun punya grafis yang tidak sebegitu bagus pada hari pertama rilis. Namun kalau soal core gameplay, saya rasa keputusan untuk merilis Lokapala secara terbuka ini berpotensi memunculkan masalah bagi sang pengembang. Bagaimanapun, impresi pertama tetap merupakan hal penting bagi pemain. Jika impresi pertama saja sudah buruk, karena terlalu banyak masalah teknis di dalam game, pemain bisa saja enggan untuk mencoba bermain kembali meski Lokapala sudah berkembang menjadi lebih baik.

Tetapi, tetap ada beberapa hal yang patut diapresiasi dari Lokapala. Beberapa di antaranya seperti story dunia Lokapala yang orisinil atau art karakter yang cukup baik. Menurut saya salah satu elemen terbaik dalam game ini adalah soundtrack menu utama. Penggabungan aksen modern lewat musik orkestra khas MOBA dengan aksen khas etnik Indonesia lewat gamelan Jawa berhasil membuat saya lupa dengan segala permasalahan teknis yang ada di dalam game ini.

Lokapala saat ini masih dalam status beta. Semoga saja seiring waktu, pengembang bisa berkomitmen untuk terus memperbaiki Lokapala dari berbagai sisi dan menjadi game yang lebih baik. Karena bagaimanapun, mengembangkan game MOBA ibarat lari marathon, yang pengembangannya akan terus berjalan selama game-nya masih dimainkan…

Genre Game Populer di Industri Game Dalam 10 Tahun Terakhir

Dalam 10 tahun belakangan, industri game berkembang pesat. Gamer tak lagi dikaitkan dengan pecundang anti-sosial yang tak punya teman. Faktanya, berkat popularitas esports, tak sedikit gamer yang justru diusung sebagai pahlawan. Tim esports tak melulu membawa nama tim, tapi juga membawa nama negara, seperti saat tim-tim esports mewakili Indonesia di ajang SEA Games 2019. Dalam 10 tahun belakangan, tren di dunia game juga telah berubah. Muncul beberapa genre game populer di industri game.

Pada tahun 2000-an, MMORPG menjadi salah satu genre favorit. Blizzard meluncurkan World of Warcraft pada 2004. Selama enam tahun ke depan, game tersebut diklaim sebagai “MMO King”. Namun, melewati tahun 2010, Blizzard mulai kesulitan untuk memberikan update konten yang tetap menarik bagi para pemain WoW. Studio game lain menganggap ini sebagai kesempatan untuk membuat game MMORPG untuk menggantikan WoW. Karena itulah, pada awal 2010-an, muncul berbagai game MMORPG. Sebagian bahkan diklaim sebagai “WoW killer”. Dan memang, beberapa game tersebut sukses, seperti Star Wars: The Old Republic yang bahkan bertahan sampai sekarang. Meskipun begitu, WoW tetap bertahan, seperti yang disebutkan oleh Polygon.

Masih di awal 2010-an, sementara banyak studio game sibuk untuk membuat MMORPG, Defense of the Ancients — yang pada awalnya merupakan mod dari Warcraft 3 — mulai mendapatkan jumlah pemain yang cukup banyak. Sayangnya, DotA masih terikat dengan Blizzard karena menggunakan properti mereka. Para developer lalu tergerak untuk membuat game MOBA dengan desain serupa DotA. Hanya saja, kali ini, game itu tidak lagi menggunakan IP milik Blizzard. Lahirlah League of Legends pada 2009 dan Heroes of Newerth pada 2010. Namun, Heroes of Newerth akhirnya kalah populer oleh Dota 2 yang dirilis oleh Valve pada 2013. Sampai sekarang, baik Dota 2 maupun League of Legends masih memiliki jumlah pengguna bulanan aktif yang cukup banyak.

