Tag Archives: mobile ads

Alasan Utama Iklan Native Lebih Dianjurkan Dibandingkan Iklan Banner

Iklan banner pernah berjaya di industri internet.

Para pengiklan pasti senang melihat iklan terpapar hampir di setiap sudut internet dan penerbit pasti ingin mendapat keuntungan lebih selain dari sisi advertorial.

Namun, sedikit yang menyadari bahwa keberhasilan ini pada dasarnya tidak terlalu menguntungkan bagi pengguna internet.

Pengalaman membaca para pengunjung website sangat terganggu dan waktu memuat halaman menjadi sangat lama.

Sekian lama para pengguna internet dipaksa menikmati iklan banner hingga akhirnya iklan native muncul.

Iklan native memang mengatasi masalah dari kalangan pengguna internet. Solusi ini tumbuh dengan cepat dan diharapkan bisa menjaga momentum di tahun mendatang.

Meningkatnya popularitas native bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat semakin pentingnya pengalaman pengguna dalam industri ini.

Di sini saya menyimpulkan ada 4 alasan utama iklan native bisa mengungguli iklan banner dan mengapa iklan native diproyeksi menjadi format iklan utama di masa depan.

Iklan native lebih menghasilkan traffic

Alasan dibalik keunggulan iklan native bukan hanya dari segi format yang tidak mengganggu dan layaknya editorial namun juga didasari pemanfaatan pemasaran konten (content marketing).

Dibandingkan dengan iklan spanduk yang khas dengan pemaparan masiv, iklan native lebih fokus pada pengalaman pengguna sebelum dan sesudah-klik.

Tampilan yang tidak mengganggu membuat pengguna merasa lebih nyaman dan menghindari pengguna yang acap kali keliru mengklik iklan.

Terlebih, konten yang menarik dan penuh insight yang dibagikan di laman depan akan menciptakan insentif yang kuat bagi pengguna untuk tinggal lebih lama, meningkatkan jumlah page view yang dan durasi rerata sesi.

“Iklan native dapat menciptakan peforma yang sama, terkadang lebih baik, seperti iklan banner. Kami juga menemukan fenomena menarik bahwa pengguna lebih bersedia membagikan konten dari iklan native. Hal ini tidak terjadi pada iklan banner, ”Hoyoung Lee, Dable Indonesia’s Country Manager said.

Jika iklan native dimanfaatkan dengan baik, situs web bisa merasakan trafik yang lebih berkualitas dari pengunjung baru. Basis pengguna yang semakin besar, nantinya bisa menjadi sumber yang bagus untuk penilaian dan mendorong pertumbuhan untuk bisnis yang mandek.

Iklan native lebih relevan

Berbeda dengan iklan spanduk, yang hanya bertumpu pada audiens, mekanisme eksposur dibalik iklan native didasari pada audiens dan kontekstual.

Iklan native hanya akan tampil ketika audiens target sesuai dengan demografi yang diinginkan pengiklan, serta judul iklan cocok dengan artikel dan konteks.

Misalnya, iklan native akan menempatkan iklan produk kecantikan dengan target wanita lebih muda ke dalam artikel yang membahas peragaan busana alih-alih kompetisi balap mobil.

Agar lebih relevan, situs web juga harus memanfaatkan teknologi rekomendasi konten untuk menampilkan artikel relevan yang dapat menarik perhatian pengunjung.

Pendekatan ini akan memastikan iklan bukan hanya terpapar pada pelanggan yang cenderung mengklik tapi juga dengan konteks yang lebih relevan.

Iklan native secara signifikan akan menghapuskan batas antara konten iklan dan editorial, lalu menghasilkan rasio klik-tayang (RKT) yang lebih baik.

Iklan native cenderung tidak diabaikan

Kita memasuki era abai spanduk di mana pengguna internet tanpa sadar mengabaikan iklan berbentuk spanduk.

Orang-orang terbiasa mengabaikan iklan spanduk seolah-olah tidak pernah ada.

Menurut penelitian, sekitar 44% dari uang yang disalurkan pada pemasangan iklan dihabiskan untuk iklan yang tidak dilihat oleh pengunjung situs web. Secara keseluruhan, RKT iklan banner kini semakin menurun.

