OPPO resmi meluncurkan smartphoneA95 pada 18 November lalu. Dalam kurun waktu yang singkat pasca perilisannya tersebut, perangkat ini telah berhasil memberikan lebih dari 30% market share OPPO di Indonesia. Selain kinerja kamera yang mumpuni, A95 juga banyak diincar karena menawarkan performa yang dapat diandalkan.
Untuk membuktikan kemampuan performa dari perangkat ini, OPPO Indonesia pun menggandeng salah satu game mobile berjenis first-person shooter (FPS) yang sangat populer di pasar tanah air, yakni Call of Duty: Mobile (CODM).
“OPPO A95 diluncurkan untuk menyajikan perangkat dengan performa yang dapat diandalkan penggunanya, termasuk memberikan kenyamanan pengguna untuk bermain mobile game. Maka dari itu, kami kembali bekerja sama dengan Call of Duty: Mobile (CODM) dengan tujuan lebih memperkenalkan fitur-fitur kenyamanan gaming pada A95 sekaligus memberikan kesempatan player CODM untuk mendapatkan perangkat ini secara cuma-cuma,” ujar Aryo Meidianto A, PR Manager OPPO Indonesia, dalam sebuah siaran pers.
Ini merupakan kali kedua OPPO Indonesia bekerja sama dengan CODM setelah kemitraan pertamanya di bulan yang sama pada tahun 2019 lalu. OPPO A95 memiliki kapabilitas untuk memainkan game CODM dengan nyaman berkat dukungan beberapa fitur gaming yang ditanamkan, sebut saja fitur ekspansi RAM yang dapat memperluas secara otomatis memori sementara pada A95, dengan pilihan perluasan mulai dari 2 GB, 3 GB, hingga 5 GB. Berkat opsi 5 GB, pengguna bisa mendapatkan total RAM hingga 13 GB layaknya sebuah smartphone flagship. Keberadaan fitur ini dapat membuat permainan CODM berjalan dengan mulus dan stabil sehingga memberikan kenyamanan ekstra pada pengguna.
Di samping fitur ekspansi RAM, OPPO turut melengkapi A95 dengan teknologi Hyper Boost yang telah dipatenkan. Fitur ini bakal memastikan frame rate yang stabil saat bermain game CODM dengan pemakaian daya yang lebih rendah dan pengaturan suhu yang jauh lebih baik.
Teknologi ini juga akan meningkatkan respons sentuhan, mengurangi lag, dan memangkas waktu yang dibutuhkan untuk loading game secara signifikan, menjadikan A95 sebagai perangkat dengan performa gaming yang dapat diandalkan.
OPPO dan CODM akan memulai rangkaian kegiatan pada platform media sosial dan juga in-game activation. Keterangan lebih lanjut mengenai kegiatan ini dapat dilihat melalui akun resmi Instagram @garenacodmid atau langsung pada game Call of Duty: Mobile itu sendiri.
Menjelang penutupan tahun, Apple kembali mengumumkan para pemenang ajang App Store Award. Berbeda dari yang dilakukan Google pada Google Play’s Best of 2021, Apple tidak memisahkan daftar aplikasi dan game terbaik berdasarkan tiap-tiap negara, melainkan hanya satu daftar saja berdasarkan hasil penilaian tim editorial globalnya.
Untuk kategori game iPhone terbaik 2021, titel juaranya dipegang oleh League of Legends: Wild Rift. Ya, tahun ini rupanya adalah tahunnya MOBA, sebab seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, gelar game Android terbaik untuk tahun ini jatuh pada Pokémon Unite (versi Amerika Serikat). Meski sudah tidak bisa dibilang baru lagi, nyatanya LoL Wild Rift memang baru meluncur di kawasan Amerika pada tahun 2021 ini.
Sementara untuk gelar game iPad terbaik 2021, pemenangnya adalah Marvel Future Revolution. MMORPG keluaran Netmarble ini memiliki kualitas grafik yang cukup menakjubkan untuk ukuran game mobile, dan itu sangat ideal untuk mendemonstrasikan performa hardware iPad Pro yang fenomenal. Di tablet termahal Apple tersebut, Marvel Future Revolution bahkan bisa berjalan di 120 fps.
Beralih ke game Apple Arcade terbaik 2021, jawaranya adalah Fantasian. Buat yang tidak tahu, Fantasian merupakan RPG baru karya Hironobu Sakaguchi, yang tidak lain merupakan pencipta franchise Final Fantasy. Selain mengandalkan iringan musik gubahan Nobuo Uematsu (komposer yang juga langganan mengisi musik di seri Final Fantasy), Fantasian juga banyak dipuji karena grafiknya yang unik, dengan setting dunia yang semuanya merupakan diorama buatan tangan.
Selain game iPhone dan iPad, Apple tidak lupa memberi penghargaan buat game Apple TV terbaik dan game Mac terbaik, yang masing-masing dimenangkan oleh Space Marshals 3 dan Myst. Space Marshals 3 dengan sistem tactical combat-nya sangat cocok dimainkan di layar besar, sementara Myst merupakan game petualangan keluaran tahun 1993 yang kini telah di-remake untuk platform virtual reality sekaligus diadaptasikan ke platform gaming modern.
Daftar lengkap pemenang App Store Awards 2021, termasuk untuk aplikasi-aplikasi non-gaming, dapat Anda lihat langsung di tautan ini.
Bagi yang pernah mencoba memainkan game Android di PC Windows dengan bantuan software emulator, Anda pasti pernah setidaknya mendengar nama BlueStacks. Emulator Android memang ada banyak, akan tetapi BlueStacks adalah salah satu yang terlama sekaligus terpopuler, dengan total unduhan melebihi 1 miliar kali per Februari 2021.
Meski sudah eksis sejak lama, BlueStacks sebenarnya baru berfokus ke gaming mulai tahun 2016. Sekarang, BlueStacks sudah siap untuk membuka lembaran baru dan merambah segmen yang sedang naik daun, yakni cloud gaming. Mereka meluncurkan BlueStacks X, sebuah layanan cloud gaming gratis untuk game mobile.
BlueStacks X bukanlah sebuah aplikasi. Layanan ini bisa diakses langsung melalui browser di berbagai perangkat. Jadi tidak peduli Anda menggunakan perangkat Windows, macOS, iOS, Android, Chrome OS, Linux, atau malah Raspberry Pi, Anda hanya perlu membuka browser dan mengunjungi x.bluestacks.com untuk mulai bermain. BlueStacks bahkan mengklaim layanannya ini juga tersedia di sejumlah model smart TV.
Agar bisa menjangkau lebih banyak gamer lagi, BlueStacks X juga akan diintegrasikan ke Discord melalui sebuah bot bernama Cloudy. BlueStacks menjanjikan kustomisasi yang mendalam, sehingga admin server Discord bisa menentukan game apa saja yang bakal tersedia buat komunitasnya.
BlueStacks X ditenagai oleh teknologi hybrid cloud yang dibangun bersama sister company BlueStacks, now.gg. Layanan semacam ini juga tidak akan bisa terwujud tanpa eksistensi server berbasis ARM macam AWS Graviton. Seperti layanan cloud gaming pada umumnya, semua pemrosesan di BlueStacks X berlangsung di server, dan yang dilakukan oleh perangkat pengguna sebenarnya cuma streaming.