Dota 2. | Sumber: Steam
Dota 2. | Sumber: Steam

Sejak saat itu, popularitas MOBA mulai menyaingi MMORPG. Sama seperti di era keemasan WoW, banyak developer yang juga membuat game MOBA, seperti Vainglory dan Heroes of the Storm. Meskipun begitu, League of Legends dan Dota 2 tetap merajai genre MOBA. Sekarang, keduanya juga menjadi game esports paling populer. Salah satu alasannya karena kedua game ini memang menuntut para pemainnya untuk berpikir strategis dan bekerja sama dengan anggota tim masing-masing. Pada saat yang sama, gameplay yang kompleks menjadi pisau bermata dua bagi dua game MOBA tersebut, karena ini membuat jumlah pemain mereka stagnan dan tidak kunjung bertambah. Jangan menjadi profesional, jika seorang pemain ingin bisa dianggap “jago” dalam bermain Dota 2 atau League of Legends, mereka harus bisa memperhatikan banyak detail sekaligus, mulai dari skill masing-masing karakter, sinergi antara satu karakter dengan karakter lain, penempatan wards, dan lain sebagainya. Seolah itu tidak cukup buruk, tak semua pemain Dota 2 atau League of Legends mau membantu para pemain baru. Tak sedikit pemain yang sedang belajar yang mendapatkan kecaman.

Meskipun begitu, game MOBA tetap hidup sepanjang 10 tahun belakangan. Bahkan ketika game mobile menjadi semakin populer, juga muncul berbagai game MOBA untuk pemain mobile. Sebut saja Mobile Legends yang menjadi salah satu game esports terpopuler di Tanah Air.

Munculnya beberapa genre baru

Sama seperti World of Warcraft yang tampaknya tak lagi bisa digoyahkan. Dota 2 dan League of Legends tampaknya akan tetap bertahan sebagai game MOBA populer. Namun, itu bukan berarti industri game stagnan begitu saja. Setelah MOBA, kini muncul genre battle royale. Genre ini dipopulerkan oleh PlayerUnknown’s Battleground. Melihat popularitas battle royale, developer lain dengan cepat membuat game bergenre serupa, seperti Fortnite dari Epic Games atau Apex Legends dari Electronic Arts.

Tak berhenti sampai di situ, beberapa franchise game pun juga mendapatkan mode battle royale, seperti Fallout 76 dan Call of Duty: Black Ops 4. Bahkan Tetris sekalipun mendapatkan mode battle royale dengan kemunculan Tetris 99. Game racing seperti Forza Horizon 4 pun akan mendapatkan mode battle royale — yang saat ini disebut “The Eleminator” oleh Playground Games. Selama sebuah game memungkinkan puluhan pemain untuk bertemu dan bersaing dengan satu sama lain, maka game itu dapat dibuat menjadi battle royale. Tentu saja, tak semua game battle royale atau mode battle royale dalam sebuah game disambut dengan baik.

Tetris 99. | Sumber: Engadget
Tetris 99. | Sumber: Engadget

Battle royale bukan satu-satunya genre yang menjadi populer dalam satu dekade ini. Genre lain yang mulai diminati para developer adalah auto battlers. Dalam game auto battlers, pemain hanya akan diminta untuk memilih sejumlah karakter yang lalu akan melakukan battle secara otomatis. Pada akhir pertandingan, pemain yang masih memiliki karakter — atau memiliki karakter paling banyak — keluar sebagai pemenang. Saat ini, ada beberapa game auto battlers didasarkan pada IP dari game yang sudah ada, seperti Dota Underlords dari Dota 2 dan Teamfight Tactics buatan Riot Games.

Selain itu, loot shooter menjadi salah satu genre yang menjadi populer dalam 10 tahun belakangan. Genre ini muncul ketika Borderlands dirilis pada 2009. Ketika itu, Borderlands menawarkan jutaan senjata bagi para pemainnya. Borderlands terbukti sukses. Buktinya, belum lama ini, Borderlands 3 baru saja dirilis.

Namun, melakukan hal yang sama berulang kali bisa membosankan, tak peduli sebanyak apa item yang ditawarkan oleh developer. Salah satu kunci kesuksesan dari game loot shooter adalah membuat gameplay yang menarik, membuat pemain tak keberatan untuk melakukan hal yang sama — menembakkan senjata dan menjelajahi peta — berulang kali. Saat ini, game-game loot shooter menawarkan tema yang bervariasi, mulai dari tema high-fantasy sci-fi dalam Destiny 2 sampai dunia post-apocalyptic yang diusung dalam Tom Clancy’s The Division 2. Satu masalah dalam game loot shooter adalah pemain dituntut untuk bermain dalam waktu lama — sampai puluhan jam — untuk mendapatkan senjata atau perangkat terbaik. Ini bisa menyebabkan pemain merasa jenuh.

