Pada Oktober 2021, League of Legends World Championship dan The International digelar. Keduanya merupakan kompetisi esports tertinggi untuk League of Legends dan Dota 2. Karena itu, tidak heran jika keduanya berhasil menjadi pusat perhatian fans esports pada bulan lalu. Sementara itu, di skena Counter-Strike: Global Offensive, turnamen Major juga tengah berlangsung. Di tingkat nasional, MPL Indonesia Season 8 tengah memasuki puncaknya dan di tingkat regional, ada kompetisi PUBG Mobile yang digelar untuk kawasan Asia Tenggara.
Berikut daftar lima turnamen esports terpopuler di Oktober 2021, menurut data dari Esports Charts.
5. PUBG Mobile Pro League Season 4 2021 SEA
PUBG Mobile Pro League Season 4 2021 SEA dimulai pada 12 Oktober 2021 dan berakhir pada 7 November 2021. Sepanjang bulan Oktober 2021, Ronde ke-12 pada Super Weekend 2, Hari ke-3 menjadi pertandingan paling populer dari PMPL S4 SEA. Di ronde tersebut, total peak viewers mencapai 644 ribu orang. Menurut laporan Esports Charts, satu-satunya liga PUBG Mobile nasional yang bisa menyaingi viewership PMPL S4 SEA adalah PUBG Mobile Professional League Indonesia (PMPL ID). Jika dibandingkan dengan PMPL S4 SEA, jumlah peak viewers PMPL ID hanya lebih sedikit 15%.
YouTube merupakan platform favorit para fans untuk menonton PMPL S4 SEA. Di YouTube, PMPL S4 SEA mendapatkan 81,6 juta views dan 1,29 juta likes. Selain YouTube, PMPL S4 SEA juga ditonton di Facebook, NimoTV, TikTok, dan Twitch. Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, dari segi bahasa, siaran dengan bahasa Indonesia menjadi siaran PMPL S4 SEA yang paling banyak ditonton. Siaran dalam bahasa Malaysia menjadi siaran terpopuler ke-2, diikuti oleh bahasa Thailand dan Vietnam.
4. PGL Major Stockholm 2021
PGL Major Stockholm menawarkan total hadiah sebesar US$2 juta. Hal ini menjadikan kompetisi itu sebagai turnamen CS:GO dengan hadiah terbesar dalam 2 tahun terakhir. PGL Major Stockholm berlangsung sejak Oktober hingga November 2021. Seiring dengan memanasnya kompetisi, jumlah penonton dari turnamen Major itu pun naik. Namun, pada Oktober 2021, PGL Major Stockholm hanya mendapatkan peak viewers sebanyak 975 ribu orang. Pertandingan terpopuler pada bulan lalu adalah pertandingan yang mempertemukan NAVI dan Ninjas in Pyjamas.
Total durasi siaran PGL Major Stockholm mencapai 120 jam. Sementara total hours watched yang didapat turnamen itu adalah 71,2 juta jam dan dengan total views sebanyak 123,4 juta views. Twitch menjadi platform paling populer untuk menonton kompetisi CS:GO tersebut. Dan siaran dalam bahasa Inggris menjadi siaran yang mendapatkan paling banyak penonton. Meskipun begitu, total peak viewers dari siaran dalam bahasa Rusia juga hampir menyamai siaran dalam bahasa Inggris.
Sepanjang PGL Major Stockholm, NAVI menjadi tim esports paling populer, baik dari segi hours watched maupun average viewers. Tim tersebut mendapatkan 16,6 juta hours watched dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 1,13 juta orang. Posisi kedua ditempati oleh G2 Esports, yang mendapatkan 14,82 juta hours watched dan 911,8 ribu average viewers.
3. MPL ID Season 8
Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID) Season 8 berhasil menjadi turnamen esports terpopuler pada Agustus dan September 2021. Dan pada Oktober 2021, MPL ID S8 kembali masuk dalam daftar kompetisi esports terpopuler.. Namun, kedudukannya merosot ke peringkat 3. Kabar baiknya, jumlah peak viewers dari MPL ID S8 pada Oktober 2021 mencapai 2,4 juta orang, jauh lebih tinggi dari peak viewers pada Agustus 2021, yang hanya mencapai 1,7 juta orang.
Pertandingan paling populer dari MPL ID S8 sepanjang bulan lalu adalah babak grand final, yang mempertemukan EVOS Legends dengan ONIC Esports. Sementara pertemuan antara ONIC Esports dengan RRQ Hoshi di babak semi-final jadi pertandingan paling populer ke-2, dengan peak viewers mencapai 2,39 juta orang. Meskipun ONIC Esports keluar sebagai juara, EVOS Legends merupakan tim favorit di MPL ID S8, jika Anda menggunakan metrik hours watched. Sepanjang MPL ID S8, EVOS mendapatkan 30,35 juta hours watched. Namun, dari segi average viewers, RRQ Hoshi ada di peringkat satu. Tim itu memiliki jumlah penonton rata-rata paling banyak sepanjang liga, mencapai 710,4 ribu orang.
Total durasi siaran dari MPL ID S8 adalah 172 jam. Turnamen itu mendapatkan 76,9 juta hours watched, 285,2 juta views, dan 447,1 ribu average viewers. YouTube menjadi platform favorit untuk menonton MPL ID S8, diikuti oleh Nimo TV dan Facebook. Di YouTube, MPL ID S8 mendapatkan 265,9 jua views dan 4,35 juta likes.
2. The International 10
The International 10 — turnamen Dota 2 paling bergengsi — jadi kompetisi paling populer ke-2 pada Oktober 2021. Babak grand final menjadi pertandingan yang menarik paling banyak penonton. Pada puncaknya, pertandingan antara Team Spirit dan PSG.LGD ditonton oleh 2,74 juta orang. Secara total, durasi siaran dari The International 10 mencapai 125 jam. Turnamen itu mendapatkan 107,2 juta hours watched, 529,5 juta views, dan 857,3 ribu average viewers.
Kompetisi TI10 disiarkan di bebreapa platform, antara lain Twitch, YouTube, Dota TV Match, Steam.tv, Facebook, VK Live, dan Nonolive. Twitch jadi platform paling populer, dengan peak viewers mencapai 1,7 juta orang. Di platform milik Amazon itu, TI10 disiarkan di 122 channel dan mendapatkan 454,9 juta views serta 5,08 juta follows. Sementara itu, YouTube menjadi platform terpopuler ke-2 untuk menonton TI10. Di YouTube, TI10 mendapatkan 52,7 juta views dan 735,8 ribu likes. Pada puncaknya, ada 665,8 ribu orang yang menonton TI10 di YouTube.
The International 10 merupakan kompetisi favorit dari fans esports di kawasan Commonwealth of Independent States (CIS). Selain itu, TI10 juga populer di negara-negara yang menggunakan bahasa Rusia. Buktinya, babak final TI10 ditonton oleh 1,2 juta penonton berbahasa Rusia. Menurut Esports Charts, angka ini hampir dua kali lipat dari jumlah penonton berbahasa Rusia pada The International 2019, yang mencapai 670 ribu orang.
1. League of Legends World Championship 2021
Dengan peak viewers sebanyak 3,54 juta orang, League of Legends World Championship jadi kompetisi esports terpopuler pada Oktober 2021. Bulan lalu, pertandingan yang paling banyak ditonton adalah pertandingan antara T1 dan DAMWON KIA Gaming (DWG KIA), yang terjadi pada hari pertama dari babak semi-final. Hal ini tidak aneh, mengingat kedua tim asal Korea Selatan itu merupakan finalis dari Worlds tahun lalu.
Dari segi average viewers, DWG KIA dan T1 juga merupakan dua tim terpopuler di Worlds 2021. Jumlah penonton rata-rata DWG KIA mencapai 2,16 juta orang dan T1 1,94 juta orang. Namun, dari segi hours watched, posisi dua tim terpopuler diisi oleh DWG KIA dan Edward Gaming (EDG) dari Tiongkok. DWG KIA mendaaptkan total hours watched sebanyak 42,5 juta jam sementara EDG 37,68 juta jam.
Worlds 2021 disiarkan di 8 platform dalam 17 bahasa. Siaran dalam bahasa Inggris menjadi siaran paling populer, diikuti oleh siaran dalam bahasa Korea, dan Spanyol. Sementara itu, Twitch dan YouTube merupakan dua platform favorit untuk menonton Worlds 2021. Di Twitch, Worlds 2021 disiarkan di 20 channel dan berhasil mendapatkan 122,4 juta views serta 956,8 ribu follows. Sementara di YouTube, Worlds 2021 berhasil mendapatkan 94,89 juta views dan 1,16 juta likes.
Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.
Pada awal bulan, seperti biasa, Hybrid.co.id akan membuat daftar turnamen esports paling populer dari bulan sebelumnya. Salah satu hal yang menarik dalam daftar kali ini adalah kelima kompetisi hanya mengadu tiga game, yaitu Mobile Legends, PUBG Mobile, dan League of Legends. Satu hal menarik lainnya adalah dua kompetisi yang masuk dalam daftar turnamen esports terpopuler di Agustus 2021 merupakan turnamen esports yang digelar di Indonesia.
Berikut daftar turnamen esports terpopuler pada Agustus 2021, berdasarkan data dari Esports Charts.
5. PUBG Mobile Pro League Season 4 2021 Indonesia
Posisi ke-5 ditempati oleh PUBG Mobile Pro League (PMPL) Season 4 2021 Indonesia, yang berhasil mendapatkan peak viewers sebanyak 567 ribu orang. Hasil kerja sama Tencent, VSPN, KRAFTON, dan Lightspeed and Quantum Studios, PMPL ID Season 4 dimulai pada 24 Agustus 2021 dan berakhir pada 19 September 2021. Secara keseluruhan, waktu siaran PMPL ID Season 4 mencapai 53 jam. Sementara jumlah hours watched dari kompetisi itu mencapai 11,8 juta jam dengan jumlah average viewers mencapai 223,5 ribu orang.