Pengalaman singkat mencoba BlueStacks X
Berhubung penasaran, saya pun memutuskan untuk langsung mencoba BlueStacks X. Di halaman utamanya, kita akan langsung disuguhi dengan deretan game yang sudah tersedia. Sampai artikel ini ditulis, saya melihat sudah ada 13 judul game yang bisa dimainkan di BlueStacks X.
Untuk mulai bermain, kita akan diminta untuk login menggunakan akun Google, Facebook, atau Discord. Setelahnya, tinggal pilih judul game yang ingin dimainkan dan klik tombol “Play On Cloud”. Dari situ kita akan dibawa ke sebuah tab baru, dan setelah proses loading selama beberapa detik, game-nya langsung siap untuk dimainkan. Tidak ada yang perlu diunduh terlebih dulu.
Saya tidak menemukan problem selama bermain menggunakan browser Chrome di PC. Performanya cukup mulus, tapi entah kenapa cuma terbatas di resolusi 720p 30 fps. Padahal, BlueStacks mengklaim game akan berjalan secara konstan di 60 fps, dan koneksi internet saya cukup mumpuni untuk streaming resolusi 4K di YouTube dengan lancar. Tebakan saya, mungkin karena status BlueStacks X yang sejauh ini masih beta.
Saya juga belum menemukan satu pun iklan di BlueStacks X. Padahal, BlueStacks berencana memonetisasi layanan ini dengan iklan. Kepada The Verge, Rosen Sharma selaku CEO BlueStacks menjelaskan bahwa iklannya bersifat pre-roll, alias diputar di awal dan tidak akan menginterupsi di tengah-tengah permainan.
Andai iklannya diputar selama proses loading awal tiap game, saya rasa tidak akan ada yang keberatan. Ke depannya, BlueStacks juga berencana menawarkan paket subscription. Kemungkinan besar, salah satu fasilitas yang ditawarkan adalah pengalaman bebas iklan.
Berhubung semuanya berjalan di cloud, BlueStacks X turut mendukung sinkronisasi antar perangkat. Saat saya membuka BlueStacks X via browser Safari di iPhone 6S dan login memakai akun Google yang sama, saya pun bisa melanjutkan sesi permainan yang sebelumnya saya jalani di PC. Tidak perlu mengulang dari awal.
Di iPhone yang sudah sangat uzur tersebut, game-nya pun bisa berjalan dengan mulus. Sayang tampilan game-nya tidak bisa dibuat full-screen. Terlepas dari itu, bisa dibayangkan betapa bergunanya layanan BlueStacks X ini bagi pengguna yang spesifikasi ponselnya terlalu rendah untuk memainkan game tertentu. Pesan untuk tim BlueStacks: tolong segera tambahkan Genshin Impact ke katalog BlueStacks X.
Juli lalu, Netflix secara resmi mengumumkan niatannya untuk menyisipkan game ke katalog kontennya. Netflix rupanya tidak butuh waktu lama untuk mengeksekusi rencana tersebut. Baru sebulan berselang, mereka rupanya sudah siap menguji konten gaming-nya bersama publik.
Sejauh ini pengujiannya baru dilangsungkan di Polandia. Para pelanggan Netflix di sana sekarang sudah bisa menjajal dua game di perangkat Android-nya, yakni “Stranger Things: 1984” dan “Stranger Things 3”. Dalam beberapa bulan ke depan, pengujiannya akan meluas ke negara-negara lain, dan juga bakal mencakup platform iOS.
Semua ini sejalan dengan yang diberitakan bulan lalu, bahwa Netflix akan memulai di platform mobile terlebih dulu, dan game-nya dibuat berdasarkan sejumlah franchise Netflix yang sudah ada. Stranger Things sendiri memang merupakan salah satu franchise serial milik Netflix yang paling populer, dan season keempatnya sudah dijadwalkan hadir tahun depan.
Netflix tidak lupa menegaskan kembali bahwa deretan game-nya ini dapat dinikmati tanpa biaya tambahan. Pelanggan juga tidak akan menjumpai iklan maupun in-app purchase di dalam game-nya. Semua sudah termasuk dalam biaya berlangganan Netflix seperti biasanya.
Yang menarik, kalau film-film di Netflix kita stream dari cloud, rupanya konten game-nya tidak demikian. Jadi ketika mengklik “Install Game” di aplikasi Netflix, pelanggan akan dialihkan ke Google Play Store untuk mengunduh game-nya. Cara ini lebih mirip yang diterapkan Apple Arcade dan Google Play Pass ketimbang Stadia atau Xbox Cloud Gaming.
Kita sebenarnya bisa saja langsung mengunduh game-nya dari Google Play Store, tapi saat hendak bermain, kita perlu login menggunakan akun Netflix masing-masing. Sejauh ini belum ada informasi apakah ke depannya Netflix bakal beralih ke metode streaming sepenuhnya, atau malah seterusnya menggunakan metode seperti ini.
Seandainya beralih ke metode streaming ala Stadia, Netflix tentu harus memikirkan pengalaman yang bakal didapat oleh para pelanggannya yang menggunakan perangkat iOS. Pasalnya, Apple memang hanya mengizinkan platform cloud gaming untuk beroperasi menggunakan web app ketimbang native app di iOS.
Semakin ke sini, peminat game online terus bertambah banyak, apalagi mengingat sekarang sudah banyak produsen yang menyediakan smartphone untuk bermain game dengan harga terjangkau, terutama yang dapat memenuhi kebutuhan casual gamer. Salah satu contohnya adalah OPPO A54 yang resmi diluncurkan belum lama ini.
Dengan banderol Rp2.699.000, OPPO A54 pada dasarnya diciptakan untuk menyasar kalangan casual gamer, contohnya mereka yang gemar bermain Fantasy Town, farming simulator keluaran Garena yang banyak mengangkat elemen budaya khas Indonesia. Demi semakin mempertegas posisinya di dunia game mobile, OPPO pun memutuskan untuk kembali bekerja sama dengan Garena.
“Ini kali kedua kami bekerja sama dengan game Fantasy Town, sebelumnya kami menggunakan perangkat OPPO A31. Sementara ini merupakan kerja sama kedua dengan Garena pada tahun ini, di mana kami juga menjadi sponsor utama pegelaran ASL 2021 Spring dengan membawa perangkat Reno5 5G dan OPPO A74,” jelas Aryo Meidianto, PR Manager OPPO Indonesia.
Kerja sama itu diwujudkan dalam bentuk event Lebaran berhadiah smartphone dalam game Fantasy Town yang akan berlangsung mulai 3 Mei 2021 pukul 15.00 WIB, dan berakhir di tanggal 13 Mei 2021 pukul 11.59 WIB. Untuk bisa mengikuti event tersebut, pemain diwajibkan mencapai minimum level 4, serta menyelesaikan misi-misi dasar seperti login, share, dan add friend. Selanjutnya, OPPO dan Garena akan membagikan perangkat A54 dengan sistem lucky spin.
Calvindoro, Product Manager Fantasy Town, turut menanggapi kolaborasi ini. “Kami senang dapat berkolaborasi bersama dengan OPPO kembali. Kolaborasi ini sejalan dengan komitmen Garena untuk menyediakan konten-konten menarik kepada seluruh pemain game kami. Kami berharap, kehadiran OPPO A54 di event ini dapat turut serta memeriahkan suasana Lebaran seluruh pemain Fantasy Town,” terangnya dalam siaran pers.