Tak semua genre yang muncul dan menjadi populer dalam 10 tahun belakangan adalah genre serius. Ialah clicker game, yang mulai populer ketika developer Orteil meluncurkan prototipe Cookie Clicker — kini menjadi salah satu game paling populer di Steam. Seperti namanya, dalam clicker game, Anda cukup mengklik satu tombol atau sejumlah tombol untuk mendapatkan reward. Seiring dengan berjalannya waktu, untuk setiap klik yang Anda lakukan, reward yang Anda dapatkan dalam game bertambah. Reward ini bisa muncul dalam bentuk beragam, poin atau uang atau sesuatu yang lain. Reward yang telah Anda kumpulkan akan bisa Anda gunakan untuk melakukan upgrade. Sampai akhirnya, Anda tak lagi perlu melakukan klik terlalu sering.

Game clicker tersedia di PC dan mobile. Salah satu contoh clicker game buatan Indonesia adalah Tahu Bulat buatan Own Games. Dalam game ini, semakin sering Anda mengklik, semakin banyak pengunjung yang datang, yang berarti semakin banyak uang yang Anda dapatkan. Setelah uang terkumpul, Anda bisa memperbaiki peralatan Anda — mulai dari speaker sampai mencari bumbu tahu bulat baru — sehingga Anda bisa mendapatkan uang lebih banyak per detiknya. Biasanya, clicker game cukup populer di kalangan mobile gamer, karena Anda bisa memulai dan berhenti bermain kapan saja.

Tahu Bulat. Sumber: DailySocial
Tahu Bulat. Sumber: DailySocial

Game gratis yang menghasilkan

Selain soal genre, dalam 10 tahun belakangan, satu tren lain yang mulai terlihat adalah perubahan model bisnis dari developer. Dulu, Anda harus membeli sebuah game sebelum dapat memainkannya. Sekarang, Anda bisa memainkan game dengan gratis. Namun, skin atau item kosmetik lainnya harus Anda beli. Selain itu, juga muncul game dengan model Pay-to-Win. Jadi, selama Anda bermain gratis, Anda tidak akan bisa mengalahkan pemain yang mengeluarkan uang ekstra.

League of Legends adalah salah satu contoh game gratis yang hanya menjual skin. Model bisnis ini terbukti menguntungkan. Pada 2018, Riot Games mendapatkan US$1,4 miliar dari League of Legends. Fortnite juga bisa dimainkan secara gratis. Epic hanya menjual battle pass dan skin. Dari sini, mereka berhasil mendapatkan US$2,4 miliar.

Selain model freemium, sistem lain yang kini mulai diadopsi oleh para developer game adalah early access. Menurut Polygon, orang pertama yang menggunakan sistem ini adalah Markus “Notch” Persson untuk membuat Minecraft. Satu keuntungan yang ditawarkan game early access adalah developer dapat mengumpulkan uang sambil berusaha menyelesaikan proses pengembangan game. Bagi sebagian developer, termasuk Persson, ini memungkinkan mereka untuk fokus sepenuhnya mengembangkan game, tanpa harus mengambil pekerjaan lain untuk menyokong hidup mereka.

Minecraft. | Sumber: Microsoft via Engadget
Minecraft. | Sumber: Microsoft via Engadget

Sistem early access juga bisa membantu developer untuk mengembangkan game sesuai ekspektasi gamer. Ketika game yang diluncurkan di bawah label early access memiliki masalah — ada bug, konten yang kurang menarik, dan lain sebagainya — developer memiliki kesempatan untuk memperbaiki masalah tersebut. Dan ada beberapa game AAA yang menjadi lebih baik setelah mendapatkan masukan dari para gamer, seperti Rainbow Six: Siege. Keuntungan lain yang didapatkan oleh developer dengan model early access adalah mereka dapat tetap memberikan update secara berkala, sehingga perhatian para pemain tetap tertuju pada game buatan mereka.

Hanya saja, terkadang, game yang telah diluncurkan dengan label early access tak pernah dirilis secara sempurna, yang akan membuat sebagian orang bingung dengan arti dari “early access”. Game seperti PlayerUnknown’s Battleground dan Minecraft resmi diluncurkan satu tahun setelah versi early access muncul. Sayangnya, tidak semua game seperti itu. DayZ, misalnya, resmi diluncurkan pada Desember 2018 setelah versi early access bisa dimainkan sejak Desember 2013. Contoh lainnya adalah Star Citizen.