Sepanjang PMPL ID Season 4, babak yang paling populer adalah Ronde 7 pada minggu pertama, hari ke-2. Ronde yang diadakan pada 25 Agustus 2021 itu berhasil mendapatkan peak viewers sebanyak 567 ribu orang. Ronde 12 pada Super Weekend 1 hari ke-3 menjadi babak paling populer ke-2, diikuti oleh Ronde 5 pada Super Weekend 1, hari ke-1. Jumlah peak viewers dari Ronde 12 adalah 557,3 ribu orang dan Ronde 5 550,7 ribu orang. Di YouTube, PMPL ID Season 4 berhasil mendapatkan 23,6 juta views dengan 370,4 ribu likes.
4. MPL PH Season 8
Turnamen esports terpopuler ke-4 untuk bulan Agustus 2021 adalah Mobile Legends Professional League Philippines (MPL PH) Season 8. Pada bulan lalu, jumlah peak viewers dari kompetisi tersebut mencapai 458,9 ribu orang. Pertandingan terpopuler terjadi minggu ke-2 hari ke-3, ketika Blacklist International bertemu dengan Nexplay EVOS. Baik BI dan Nexplay EVOS memang dua tim yang paling populer di MPL PH. Sepanjang liga, Nexplay EVOS berhasil mendapatkan 2,38 juta hours watched dan 272,15 ribu average viewers. Sementara BI mendapatkan 1,84 juta jam hours watched dan 229,4 ribu average viewers.
MPL PH Season 8 dimulai pada 27 Agustus 2021 dan akan berakhir pada 31 Oktober 2021 mendatang. Saat ini, total durasi siaran dari kompetisi tersebut telah mencapai 37 jam. Sejauh ini, total hours watched dari MPL PH Season 8 mencapai 6,1 juta jam dengan jumlah average viewers sebanyak 167,4 ribu orang. Kompetisi itu disiarkan di tiga platform, yaitu YouTube, TikTok, dan Facebook. Dari ketiga platform tersebut, Facebook menjadi platform yang paling populer, diikuti oleh YouTube. Di YouTube, jumlah views dari MPL PH Season 8 mencapai 11,9 juta views dengan 97,4 ribu likes.
3. LEC Summer 2021
League of Legends European Championship (LEC) Summer 2021 mulai digelar pada Juni 2021 hingga Agustus 2021. Pada puncaknya, kompetisi ini ditonton oleh 843,5 ribu orang. Babak yang menarik paling banyak penonton adalah pertandingan antara G2 dengan Fnatic, yang terjadi pada babak Playoffs, hari ke-6. Babak grand final — yang mengadu Fnatic dengan MAD Lions — justru menjadi pertandingan terpopuler kedua. Tidak heran jika pertandingan antara G2 dan Fnatic menjadi pertandingan paling populer, bahkan mengalahkan popularritas babak final. Pasalnya, Fnatic dan G2 merupakan dua tim terpopuler pada LEC Summer 2021.
Menurut data dari Esports Charts, total hours watched dari Fnatic mencapai 14 juta jam, sementara G2 memiliki 9,26 juta jam. Dari segi average viewers, kedua tim itu juga tetap menjadi tim paling populer di LEC Summer 2021. Fnatic memiliki 341,8 ribu average viewers dan G2 punya 235,7 ribu average viewers. Di YouTube, LEC Summer 2021 mendapatkan 16,3 juta views dengan 203,7 ribu likes. Sementara di Twitch, kompetisi itu disiarkan di 14 channel dengan total views mencapai 27,8 juta views.
Mengingat LEC Summer 2021 mengadu tim-tim League of Legends asal Eropa, kompetisi itu disiarkan dalam belasan bahasa. Siaran dalam bahasa Inggris masih menjadi siaran terpopuler dengan peak viewers sebanyak 532,5 ribu orang. Selain bahasa Inggris, siaran dalam bahasa Prancis dan Spanyol juga cukup populer.
Secara total, lama waktu siaran dari LCK 2021 Summer mencapai 295 jam, dengan total hours watched sebanyak 60,5 juta jam. Pada puncaknya, ada 1,3 juta orang yang menonton liga tersebut. Peak viewers tersebut tercapai pada babak final, yang mempertemukan T1 dengan DAMWON KIA. Sementara pertandingan terpopuler kedua adalah pertandingan antara T1 dengan Gen.G, yang terjadi di babak semifinal pada hari ke-2. Pertandingan tersebut berhasil menarik 907,9 ribu orang.
LCK 2021 Summer disiarkan di YouTube dan Twitch. Di YouTube, liga tersebut mendapatkan 20,6 juta views dengan 223,6 ribu likes. Sementara di Twitch, LCK 2021 Summer disiarkan di 21 channels dan berhasil mendapatkan 61,2 juta views serta 259,1 ribu follows. Menariknya, LCK 2021 Summer juga menarik perhatian audiens dari Tiongkok. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah view LCK 2021 Summer jika platform di Tiongkok dilibatkan.
Jika data dari platform streaming game asal Tiongkok dimasukkan, total peak viewers dari LCK 2021 Summer adalah 28,1 juta orang. Sementara total hours watched dari kompetisi itu mencapai 856 juta jam dengan jumlah average viewers mencapai 2,9 juta orang.
Siaran LCK 2021 Summer dalam bahasa Korea masih menjadi siaran paling populer. Jumlah peak viewers dari siaran berbahasa Korea mencapai 599,9 ribu orang. Bahasa Inggris menjadi bahasa paling populer kedua dengan jumlah peak viewers mencapai 348,1 ribu orang. Dan bahasa paling populer ketiga adalah bahasa Vietnam, yang mendapatkan 293,2 ribu peak viewers.
1. MPL ID Season 8
Gelar turnamen esports paling populer pada Agustus 2021 jatuh ke Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID) Season 8. Dengan durasi siaran selama 69 jam, MPL ID Season 8 berhasil mendapatkan 23,2 juta jam hours watched, dengan jumlah average viewers sebanyak 338,7 ribu orang. Sementara itu, jumlah peak viewers dari MPL ID Season 8 adalah 1,7 juta orang. Peakviewers tersebut tercapai ketika EVOS Legends bertemu dengan RRQ Hoshi di minggu ke-3 hari ke-2. Memang, baik RRQ Hoshi dan EVOS Legends merupakan tim terpopuler di MPL ID Season 8, seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah.
MPL ID disiarkan di tiga platform, yaitu YouTube, Facebook, dan NimoTV. Liga ini paling populer di YouTube, dengan jumlah peak viewers sebanyak 913,6 ribu orang. Secara keseluruhan, MPL ID Season 8 mendapatkan 82,1 juta views dan 976,7 ribu likes di YouTube. Sementara itu, NimoTV menjadi platform paling populer kedua dengan jumlah peak viewers sebanyak 727,7 ribu orang. Facebook menjadi platform dengan penonton paling sedikit. Jumlah peak viewers di platform tersebut hanya mencapai 80,6 ribu orang.
Pada akhir Juni 2021, Moonton mengungkap bahwa mereka bakal menggelar Mobile Legends Professional League (MPL) di Brazil, yang merupakan MPL pertama di luar Asia tenggara. Tak lama kemudian, Riot Games juga mengumumkan rencana mereka untuk mengadakan kompetisi Wild Rift di Brazil. Hal ini sebenarnya tidak aneh, mengingat Brazil dan negara-negara Amerika Latin lainnya memang memiliki industri mobile game yang cukup besar. Berikut data terbaru tentang industri mobile game di Amerika Latin.
Industri Mobile Game Amerika Latin
Sama seperti Asia Tenggara, di Amerika Latin, mobile game merupakan segmen industri game yang paling besar. Sebanyak 273,4 juta orang (sekitar 58% dari total populasi Amerika Latin) bermain mobile game. Dari segi pemasukan, pendapatan industri mobile game di Amerika Latin diperkirakan akan mencapai US$3,5 miliar pada 2021, menurut data dari Newzoo. Angka itu diduga akan naik menjadi US$5,1 miliar pada 2024.
Brazil merupakan negara dengan industri mobile game terbesar di kawasan Amerika Latin, baik dari segi jumlah gamers maupun total belanja para gamers. Pada 2021, 88,4 juta mobile gamers yang ada di Brazil menghabiskan lebih dari US$1 miliar. Sementara itu, negara dengan industri mobile game terbesar kedua di Amerika Latin adalah Meksiko. Industri mobile game di Meksiko bernilai hampir US$900 juta.
Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, sebagian besar mobile gamers di Amerika Latin ada di rentang umur 21-35 tahun. Dari segi gender, jumlah mobile gamers perempuan hampir sama dengan jumlah gamers laki-laki. Karena kebanyakan mobile gamers di Amerika Latin berumur di atas 20 tahun, mereka sudah punya pekerjaan. Faktanya, sebagian besar mobile gamers di Amerika Latin punya pemasukan yang cukup besar. Karena itu, mereka tidak keberatan untuk menghabiskan sebagian uangnya untuk game.
Karakteristik Pemain Mobile Game di Amerika Latin
Kebanyakan mobile game bisa dimainkan dengan gratis. Jadi, tidak semua mobile gamers rela menghabiskan uang untuk membeli item dalam game. Di Asia Tenggara, total spending para gamers dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dari negara tempat gamers tinggal. Semakin tinggi pendapatan per kapita sebuah negara, semakin besar pula besar spending dari para gamers. Singapura, Malaysia, dan Thailand adalah tiga negara dengan Average Revenue Per User (ARPU) terbesar di Asia Tenggara, mencapai sekitar US$25-60.
Di Amerika Latin, total belanja rata-rata dari seorang gamer di 2021 adalah US$27,3, naik dari US$26,1 pada 2020. Sementara itu, dari 273,4 juta pemain di Amerika Latin, sebanyak 128,5 juta orang — atau sekitar 47% — merupakan pemain berbayar. Jumlah pemain berbayar di kawasan Amerika Latin juga menunjukkan tren naik. Pada 2020, jumlah pemain berbayar hanya mencapai 46% dari total mobile gamers di kawasan tersebut.
Google Play Store memberikan kontribusi terbesar pada total pemasukan mobile game di Amerika Latin. Faktanya, 68% dari total pemasukan toko aplikasi berasal dari Google Play. Sementara App Store hanya berkontribusi 29,9% dan toko aplikasi lain 1,5%. Google Play menjadi platform favorit para mobile gamers di Amerika Latin untuk berbelanja karena jumlah pengguna Android di Amerika Latin memang lebih banyak dari jumlah pengguna iPhone. Pasalnya, dengan spesifikasi serupa, harga Android cenderung lebih murah dari iPhone. Tak hanya itu, Android juga menawarkan lebih banyak pilihan untuk smartphone kelas menengah dan bawah.