Di tahun 2021 ini, OPPO memang punya tujuan untuk memperkuat posisinya di dunia game mobile. Tagline “Gaming for Everyone” yang diusungnya berarti OPPO akan terus menyediakan berbagai perangkat smartphone untuk memenuhi kebutuhan gaming semua kalangan konsumen.
Sekadar mengingatkan, OPPO A54 hadir mengusung layar 6,51 inci beresolusi HD+. Performanya ditunjang oleh chipset MediaTek Helio P35, RAM LPDDR4X 4 GB, dan penyimpanan internal sebesar 128 GB (plus slot kartu microSD). Baterainya memiliki kapasitas 5.000 mAh dan mendukung fast charging 18 W. Dari sisi software, perangkat turut dibekali fitur Hyperboost yang dapat mendorong kinerja perangkat dan menyesuaikan frame rate secara cerdas.
Mobile Premier League (MPL), platform esports asal Bangalore, India pada Februari 2021 lalu baru saja mengumumkan putaran pendanaan terbarunya membukukan dana hingga $95 juta. Perolehan ini tidak berselang jauh setelah di September 2020 lalu mereka mendapatkan pendanaan seri C senilai $90 juta — MDI Ventures turut memimpin investasi. Sementara investor lokal lainnya, Go-Ventures juga berpartisipasi.
Dari kabar yang tersiar, kini valuasi perusahaan telah mencapai $945 juta. Modal tambahan masih akan difokuskan untuk memperkuat kehadiran dan ekspansi layanan; juga meningkatkan proposisi nilai dari platform esports yang dimiliki. Sejauh ini bisnis MPL ditopang di dua pasar utama, yakni India (dengan 60 juta pengguna) dan Indonesia (4 juta pengguna), menyuguhkan sekitar 70 permainan online multi-genre.
Untuk mengetahui perkembangan layanan MPL di Indonesia, kami berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan Vice President & Country Head Indonesia Mobile Premier League Ridzki Syahputera.
Layanan MPL di Indonesia
Saat ini, melalui situs dan aplikasi MPL, pengguna di Indonesia dapat menikmati dua kategori permainan, yakni casual game dan fantasy sport game. Untuk casual game, jumlahnya sudah ada sekitar 30 jenis – tiap hari dikurasi dan dirotasi untuk memudahkan pengguna. Permainan ini sesinya lebih pendek. Sedangkan di kategori fantasy sports, pengguna diajak melakukan analisis di bidang olahraga tertentu, menargetkan kalangan pecinta olahraga seperti sepak bola, basket, tenis, dll.
“Setiap game yang ada lebih mengedepankan kemampuan pemain ketimbang keberuntungan, sehingga di MPL pengguna benar-benar harus berlatih dan mengasah kemampuannya,” ujar Ridzki.
Sementara terkait kontes, ada beberapa tipe yang dapat diikuti. Mulai dari turnamen, head-to-head battle (satu lawan satu dengan tingkat keahlian yang sama), battle arena (mirip satu lawan satu tapi dengan jangka waktu tertentu, pemenang dihitung dari berapa kali mereka mendapatkan juara dari sesi yang diikuti), dan mega contest (turnamen dengan waktu dan hadiah yang lebih besar).
“Rata-rata MPL menyediakan 1600 kontes per hari. Teknologi kami pada dasarnya bisa untuk memfasilitasi turnamen esports dengan skala besar dengan dukungan 24 jam,” imbuhnya.
Pada dasarnya setiap pemain yang berminat untuk gabung di suatu sesi akan dikenakan biaya. Di dalam sesi tersebut ada hadiah tertentu dari nominal yang dikumpulkan – di beberapa acara juga disediakan hadiah dari sponsor. Pengguna juga dapat menukarkan poin (berlian) yang didapat melalui fitur MPL Mall untuk ditukarkan dengan berbagai voucher yang disediakan.
Model bisnis
Di samping untuk memastikan siapa saja bisa ikut bermain dan berkompetisi, Ridzki menyampaikan, teknologi MPL juga didesain untuk menjaga agar semua kompetisi berjalan secara adil. Di dalamnya termasuk pencegahan fraud dan potensi kecurangan dari cheater. Mereka melakukan monetisasi dengan dua cara, yakni mengenakan fee ke pengguna untuk platform dan biaya masuk. Kemudian juga bekerja sama dengan mitra bisnis untuk melakukan brand activation.
Saat ini pertumbuhan pengguna MPL secara keseluruhan telah mencapai 85%, pandemi juga mendorong peningkatan basis pengguna. Sejak Maret tahun lalu, ada peningkatan 55% dalam game play dan 7x lipat jumlah pengguna. Tapi pandemi juga menghadirkan banyak tantangan bagi perusahaan.
“Ada dampak positif di beberapa metrik, tapi ada yang terganggu juga di metrik lain. Misalnya akibat purchasing power yang menurun. Banyak pengguna yang tetap bermain untuk alternatif hiburan di masa pandemi, tapi daya beli mereka turun. Maret s/d April 2020 menjadi puncaknya kami merasakan dampak yang cukup signifikan terhadap deposit rate di platform,” jelas Ridzki.
Kemitraan strategis
Go-Ventures mulai berinvestasi ke MPL sejak di putaran awal. Kemitraan strategis tersebut juga membawa Gopay menjadi platform pembayaran pertama yang terintegrasi dengan situs MPL di Indonesia. Selanjutnya, masuknya MDI Ventures juga membawa LinkAja masuk ke jajaran opsi pembayaran melalui e-wallet.
“Selain integrasi, ada aspek penting yang kami rasa sangat bermanfaat dalam kemitraan ini, yakni meningkatkan kredibilitas platform MPL Indonesia,” kata Ridzki.
Selain itu, MPL juga gencar menjalin kerja sama dengan game publisher. Dari Indonesia sudah ada Agate Studio yang meletakkan beberapa permainan besutannya ke platform. Ridzki memandang bahwa hadirnya MPL sebagai “wadah” bisa dimanfaatkan para pengembang untuk membantu memonetisasi karya mereka – setidaknya menjadi additional way di luar penerbitan aplikasi melalui marketstore.
Keberhasilan MPL mendukung Piala Presiden Esports 2020 juga dinilai menjadi benchmark yang baik bagi perusahaan untuk menjalin kerja sama dengan mitra-mitra strategis lainnya – termasuk brand dan organisasi – guna menyelenggarakan aktivitas dengan skala kota sampai nasional.
Tantangan edukasi pengguna
MPL mengklaim, sebagai rewardable gaming platform pertama di Indonesia, mereka merasa punya tanggung jawab untuk mengedukasi pengguna – membuat mereka tahu tentang adanya platform tersebut, proses bisnis, dan tanggung jawab dalam bermain. Untuk kalangan milenial Ridzki menilai tidak banyak isu dalam upaya edukasi, yang lebih menantang adalah meyakinkan para pengguna yang lebih tua (termasuk orang tua) bahwa game tidak hanya identik dengan sesuatu nonproduktif.
“Dari kondisi tersebut, tahun ini kami masih akan banyak fokus melakukan brand awarenss, industry awarenss sehingga menciptakan ekosistem yang lebih siap. Selain itu dengan investasi yang didapat, kami juga akan mengoptimalkan potensi fantasy sport di Indonesia,” tambah Ridzki.