Star Citizen bermula sebagai proyek Kickstarter. Developer game ini lalu mulai membuka donasi di situsnya sendiri. Game itu didesain sebagai game bertema luar angkasa yang memungkinkan para pemainnya untuk saling bertempur dan berdagang. Namun, konsep gameplay dari Star Citizen begitu kompleks sehingga proses pengembangannya pun memakan waktu yang sangat lama. Karena itu, sang developer merilis game ini meski belum selesai, agar para pemain bisa mencobanya. Versi pertama memungkinkan pemain untuk memodifikasi pesawat luar angkasa dan memarkir pesawat itu di dalam hangar. Setelah itu, sang developer terus menambahkan fitur untuk game tersebut. Star Citizen juga memiliki elemen first person shooter dan penjelajahan luar angkasa. Sayangnya, sampai sekarang, tidak ada benang merah yang membuat semua elemen dalam game menyatu dan menjadikannya sebagai game menjadi koheren. Hingga sekarang, masih belum diketahui kapan game ini akan diluncurkan.

Star Citizen. | Sumber: PC Gamer
Star Citizen. | Sumber: PC Gamer

Kesimpulan

Satu hal yang pasti, selama satu dekade belakangan, tidak ada satu game atau developer pun yang berhasil memberikan game yang jauh lebih populer dari game-game lain. Walau PUBG menjadi game battle royale pertama, banyak pemain yang tertarik game battle royale lain ketika game itu dirilis. Uniknya, masing-masing game dan genre memiliki pemain setia tersendiri. Misalnya, meskipun Fortnite, Apex Legends, dan PUBG sama-sama merupakan game battle royale, mereka memiliki gamer setia yang berbeda-beda. Pemain Fortnite menyukai game itu karena Epic lebih menitikberatkan pada interaksi sosial. Sementara gamer Apex Legends lebih suka dengan pacing dari game tersebut. Dan PUBG disukai karena memaksa para pemainnya untuk bekerja sama dengan satu sama lain.

Di satu sisi, ini adalah kabar baik. Karena semua developer bisa membuat game online dengan life cycle yang lama. Di sisi lain, semakin banyak game yang muncul, semakin ketat pula persaingan untuk mendapatkan pemain setia. Semua orang hanya memiliki waktu 24 jam dalam sehari. Dan tidak semua waktu tersebut bisa mereka gunakan untuk bermain. Jadi, sebuah game harus bisa memenangkan hati para pemainnya agar mereka rela menghabiskan waktu luangnya untuk bermain game.

Ruined King dan Conv/rgence Adalah Dua Game Pertama di Dunia League of Legends

Sama seperti Dota 2, League of Legends (LoL) dengan segudang hero-nya memiliki lore yang kompleks. Satu dekade sudah LoL jalani, dan Riot Games menilai kini sudah saatnya mereka memperluas lore LoL melalui sejumlah game di luar LoL itu sendiri. Buah inisiatif mereka adalah Riot Forge, publishing label baru yang diresmikan belum lama ini.

Di acara The Game Awards 2019, Riot Forge akhirnya mengungkap dua game pertama yang akan mereka terbitkan, yakni Ruined King dan Conv/rgence. Meski sama-sama mengusung embel-embel “A League of Legends Story” pada judulnya, kedua game ini digarap oleh developer yang berbeda.

Ruined King dikerjakan oleh Airship Syndicate, studio yang didirikan empat tahun silam oleh empat veteran asal Vigil Games, dan yang baru-baru ini menggarap Darksiders Genesis. Vigil Games sendiri merupakan pencipta seri Darksiders, akan tetapi Ruined King rupanya tidak akan menawarkan gameplay hack-and-slash, melainkan masuk kategori RPG dengan sistem turn-based.

Kalau melihat teaser trailer-nya, Ruined King yang menitikberatkan pada aspek narasi ini bakal mengambil Bilgewater sebagai setting lokasinya, namun area mistis Shadow Isles pun juga akan ikut dilibatkan. Jadwal rilisnya belum ditetapkan, namun Riot Forge memastikan game ini akan tersedia di PC sekaligus console.