Faktor Pendorong Pertumbuhan Industri Mobile Game di Amerika Latin
Salah satu hal yang membuat industri mobile game di Amerika Latin tumbuh pesat adalah entry barrier mobile game yang cenderung rendah. Negara-negara Amerika Latin punya peraturan yang ketat terkait impor. Alhasil, harga konsol dan PC gaming di sana melambung. Jika dibandingkan dengan konsol atau PC gaming, smartphone memiliki harga yang jauh lebih terjangkau. Hal ini membuat penetrasi smartphone di kawasan Amerika Latin cukup tinggi. Pada akhir 2021, diperkirakan, 53% dari total populasi Amerika Latin (sekitar 351,9 juta orang) memiliki smartphone. Dan pada 2023, jumlah pengguna smartphone di Amerika Latin diduga akan naik hingga lebih dari 400 juta orang.
Faktor lain yang mendorong pertumbuhan industri mobile game di Amerika Latin adalah pesatnya pembangunan infrastruktur internet di kawasan tersebut. Seiring dengan semakin luasnya jangkauan internet di Amerika Latin, industri mobile game pun akan semakin berkembang. Ke depan, penggelaran jaringan 5G juga akan mendorong pertumbuhan pengguna internet. Pada akhir 2021, jumlah smartphone yang sudah dapat menggunakan jaringan 5G diduga akan mencapai 20 juta unit. Angka itu diperkirakan akan naik 5 kali lipat pada akhir 2023. Sayangnya, perkembangan jaringan internet di negara-negara Amerika Latin tidak merata. Tingkat penetrasi internet di negara Amerika Latin tergantung pada beberapa faktor, yaitu politik, keuangan, regulasi, dan topologi dari masing-masing negara.
Pembangunan jaringan internet memang akan membuat industri mobile game menjadi semakin maju. Hanya saja, dampak pembangunan infrastruktur internet pada industri mobile game tidak selalu sama untuk setiap negara. Di negara-negara dengan industri mobile game yang tidak terlalu besar — seperti Chili, Kolombia, dan Peru — jaringan internet yang lebih baik akan menguntungkan developer indie, karena jumlah pengguna smartphone dan internet akan meningkat.
Sementara di negara-negara dengan industri mobile game besar — seperti Argentina, Brazil, dan Meksiko — keberadaan jaringan 5G justru akan mendorong kemunculan mobile game dengan grafik yang lebih baik dan gameplay yang lebih kompleks. Tak hanya itu, jaringan internet yang lebih stabil dengan kecepatan lebih tinggi juga akan membuat pengalaman bermain multiplayer mobile game menjadi lebih baik. Dan hal ini akan mendorong pertumbuhan industri mobile esports di negara-negara tersebut.
Skena Mobile Esports di Amerika Latin
Sama seperti di Asia Tenggara, mobile esports juga tumbuh pesat di Amerika Latin. Beberapa mobile esports yang populer di sana antara lain Free Fire, Arena of Valor, dan Mobile Legends: Bang Bang. Mobile esports khususnya populer di kalangan gamers muda karena harga smartphone yang lebih murah dari konsol atau PC gaming. Para gamers muda yang tidak bisa membeli PC atau konsol bisa menjajaki dunia esports melalui mobile esports.
Karakteristik mobile gamers di Amerika Latin menjadi salah satu alasan mengapa skena mobile esports di sana bisa tumbuh. Mengingat mobile merupakan platform gaming utama bagi sebagian besar gamers di Amerika Latin, banyak mobile gamers di sana yang menyukai game-game kompetitif. Tren ini berbeda dengan tren di Amerika Utara, yang kebanyakan mobile gamers-nya lebih senang memainkan game kasual. Di Amerika Latin, sebanyak 35% gamers mengaku bahwa strategi menjadi genre favorit mereka. Genre favorit kedua bagi mobile gamers Amerika Latin adalah shooter (32%), diikuti oleh racing (30%). Sementara itu, dari segi pemasukan, battle royale menjadi genre dengan pemasukan terbesar, diikuti oleh strategi, puzzle, shooter, dan adventure.
Soal tema, sebanyak 47% mobile gamers di Amerika Latin mengaku paling suka dengan game bertema science fiction, sementara 43% lainnya sangat menyukai game bertema fantasi. Bagi 30% mobile gamers di Amerika Latin, open world merupakan fitur yang paling menarik dari sebuah game. Sementara 29% mobile gamers memprioritaskan aspek naratif dari sebuah game. Sekali lagi, dua hal ini menunjukkan bahwa mobile gamers di Amerika Latin memang merupakan core gamers.
In the esports world, game publishers are the absolute power holder who can determine every aspect of the game’s ecosystem. They are essentially the kings of the esports kingdom. Of course, there are pros and cons that comes with this system. On the one hand, publishers can give much-needed resources to grow and develop an esports ecosystem. On the other hand, publishers can also single-handedly shut down the whole esports ecosystem if deemed unprofitable. Let’s explore each these advantages and disadvantages in greater depth.
Advantage #1: No Power Scramble
In Indonesia, four major associations oversee the country’s esports scene, namely the Indonesia Esports Association (IESPA), the Indonesian Video Game Association (Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia or AVGI), the Indonesian Esports Federation (Federasi Esports Indonesia or FEI), and the Indonesian Esports Executive Board (Pengurus Besar Esports Indonesia or PBESI). Each association has its own affiliation. For example, IESPA has been a member of the International Esports Federation since 2013 and has been a member of the Indonesian Olympic Committee (Komite Olimpiade Indonesia or KOI) since 2018. In addition, it is also affiliated with the Indonesian Community Recreational Sports Federation (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia or FORMI). On the other hand, PBESI has a close relationship with the Indonesian National Sports Committee (Komite Nasional Olahraga Indonesia or KONI).
In August 2020, KONI recognized esports as a legitimate sport, no longer considered as merely a recreational sport. On the other hand, PBESI’s position is on par with the Football Association of Indonesia (PSSI) or the Badminton Association of Indonesia (PBSI). According to One Esports, however, PBESI is the association with the highest authority or power in promoting esports. All of this information suggests that IESPA’s power or influence in the esports realm is not very widespread. However, IESPA used to be involved in encouraging esports athletes to compete in global competitions and is even responsible for selecting esports athletes at the 2019 SEA Games.
We are proud to announce the Indonesian Esports national team contingent squad for the 2019 SEA Games. Further finalization processes will be carried out by the Indonesian Olympic Committee and@KEMENPORA_RI. Please support us so that Indonesia can win as much gold medals as possible!pic.twitter.com/OZ3apKDZgV
Ideally, these esports associations in Indonesia can work hand in hand to develop the esports ecosystem in the country. Boxing, for example, has four associations that can coexist in overseeing and developing the sport. However, the coexistence of multiple associations does present the possibility of conflict and the overlapping of responsibilities.
Instead, if one single organization controls the whole sport, these power struggle conflict can be prevented entirely. Publishers can ensure that all parties involved in the esports ecosystem (players, teams, tournament organizers) will comply with the rules they set. As a result, the development of the esports ecosystem will become a much more cohesive and stable process.
Let’s compare the absolute power of publishers in the esports scene with a dictatorial government system. People have always said that a democratic system is far better than an autocratic one. However, in a democracy, the government leadership or power will always change once every few years. In Indonesia, for example, a person can serve as president for a maximum of ten years (or two terms).
Unfortunately, different leaders will have different visions, goals, virtues, and implementation of policies. Erratic changes can occur especially if the new leader comes from the opposing party, which happened in DKI Jakarta a few years ago. When Anies Baswedan and Sandiaga Uno won the DKI Jakarta Regional Head Election in 2017, they immediately modified several policies that were put in place by the previous governors.
Of course, in the context of a country or state, a change in leadership may have a positive impact in the long term. However, in the esports scene, continuity is a very important commodity. For example, let’s say that the majority of the power in the esports scene was in the hands of association A. The association felt that the regeneration of esports players is of utmost importance and subsequently hosted several competitions at the high school and college level. However, the very next year, the power shifted to association B, which considers amateur-level tournaments unnecessary. Association B proceeds to disband all competitions at the student level held by association A in the previous year. You can see how changes of power or influence can cause instability and conflict in the esports ecosystem
On the flip side, countries under dictatorship solely depend on the goals and policies that the dictator implements. Similarly, when the publisher holds absolute power, the success or failure of the esports scene will depend entirely on the publisher’s actions. Fortunately, most game publishers do want their esports ecosystem to thrive since it highly impacts their finances and revenue.
Advantage #2: Publishers will try their best to maintain and cultivate their esports ecosystem
Valve earned approximately $130.8 million USD from the sales of The International 9 Battle Pass. 25% of the total Battle Pass sales — approximately US$32.7 million — went directly to TI9’s prize pool, enabling it to accumulate a whopping $34.3 million USD. Valve, interestingly, only prepared $1.6 million USD for the starting price and pocketed $98.1 million USD from the 75% of remaining sales of the Battle Pass. Dota 2 is a relatively old game, launched in July 2013, which is also free to play. However, due to the massive success of its esports scene, Dota 2 is arguably the most profitable money-making machine for Valve. Looking at Valve’s success from Dota 2, it begs the question: why do some game publishers not opt to maintain or grow their esports scene?
Of course, The International might be an extreme case that is not easily replicable for most publishers out there. However, publishers do have other options for monetizing the esports scene than just using the prize pool. For example, Riot Games creates special and limited skins based on the team that won the League of Legends World Championship. Riot also implemented the franchise league model to generate extra revenue from esports. A franchise league model allows teams to participate in the league if they pay a certain amount of money. Currently, Riot has implemented the model in three different LoL leagues, namely the North American League (LEC), European League (LEC), and South Korean League (LCK). In Indonesia, one of the publishers that adopt the franchise league monetization model is Moonton through Mobile Legends Professional League (MPL).