Mengutip laporan Newzoo tahun 2020, India memiliki mobile gaming revenue sebesar $1,8 miliar dengan populasi penduduk kurang lebih 1,38 miliar jiwa. Sedangkan, Indonesia dengan populasi penduduk sekitar 273 juta jiwa memiliki mobile gaming revenue sebesar 1,2 miliar. Sehingga bisa disimpulkan adanya minat dan antusiasme yang tinggi di industri gaming Indonesia, potensinya masih bisa terus digali.
“Untuk pendapatan industri gaming, sekarang Indonesia nomor satu di Asia Tenggara dan nomor 8 di dunia. Kurang lebih 64% dari total populasi aktif dalam online gaming,” jelas Ridzki.
Ia pun cukup optimis dengan ekosistem di Indonesia. Dibuktikan dengan makin banyaknya stakeholder yang bermain mulai dari publisher, tim esport, manajemen talenta esports, pengelola turnamen, sampai influencer – masing-masing berpartisipasi dalam unit economy di industri tersebut.
“Dan yang tak kalah penting adalah elemen kompetitif itu sendiri. Game sama seperti sepak bola, karena ada kompetisinya jadi lebih populer. Orang jadi punya idola terhadap pemain tertentu, berambisi bisa seperti idolanya, dan bahkan mau berinvestasi ke sana – baik berpartisipasi dalam kompetisi sampai menonton konten esports. Di sisi lain pemerintah seperti Kantor Staf Presiden, Kemenpora, PBSI Esports Indonesia sangat suportif terhadap industri ini,” pungkasnya.
Portofolio produk brand sebesar Logitech tentu mencakup banyak kategori sekaligus. Namun selama ini ternyata mereka cukup jarang menyentuh kategori earphone, dan itulah mengapa perangkat bernama Logitech G333 berikut ini pantas mencuri perhatian.
Logitech menyebutnya sebagai earphone gaming pertama mereka. Namun kalau kita telusuri, perangkat ini tampak identik seperti Logitech G333 VR yang dirilis bersamaan dengan virtual reality headset Oculus Quest 2. Namanya pun sama persis, namun hilangnya label “VR” pada namanya tentu menandakan target pasar yang lebih luas.
Lewat G333, Logitech pada dasarnya juga ingin menyasar kalangan gamer mobile. Ini bisa dilihat dari kelengkapan aksesori yang disertakan dalam paket penjualannya, yang rupanya juga meliputi sebuah adaptor USB-C untuk konektor 3,5 mm-nya. Jadi untuk konsumen yang smartphone-nya tidak dilengkapi headphone jack, mereka tetap bisa menggunakan G333 dengan bantuan adaptor tersebut.
Secara fisik, G333 datang membawa konstruksi aluminium beserta kabel pipih sepanjang 1,2 meter yang terbuat dari bahan karet TPE (thermoplastic elastomer) yang fleksibel. Pada kabel yang menyambung ke earpiece sebelah kanannya, ada remote control kecil untuk mengatur volume dan playback, sekaligus yang mengemas sebuah mikrofon terintegrasi. Bobotnya secara keseluruhan hanya 19 gram (tidak termasuk adaptor USB-C).
Masing-masing earpiece-nya ditenagai oleh dua dynamic driver berdiameter 5,8 mm dan 9,2 mm. Tiap unit driver ini punya tugas yang berbeda, satu untuk menghasilkan suara di frekuensi mid dan high, satu untuk frekuensi low alias bass. Seperti kebanyakan earphone yang dijual di pasaran, G333 juga hadir bersama tiga pasang eartip silikon dengan ukuran yang berbeda-beda (S, M, L).
Di Indonesia, Logitech G333 sekarang sudah dijual secara resmi dengan harga Rp629.000 dan tiga pilihan kombinasi warna: hitam dengan aksen biru, ungu dengan aksen kuning, dan putih dengan aksen ungu muda. Selain adaptor USB-C dan eartip cadangan, paket penjualannya juga mencakup sebuah carrying pouch.
Melihat tren 5G, sebagian dari kita mungkin bertanya dalam hati: “Mengapa saya butuh 5G?” “Saya sudah bisa streaming video dengan lancar menggunakan 4G, jadi buat apa 5G?” Memang mudah mengabaikan premis yang ditawarkan suatu teknologi baru jika kita belum pernah mencobanya, tapi begitu kita sudah menjajal, mungkin akan sulit untuk kembali ke skenario sebelumnya.
5G nantinya bakal seperti itu. Ketika kita sudah merasakan betapa cepatnya mengunggah video beresolusi 4K atau bahkan 8K menggunakan jaringan 5G, kita mungkin bakal marah-marah ketika mengulangi hal yang sama di jaringan 4G. Namun kecepatan download dan upload yang ngebut bukan satu-satunya kelebihan yang ditawarkan 5G, melainkan juga latency yang sangat rendah.
Bicara soal latency, sudah pasti sektor yang paling terpengaruh adalah gaming. Menggunakan 5G, latency dapat ditekan hingga serendah 5 milidetik, dan itu berarti nyaris tidak ada jeda antara pergerakan di dalam game dengan input dari Anda sebagai pemain. Bandingkan dengan 4G, yang mungkin hanya bisa mencatatkan latency 50 milidetik dalam kondisi terbaik.
Reliabilitas 5G untuk gaming bukan lagi sebatas teori. Tahun 2019 kemarin, Vodafone dan ESL sempat mengadakan turnamen esport yang sepenuhnya berlangsung di atas jaringan 5G milik Vodafone di Itali. Kalau dalam konteks gaming kompetitif dan di taraf profesional saja 5G sudah bisa diandalkan sepenuhnya, apalagi dalam konteks casual gaming sehari-hari?
Singkat cerita, industri mobile gaming maupun gaming secara umum akan sepenuhnya terbantu oleh 5G, dan jika Anda rutin bermain game di smartphone, Anda pasti menginginkan 5G nantinya. Saya bilang “nanti” karena memang teknologi jaringan seluler generasi kelima ini masih belum dikomersialkan di Indonesia.
Kapan pastinya jaringan 5G akan tersedia secara resmi di Indonesia masih tanda tanya, tapi dalam acara 5G Academy yang digelar oleh OPPO belum lama ini, para pemain industri telekomunikasi di Indonesia – mulai dari penyedia device, penyedia teknologi, sampai penyedia layanan – sebenarnya sudah sangat siap, dan mereka hanya tinggal menunggu lampu hijau dari pemerintah.
Dengan kata lain, tidak ada salahnya apabila kita sebagai konsumen sudah mulai mengambil ancang-ancang dari sekarang. Ponsel 5G juga sudah mulai dijual di tanah air, seperti misalnya OPPO Reno5 5G, meski memang konektivitas 5G-nya masih dikunci, dan baru akan dibuka saat jaringannya sudah tersedia.
Berhubung 5G bakal sangat ideal untuk mobile gaming, Reno5 5G otomatis juga telah dibekali dengan performa yang cukup mumpuni. Chipset Qualcomm Snapdragon 765G + RAM 8 GB yang tertanam, dipadukan dengan layar AMOLED 6,4 inci yang memiliki resolusi FHD+ dan refresh rate 90 Hz, pastinya mampu menyuguhkan pengalaman gaming yang smooth – dan tanpa cela seandainya 5G nanti sudah bisa dinikmati.