Sementara hal ini menjadi isu yang hangat bagi para pemasar, iklan native, dengan fitur yang berpusat pada pengguna, diharapkan menjadi solusi terbaik.

Sejauh ini dilaporkan bahwa pengguna internet bersedia mengklik iklan native meskipun tahu itu adalah iklan. Tingkat klik-tayang rata-rata untuk iklan native juga lebih tinggi 57%, dibandingkan dengan iklan banner.

Menjadi native serta menghadirkan pengalaman beriklan yang lebih baik adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kondisi abai iklan spanduk.

Iklan native jarang diblokir

Untuk mengatasi gangguan iklan dan spanduk, banyak pengguna internet mulai memasang pemblokir iklan untuk menghindari visual yang mengganggu.

Faktanya, menurut sebuah penelitian, sekitar 30% pengguna internet di seluruh dunia sekarang menggunakan pemblokir iklan, menandakan popularitas iklan banner yang semakin menurun.

Sebaliknya, iklan native tampaknya tidak bermasalah dengan pengalaman visual pembaca. Sementara itu, iklan native seringkali tidak diblokir.

Sebagai alasan, bahwa setiap bagian dari iklan native memerlukan platform iklan untuk bekerjasama dengan penerbit.

Format iklan native dibuat dengan baik dan sangat menyatu dengan situs web. Seringkali, sulit untuk mengenali iklan native jika tidak dilihat dari dekat.

Maka dari itu, iklan asli jarang dikenali sebagai target pada pemblokir iklan, serta bisa memaparkan lebih banyak tanpa mengganggu.


Artikel asli ditulis oleh Edison Chen. Ia adalah seorang Sales Manager, Advertiser Solution di Dable. Ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Banner ads is not essentially beneficial to internet users.

Top Reasons Why Brands Should Choose Natives Ads Over Banner Ads

Banner ads used to be a huge success for the internet industry.

Advertisers were thrilled to see ads displayed nearly every corner on the internet and publishers were excited to acquire extra revenue stream other than advertorial.

What little did people realize, however, was that this success was not essentially beneficial to internet users.

Website visitors’ reading experience was tremendously disrupted and the average page load time strikingly increased.

Internet users suffered from banner ads for a long time until the emergence of native ads.

Native ads do solve the long-standing pain point among internet users. It is growing fast and is expected to keep the growth momentum in the following years.

The increasing popularity doesn’t come out of surprise as the importance of user experience arises.

Here I conclude 4 top reasons how native ads beat banner ads and why native ads will become the mainstream advertising format in the future.

Native ads provide better traffic

The reason why native ads stand out is not simply because of the non-intrusive and editorial-like formats but largely because of the utilization of content marketing.

As compared to typical banner ads that emphasize on massive exposure, native ads focus more on before and after-click user experience.

The non-intrusive look makes users feel more comfortable and filters out some random users who carelessly or mistakenly click on ads.

More importantly, interesting and insightful content shared in landing pages creates a strong incentive for users to stay longer, resulting in higher page view and average session duration.

“Native ads can deliver the same, sometimes better, performance as banner ads do. We also find an interesting phenomenon that users are more willing to share the content from natives ads. This is not common for banner ads,” indicated Hoyoung Lee, Dable Country Manager of Indonesia.

If native ads are utilized well, a website would see more quality traffic generated from new visitors coming in. The enlarging user base will, afterward, become a great source for remarking use and fuel the growth momentum for stagnant businesses.

Native ads offer higher relevance

Unlike banner ads, which only rely on audience targeting, the exposure mechanism behind natives ads is based on both audience targeting and contextual targeting.

Only when the target audience fits advertisers’ desired demographics and, meanwhile, titles of the ads match articles and context will the native ads be displayed.

For example, native ads will place an advertisement about beauty product targeting younger females to under an article of fashion show news update instead of car racing competition.

To boost higher relevance, websites should take advantage of content recommendation technology to recommend relevant articles that website visitors might feel interested in.

This approach ensures that advertisers’ ads not only are exposed to customers who are more likely to click but also are put in a more relevant context where users don’t find ads irrelevant.

Native ads significantly blur the boundary between advertisement and editorial content and ultimately produce a better click-through rate (CTR).