Conv/rgence / Riot Forge
Conv/rgence / Riot Forge

Untuk Conv/rgence, developer yang bertanggung jawab adalah Double Stallion Games, pencipta game Speed Brawl dan OK, K.O.! versi mobile, yang keduanya sama-sama sarat nuansa kartun. Conv/rgence sendiri juga bakal mengadopsi art style 2D kalau melihat teaser trailer-nya.

Dalam Conv/rgence, pemain bakal menjalankan Ekko, champion yang deretan skill-nya berkenaan dengan waktu, dan yang digambarkan dalam game ini sebagai pemuda jenius dengan gadget canggih untuk memanipulasi waktu. Setting lokasi yang diambil sendiri juga ada dua, yaitu Zaun dan Piltover.

Pemilihan Ekko sebagai lakon menurut saya cukup rasional, apalagi mengingat Conv/rgence bakal masuk dalam kategori action-platformer. Saya bisa membayangkan Ekko memanfaatkan kemampuannya memanipulasi waktu selagi melompat dari satu titik ke yang lain, terdengar seru sekaligus menantang.

Seperti halnya Ruined King, Conv/rgence belum memiliki jadwal rilis. Juga sama adalah ketersediaannya di PC sekaligus console.

Sumber: Riot Games via VentureBeat 1, 2.

Kalah Saing dengan Overwatch, Battleborn Resmi Diberhentikan pada Januari 2021

Beberapa minggu sebelum Overwatch dirilis, perpaduan gameplay MOBA dan shooter sebenarnya sudah lebih dulu diterapkan oleh game berjudul Battleborn. Kedua game itu memang menawarkan premis yang mirip – first-person shooter dengan karakter yang dibekali beragam skill unik ala game MOBA – akan tetapi yang terbukti sukses rupanya cuma Overwatch.

Sungguh malang nasib Battleborn. Hanya berselang setahun setelah diluncurkan di bulan Mei 2016, game bikinan Gearbox Software tersebut harus ‘turun kasta’ menjadi game free-to-play demi menarik minat lebih banyak pemain. Kini Battleborn malah hanya tinggal menunggu waktu; 2K Games selaku publisher-nya baru saja mengumumkan rencana untuk menutup server Battleborn pada Januari 2021.

Dampak langsung dari pengumuman tersebut adalah hilangnya Battleborn dari berbagai platform distribusi online. Selanjutnya, mulai 24 Februari 2020, para pemain Battleborn tak lagi bisa membeli mata uang virtual yang digunakan di dalam game. Lalu saat masa pensiunnya tiba di tahun 2021, Battleborn benar-benar tidak akan bisa dimainkan lagi oleh siapapun.

Battleborn

Saya pribadi merupakan pemain Battleborn sekaligus Overwatch. Sebagai penggemar berat seri Borderlands, yang notabene merupakan franchise shooter terlaris Gearbox, saya dengan mudahnya terpikat oleh Battleborn, apalagi saya juga sudah menghabiskan ribuan jam bermain DotA dan Dota 2.

Namun yang membuat Battleborn gagal menurut saya justru adalah elemen MOBA-nya yang terlalu kental. Di Battleborn, hero yang Anda mainkan akan bertempur bersama pasukan-pasukan kroco yang kerap disebut dengan istilah minion atau creep di kalangan pemain MOBA. Overwatch tidak demikian, yang saling membunuh hanyalah para hero-nya saja.

Kehadiran minion menjadikan Battleborn lebih menyerupai MOBA dibanding Overwatch. Namun di sisi lain hal itu juga berpengaruh langsung terhadap tempo dan durasi permainannya; satu match di Battleborn berlangsung jauh lebih lama daripada di Overwatch, dan ini menurut saya kurang cocok untuk mayoritas konsumen, terutama mereka yang mengekspektasikan tempo permainan cepat ala game shooter pada umumnya.

Dibandingkan Battleborn, gameplay Overwatch terkesan lebih simpel sekaligus lebih mudah dipahami / Blizzard
Dibandingkan Battleborn, gameplay Overwatch terkesan lebih simpel sekaligus lebih mudah dipahami / Blizzard

Lebih lanjut, elemen MOBA yang kental pada Battleborn juga menjadikan learning curve-nya cukup tinggi. Para pemain baru pasti akan merasa lebih kesulitan menguasai mekanik-mekanik di Battleborn ketimbang Overwatch. Sekali lagi, gameplay yang ditawarkan Battleborn sebenarnya sangat menarik, tapi menarik hanya untuk sebagian kecil konsumen saja.