Supaya pengalaman yang didapat lebih maksimal lagi, solusi berbasis software pun juga ikut diterapkan. Sistem operasi ColorOS 11.1 pada Reno5 5G punya sejumlah fitur yang didedikasikan untuk keperluan gaming, seperti misalnya Gaming Shortcut Mode yang bakal semakin mempercepat waktu loading awal suatu game.
Buat yang khawatir 5G nantinya bakal semakin menguras baterai smartphone, Reno5 5G sudah menyiapkan solusi berupa 65W SuperVOOC 2.0, teknologi pengisian daya cepat yang mampu mengisi penuh baterai perangkat dalam waktu 35 menit saja. Kalaupun sedang terburu-buru, charging selama 15 menit saja sudah bisa mengisi sekitar 60% dari total kapasitas yang dimiliki baterainya (4.300 mAh).
Semua itu tentu saja tanpa melupakan faktor-faktor penting yang memang konsumen cari dari sebuah smartphone, seperti misalnya kamera yang selalu bisa diandalkan setiap saat. Di Reno5 5G, konsumen bakal dimanjakan oleh kombinasi kamera utama 64 megapixel f/1.7, kamera ultra-wide 8 megapixel, kamera macro 2 megapixel, kamera monokrom 2 megapixel, dan kamera selfie 32 megapixel.
Untuk harganya, OPPO Reno5 5G dijual dengan banderol Rp6.999.000. Harganya memang terpaut 2 juta rupiah dibanding Reno5 versi 4G, tapi selisih yang cukup lumayan tersebut pada akhirnya bisa terbayarkan berkat paket lengkap yang lebih future-proof.
Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh OPPO.
Genshin Impact bisa dibilang merupakan fenomena gaming tahun 2020. RPG open-world garapan miHoYo tersebut baru saja menyabet dua gelar yang cukup bergengsi, yakni “iPhone Game of the Year” dan Best Game of 2020 versi Google Play. Ya, meski baru dirilis ke publik secara resmi pada tanggal 28 September lalu, Genshin Impact rupanya sudah bisa menjadi game terbaik di dua platform sekaligus.
Bukan hanya itu, Genshin Impact juga berhasil menjadi mesin uang bagi sang developer asal Tiongkok yang memulai kiprahnya di tahun 2012 tersebut. Berdasarkan estimasi data dari Sensor Tower, Genshin Impact sukses membukukan pendapatan sebesar $393 juta (± Rp5,57 triliun) dalam kurun waktu cuma dua bulan semenjak peluncurannya, dan ini hanya untuk di platform mobile saja.
Seperti yang mungkin sudah Anda ketahui, Genshin Impact merupakan game free-to-play, yang artinya seluruh pemasukan tersebut murni berasal dari microtransaction. Lebih dari separuhnya ($226 juta / 57,5%) datang dari platform iOS, sedangkan sisanya ($167 juta / 42,5%) berasal dari kantong para pengguna perangkat Android.
Angka pendapatan sebenarnya mungkin lebih tinggi daripada estimasi ini, sebab Sensor Tower tidak mengikutsertakan data dari platform Android pihak ketiga yang ada di Tiongkok maupun di sejumlah negara lain. Sebagai referensi, di bulan pertamanya Genshin Impact mencatatkan pemasukan sebesar $245 juta – sekarang memang menurun, tapi masih masuk di tiga besar game mobile dengan pemasukan terbesar secara global.
Lalu kalau dibagi berdasarkan lokasi, tanpa harus terkejut pemasukan terbesar Genshin Impact datang dari kampung halamannya sendiri: lebih dari $120 juta, atau 30,5% dari total pemasukan. Di peringkat kedua ada Jepang dengan $98 juta atau 25%, disusul oleh Amerika Serikat dengan $74 juta atau 18,8 persen. Indonesia tidak termasuk tiga besar, yang berarti kita masih rasional perihal gacha 🙂
Terakhir, pencapaian Genshin Impact ini mengesankan bukan hanya karena nominal pendapatannya saja, melainkan juga karena cakupannya yang global. Kepada VentureBeat, perwakilan Sensor Tower menjelaskan bahwa game MMO mobile biasanya cuma sukses di negara asalnya, dan ini bisa dilihat dari sederet MMO besutan Tencent yang dirilis untuk pasar Tiongkok, atau seri game Lineage di Korea Selatan.
Genshin Impact tidak demikian. Seperti yang bisa kita lihat, game ini sukses secara finansial tidak hanya di negara asalnya saja, tapi juga di Jepang dan bahkan di Amerika Serikat. Pandemi jelas berpengaruh besar terhadap kesuksesannya, tapi hal ini sebenarnya tentu juga berlaku untuk game–game lainnya, tinggal bagaimana masing-masing developer dan publisher pandai-pandai memanfaatkan kesempatannya.
Pemasukan industri mobilegame memang sudah mencapai Rp540 triliun, tapi apakah smartphone gaming benar dibutuhkan oleh para pengguna? Apakah smartphone flagship saja tidak cukup digunakan untuk gaming? Lalu seberapa jauh smartphonegaming bisa memberikan pengalaman terbaik, dan memuaskan para gamers?
Setelah mengulas laptop dan built-in desktop, kali ini saya berkesempatan melakukan review terhadap smartphone gaming Xiaomi Black Shark 3. Unit yang saya review sendiri adalah varian Black Shark 3 biasa dengan konfigurasi RAM/ROM 8/128. Dibanderol dengan harga Rp9.999.000, apakah smartphone gaming ini benar layak dibeli untuk mobilegamers atau mungkin mereka yang bercita-cita jadi bintangesports?
Gaming Experience dan Performa
Seperti sebelum-sebelumnya, saya mencoba untuk lebih to the point dalam melakukan review. Berhubung Black Shark 3 adalah smartphonegaming, mari kita kesampingkan dahulu soal pengalaman penggunaan smartphone ini untuk sehari-hari dan fokus kepada alasan kenapa smartphone ini ada yaitu untuk gaming. Tetapi sebelum memulai review, simak dulu spesifikasi teknis dari Xiaomi Black Shark 3.
Untuk menguji kemampuan gaming dari Black Shark 3, saya menggunakan beberapa gamemobile yang mungkin tidak baru, tapi saya rasa masih cukup demanding secara hardware di tahun 2020. Game tersebut adalah PUBG Mobile, Call of Duty Mobile, Fortnite, Asphalt 9, dan Arena of Valor. Dari baterai 100%, saya memainkan game tersebut secara satu per satu, sambil menangkap performa grafis, stabilitas, serta suhu smartphone. Bagaimana hasilnya? Secara singkat, pengalaman bermain game di Black Shark 3 berhasil membuat saya jadi merasa ingin meninggalkan komputer dan terus-terusan main di smartphone saja. Lebih lanjut berikut penjelasannya.
Black Shark 3 dapat menjalankan PUBG Mobile dengan pengaturan grafis Smooth dengan frame rate 90 fps, atau kualitas grafis Ultra HD dengan frame rate Ultra. Keduanya bisa berjalan dengan sangat mulus dan stabil pada Black Shark 3. Pada pengaturan grafis Ultra HD dan frame rate Ultra (40 fps maksimal), game berjalan cukup stabil di sekitaran maksimum Frame Rate yang diperkenankan. Dengan fitur Performance Monitor yang disediakan oleh JOYUI 11, tercatat bahwa penurunan fps paling jauh hanya sampai titik 38 fps saja. Namun memainkan PUBG Mobile membuat smartphone cukup hangat yaitu 38,5 derajat celsius pada suhu baterai.