Native ads are less likely to be ignored

We are entering an era of banner blindness where internet users unconsciously ignore banner-like information.

People have got used to disturbing banner ads as if they are not existing.

According to research, about 44% of the money spent on ads is wasted on ads that remain unviewed by website visitors. Overall, the average CTR for banner ads continues dropping down.

While this phenomenon has become a hot potato to handle for marketers, native ads, with its user-centric features, is expected to be the best remedy.

It is reported that internet users are willing to click on native ads even though they have recognized the advertisement. The average click-through rate for native ads is also outstandingly higher by 57%, comparing to banner ads.

Going native and presenting better advertising experience is the only way out to beat banner blindness.

Native ads are rarely blocked

To deal with annoying display and banner ads, more internet users nowadays choose to install ad blockers to avoid the visual interference experience.

In fact, according to a study, around 30% of internet users around the world now use ad blockers, signifying the growing unpopularity of banner ads.

On the contrary, native ads don’t seem to have any issue with interrupting the reading experience. Further to that, native ads are not blocked in most cases.

The reason is that every single piece of native ads requires advertising platforms to conduct in-depth cooperation with each media publisher.

The format of native ads is well crafted and well blended into the website. Oftentimes, it is hard to tell whether or not native ads are advertisements if you don’t take a close look.

Consequently, native ads are rarely recognized as a target for ad blocker software, gaining more exposure opportunities without intruding.


Disclosure: This guest post is written by Edison Chen. He is Sales Manager, Advertiser Solution at Dable.

Cepatswipe, Swiperich’s Lockscreen Ads Service for Indonesian Market

Mobile advertising is still being explored in Indonesia. The high level of device’s growth and penetration makes the future of  advertising on mobile device look quite promising. This is what Cepatswipe believe, the developer of the lockscreen advertising platform part of Swiperich Pte. Ltd., a digital company which headquarter is in Singapore. Besides having Cepatswipe in Indonesia, they also have Agila Rewards in Philippines.

Lockscreen advertising products are now popular on the market, in both local and global market. It requires all parties to possess a unique value, either offers it to consumer or product brand as a business partner. Exploring further information about Cepatswipe and its strategy for Indonesian market, DailySocial discussed with Teguh Kurniawan Harmanda (Manda), Cepatswipe’s Indonesia Head of Business Development.

“Although established in Singapore, 80% of the Swiperich team is Indonesian, all our engineers are come from various cities in Indonesia,” Manda said.

Cepatswipe team is well aware that the offered advertising model is not the first one or the only one in Indonesia. According to Manda, what makes Cepatswipe different with other services is it has partners in Indonesian market, the Alternative Media Group (AMG), which is one of the largest pioneers in Indonesian DOOH (Digital Out of Home).

“As business partner, we provide a more specific targeting users by the campaign. Hopefully, there will be more qualified data to be generated to advertiser. In addition, our goal is to bring online marketing to offline store to convert sales,” Manda added.

It has more than 200K users since May 2017

Since the soft launching on May 2017, Cepatswipe claims to have more than 200 thousand users. Manda also told there was hacker who tried to break into Cepatswipe system, which makes the engineer team must strive to maintain excellent service, while strengthen the security system. It cannot be denied, many users are getting tired of smart phone ads.

“There is nothing wrong with promos, ads, or other content. It is how to pack it in interesting form and given routine rewards to the users,” Manda said.

Cepatswipe wants more than just an ads displayed on user’s lock screen. For a brand, Cepatswipe presents data and analysis with sales trends of its products. The lock screen is not only shows promo or advertisement, but also polls for users as consideration for brand to make decision and marketing strategy.

“While Android users unlock their phone, the attention will be on a fullscreen ads displayed. That way the brand gets the full attention,” Manda explained the effectiveness of ads on the lock screen.

Getting investment from Pedals

At the Product Development Conference event held in Jakarta, Swiperich met Pedals. The meeting continued on an intensive discussion that led to Pedals’ investment on Swiperich. There is no detailed information about the value. After the funding, Cepatswipe conducted a grand launching at the International AdAsia 2017 event in Bali on November 8th, 2017.