Sangat disayangkan memang melihat game potensial seperti ini harus dilupakan begitu saja. Sejauh ingatan saya, durasi total saya memainkan Battleborn hanya berkisar puluhan jam, sedangkan di Overwatch saya sudah online selama ratusan jam. Durasi tiap match di Overwatch yang tergolong singkat membuat saya masih bisa sesekali memainkannya meski saya harus menjaga dua orang anak sekaligus.

Seandainya Overwatch tidak eksis, nasib Battleborn mungkin akan lebih beruntung daripada sekarang. Namun kenyataannya tidak demikian. Kedua game ini dirilis hampir bersamaan, dan yang bisa bertahan rupanya adalah yang lebih ramah terhadap pemain baru, bukan yang kelewat kompleks yang hanya memikat kalangan kecil saja.

Via: Gamasutra.

The Gloomy Days of Vainglory Esport: The Pioneer that’s Left Behind

In 2014, mobile gaming wasn’t really popular like today because of many factors, one of them was technology, and even mobile gamers were discriminated by other common gamers, not being considered as gamers as most of the games were casual without a depth of a story or magnificent graphics.

Yet it didn’t stop there, there was this terrific game developer working together from different backgrounds as a team established Super Evil Megacorp (SEMC). They created a game that no one could think of that time; a mobile game with stunning graphics like games on console or PC, a real-time play MOBA game named Vainglory.

On its released date, Vainglory attracted thousands of people in a blink. That could be imagined, as the old-time mobile games only gave us some slicing fruits and endless running experience when suddenly a competitive game launched on mobile.

Vainglory: The First MOBA on Mobile

Source: vainglorygame.com
Source: vainglorygame.com

To be honest, Vainglory was not really the first MOBA on mobile, since there was another game like Heroes of Order and Chaos developed by Gameloft. One thing I agree with SEMC, however, is that Vainglory is the first MOBA mobile game featuring a unique gameplay, intuitive controls, and deep mechanics enough to make competitive MOBA players filled with curiosity; or it can be said as the first most perfect MOBA in its day.

Vainglory was released in 2014, and its first appearance was on iPhone 6 Apple product presentation. The presentation without a doubt left smartphone users open-mouthed, as it was the first mobile game having 60 FPS, graphics with details, particle effects, and complex animation.

This game became the center of attention in no time at all, even one of the famous YouTubers played it as well. PewDiePie once played Vainglory and uploaded the video of his playing the game on August 1, 2015. Quoted from one of reputable technology media, VentureBeat, Vainglory successfully reached out 1.5 million monthly active players per July 1, 2015.

This success moved SEMC’s heart to take further steps, trying to follow League of Legends and Dota 2 success by developing Vainglory esports.

The First Mobile Esports in the World and Indonesia

Source: fortune.com
Source: fortune.com

After gaining success from its first released in 2014, Vainglory started to explore the esports world a year after; in Mei 2015 to be exact. They started collaborating with various esports world’s ecosystem at once, ESL and OGN Korea were the two of them.

Quoted from Fortune, Vainglory successfully drew as many as one million audiences through a local league competition in South Korea named Korean eSports League OGN Vainglory Invitational in July 2015.

More after that, an esports event named Vainglory Premiere League in September 2015 offered a total reward of US$80,000 and participated by 12 teams from four regions (North America, China, Korea, and Europe). It perpetuated Vainglory as the first and biggest mobile game esports of its time.

Vainglory itself began to be a hit in Indonesia in 2017, and it’s been known since Indonesia Games Championship 2017 and Vainglory 8 Summer Championship Jakarta. In the same year, Indonesia was just celebrated their Elite8 esport team that was managed to qualify for the international level of Vainglory 8 Spring Championship Manila. More to that, the biggest community gathering, Halcyon Gathering 2.0, was held in Indonesia in 2017 as well.

MOBA Mobile of East Asia and 5v5 Appearance

Source: vainglorygame.com
Source: vainglorygame.com

Still in 2017, Vainglory esports was on its most glorious day in Indonesia. Unfortunately, SEMC was somehow distracted from this China’s MOBA Mobile which successfully stole many of Indonesian gamers’ hearts. It was 2017 when Mobile Legends gained gamers’ and Indonesia esports industry’s attention.