Berganti ke pengaturan Smooth-90 fps, stabilitas performa Black Shark 3 juga terjaga dengan sangat baik. Kebetulan saya hampir mendapat Chicken Dinner ketika sedang menguji kemampuan Black Shark 3 dengan menggunakan pengaturan Smooth-90 fps. Hasilnya? Dari awal sampai akhir, permainan berjalan dengan sangat lancar dan hampir tanpa stuttering. Suhunya juga cenderung lebih rendah, yaitu 36,1 derajat celisius pada suhu baterai.
Berlanjut ke Call of Duty Mobile, game tersebut bisa berjalan hingga Graphic Quality Very High, Frame Rate Max (maksimum 60 fps), dengan fitur grafis tambahan seperti Depth of Field, Bloom, Real-Time Shadow, Ragdoll, dan Anti-Aliasing menyala. Mungkin Call of Duty Mobile terbilang lebih ringan jika dibanding PUBG Mobile. Saya bermain dua kali Team Deathmatch, hasilnya adalah game berjalan dengan mulus, dan suhu baterai ada di 38,2derajat celsius.
Mencoba Fortnite, Epic Games sepertinya belum mengoptimasi game tersebut pada smartphone Android secara umum. Hasilnya Fortnite cuma bisa berjalan pada pengaturan 30 fps saja di Black Shark 3; walaupun saya cukup yakin Snapdragon 865 harusnya bisa menjalankan Fortnite dalam 60 fps. Terlepas dari itu, saya masih bisa memaksimalkan Quality Preset menjadi Epic dan 3D Resolution hingga 100%. Berhubung tidak ada server Asia Tenggara, jadi saya bermain dengan sedikit lag jaringan. Terlepas dari itu, Fortnite berjalan dengan stabil walau saya sebenarnya kurang puas dengan frame rate 30 fps saja. Suhu baterai ketika memainkan Fortnite adalah 37,5 derajat celsius, cenderung tidak melenceng terlalu jauh dari suhu rata-rata.
Asphalt 9 juga mampu dijalankan dengan pengaturan grafis maksimal, yaitu Visual Quality High dan 60 fps Enabled. Walau demikian, Asphalt 9 tidak bisa berjalan dengan sepenuhnya stabil. Game balap besutan Gameloft tersebut sempat mengalami frame drop hingga berada di angka 26 fps. Frame rate juga tidak selalu stabil di 60 fps, kecuali dalam kondisi minim efek-efek grafis. Jika Anda menghadapi lompatan atau adu tabrak dengan mobil lain, frame rate kadang-kadang bisa turun jadi sekitar 40an fps. Tapi saya cenderung masih merasa nyaman memainkan Asphalt 9, walau ada framedrop seperti demikian. Suhu baterai ketika memainkan Ashpalt 9 adalah 38,2 derajat celsius, lumayan membuat tangan saya jadi lebih hangat.
Selanjutnya Arena of Valor. Awalnya saya merasa game ini punya grafis yang cukup berat, karena visual megah yang disajikan. Grafis saya atur rata kanan, mulai dari HD Display, Display Quality, sampai Particle Quality. Saya juga tidak lupa menyalakan High Frame Rate Mode, dan Dynamic Cloud Shadow agar kualitas gambar jadi semakin ciamik. Setelah dimainkan, Arena of Valor ternyata tidak berhasil membuat Black Shark 3 kerja terlalu keras. Game berjalan stabil 60 fps, dan hampir tanpa ada framedrop ataupun stuttering. Suhu baterai cenderung rendah, yaitu 36,6 derajat celsius, masih adem di tangan.
Setelah kurang lebih sekitar 2 jam saya mencoba semua game tersebut, baterai Black Shark 3 yang memiliki kapasitas 4720 mAh tersebut berkurang dari awalnya 100% menjadi tinggal 39% saja. Cukup takjub dengan hasil yang diperoleh tersebut. Kalau melakukan skenario yang sama pada Pocophone F1 yang sudah sekitar 2 tahun saya gunakan, baterai mungkin jadi tinggal sisa 20% saja.
Setelah mencobanya untuk bermain game, saya lalu menguji performa Black Shark 3 dengan menggunakan Antutu Benchmark. Total Score tertinggi yang saya dapatkan adalah sebesar 570.168. Merupakan skor yang cukup tinggi, walau masih kalah jika dibandingkan dengan ROG Phone 3 yang memiliki Total Score sebesar 615.289, mengutip dari laman resmi Antutu Benchmark.
Shark Space dan Fitur Gaming Lainnya
Selain performa, nilai jual lain dari sebuah smartphonegaming adalah fitur-fiturnya yang fokus kepada gamers. Untuk itu, saya lalu mencoba beberapa fitur-fitur gaming unggulan yang ada di Black Shark 3. JOYUI 11 memiliki beberapa fitur yang fokus kepada segmen gaming. Secara garis besar fitur yang tersedia adalah Gamer Studio dan Shark Space. Di dalam fitur tersebut, masih ada fitur-fitur lain lagi yang akan kita bahas selanjutnya.
Jika Anda adalah pengguna MIUI 11, Anda mungkin tahu fitur Game Turbo. Secara singkat, fitur Gamer Studio dan Shark Space sebenarnya mirip dengan Game Turbo namun dengan lebih banyak opsi pengaturan. Secara default, Gamer Studio dapat diaktifkan dengan menggunakan gestureswipe dari pojok kanan atau kiri atas. Setelahnya akan keluar tampilan seperti Notification Bar yang berisikan berbagai pengaturan untuk kebutuhan gaming Anda.
Gamer Studio berisikan berbagai pengaturan, mulai dari yang paling mendasar seperti mengatur level suara atau brightness, sampai yang lebih advanced seperti Master Touch, Edge Anti-Mistouch, Master Touch, Touch Adjustment, Shark Time, Performance Monitor, bahkan Anda bisa melakukan semacam “mini-overclock” dalam Gamer Studio.
Dari fitur-fitur yang ada di Gamer Studio, yang paling saya gunakan tentunya fitur Performance Monitor (ya iya dong, kan untuk benchmark… Hehe). Tapi selain itu, saya masih merasa belum ada satu fitur pun dalam daftar tersebut yang membuat saya sreg menggunakannya.
Master Touch memungkinkan Anda menekan layar bagian kiri dan/atau kanan, dan membuatnya sebagai tambahan input ketika bermain game. Posisi tambahan input bisa Anda atur sesuka hati, sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan Anda. Selain itu, level tekanan juga diatur, dan ada Vibration Feedback yang akan memberi efek getar jika tekanan ke layar masuk menjadi input.
Saya mencoba menggunakannya pada PUBG Mobile, namun masih belum menemukan cara penggunaan ternyaman. Master Touch kiri saya atur untuk menembak, sementara Master Touch kanan saya gunakan untuk mengaktifkan ADS atau membidik. Hasilnya saya malah kelimpungan ketika bertemu musuh. Saya jadi kagok, apakah harus tekan layar atau touch ke tombol yang sudah saya set sebelumnya. Kebetulan saya adalah tipe pemain yang menggunakan Gyroscope dan mengaktifkan scope dengan cara Hold.