“Through the funding, we plan to get more aggressive in marketing and product development to be the most-favorite advertising and a brand’s goal for campaign by Cepatswipe application,” Manda said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

InMobi Luncurkan Platform Remarketing untuk Bantu Optimalkan Pemasaran Mobile

Teknologi big data dan analisis kini termasuk dalam bagian penting kegiatan marketing. Dalam rangka ingin membawa kekuatan analisis big data ini InMobi, penyedia platform pencarian dan periklanan mobile meluncurkan platform remarketing yang akan didukung oleh Miip, platform modern advertising dari InMobi. Platform remarketing ini nantinya diharapkan mampu menghadirkan pengalaman berbelanja yang telah dipersonalisasi memanfaatkan analisis big data, desain kreatif dan back end yang terintegrasi.

Dalam rilisnya, InMobi menguraikan betapa besar potensi Indonesia di ranah mobile ads. Mengutip laporan dari Euromonitor yang dirilis pada Maret silam mengenai pertumbuhan e-commerce dan juga penggunaan perangkat mobile sebagai media aksesnya InMobi melihat kesempatan besar dalam mengembangkan platform remarketing. Mereka juga optimis platform mereka bisa membantu para e-commerce mendorong peningkatan penggunanya.

Solusi remarketing InMobi, yang rencananya akan disokong oleh teknologi dari Miip ini, diklaim akan mampu membantu pengiklan untuk melakukan promosi produk kepada pengguna saat  mereka menggunakan aplikasi mobile lain. Faktor utama klaim ini adalah Software Development Kit (SDK) InMobi disebutkan mampu terintegrasi secara langsung dengan banyak aplikasi mobile.

Salah satu yang dicontohkan adalah bentuk integrasi yang memungkinkan kontrol secara penuh untuk iklan in-app native yang diklaim bisa menghadirkan pengalaman penggunaan layaknya model store front.

“Platform remarketing akan menjadi bagian penting yang memungkinkan bisnis e-commerce di Indonesia untuk tumbuh lebih dari sekedar meningkatkan brand awareness dan pemasangan aplikasi mobile, namun juga dapat meningkatkan penjualan dan transaksi melalui mobile advertising. InMobi telah menjangkau ke lebih dari 66 juta pengguna perangkat mobile di Indonesia melalui kemitraan yang kuat, yang digabungkan dengan kekuatan platform remarketing, adalah dorongan yang dibutuhkan untuk pemain e-commerce di Indonesia untuk terus tumbuh dan berkembang,” ujar Co-founder dan Chief Revenue Officer InMobi Abhay Singhal.

FreakOut Lancarkan Kampanye Native Ads di Indonesia

Semakin besarnya penetrasi smartphone tentunya merupakan peluang yang besar bagi platform pengiklanan, publisher dan advertiser untuk beriklan, namun faktanya adalah sekitar 50% masyarakat Indonesia melihat iklan dengan tidak sengaja, artinya belum ada niat tulus dari masyarakat untuk melihat dan menyimak iklan secara online.

Tantangan inilah yang saat ini banyak dihadapi oleh seluruh platform pengiklanan, belum lagi dengan semakin banyaknya pilihan Ad blocker yang mulai digemari keberadaannya oleh konsumen. Menjawab tantangan tersebut Freakout perusahaan digital marketing asal di Jepang melancarkan kampanyenya dengan tema “May the Native Be With You” yang berlangsung hari Rabu lalu (10/02) di Jakarta.

Turut hadir dalam acara tersebut CEO FreakOut Indonesia Tomohiro Yasukura, Business Development FreakOut Indonesia Tomy Malewa, Group CEO FreakOut Inc Yuzuro Honda, General Manager of FreakOut Indonesia Dian Sarita, dan Supply Partner Manager FreakOut Indonesia Sihkami Denting.

Mengusung tema seperti film Star Wars, FreakOut ingin mengajak pelaku publisher, advertiser untuk mulai merubah gaya beriklan dengan memanfaatkan native ads seperti yang selama ini telah dilakukan oleh Freakout. Di Indonesia FreakOut menjadi salah satu pelopor yang memperkenalkan in-feed native advertising platform berbasis mobile ad network.