Esports can also be used as a marketing tool to maintain the player base and extend the life span of a game. Ubisoft is an example of a successful publisher that uses esports as a means of marketing. In 2016, a year after launching Rainbow Six: Siege, the game only has around 10 million active players. Jumping to 2020, however, that number skyrocketed to 55 million players. This trend usually does not occur in the gaming industry, as games often lose players a few years after their release. However, Ubisoft uses R6’s esports scene to keep the game relevant and maintain the loyalty of its fans.
As we can observe, the esports scene can highly impact the success and relevancy of a game throughout its life span, which is why most game publishers will try their best to develop their esports ecosystem. For example, Dota 2 and Counter-Strike: Global Offensive were used to have a very big scene in Indonesia. However, since both of these franchises’ esports were not properly cultivated in the country, Dota 2 and CS eventually died out in the region. Very few esports organizations in Indonesia still have teams competing in these two games, and the player base in the country is also shrinking rapidly.
Similar to Dota 2 and CS, Arena of Valor is also losing its prestige in the local esports ecosystem. However, the AOV esports scene is still very much alive and much more thriving than the two previous games. AOV’s major tournament, Arena of Valor Premier League, is still being held today, with prize pools reaching $350 thousand USD. As you may have already expected, Tencent and Garena were directly involved in hosting these tournaments. Therefore, although some esports ecosystems can survive without publisher support (like what we see locally with Dota 2), the game publisher’s support will extensively affect the degree of success of an esports scene.
Advantage #3: Fixed Set of Rules
In most esports, both tournament organizers and game publishers usually determine the rules in their esport scenes. However, publishers do have a stronger influence to enforce the rules they set since they obviously have direct access to the game. For example, if an esports player cheats in an official PUBG Mobile competition, Tencent can directly ban the player ID from the game. On the other hand, if a player was caught cheating in a third-party tournament, then he/she might only be banned from participating in the tournament.
We can also take an example from Pro Evolution Soccer, one of the large esports ecosystems in Indonesia without publisher support. The PES esports scene can grow due to the efforts of Liga1PES and also the Indonesia Football e-League (IFeL). Of course, these 2 leagues have implemented their own set of rules. However, Liga1PES will not be able to interfere in the regulations made by IFeL and vice versa, potentially causing several inconsistencies or interference.
Indeed, there is a possibility of abusing the absolute power that publishers have. However, referring back to the second point/advantage, publishers will most likely use their influence for the good of the esports ecosystems as it directly impacts their finances.
Disadvantage #1: Abrupt Shutdowns of the Esports Ecosystem
Although esports can generate a lot of revenue for publishers, creating and maintaining a profitable esports ecosystem is not an easy task. More often than not, publishers have to invest a substantial amount of budget and time to develop the esports scene of their games. As a result, when esports is no longer deemed profitable for the company, it can decide to pull out their investments and shut down the ecosystem overnight. Blizzard Entertainment is an infamous publisher that has done this in the past.
In 2015, Blizzard released Heroes of the Storm as their MOBA franchise. In the same year, Blizzard collaborated with a university-level esports organization, Tespa, to hold a HoTS competition called Heroes of the Dorm. Blizzard provides a prize pool of $25,000 USD in scholarships for the winning team. One year later, in 2016, Blizzard held a top-tier HoTS competition for professionals called Heroes of the Storm Global Championship (HGC). It went all-in on the tournament, making it global, and invested a lot of capital into it. The HoTS esports scene was a massive hit, gathering a number of well-known esports organizations, such as Gen.G from South Korea and Fnatic from England.
Unfortunately, in December 2018, Blizzard decided to stop supporting the HoTS esports scene, considering it to be unprofitable. Blizzard did not inform this move far ahead of time, causing many HoTS professional coaches and players to abruptly lose their jobs. Esports organizations that recently created HoTS teams also suffer sizable losses. Luckily, many loyal HoTS fans continued to push and support the HoTS esports scene, although most tournaments are conducted at a much smaller scale.
Blizzard’s decision to unilaterally shut down HoTS’ esports is one of the negative impacts that may arise when publishers hold absolute power in the esports world. South Korean politicians even reacted to Blizzard’s action and subsequently made regulations to prevent this type of event. In May 2021, Korean Democratic Party congressman Dong-su Yoo proposed a regulation called the Heroes of the Storm Law which ensures that no tournament organizers or game publishers can abruptly cancel or shut down tournaments before properly informing related parties. According to a Naver Sports report, through the HoTS Law, Yoo hopes that game publishers will notify teams and players far ahead of time before executing an event cancellation.
“In esports, if the game publisher is no longer willing to support the competition, the rights of many other parties who are involved in the competitions, including esports organizations, players, casters, viewers, and others would seriously be affected by these kinds of unilateral decisions,” Yoo said, as quoted from The Esports Observer. He pointed out that most esports players are in their early 20s, a vital period of determining a person’s career. Instability or a sudden shut down of an esports ecosystem can have massive consequences. “Laws must be in place to protect them from unilateral damage,” he said.
Disadvantage #2: Publishers who have no interest in Esports
Nintendo, as an example, shows absolutely no interest in building an esports ecosystem out of Super Smash Bros. Contrary to our expections, however, the Super Smash Bros esports scene is actually quite developed. The game is included in EVO, a collection of the most prestigious fighting games competition, and an annual tournament called Smash Summit is also held since 2015. Despite the collective success that has been forged by the community, Nintendo still turns a blind eye towards Super Smash Bros’ esports scene.
Nintendo does provide some form of logistical support to the Smash community once in a while, but it rarely contribute to any sort of financial assistance. As a result, Super Smash Bros tournaments don’t have the large prize pools that we often see in other esports scenes. As a comparison, Smash Summit 5, which currently has the largest prize pool in all of Smash’s esports, only offered a prize of $83.7 thousand USD. On the other hand, MPL, which is only primarily broadcasted in Indonesia, has a prize pool of $150 thousand USD. Furthermore, Riot contributed $2.25 million USD for the League of Legends World Championship prize.
Nintendo’s philosophy towards Smash’s esports scene has generated a lot of backlash from professional Smash players. Eventually, in 2020, Nintendo’s President, Shuntaro Furukawa, was prompted to clarify the reasons behind Nintendo’s decision to not support the Super Smash Bros esports ecosystem. He explained that Nintendo wanted the game to be enjoyed by both casual and also hardcore players. Nintendo didn’t want to accentuate the differences in skills between the two groups. Indeed, most people do consider Super Smash Bros to be a much more casual fighting game played for fun and entertainment.
“Esports, in which players compete on stage for prize money as an audience watches, demonstrates one of the wonderful charms of video games,” Furukawa told Nikkei, as translated by Kotaku. “We are not necessarily opposing the idea of esports. However, we also want our games to be widely enjoyed by anyone regardless of experience, gender, or age. We want to be able to participate in a wide range of different events, instead of merely competing for prize money. Our strength, what differentiates us from other companies, is this different viewpoint.
Disadvantage #3: Declining Legitimacy of Third Party Tournaments
Let’s go back to Dota 2 for a moment. You probably have realized by now that The International is essentially the World Cup for Dota 2 players. Winning a TI is the pinnacle of all Dota 2 pros due to the sheer scale in prize pool money.
For Valve, the massive hype for TI is definitely beneficial for the company. For third-party tournament organizers, however, not so much. Obviously, third-party tournaments are incredibly insignificant compared to TI. You can probably win all non-TI tournaments in a year and still can’t get close to TI’s winning prize or prestige. Thus, some teams or players might be discouraged to participate in these smaller-scale tournaments. Subsequently, the tournament organizers might have a more difficult time getting views from audiences.
Furthermore, small-scale tournaments created by third-party organizers usually find it difficult to compete with official tournaments from publishers in terms of prestige. When you watch The International or PUBG Mobile Global Championship, you know that the teams competing in those tournaments are some of the best teams in the world. The teams in these high-tier tournaments need to go through a “preliminary round” at the national or regional level, filtering all the less competent teams. You can also observe which teams can compete at the national, regional, and global levels.
Of course, not all third-party TOs are willing to spend substantial investments to create this “filtration” process or a tiered esports competition. One exception is Intel, a non-publisher company that held the Intel Grand Slam with help from ESL Gaming. Intel Grand Slam offers a $1 million USD prize for a CS:GO team that wins 4 S-Tier tournaments in a window of 10 consecutive esport events.
The existence of the Intel Grand Slam does prove, to a certain extent, that third-party organizations can create high-tier and competitive tournaments. But, of course, not many companies are willing to invest as much as Intel. Intel has an adequate budget and is also considered an endemic brand in esports. As an illustration, in 2020, Intel’s revenue reached $ 77.87 billion USD. On the other hand, NVIDIA’s revenue in the 2021 fiscal year was only $16.68 billion USD, while Sony’s is $10.7 billion USD, and Lenovo Group only accumulated $50.7 billion USD.
Conclusion
There is a saying that goes: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. A person or entity who has complete control is very likely to make selfish decisions that will benefit themself. In the world of esports, publishers – who always have absolute control – also have the potential to act arbitrarily, evident from Blizzard’s decision to unilaterally shutting down the Heroes of the Storm esports ecosystem.
Of course, not all companies will follow in Blizzard’s footsteps. Most publishers out there do consider esports as a marketing tool to attract new audiences, maintain the loyalty of fans, and subsequently generate revenue. However, establishing a healthy esports ecosystem is can be difficult, and will need the collective support of professional teams, players, and tournament organizers. Therefore, while publishers have all the power to make all the decisions, they must also take the necessary steps to benefit all parties if they were to create a profitable esports scene.
Jika esports adalah sebuah kerajaan, maka publisher adalah rajanya, pemegang kekuasaan absolut yang bisa menentukan hidup-mati dari ekosistem esports sebuah game. Di satu sisi, kekuasaan publisher memungkinkan mereka untuk mengembangkan ekosistem esports. Di sisi lain, publisher juga punya kuasa untuk mematikan skena esports jika mereka menganggap bisnis esports tidak menguntungkan. Berikut argumen pro dan kontra akan kekuasaan penuh yang dipegang oleh para publisher di skena esports.