Mungkin karena itu, saya cenderung kesulitan ketika ingin menembak dengan menggunakan Master Touch. Setelah menekan, saya harus menahan tingkat tekanan tersebut di layar sebelah kanan. Kalau pertempuran sedang panas, saya malah lupa menekan layar, sehingga bidikan scope saya jadi lepas.
Mungkin karena saya terlalu terbiasa menggunakan touch untuk gaming di smartphone, membuat saya merasa fitur Master Touch justru cuma menambah kerepotan saja. Saya merasa bahwa dalam baku tembak tempo cepat, touch cenderung lebih efisien dibandingkan menekan. Tapi juga perlu diingat, saya baru mencoba fitur tersebut dalam skenario bermain PUBG Mobile saja.
Fitur berikutnya, Shark Time, memperkenankan pengguna merekam highlight singkat permainan, sampai dengan durasi 30 detik. Setelah diaktifkan di Gamer Studio, Shark Time akan muncul dalam bentuk tombol kecil yang bisa Anda pindah-pindah, mirip seperti aplikasi Screen Recorder pada tampilan antar-muka MIUI. Secara teori, fitur ini akan membantu Anda menangkap momen-momen penting di dalam permainan, entah itu clutchadu tembak 1 vs 5 dalam game shooter atau momen Penta Kill ketika bermain MOBA.
Masalahnya ketika sudah fokus bermain, kita tidak akan tahu kapan momen itu datang, karena Clutch atau Penta Kill tidak bisa disiapkan. Alhasil, saya yang terlanjur fokus bermain jadi lupa menyentuh tombol Shark Time, sehingga momen penting permainan saya jadi tidak terdokumentasikan. Mungkin akan lebih bagus jika Shark Time bisa merekam dan memilih momen secara otomatis seperti fitur NVIDIA Highlight gitu?
Fitur-fitur lain seperti Anti-Mistouch, Touch Adjustment, atau Performance Adjustment juga terbilang kurang terpakai secara maksimal. Kenapa? Karena dengan pengaturan default dan tanpa ada tweak di sana dan sini, gaming di Black Shark 3 sebenarnya sudah nyaman. Kontrol touch baik-baik saja, walaupun saya tidak mengaktifkan Anti-Mistouch dan Touch Adjustment. Jarang ada momen salah input, walaupun dua fitur tersebut tidak saya gunakan. Tanpa Performance Adjustment, kemampuan gaming Black Shark 3 juga sudah mumpuni, seperti yang saya bahas pada bagian sebelumnya.
Namun demikian, Performance Adjustment sebenarnya bisa jadi berguna, terutama jika Anda ingin bisa bermain game lebih lama lagi. Selain bisa meningkatkan performa, Performance Adjustment juga bisa menurunkan performa. Jadi jika Anda ingin hemat baterai, dan mendapat suhu yang lebih adem, Anda bisa melakukan “underclock” atau menurunkan tingkat utilisasi CPU.
Fitur Shark Space justru menjadi keunikan bagi Black Shark 3. Fitur ini dapat Anda aktifkan dengan cara menjentikkan tombol yang ada di kiri bawah smartphone. Setelahnya Black Shark 3 akan membuka Shark Space, dan hanya menampilkan game yang ter-install saja. Secara umum, tampilan Shark Space mirip-mirip dengan tampilan antar-muka konsol game. Saya merasa fitur ini yang membuat Black Shark 3 benar-benar semakin terasa seperti smartphonegaming.
Shark Space seakan ingin aktivitas produktivitas, dipisah dengan aktivitas gaming. Jadi bila Anda sedang membutuhkan Black Shark untuk kebutuhan produktivitas seperti membalas chat, email, atau pekerjaan lainnya, Anda bisa menikmati tampilan JOYUI 11 yang punya dengan tampilan antar-muka seperti MIUI pada kebanyakan smartphone Xiaomi.
Sementara bila sudah memasuki waktu gaming, jentikkan Shark Button, dan voila! Black Shark 3 akan menjadi mobilegamingconsole yang akan menyembunyikan notifikasi chat, email, dan aplikasi-aplikasi lainnya untuk sementara waktu.
Shark Space juga memiliki Observer Mode yang akan mematikan fungsi telepon, sehingga Anda tidak akan terganggu selama gaming dengan menggunakan konektivitas mobile data. Observer Mode sepertinya agak sedikit ekstrim, jadi pastikan Anda benar-benar sedang tidak dicari oleh siapapun, baik itu pacar, bos, driver delivery makanan, atau tukang tagih hutang ketika ingin menyalakan fitur tersebut.
Desain
Oke, setelah panjang lebar membahas soal kemampuan gaming si Black Shark 3, mari kita beralih ke hal-hal fundamental dari sebuah smartphone. Dari sisi depan, Black Shark 3 mengusung rancangan layar Full Screen Display dengan screen-to-body ratio 82,4%. Rancangan tersebut berarti layar tampil penuh, tanpa ada gangguan notch, waterdrop, atau punch–hole. Sebagai pengganti, Black Shark 3 memiliki bezel atas dan bawah yang cenderung lebih tebal dibanding rancangan Full Screen Display lainnya, untuk menempatkan kamera depan.
Berpindah ke bagian belakang, Black Shark 3 yang saya review memiliki warna hitam yang sangat elegan dan khas gaming. Pada bagian atas dan bawah, ada sebuah bump atau tonjolan berbentuk diamond, yang bersifat simetris. Bump atas berisikan 3 kamera, dan bump bagian bawah berisi magneticchargingcontacts, yang bisa dipasangkan dengan aksesori chargermagnetic. Untuk menambah kesan gaming, Xiaomi tidak lupa menambah RGB lighting dengan logo “S” khas Black Shark, yang secara default mengeluarkan cahaya warna hijau. Selain hal yang saya sebut, tidak ada hal lain lagi di bagian belakang Black Shark 3. Fingerprintscanner sudah diletakkan ke bawah layar di bagian depan, sehingga bagian belakang smartphone jadi lebih rapi.
Beralih ke bagian sisi, Black Shark 3 dibalut oleh alumuniummetalframe yang membuat Black Shark 3 terasa sangat kokoh ketika dipegang. Pada bagian kanan ada tombol power dan Shark Button, yang diaktifkan dengan cara dijentik, mirip seperti ring/silent mode button pada Apple iPhone. Sementara itu di bagian kiri ada tombol Volume Up/Down dan sim-card tray.
Display
Mengutip dari laman spesifikasi resmi, Black Shark 3 memiliki layar AMOLED sebesar 6,67 inci dengan rasio 20:9, resoulsi 2400 x 1080, refresh rate 90Hz, dan kepadatan pixel sebesar 394 PPI. Sejauh saya menggunakan Xiaomi Black Shark 3, saya merasa reproduksi warna yang dihasilkan sudah cukup. Ketika digunakan untuk gaming, saya pun merasa warna yang dikeluarkan sudah cukup cerah sehingga memudahkan saya untuk menemukan musuh-musuh yang bersembunyi di PUBG Mobile.
Memiliki tingkat kecerahan sebesar 500nit, Black Shark 3 terbilang cukup nyaman digunakan dalam kondisi terik matahari walau kecerhannya agak kalah dengan cahaya matahari. Untungnya JOYUI 11 menyematkan fiitur DSP display Enhancement dan Sun Screen, yang akan meningkatkan kontras warna, sehingga layar tetap jelas walau dalam kondisi terik matahari.