The potential of Mobile Legends esports was first seen in the qualification and main event of Mobile Legends SEA Cup (MSC 2017), and it had made the venue full and packed; Gandaria City for the qualification and Mall Taman Anggrek for the Grand Final. Other than Mobile Legends, Garena Indonesia was also preparing something.

Source: revivaltv.id
Source: revivaltv.id

Garena wanted to release a global version of MOBA which had been a favorite of many people in China, Kings of Glory. It was finally released in Indonesia with a name of Mobile Arena and then changed its name to Arena of Valor in August 2017. Those games attracted the attention of many gamers because of its lower graphics on Indonesian’s smartphone, simpler gameplay, and easy to be learned by various range of groups.

Vainglory Worlds 2017, SEMC finally released Vainglory 5v5 which triggered controversy among communities. Some of them considered that 3v3 depended too much on individual skill making the game quite dull, while some others considered that 5v5 omitted main characteristic of Vainglory. Vainglory had to be faced with a dilemma because of that different opinions.

The Gloomy days of Vainglory esports in 2018

Source: gankstars.gg
Source: gankstars.gg

In 2018, MOBA Mobile and mobile esports were rising, but what about Vainglory? It’s funny how Vainglory esports was apparently dead both globally and in Indonesia.

Globally, Vainglory esports began to break down when many organizations withdrew. Teams like Gankstars, Cloud9, and TeamSoloMid even shut their Vainglory division. FlashX also spoke about this to respond to communities’ hysteria by saying that Super Evil Megacorp cut Vainglory esports’ budget, and it was the reason behind the problems.

https://youtu.be/AIYRmO_jgbE

How about Indonesia? Thanks to the third party’s support, fortunately, competitive arena of Indonesia’s Vainglory was still steady. Kaskus Battleground Season 1 filled in the Vainglory esports calendar in early 2018. In the mid-year and the end of the year, there was the Vainglory Premiere League Indonesia which was an esports league of Vainglory held online by AGe Network team, and the year was closed by Elite8 team’s endeavor at Asia level in WESG 2018 competition.

Herrboy (left) with 2 VG shoutcasters. Source: revivaltv.id
Herrboy (left) with 2 VG shoutcasters. Source: revivaltv.id

Herry ‘Herrboy’ Sudharma, as one of the shout casters and Vainglory esports actors in Indonesia, spoke up regarding the problems. He said that one of the biggest problems was the higher level of difficulty of Vainglory than other MOBA mobile, and the game required a higher smartphone specification as well. It made mobile gamers unwilling to play Vainglory which gave a domino effect to Vainglory esports.

Daniel ‘Deipno’ Lam, one of the Vainglory senior casters, also added that Vainglory was nearly dead in 2018 because SEMC seemed like taking a wrong step. Since 2017, the potential of Vainglory player base in Indonesia was clearly seen through Halcyon Gathering 2.0 which was attended by thousands of people. However, instead of putting the marketing focus in the SEA market, in Indonesia particularly, SEMC insisted to concentrate their Vainglory marketing in the United States and Europe.

Source: duniagames.co.id
Source: duniagames.co.id

In terms of players, Heinrich ‘OfficialHein’ Ramli, as an Indonesian Vainglory star player and one of the most commendable in developing Vainglory esports in Indonesia, said that it’s true that SEMC had a big role in the gloomy days of Vainglory esports. Hein, as an athlete of Vainglory and the owner of Elite8 team, said that SEMC didn’t really communicate well with the team and community, which then made Vainglory esports in Indonesia disregarded.

Vainglory Cross-platform and its Esports Future Prediction

Source: duniagames.co.id
Source: duniagames.co.id

The glory day of Vainglory was there because SEMC pushed the smartphone capability to the maximum, creating a console or PC class game that could be played in your hand. In the end of 2018, SEMC tried to recite the innovation by creating a campaign of Vainglory X, the first MOBA cross-platform that would be able to bring players from mobile, PC, or console together in a match.

On VentureBeat, CEO of SEMC Kristian Segerstrale said that multi-platform games were the future of gaming. However, it indeed brought big questions and doubts because Vainglory’s appearance on PC meant that they’d be brought to the more difficult business competition: challenging the two giants of MOBA PC, Dota 2 and League of Legends.