Pro #1: Tidak Ada Perebutan Kekuasaan
Di Indonesia, ada empat asosiasi yang menaungi esports, yaitu Indonesia Esports Association (IESPA), Asosiasi Video Game Indonesia (AVGI), Federasi Esports Indonesia (FEI), dan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI). Masing-masing asosiasi punya afiliasi sendiri-sendiri. Misalnya, IESPA telah menjadi anggota dari International Esports Federation sejak 2013 dan menjadi anggota dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sejak 2018. Selain itu, mereka juga terafiliasi dengan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Sementara PBESI punya hubungan erat dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Pada Agustus 2020, KONI mengakui esports sebagai cabang olahraga berprestasi. Dengan begitu, esports tak lagi masuk dalam kategori cabang olahraga rekreasi. Artinya, kuasa IESPA di kancah esports menjadi tidak seluas sebelumnya. Sebaliknya, posisi PBESI justru menjadi setara dengan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) atau Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Dengan begitu, di mata hukum dan undang-undang, PBESI menjadi asosiasi dengan kewenangan tertinggi untuk memajukan esports, menurut One Esports. Padahal, sebelum itu, IESPA punya peran yang cukup besar dalam mendorong atlet esports berkompetisi di kompetisi global. Mereka bahkan bertanggung jawab atas pemilihat atlet esports di SEA Games 2019.
Kami dengan bangga mengumumkan skuad kontingen timnas Esports Indonesia untuk SEA Games 2019. Untuk selanjutnya proses finalisasi bakal dilakukan oleh Komite Olimpiade Indonesia dan @KEMENPORA_RI. Mohon dukungan agar Indonesia bisa meraih emas sebanyak2nya! pic.twitter.com/OZ3apKDZgV
Idealnya, asosiasi-asosiasi esports di Indonesia bisa saling bahu membahu untuk mengembangkan ekosistem esports di Tanah Air. Dari tinju — yang punya empat organsiasi di dunia– kita bisa tahu asosiasi-asosiasi dari cabang olahraga yang sama bisa hidup berdampingan. Namun, keberadaan lebih dari satu asosiasi tidak hanya memperbesar kemungkinan terjadinya konflik antar asosiasi, tapi juga tumpang tindih tanggung jawab.
Nah, jika publisher memegang kuasa penuh akan skena esports, maka konflik perebutan kekuasaan bisa dicegah. Publisher bisa memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam ekosistem esports — mulai dari pemain, tim, sampai penyelenggara turnamen — mematuhi peraturan yang mereka buat. Dengan begitu, proses pengembangan ekosistem esports bisa menjadi lebih kohesif. Tak hanya itu, ketika publisher memegang kuasa penuh, mereka juga bisa membuat skena esports menjadi lebih stabil.
Mari kita bandingkan kuasa absolut publisher di skena esports dengan sistem pemerintahan kediktatoran. Sistem pemerintahan demokrasi selalu disebut lebih baik dari kediktatoran. Namun, dalam demokrasi, pemimpin pemerintahan akan selalu berganti setiap beberapa tahun. Di Indonesia, paling maksimal, seseorang bisa menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (alias 2 periode). Jadi, maksimal setiap 10 tahun, presiden Indonesia akan berganti.
Masalahnya, ketika ada pergantian pemimpin, biasanya, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah juga akan berubah. Apalagi jika pemimpin yang baru berasal dari kelompok oposisi dari presiden yang lama. Hal ini pernah terjadi di DKI Jakarta. Ketika pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangkan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada 2017, mereka langsung mengubah beberapa kebijakan yang dibuat oleh pasangan gubernur dan wakil gubernur sebelumnya.
Dalam kehidupan bernegara, perubahan kepemimpinan mungkin bisa berdampak baik. Namun, dalam skena esports, kontinyuitas adalah komoditas yang sangat penting. Bayangkan jika tahun ini, kuasa akan skena esports ada di tangan asosiasi A. Mereka memutuskan untuk membuat kompetisi esports tingkat SMA dan kuliah karena mereka merasa, regenerasi pemain esports sangat penting. Namun, pada tahun depan, kuasa akan esports beralih ke asosiasi B, yang merasa, membuat kompetisi tingkat amatir tidak ada gunanya. Mereka lalu membubarkan semua kompetisi untuk pelajar dan mahasiswa yang telah diadakan oleh asosiasi A sebelumnya. Hal ini justru akan membuat skena esports menjadi tidak stabil.
Bagi negara yang ada di bawah kepemimpinan seorang diktator, hidup atau matinya negara tersebut memang sepenuhnya tergantung pada karakter dan moral sang diktator. Begitu juga dengan esports. Ketika publisher memegang kuasa penuh, maka sukses atau gagalnya skena esports akan bergantung sepenuhnya pada publisher. Kabar baiknya, hampir semua publisher ingin ekosistem esports dari game mereka sukses. Alasannya sederhana: karena ekosistem esports akan memberikan dampak langsung pada keuangan publisher.
Pro #2: Pubisher akan Perjuangkan Skena Esports Mati-Matian
Valve mendapatkan US$130,8 juta dari penjualan Battle Pass The International 9. 25% dari total penjualan Battle Pass — sekitar US$32,7 juta — disalurkan langsung ke total hadiah TI9. Hal inilah yang membuat TI9 bisa menawarkan total hadiah sebesar US$34,3 juta. Padahal, Valve sendiri hanya menyiapkan US$1,6 juta. Hal itu berarti, Valve bisa mengantongi US$98,1 juta dari penjualan Battle Pass TI9. Padahal, Dota 2 adalah game gratis yang diluncurkan pada Juli 2013. Namun, berkat kesuksesan skena esports dari Dota 2, game itu tetap bisa menjadi tambang emas bagi Valve. Pertanyaannya, jika skena esports yang sukses bisa menghasilkan puluhan juta dollar, publisher mana yang tidak akan berjuang mati-matian untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka?
Oke, The International mungkin merupakan kasus ekstrim yang tidak bisa ditiru oleh semua publisher. Namun, publisher punya beberapa opsi untuk memonetisasi skena esports dari game mereka. Misalnya, Riot Games membuat dan menjual skin dari tim yang menjadi juara League of Legends World Championship. Model monetisasi lain yang mereka gunakan adalah membuat liga League of Legends dengan model liga franchise. Artinya, jika sebuah tim ingin ikut serta dalam liga, mereka harus membayar sejumlah uang terlebih dulu. Saat ini, Riot telah menerapkan model franchise di tiga liga League of Legends, yaitu Liga Amerika Utara (LEC), Liga Eropa (LEC), dan Liga Korea Selatan (LCK). Di Indonesia, salah satu publisher yang mengadopsi model monetisasi liga franchise adalah Moonton dengan Mobile Legends Professional League (MPL).
Selain itu, esports juga bisa digunakan sebagai alat marketing, yang dapat memperpanjang lifecycle sebuah game. Ubisoft adalah contoh publisher yang sukses menjadikan esports sebagai alat marketing. Mereka meluncurkan Rainbow Six: Siege pada 2015. Satu tahun kemudian, pada 2016, jumlah pemain dari game FPS itu hanya mencapai 10 juta orang. Namun, pada 2020, angka itu meroket menjadi 55 juta pemain. Padahal, biasanya, semakin tua umur sebuah game, semakin sedikit jumlah pemainnya. Dalam kasus Ubisoft, skena esports R6 membuat game itu tetap relevan sehingga para pemain tetap setia dan tidak beralih ke game lain.
Karena sukses atau tidaknya sebuah skena esports punya dampak besar pada publisher, tentunya, mereka juga akan berjuang ekstra keras untuk memastikan skena esports dari game mereka tetap bertahan. Di Indonesia, skena esports Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive sempat besar. Namun, sekarang, turnamen esports dari kedua game itu sudah jarang ditemui. Alasannya, karena gamers Indonesia lebih suka untuk memainkan mobile game dan juga tak ada publisher yang peduli dengan keberlangsungan ekosistem esports dua game tersebut di sini.
Karena skena esports yang sehat bisa menguntungkan publisher — baik secara langsung maupun tidak langsung — maka mereka pun akan berjuang ekstra keras untuk menumbuhkan dan mempertahankan ekosistem esports dari game mereka. Contohnya, ekosistem esports dari Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive sempat besar di Tanah Air. Sayangnya, sekarang, tidak banyak pihak yang mengadakan kompetisi esports dari kedua game itu.
Sekarang, mari bandingkan dengan Arena of Valor. Mobile game MOBA itu juga kalah pamor jika dibandingkan dengan game-game mobile lain. Meskipun begitu, skena esports-nya masih hidup. Buktinya, Arena of Valor Premier League masih digelar. Dan total hadiah dari turnamen tersebut tidak kecil, mencapai US$350 ribu. Coba tebak siapa yang menyelenggarakan Arena of Valor Premier League? Tencent dan Garena. Hal ini menunjukkan, walau ekosistem esports tetap bisa bertahan tanpa dukungan publisher, sokongan publisher tetap akan memengaruhi sukses atau tidaknya skena esports.
Pro #3: Peraturan yang Pasti
Soal regulasi, baik penyelenggara turnamen (TO) maupun publisher sebenarnya sama-sama bisa membuat peraturan dalam sebuah skena esports. Hanya saja, publisher punya power yang lebih kuat untuk menegakkan peraturan yang mereka buat karena mereka memang memiliki akses langsung ke game yang diadu. Misalnya, jika ada pemain esports yang berbuat curang dalam kompetisi resmi PUBG Mobile, Tencent punya akses untuk melakukan ban pada ID pemain dari game. Sementara itu, jika hal yang sama terjadi di turnamen dari pihak ketiga, pihak TO hanya akan bisa melarang pemain mengikuti turnamen-turnamen yang mereka buat di masa depan.
Contoh lainnya, salah satu ekosistem esports di Indonesia yang besar tanpa dukungan publisher adalah Pro Evolution Soccer. Skena esports PES bisa tumbuh berkat Liga1PES dan juga Indonesia Football e-League (IFeL). Masing-masing kompetisi punya peraturan masing-masin. Namun, Liga1PES tidak akan bisa ikut campur dalam regulasi yang dibuat oleh IFeL dan begitu juga sebaliknya. Sementara itu, publisher akan bisa membuat regulasi yang harus dipatuhi oleh semua TO yang tertarik untuk membuat turnamen esports dari game mereka.
Memang, kekuasaan absolut publisher ini bisa disalahgunakan. Namun, mengacu pada poin pro #2, publisher tidak akan membuat regulasi yang tidak adil. Karena, hal ini bisa membuat tim dan pemain profesional enggan ikut serta atau bahkan membuat para fans marah. Jadi, kemungkinan besar, publisher akan mencoba untuk membuat regulasi yang memang kondusif untuk pertumbuhan ekosistem esports.