Walaupun Black Shark 3 adalah smartphonegaming, namun Xiaomi masih tidak lupa menyematkan fitur always-on display dalam JOYUI 11. Berkat fitur ini, Black Shark 3 dapat menampilkan waktu, tanggal, serta informasi baterai walaupun sedang dalam keadaan tertidur. Ketika smartphone di angkat, Black Shark 3 secara otomatis menampilkan ikon fingerprint, yang memudahkan Anda untuk unlocksmartphone.
Refresh rate 90Hz tak hanya bagus untuk gaming, tetapi juga bagus dalam membuat membuat animasi demi animasi saat smartphone dioperasikan terlihat lebih mulus. Namun demikian, selain untuk sehari-hari, tingkat utilisasi layar 90Hz untuk gaming cenderung sangat rendah. Sampai saat ini belum ada game yang dapat dijalankan lebih dari 60 fps, kecuali PUBG Mobile yang baru saja merilis frame-rate 90 fps. Tambahan lainnya soal refresh rate 90Hz, saya jadi merasa video YouTube 60 fps berjalan lebih mulus. Entah benar atau tidak, mungkin hanya perasaan saya saja.
Fitur lain dari display Black Shark 3 adalah 270Hz touch reporting rate, yang katanya membuat setiap input yang dilakukan jadi lebih minim delay. Tapi jujur saja, saya sendiri tidak merasakan perbedaan yang signifikan dibanding dengan smartphone lain, ketika menggunakan touchscreendisplay Black Shark untuk gaming.
Daya Tahan Baterai
Black Shark 3 memiliki baterai sebesar 4720 mAh Dual Battery. Pada saat pengujian gaming, saya sudah sedikit membahas bagaimana baterai Black Shark berkurang dari 100% ke 39% setelah sekitar 2 jam bermain game secara intensif.
Agar lebih teruji, saya lalu melakukan pengujian daya tahan baterai Black Shark dengan cara menyetel video YouTube HD 1080p yang sudah saya download secara berulang-ulang, dari baterai 100% hingga tersisa 20%. Hasilnya, Black Shark 3 bisa bertahan selama 8 jam lebih (tepatnya 8 jam 16 menit 55 detik screen time on).
Jika daya tahan baterai Black Shark 3 sudah membuat berhasil membuat kagum, Anda mungkin bisa lebih kagum lagi ketika mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk charging. Laman resmi mengatakan bahwa Black Shark 3 memiliki 65W Hyper Charge dan bisa charging sampai 50% dalam 12 menit, atau 100% dalam 38 menit.
Untuk menguji hal tersebut, saya lalu mencoba melakukan charging dari 20% hingga 99% dengan menggunakan charger bawaan. Memulai charging dari 20% pada pukul 17:32, Black Shark 3 sudah terisi penuh 99% pada pukul 18:06 (20 – 99% dalam 36 menit). Selain display dan fitur tambahan yang disajikan, saya juga merasa ketangguhan serta durasi charging baterai, membuat Black Shark 3 pantas mengemban gelar sebagai smartphonegaming. Kenapa? Karena dari catatan waktu tersebut, Anda jadi bisa bermain game dengan lebih lama.
Kamera
Black Shark 3 memang dijual dengan titel smartphonegaming, tetapi saya merasa kamera yang disematkan di dalamnya cukup mumpuni. Black Shark 3 mengusung desain triple–camera yang terdiri dari: Kamera utama 16MP dengan bukaan lensa f/1.8, kamera wide–angle 13MP dengan bukaan lensa f/2.25, dan kamera ketiga 5MP dengan depth–sensor dan bukaan lensa f/2.2.
Dalam kondisi outdoor dan pencahayaan cukup, Black Shark 3 bisa menghasilkan foto yang tajam, walau reproduksi warnanya terbilang agak kurang. Terlepas dari itu, melakukan foto pada keadaan outdoor dengan fitur auto terbilang berjalan sangat mulus. Keluarkan smartphone, buka aplikasi kamera, cekrek! Hasilnya langsung seperti contoh foto-foto outdoor yang saya ambil.
Dalam kondisi indoor dan pencahayaan cukup, pengalaman mengambil foto juga terbilang masih mirip seperti saat berada di dalam kondisi outdoor. Anda bisa lihat sendiri gambar bagian depan outlet–outlet mall yang saya ambil, begitu tajam, dengan tingkat exposure foto yang merata.
Namun demikian, pengambilan gambar menjadi masalah jika berada di dalam pencahayaan yang kurang. Saya mencoba mengambil foto bagian depan sebuah restoran pada malam hari. Hasilnya seperti yang Anda lihat, ada over-exposure pada pencahayaan nama restoran yang saya foto. Untungnya masalah tersebut bisa sedikit diobati dengan menggunakan Night Mode sehingga exposure foto jadi lebih merata.
Kamera depan dengan resolusi 20MP, dan bukaan lensa f/2.2, juga terbilang bisa menghasilkan foto yang cukup. Memang ada over-exposure jika Anda melakukan selfie pada kondisi cahaya berlebih. Terlepas dari itu, saya suka sekali dengan fitur Potrait Mode, yang menghasilkan foto bokeh, dengan processing yang sangat rapi.
Apakah Xiaomi Black Shark 3 Layak Untuk Dibeli?
Memiliki banderol harga Rp9.999.000 untuk varian RAM/ROM 8/128, saya merasa ada beberapa hal dan kondisi yang membuat Black Shark 3 jadi layak dibeli. Jika Anda punya keinginan untuk menjadi pemain esportsgamemobile, saya merasa Black Shark 3 dapat menjadi investasi jangka panjang yang layak untuk Anda beli.
Ada beberapa alasan kenapa Black Shark 3 jadi investasi yang bagus bagi calon pemain esportsgamemobile. Salah satunya adalah refresh-rate 90Hz . Walau saat ini baru PUBG Mobile saja yang bisa menjalankan 90 fps, tidak menutup kemungkinan akan ada lebih banyak game dengan refresh-rate di atas 60 fps untuk mobile platform di masa depan. Performa Xiaomi Black Shark 3 juga patut diacungi jempol dengan stabilitas performa dan suhu yang baik. Terakhir, daya tahan baterai 4720mAh dan kecepatan charge 65W Hyper Charge juga jadi alasan lain yang bisa membuat Anda “berlatih” game dengan durasi yang lebih lama.
Tapi, apakah Black Shark 3 cocok untuk dijadikan sebagai smartphone utama? Walau tidak sepenuhnya saya rekomendasikan, saya merasa tidak ada salahnya, apalagi jika Anda memang suka bermain mobile game di waktu sengang.
AMOLED Display yang diberikan membuat Black Shark 3 jadi enak dipandang. Refresh rate 90Hz juga jadi nilai tambah Black Shark 3 secara umum, karena membuat animasi untuk operasionalsmartphone sehar-hari menjadi semakin terasa sedap. Apalagi dengan fitur Shark Space, Anda bisa memisahkan antara produktivitas dengan hobi gaming di waktu sengang. Kamera? Dengan banderol harga yang ditawarkan, saya merasa Black Shark 3 punya kamera yang sedikit kurang maksimal walau sudah cukup. Mungkin satu hal yang membuat Black Shark 3 kurang layak beli adalah desainnya secara, yang terlalu mencerminkan gaming dan belum tentu semua orang suka.