Dalam kesempatan tersebut Yuzuro Honda menyampaikan informasi terbaru terkait dengan kerjasama antara Freakout dengan LINE. Sebagai negara dengan penduduk pengguna LINE terbesar nomor 4 di dunia, Yuzuro melihat Indonesia merupakan pasar yang tepat untuk dibidik pada publisher dan advertiser. Setelah Jepang negara lain yang memiliki pengguna LINE terbesar adalah Thailand dan Taiwan.

Dalam presentasinya, Yuzuro juga menggaris bawahi beberapa poin penting,  terkait dengan strategi pemasaran yang akan dilancarkan di Indonesia, diantaranya adalah masa depan pemasaran digital dan iklan teknologi ada di Asia. Menjadi hal yang penting bagi entrepreneur dan investor untuk mulai memfokuskan bisnis di Asia.

“Namun faktanya hingga kini masih banyak ad blindness dikalangan konsumen, artinya mereka cenderung menghiraukan ragam iklan yang beredar online dan kebanyakan tidak menyukai iklan, bagaimana pada akhirnya Freakout bisa merubah kebiasaan tersebut agar iklan bisa dinikmati dan pada akhirnya disukai,” kata Yuzuro.

Platform Hike sendiri pada dasarnya adalah Ad Network yang difokuskan pada perangkat smartphone dengan mengusung model in-feed native ads. In-feed  sendiri merupakan revolusi dari advertorial digital yang menitikberatkan pada konten, atau secara sederhana disusun untuk menawarkan kemampuan layaknya native ad yang memungkinkan iklan muncul seperti konten itu sendiri. Di Indonesia in-feed ads sudah mulai dilirik oleh KapanLagi Network, Liputan6, Kaskus dan masih banyak lagi klien dari Freakout yang telah menggunakan platform Hike.

Menciptakan ekosistem periklanan sehat dengan native ads

Tentunya tidak mudah untuk dapat merubah kebiasaan konsumen agar bisa menyukai iklan. Di sisi lain publisher harus mendapatkan keuntungan melalui user-experience yang baik dari konsumen, artinya iklan bisa dilihat secara keseluruhan oleh konsumen. Dalam hal ini FreakOut telah memiliki cukup pengalaman dengan para publisher di Indonesia dan mengetahui dengan jelas apa ekspektasi dari konsumen terkait iklan yang beredar secara online.

Di kesempatan terakhir, General Manager FreakOut Indonesia Dian Sarita memaparkan hasil survei yang telah dilakukan oleh tim FreakOut kepada masyarakat Indonesia terkait dengan keberadaan iklan online yang banyak beredar. Hasil survei menunjukkan kebanyakan masyarakat merasa terganggu dan cenderung menghindari semua iklan yang beredar online.

Menutup acara tersebut CEO of FreakOut Indonesia Tomohiro Yasukura menyimpulkan bahwa dengan mempromosikan brand melalui native ads bisa membuat brand tampil lebih cerdas, dan nantinya native ads bisa membantu publisher untuk mendapatkan pendapatan melalui online advertising.

Tersaingi Konten Iklan di Mobile, Jumlah Iklan di Televisi Terus Alami Penurunan

Baru-baru ini riset yang dirilis oleh Adstensity di akhir tahun 2015 menunjukkan jumlah penurunan total belanja iklan TV dibanding tahun sebelumnya, jika pada tahun 2014 iklan TV mencapai Rp 99 triliun (66% dari total pendapatan iklan nasional) sepanjang tahun 2015 ini iklan TV hanya mencapai pada angka Rp 71,4 triliun saja. Menkominfo Rudiantara di sela-sela acara yang dihadirinya menyebutkan televisi konvensional sebagai kandidat sunset industry berikutnya. Sebelumnya Rudiantara di acara ICON 2016 juga menyebutkan media cetak sebagai industri yang sedang mengalami kejatuhan.

PPPI mencatat perolehan iklan TV pada tahun 2015 hanya mencapai 62,9%. Hasil ini dinilai mengalami penurunan yang cukup signifikan dan berada pada jumlah yang jauh dari target awal dari PPPI. Sebelumnya, pada akhir November 2014, Ketua PPPI Harris Thajeb menyebutkan target belanja iklan nasional untuk tahun 2015 adalah Rp 172,5 triliun, dengan sumbangan iklan TV mencapai Rp 113,5 triliun.