Kontra #1: Bisa Mematikan Ekosistem Esports Kapan Pun
Esports memang bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi publisher. Hanya saja membuat ekosistem esports yang menguntungkan bukanlah perkara gampang. Terkadang, publisher harus menginvestasikan uang yang tidak sedikit dalam waktu lama demi mengembangkan ekosistem esports dari game buatan mereka. Karena itu, jangan heran jika ada publisher yang memutuskan untuk berhenti menyokong ekosistem esports dari game mereka ketika mereka menganggap, competitive gaming tidak menguntungkan. Blizzard Entertainment adalah salah satu publisher yang melakukan hal ini.
Blizzard merilis Heroes of the Storm pada 2015. Di tahun yang sama, Blizzard menggandeng organisasi esports tingkat universitas, Tespa, untuk menggelar kompetisi HoTS untuk para mahasiswa, Heroes of the Dorm. Blizzard menyediakan hadiah berupa beasiswa senilai US$25 ribu untuk tim yang bisa menjadi juara. Satu tahun kemudian, pada 2016, Blizzard mengadakan kompetisi HoTS untuk profesional. Tidak tanggung-tanggung, mereka membuat turnamen dengan skala global. Turnamen itu dinamai Heroes of the Storm Global Championship (HGC). Skena esports HoTS pun cukup sukses. Buktinya, sejumlah organisasi esports ternama ikut turut serta, seperti Gen.G dari Korea Selatan dan Fnatic dari Inggris.
Namun, pada Desember 2018, Blizzard memutuskan untuk berhenti mendukung skena esports HoTS. Alasannya, karena mereka menganggap, investasi di competitive gaming tidak menguntungkan. Masalahnya, ketika itu, Blizzard tidak menginformasikan rencana mereka untuk berhenti menyokong skena esports HoTS pada para tim atau pemain. Alhasil, pelatih dan pemain profesional HoTS mendadak kehilangan pekerjaan mereka. Organisasi profesional juga mengalami kerugian karena mereka sudah terlanjur membuat tim untuk HoTS. Kabar baiknya, para fans HoTS berhasil mempertahankan skena dari game MOBA tersebut. Walau tentu saja, skala turnamen yang diadakan menjadi jauh lebih kecil.
Keputusan Blizzard untuk menghentikan turnamen HoTS secara sepihak merupakan salah satu dampak negatif yang mungkin muncul karena publisher memegang kekuasaan absolut di dunia esports. Dan hal ini mendorong politikus Korea Selatan untuk membuat regulasi baru. Pada Mei 2021, anggota kongres dari Partai Demokrat Korea, Dong-su Yoo mengajukan regulasi bernama Heroes of the Storm Law. Regulasi tersebut ditujukan untuk memastikan tidak ada pihak penyelengggara turnamen — baik publisher atau TO — yang mendadak membatalkan kompetisi tanpa mengabarkan hal itu pada semua pihak terkait. Melalui HoTS Law, Yoo berharap, jika publisher atau perusahaan distributor game berencana untuk berhenti mengadakan kompetisi esports, mereka akan memberitahukan hal tersebut pada tim dan pemain beberapa sebelum rencana itu direalisasikan, menurut laporan Naver Sports.
“Dalam esports, jika publisher game tak lagi mendukung skena esports, banyak pihak yang akan terkena dampaknya, termasuk organisasi esports, pemain profesional, caster, penonton, dan berbagai pihak lain,” kata Yoo, seperti dikutip dari The Esports Observer. Dia menyebutkan, kebanyakan pemain esports merupakan remaja atau berumur 20-an, yang merupakan masa penting dalam menentukan dan membangun karir profesoinal mereka. Kematian ekosistem esports secara mendadak bisa memengaruhi karir mereka. “Harus ada regulasi yang melindungi mereka,” ujar Yoo.
Kontra #2: Publisher yang Tak Tertarik dengan Esports
Jika Blizzard memutuskan untuk menyetop kompetisi HoTS setelah menyokong ekosistemnya selama sekitar tiga tahun, Nintendo sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk membangun ekosistem esports dari Super Smash Bros. Padahal, ekosistem esports dari Super Smash Bros. cukup berkembang. Buktinya, ada kompetisi tahunan dari Super Smash Bros., Smash Summit, yang diadakan sejak 2015. Tak hanya itu, Super Smash Bros. juga masuk dalam EVO, kompetisi esports paling bergengsi untuk fighting game. Meskipun begitu, Nintendo tetap tak tertarik untuk menyokong ekosistem esports Super Smash Bros.
Memang, Nintendo masih memberikan bantuan pada komunitas Super Smash Bros., seperti bantuan logistik, tapi, mereka tidak memberikan bantuan finansial sma sekali. Alhasil, total hadiah dari turnamen-turnamen Super Smash Bros. jauh lebih kecil dari kebanyakan kompetisi esports lainnya. Sebagai perbandingan, Smash Summit 5 — kompetisi Super Smash Bros. dengan total hadiah terbesar — hanya menawarkan hadiah sebesar US$83,7 ribu. Sementara itu, MPL — yang hanya mencakup Indonesia — mempunya total hadiah sebesar US$150 ribu. Dan Riot menyediakan US$2,25 juta untuk League of Legends World Championship.
Keputusan Nintendo ini membuat sejumlah pemain profesional Super Smash Bros. meradang. Karena itu, pada 2020, President Nintendo, Shuntaro Furukawa, memberikan alasan di balik keputusan Nintendo untuk tidak mendukung ekosistem esports Super Smash Bros. Dia menjelaskan, perusahaan lebih ingin agar Super Smash Bros. bisa dinikmati oleh semua orang, baik gamer hardcore maupun kasual. Mereka tidak ingin menonjolkan perbedaan kemampuan antara pemain Super Smash Bros. profesional dengan pemain kasual. Memang, selama ini, Super Smash Bros. lebih dikenal sebagai fighting game yang fun dan bukannya fighting game yang serius.
“Esports, yang menyediakan panggung bagi para gamers untuk bertanding dan memperebutkan hadiah di hadapan penonton, memang bisa menunjukkan daya tarik dari video game,” kata Furukawa pada Nikkei, seperti diterjemahkan oleh Kotaku. “Kami bukannya tidak mendukung esports. Kami ingin bisa berpartisipasi dalam berbagai event sehingga game-game kami bisa dinikmati semua orang, terlepas pengalaman, gender, atau umur. Kekuatan kami, apa yang membedakan kami dari perusahaan lain, adalah pandangan ini dan bukannya besar total hadiah turnamen.”
Kontra #3: Turunnya Legitimasi Turnamen Pihak Ketiga
The International adalah Piala Dunia-nya para pemain Dota 2. The be-all and end-all. Hal ini tidak aneh, mengingat TI memang menawarkan hadiah yang paling besar, tidak hanya jika dibandingkan dengan turnamen Dota 2 lainnya, tapi jika dibandingkan dengan semua kompetisi esports dalam satu tahun. Tim yang menjuarai TI sudah pasti akan menjadi tim dengan total hadiah terbesar dalam satu tahun.
Bagi Valve, tingginya hype TI memang kabar baik. Namun, bagi penyelenggara turnamen pihak ketiga, hal ini justru bisa menjadi masalah. Pasalnya, total hadiah TI yang terlalu besar justru membuat kompetisi Dota 2 lainnya terlihat tidak signifikan. Hal ini bisa membuat para tim atau pemain papan atas enggan untuk ikut serta dalam turnamen yang diadakan oleh pihak ketiga. Dan jika tidak ada pemain atau tim elit yang berlaga, pihak penyelenggara akan kesulitan untuk menarik perhatian penonton.
Selain dari segi total hadiah, turnamen dari penyelenggara pihak ketiga juga biasanya kesulitan untuk menyaingi turnamen resmi dari publisher dari segi prestige. Ketika Anda menonton The International atau PUBG Mobile Global Championship, Anda tahu bahwa tim-tim yang bertanding di turnamen itu merupakan tim terbaik. Karena, untuk bisa berlaga di TI atau PMGC, sebuah tim harus melalui “babak penyisihan”, seperti turnamen tingkat nasional atau regional. Hal ini menunjukkan, kompetisi resmi dari publisher biasanya memiliki jenjang yang jelas. Dari kompetisi tingkat nasional, lalu naik ke tingkat regional, sebelum masuk ke level global.
Sementara itu, tidak semua kompetisi dari TO pihak ketiga bisa sekomprehensif itu. Selain itu, membuat kompetisi esports yang berjenjang, seperti yang dilakukan oleh para publisher, memakan biaya yang tidak sedikit. Tidak banyak perusahaan yang mau untuk menyiapkan dana dan tenaga demi membuat kompetisi esports dengan jenjang panjang. Salah satu perusahaan non-publisher yang bisa melakukan itu adalah Intel, yang mengadakan Intel Grand Slam dengan bantuan dari ESL Gaming. Intel Grand Slam menawarkan hadiah US$1 juta untuk tim CS:GO yang berhasil memenangkan 4 turnamen S-Tier dalam periode 10 kompetisi.
Keberadaan Intel Grand Slam memang membuktikan bahwa pihak ketiga pun bisa membuat kompetisi yang berkelanjutan. Hanya saja, ada berapa banyak perusahaan yang mampu dan mau melakukan hal itu? Intel ada di posisi unik. Mereka tidak hanya punya dana yang memadai, mereka juga merupakan merek endemik esports. Pada 2020, pemasukan Intel mencapai US$77,87 miliar. Sementara itu, pendapatan NVIDIA pada tahun fiskal 2021 adalah US$16,68 miliar, Sony US$10,7 miliar, dan Lenovo Group US$50,7 miliar.
Kesimpulan
Power corrupts, and absolute power corrupts absolutely. Dalam kehidupan bernegara, seseorang yang memegang kekuasaan penuh kemungkinan besar memang akan tergoda untuk mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Dan dalam dunia esports, publisher — sebagai pemegang kuasa absolut — juga punya potensi untuk berbuat semena-mena. Hal ini dibuktikan oleh Blizzard yang secara sepihak menyetop kompetisi Heroes of the Storm. Namun, hal itu bukan berarti semua publisher akan melakukan hal itu.