Herrboy once again spoke about a cross-platform prediction and the return of Vainglory’s glory in 2019 both in player base and esports. He thought that it depended on SEMC’s decision, whether they would like to raise Vainglory esports once again or not. Given that Fortnite has used this cross-platform system successfully, they successfully created a huge player base even without international esports event.

Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com
Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com

All in all, what SEMC would like to achieve was for Vainglory to be played by many people again. Regarding this matter, I, to be honest, am pessimistic. Why? Because first, Vainglory’s very presence on PC would make SEMC have to face the notable MOBA games themselves and the competition would be more difficult.

Second, I quite agree with the community’s opinion and what Deipno said that all this time, SEMC seemed not really showing determination in selling Vainglory, especially in Asian and SEA market. If they insisted to use cross-platform system without running an active marketing activity, then the number of Vainglory players wouldn’t have much changes.

What about esports? Seeing SEMC focusing more on the development of cross-platform, I’m not really sure that Vainglory esports would happen in 2019. Because even if the campaign of Vainglory cross-platform successfully increased a number of players, there wouldn’t be any hope to once again witness the thrill of action of the first-class Vainglory players if SEMC didn’t want to hold an esports.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian.

Akhir Dari Sebuah Era, Heroes of Newerth Umumkan Patch Besar Terakhir

Ada masanya League of Legends tidak bersaing dengan Dota 2. Saat itu Valve belum merilis Dota 2, dan mod Defense of the Ancient di Warcraft III (alias DotA atau Dota 1) masih dikembangkan dan di-update secara aktif oleh Icefrog. Melihat ada celah, ada satu developer yang mencoba membuat game standalone dari Defense of the Ancient. Mereka adalah S2 Games, yang menciptakan MOBA bernama Heroes of Newerth.

Rilis tahun 2010, Heroes of Newerth ternyata akan menemui ajalnya dalam waktu dekat. Pada forum resmi Heroes of Newerth, sang pengembang mengumumkan sebuah patch besar terakhir yang akan rilis 26 Februari 2019 mendatang. Dengan ini, maka tidak akan ada lagi konten baru untuk Heroes of Newerth.

Sumber: Alpha Coders
Penampakan gameplay dari Heroes of Newerth. Sumber: GeForce Gaming

Masih dari forum resmi tersebut, sang pengembang meyakinkan bahwa Heroes of Newerth tidak ditinggalkan sepenuhnya. Butir kedua dari informasi tersebut mengatakan bahwa patch HoN di masa depan hanya akan berisi perubahan kecil yang sifatnya adalah balancing dan/atau perbaikan bug, dan hanya dilakukan jika hal tersebut benar-benar dibutuhkan.

Sejak kehadiran Dota 2, game Heroes of Newerth terbilang seperti kehilangan identitasnya karena dulu HoN adalah versi standalone dengan grafis apik dari DotA Warcraft. Apalagi pada tahun 2011 ketika Valve mempromosikan Dota 2 lewat kompetisi The International, membuat Heroes of Newerth sedikit demi sedikit semakin tenggelam.

Sumber:
Sumber: JoinDOTA

Mengapa demikian? Salah satu alasannya adalah karena banyaknya pemain profesional Heroes of Newerth yang migrasi ke Dota 2, pada saat The International diumumkan. HoN merupakan salah satu saksi bisu atas terciptanya pemain bintang di kancah kompetitif Dota 2. Johan “N0tail” Sundstein, Tal “Fly” Aizik, Peter “PPD” Dager, dan Ludwig “zai” Wahlberg, adalah jajaran pemain yang sempat mencicipi panasnya jagat kompetitif Heroes of Newerth; sebelum akhirnya pindah ke Dota 2.

Heroes of Newerth telah menjadi salah satu evolusi dari era mod Warcraft, Defense of the Ancient. Pada zamannya, Heroes of Newerth jadi pilihan bagi pemain yang menikmati kedalaman mekanik DotA Warcraft, namun tidak suka dengan League of Legends yang membuat DotA jadi lebih “nyantai”.

Sayang sepanjang pengembangannya, Heroes of Newerth, terbilang tidak pernah punya identitas pembeda dari DotA, entah itu hero atau mekanik gameplay. Alhasil setelah Valve resmi merilis Dota 2, yang dikembangkan langsung oleh Icefrog, pemain pun jadi tak punya alasan lagi untuk tetap main Heroes of Newerth.