Penurunan jumlah iklan yang beredar di televisi sebagian besar disebabkan oleh perubahan kebiasaan konsumen saat ini yang secara perlahan mulai meninggalkan televisi dan memanfaatkan smartphone untuk melihat konten video, game, iklan (mobile ads), media sosial dan lainnya.

“Mengacu kepada perolehan iklan yang semakin menurun, setelah radio dan media cetak, TV konvensional adalah the next sunset industry,” ujar Menkominfo Rudiantara kepada Selular.id.

Rudiantara menambahkan di prediksi dalam beberapa tahun ke depan industri mobile ads akan semakin berkembang di tanah air. Saat ini populasi smartphone mengalami peningkatan hingga 30% per tahunnya, membuat berbagai perusahaan teknologi, e-commerce dan lainnya lebih memfokuskan kepada strategi mobile first dalam hal memberikan pelayanan, strategi pemasaran, dan lainnya.

Sebelumnya DailySocial juga telah memberitakan perubahan kebiasaan konsumen saat ini bukan hanya terjadi kepada kalangan dewasa saja namun juga sudah terjadi di kalangan anak-anak. Laporan terkini yang dirilis oleh salah satu penyedia platform digital marketing SuperAwesome menyebutkan sekitar 66% anak-anak di kawasan Asia Tenggara lebih memilih Internet dibandingkan televisi atau media tradisional lainnya untuk mendapatkan hiburan.

Sebanyak 70% anak-anak usia 6 hingga 14 tahun mengakses aplikasi dan game di platform mobile. Bahkan lebih dari seperempat anak-anak yang menonton televisi juga menggunakan smartphone pada saat yang bersamaan.

Gerak Cepat Startup Indonesia Mengisi Ruang Iklan Instagram Ads

IMG_20150909_124258

Memiliki potensi yang masif, Indonesia menjadi incaran para pemain over the top (OTT) yang berbondong-bondong untuk menggelar layanan periklanannya. Setelah Facebook dan Twitter, kini giliran Instagram yang menjadi primadona baru di industri periklanan tanah air. Beberapa startup Indonesia diberitakan segera memanfaatkannya.

Continue reading Gerak Cepat Startup Indonesia Mengisi Ruang Iklan Instagram Ads

Smaato’s Research on Mobile Advertising in Asia Pacific

Smaato, one of mobile advertising platform providers, recently published its report entitled “Global Trends in Mobile Programmatic Report”. The report refers to the statistic of Smaato’s advertising performance during the first semester of 2015. In general, the report suggests that smartphone users’ adoption on mobile web keeps growing significantly. This is supported by the growth of mobile internet access in dense areas, including Indonesia, China, and India. Continue reading Smaato’s Research on Mobile Advertising in Asia Pacific

Riset Smaato Paparkan Peningkatan Drastis Mobile Advertising di Wilayah Asia Pasifik

Secara umum konsumsi mobile ads di wilayah Asia Pasifik meningkat / Shutterstock

Smaato sebagai penyedia layanan advertising untuk platform mobile baru-baru ini merilis laporan hasil risetnya bertajuk “Global Trends in Mobile Programmatic Report“. Laporan tersebut mengacu pada statistik miliaran penayangan advertising melalui teknologi Smaato di paruh pertama tahun 2015. Secara umum dikatakan bahwa penggunaan mobile web oleh pengguna perangkat pintar terpantau terus melonjak. Hal ini didorong dengan pertumbuhan akses internet mobile di kawasan padat penduduk, di antaranya Indonesia, Tiongkok dan India. Continue reading Riset Smaato Paparkan Peningkatan Drastis Mobile Advertising di Wilayah Asia Pasifik

Opera Mediaworks: Asia Pacific Reflects the Highest Demand on Mobile Video Advertising

Opera Mediaworks published the State of Mobile Advertising Q2 which unveils that APAC, including Indonesia, notes an incredibly high demand on Mobile Video Advertising. Indonesia gets inducted into the big four, or commonly called as Power 4 (P4), along with India, Vietnam, and the Philippines. Those four Asian Pacific countries note 545 percent increase in terms of smartphone adoption since 2013. Continue reading Opera Mediaworks: Asia Pacific Reflects the Highest Demand on Mobile Video Advertising