Pasalnya, sebagai perusahaan, publisher pasti akan mencoba untuk mendapatkan untung sebanyak-banyaknya. Dan esports bisa menjadi sumber pemasukan baru. Hanya saja, untuk bisa mendapatkan untung dari esports, publisher harus terlebih dulu membangun ekosistem yang solid. Dan publisher tidak bisa melakukan hal itu sendiri. Mereka membutuhkan bantuan dari tim, pemain, dan penyelenggara turnamen esports. Jadi, walau publisher bisa membuat keputusan sesukanya, mereka harus mengambil langkah yang menguntungkan semua pihak yang terlibat jika mereka ingin mendapatkan untung dari esports.
Memasuki bulan Mei, Hybrid.co.id kembali membuat daftar turnamen esports terpopuler selama April 2021. Dari lima kompetisi yang masuk dalam daftar kali ini, tiga di antaranya juga masuk daftar turnamen paling populer di Maret 2021. Namun, game esports yang populer pada April cukup berbeda dari bulan sebelumnya. Jika pada bulan Maret, Free Fire berjaya, pada April, justru League of Legends yang menjadi sorotan utama.
Berikut lima turnamen esports terpopuler sepanjang April 2021, menurut data dari Esports Charts.
5. ONE Esports Singapore Major 2021
Dengan peak viewers mencapai 605 ribu orang, ONE Esports Singapore Major 2021 duduk di peringkat lima dalam daftar turnamen esports terpopuler di April 2021. Jumlah peak viewers tersebut tercapai pada babak final yang mempertemukan Evil Geniuses dengan Invictus Gaming. Sebelum bertanding dengan EG di babak final, IG sempat kalah dari tim asal Amerika Serikat itu, membuat mereka terdepak dari Upper Bracket. Jadi, ketika IG kembali bertemu dengan EG di babak final, tidak heran jika atmosfer di antara keduanya terasa menegangkan.
Pemenang dari babak final turnamen Major ini ditentukan dengan format Best of Five. EG meraih kemenangan di dua pertandingan pertama. Namun, IG berhasil membalikkan keadaan dan mengalahkan EG pada pertandingan ketiga. IG juga memenangkan dua pertandingan setelah itu. Dengan begitu, IG berhasil keluar sebagai juara dari ONE Esports Singapore Major 2021 dengan skor 3-2. Sejak diselenggarakan pada 25 Maret 2021 hingga 4 April 2021, turnamen Dota 2 Major ini berhasil mendapatkan 20,6 juta jamhours watched. Sementara jumlah penonton rata-rata dari turnamen tersebut adalah 197 ribu orang.
4. PUBG Mobile Pro League Season 3 2021 Indonesia
PUBG Mobile Pro League Indonesia (PMPL) 2021 Season 3 duduk di peringkat empat dalam daftar turnamen esports terpopuler untuk bulan April 2021. Dari bulan Maret 2021, PMPL ID S3 naik satu peringkat dari peringkat lima. Tentu saja, kenaikan peringkat diiring dengan meningkatnya jumlah peak viewers. Pada Maret 2021, jumla peak viewers PMPL ID S3 hanya mencapai 532 ribu orang. Sementara pada April 2021, angka itu naik menjadi 628 ribu orang.
Pertandingan yang berhasil menarik paling banyak penonton pada PMPL ID S3 adalah babak final hari ke-3, Ronde 18. Sementara itu, Ronde 17 di hari yang sama menjadi pertandingan terpopuler ke-2, dengan peak viewers mencapai 584 ribu orang. Geek Fam berhasil menjadi juara dari PMPL ID S3 dan akan maju ke PMPL Southeast Asia (SEA). Sementara itu, gelar runner up dimenangkan oleh Bigetron Red Aliens. Sebagai juara 2, Bigetron RA juga berhak akan tiket ke PMPL SEA. Namun, tiket tersebut diberikan ke Aura Esports, yang duduk di juara tiga. Alasannya, Bigetron RA sudah mendapatkan undangan untuk bertanding di PMPL SEA karena jadi juara dari musim sebelumnya.
3. LCK Spring 2021
League of Legends Champions Korea (LCK) Spring 2021 menjadi turnamen esports terpopuler ketiga dengan peak viewers 674 ribu orang. Menariknya, pertandingan paling populer dari LCK Spring 2021 bukanlah babak final. Pertandingan yang berhasil menarik 674 ribu orang penonton tersebut adalah pertandingan antara T1 dengan Gen.G pada babak semifinal hari ke-2. Meskipun begitu, babak final yang mempertemukan Damwon Gaming (DWG) Kia dengan Gen.G, juga menarik cukup banyak penonton. Jumlah peak viewers dari pertandingan itu mencapai 616 ribu orang.
LCK Spring 2021 dimenangkan oleh DWG KIA setelah mereka mengalahkan Gen.G dengan skor telak: 3-0. Sementara itu, tim Hanwha Life Esports berhasil meraih gelar juara tiga, dan T1 juara empat. Walau hanya menjadi juara empat, T1 terbukti sukses menarik banyak penonton. Buktinya, pertandingan terpopuler ketiga di LCK Spring 2021 adalah pertandingan antara T1 dan DRX di babak quarter finals hari ke-2. Jumlah peak viewers dari pertandingan itu mempunyai 599 ribu orang. Sementara itu, secara total, LCK Spring 2021 mendapatkan hours watched sebanyak 67,6 juta jam dengan jumlah rata-rata viewers sebanyak 232 ribu orang.
2. LEC Spring 2021
Posisi kedua dari daftar turnamen esports paling populer untuk April 2021 kembali diisi oleh kompetisi League of Legends. Dengan peak viewers mencapai 831 ribu orang, League of Legends European Championship (LEC) Spring 2021 berhasil mengalahkan LCK Spring 2021. Sepanjang turnamen berlangsung, LEC Spring 2021 telah mendapatkan 44,3 jutahours watched dan 310 ribuaverage viewers. Dengan begitu, LEC Spring 2021 berhasil mencetak rekor baru dalam hal hours watched, average minute audience (AMA), dan peak viewers.
Babak grand final dari LEC Spring 2021 mempertemukan MAD Lions dengan Rogue. Pertandingan tersebut sukses menjadi pertandingan paling populer dari LEC Spring 2021. Sementara itu, pertandingan antara G2 Esports dan Rogue di semifinal hari ke-2 menjadi pertandingan terpopuler ke-2. Jumlah peak viewers dari pertandingan itu mencapai 690 ribu orang. Pertandingan antara G2 dan MAD Lions pada semifinal hari pertama juga menarik banyak penonton, dengan jumlah peak viewers mencapai 661 ribu orang.
Satu hal yang mengejutkan dari LEC Spring 2021 adalah kalahnya G2 Esports. Selama ini, tim asal Jerman itu dianggap sebagai raja di kompetisi League of Legends Eropa. Meskipun begitu, G2 bukan satu-satunya tim besar yang kalah dari tim-tim yang lebih baru.
1. MPL ID Season 7
Dimulai pada Februari 2021, Mobile Legends Professional League Indonesia Season 7 masih menarik perhatian penonton pada bulan April 2021. Faktanya, turnamen Mobile Legends ini justru naik peringkat. Pada Maret 2021, MPL ID S7 merupakan liga esports terpopuler kedua. Pada bulan April, mereka berhasil naik ke peringkat pertama.
Pada Maret 2021, pertandingan El Clasico antara RRQ dan EVOS Esports menjadi pertandingan paling populer. Jumlah peak viewers dari pertandingan tersebut mencapai 1,18 juta orang. Sementara jumlah peak viewers dari MPL ID S7 pada April justru naik menjadi 1,47 juta orang. Menariknya, sama seperti pada Maret, di bulan April, pertandingan yang berhasil menarik paling banyak penonton adalah pertandingan antara RRQ Hoshi dan EVOS Legends.
Sementara itu, dari segi hours watched, MPL ID S7 berhasil mendapatkan 54,5 juta jam, dua kali lipat dari total hours watched pada Maret 2021. Seperti yang disebutkan oleh Esports Charts, RRQ merupakan tim paling populer di MPL kali ini. Jumlah penonton rata-rata dari RRQ adalah 508 ribu orang. Namun, EVOS, yang berhasil menjuarai MPL musim ini, juga tidak kalah populer. Empat dari lima pertandingan terpopuler sepanjang Season 7 melibatkan EVOS. Jumlah rata-rata penonton dari EVOS adalah 496 ribu orang.
Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.
Di tengah pandemi virus corona sekalipun, turnamen esports masih bisa diselenggarakan, walau formatnya harus diubah menjadi online. Memang, hal itu berarti, para fans esports tidak bisa hadir langsung di arena pertandingan untuk menonton para jagoannya bertanding. Meskipun begitu, total hadiah dari kompetisi esports yang diadakan pada tahun ini tetap fantastis.
Berikut 10 kompetisi esports dengan total hadiah terbesar pada 2020.
1. Mobile Legends Professional League Season 6 – US$300 ribu (sekitar Rp4,2 miliar)
Gelar turnamen esports dengan hadiah terbesar pada 2020 seharusnya jatuh ke Free Fire Champions Cup, yang menawarkan total hadiah sebesar Rp8,18 miliar. Rencananya, FFCC akan digelar di Jakarta, meski kompetisi itu juga mengadu tim-tim dari luar Indonesia. Sayangnya, karena pandemi virus corona, turnamen esports itu akhirnya dibatalkan. Karena itu, kami memutuskan untuk tidak menyertakan turnamen tersebut dalam daftar ini.
Mobile Legends Professional League masih menjadi turnamen esports di Indonesia dengan hadiah terbesar pada 2020. MPL Season 6 menawarkan total hadiah sebesar US$300 ribu atau sekitar Rp4,2 miliar. Sama seperti musim-musim sebelumnya, Season 6 dimulai dengan group stage, yang diselenggarakan pada 14 Agustus sampai 4 Oktober 2020 dan diikuti oleh 8 tim yang membayar Rp1,5 miliar untuk bisa ikut dalam liga ini. Enam tim terbaik akan lolos ke babak playoff, yang diadakan pada 16-18 Oktober 2020.
Dalam MPL Season 6, RRQ Hoshi keluar sebagai juara. Dengan ini, RRQ Hoshi berhasil menjadi tim pertama yang memenangkan MPL dua musim berturut-turut. Tak hanya itu, RRQ Hoshi juga menjadi tim dengan trofi MPL terbanyak. Mereka memenangkan MPL pada Season 2, Season 5, dan Season 6.
2. Mobile Legends Professional League Season 5 – Rp4 miliar
MPL Season 5 dimulai pada 7 Februari 2020. Jadi, pertandingan group stage dari kompetisi ini masih diadakan secara offline. Namun, babak playoff sudah diselenggarakan secara online karena pemerintah telah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sepanjang musim, Bigetron Alpha tampil mendominasi. Hanya saja, di babak playoff mereka terlempar ke lower bracket setelah kalah melawan EVOS Esports. Di lower bracket, Bigetron harus menghadapi ONIC Esports. Sayangnya, mereka harus bertekuk lutut di hadapan tim dengan ikon landak tersebut. Sementara itu, RRQ melanggeng ke babak grand final setelah mengalahkan EVOS di babak final upper bracket.
Di babak final lower bracket, EVOS harus bertanding melawan ONIC Esports. EVOS menang dari ONIC dan melaju babak grand final untuk kembali menghadapi RRQ. Pada akhirnya, RRQ berhasil mengalahkan EVOS dan membawa pulang trofi MPL Season 5.
3. PUBG Mobile Professional League Indonesia Season 1 – US$150 ribu (sekitar Rp2,1 miliar)
PMPL diikuti oleh 24 tim yang terbagi ke dalam 3 grup. Masing-masing grup akan berisi 4 tim undangan dan 4 tim yang lolos babak kualifikasi. Fase liga dari PMPL diadakan pada 6-29 Maret 2020. Dari sini, akan terpilih 16 tim terbaik untuk bertanding di babak playoff, yang diselenggarakan pada 4-5 April 2020.
4. PUBG Mobile Professional League Indonesia Season 2 – US$150 ribu (sekitar Rp2,1 miliar)
Sama seperti MPL, PMPL juga diadakan dua kali dalam setahun. PMPL Season 2 dimulai pada Agustus 2020. Salah satu hal yang membedakan PMPL Season 2 dengan turnamen Season 1 adalah keberadaan turnamen khusus perempuan. Kompetisi itu menggunakan menggunakan sistem babak kualifikasi terbuka, walau jumlah tim yang mendaftar dibatasi menjadi 128 tim.
Pada hari pertama dari babak final PMPL Season 2, BOOM Esports tampil dengan baik dan berhasil mengamankan dua Chicken Dinner. Semangat ini mereka bawa sampai hari kedua. Namun, performa BOOM dapat disaingi oleh Aerowolf Limax, yang akhirnya keluar sebagai juara dari PMPL Season 2.
5. Dunia Games League – Rp1,6 miliar
Melihat besarnya potensi industri game dan esports, tidak heran jika Telkomsel membuat Dunia Games untuk menggarap dua sektor tersebut. Tahun lalu, mereka mengadakan Dunia Games League. Dianggap sukses, mereka kembali mengadakan DG League 2020, yang mempertandingkan PUBG Mobile.
DG League 2020 terbuka untuk semua orang, baik pemain amatir maupun profesional. Turnamen ini memiliki empat babak kualifikasi, yaitu kualifikasi amatir, kualifikasi kampus, kualifikasi pro, dan kualifikasi online. Dari babak kualifikasi pro, akan terpilih delapan tim. Sementara dari babak kualifikasi amatir, kampus dan online, akan terpilih empat tim dari masing-masing babak kualifikasi.
6. Indonesia Games Championship – Rp1,6 miliar
DG League 2020 bukan satu-satunya turnamen esports yang Telkomsel adakan. Selain DG League, perusahaan telekomunikasi itu juga ikut turut serta dalam penyelenggaraan Indonesia Games Championship. Untuk mengadakan IDC, Telkomsel melalui Dunia Games bekerja sama dengan Garena. Berbeda dengan MPL atau PMPL yang hanya mengadu satu game, IGC mempertandingkan empat game sekaligus, yaitu League of Legends, Arena of Valor, Call of Duty: Mobile, dan Free Fire.
7. Piala Presiden Esports – Rp1,5 miliar
Piala Presiden Esports merupakan hasil kolaborasi antara Kantor Staff Presiden (KSP), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Badan Ekonomi Kreatif (Bekraft), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Turnamen tersebut diadakan dengan tujuan untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengembangkan ekosistem esports di Indonesia. Ada tiga game yang diadu dalam Piala Presiden Esports, yaitu Free Fire, Pro Evolution Soccer, dan Ultra Space Battle Brawl, yang merupakan game buatan developer lokal.
8. Free Fire Master League Season 2 – Rp1,2 miliar
Free Fire Masters League Season 2 diadakan pada 8 Agustus sampai 13 September 2020. Liga ini diikuti oleh 18 tim, yang terbagi ke dalam 3 grup. Pada akhir musim reguler, dua tim yang duduk di peringkat pertama dan kedua dari masing-masing grup langsung mendapatkan tiket ke babak grand finalFree Fire Indonesia Masters Fall 2020. Sementara itu, 12 tim lainnya masih harus bertanding di babal playoff dari FFIM Fall 2020.
9. Free Fire Master League Season 1 – Rp1,2 miliar
Free Fire Master League Season 1 diselenggarakan pada 14 Januari-14 Februari 2020. Kompetisi esports itu diikuti oleh 24 tim. Dari 24 tim, 6 tim dengan peringkat teratas akan terpilih untuk masuk ke babak grand final dari Free Fire Indonesia Masters 2020 Spring. Garena menyebutkan, tujuan mereka mengadakan FFML S1 adalah untuk mencari pemain Free Fire berbakat yang bisa mewakili Indonesia di turnamen tingkat internasional.
10. Free Fire Indonesia Masters 2020 Fall – Rp800 juta
Free Fire Indonesia Masters 2020 diadakan pada Oktober 2020. Diikuti oleh 12 tim esports, turnamen ini memperebutkan hadiah sebesar Rp800 juta. Dengan performa yang stabil, EVOS Esports berhasil keluar sebagai juara dan membawa pulang Rp350 juta. Tak hanya itu, mereka juga bisa langsung melaju ke babak final dari Free Fire Continental Series 2020: Asia. Sementara itu, juara dua diduduki oleh RRQ Hades, yang mendapatkan hadiah Rp175 juta dan juara tiga dipegang oleh ONIC Olympus, yang membawa pulang Rp80 juta. Kedua tim esports ini juga bisa masuk ke babak Play-ins dari FFCS.
Jika dibandingkan dengan turnamen-turnamen esports dengan hadiah terbesar pada 2019, jumlah turnamen esports yang menawarkan hadiah lebih dari Rp1 miliar sepanjang tahun 2020 masih lebih banyak. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa industri esports bisa bertahan bahkan di tengah pandemi.
Sama seperti tahun lalu, semua turnamen dalam daftar ini mengadu mobile game, seperti Mobile Legends, PUBG Mobile, dan Free Fire. Mengingat Indonesia adalah negara mobile-first, hal ini tidak aneh. Tren lain yang menarik adalah sebagian besar turnamen esports dengan hadiah terbesar pada tahun ini diadakan oleh publisher game, baik Moonton, Tencent, maupun Garena. Jadi, tidak heran jika banyak kompetisi esports tahun ini yang hanya mengadu satu game.
Banyak kompetisi olahraga tradisional yang terganggu oleh pandemi virus corona. Namun, tidak begitu dengan esports. Memang, turnamen esports sempat terhenti. Meskipun begitu, kompetisi esports kini sudah dapat diselenggarakan kembali, walau biasanya diadakan secara online. Faktanya, jumlah penonton esports justru bertambah akibat larangan keluar rumah di banyak negara.
Karena itu, saya akan membahas tentang tren penonton untuk tiga liga esports yang diadakan sepanjang 2020. Ketiga liga tersebut adalah Mobile Legends Professional League, PUBG Mobile Professional League, dan Free Fire Master League. Kenapa liga esports? Karena liga esports berlangsung selama beberapa minggu, berbeda dengan turnamen yang biasanya hanya diadakan pada akhir pekan. Ketiga turnamen ini juga dipilih karena sama-sama resmi dari masing-masing publisher-nya. Selain itu, data yang kami ambil di sini adalah yang hanya dari YouTube dan Facebook saja yang datanya terbuka.
Untuk melihat tren penonton dari ketiga liga tersebut, saya lalu memantau jumlah view dari MPL Season 5 dan Season 6, PMPL Season 1 dan 2, serta FFML Season 1 dan 2. Data yang disajikan dalam artikel ini berdasarkan data yang dikumpulkan per 24 Agustus 2020.
Mobile Legends Professional League
Pada awal tahun 2020, MPL memasuki musim ke-5. Ketika itu, MPL disiarkan melalui dua channel resmi, yaitu channel YouTube Mobile Legends: Bang Bang dan juga akun Facebook MPL Indonesia. Sepanjang musim tersebut, jumlah total view yang didapatkan oleh MPL mencapai 73,6 juta. Video dengan jumlah view paling banyak adalah video dari hari terakhir playoff, yang menampilkan babak final, dengan 5,4 jutaview. Mengingat babak final MPL Season 5 mempertemukan RRQ dengan EVOS, tidak heran jika jumlah penontonnya membludak.
Sepanjang musim, jumlah view untuk MPL dari minggu ke minggu cenderung stabil. Selama delapan minggu saat musim reguler MPL berlangsung (tanpa menghitung babak playoff), total view mencapai 59,6 juta. Sementara jumlah view rata-rata per minggu mencapai 7,4 jutaview.
Dengan pengecualian pada Minggu ke-7, Hari ke-3, jumlah view MPL Season 5 di YouTube tak pernah kurang dari 1 juta. Sementara pada hari pertama dan kedua dari babak playoff, jumlah view mencapai 2,4 juta dan 2,8 juta. Angka itu hanya mencakup jumlah view di channel YouTube saja. Jika ditambah dengan jumlah view dari akun resmi Facebook, jumlah view pada babak playoff MPL Season 5 di hari pertama dan kedua mencapai 3,9 juta view dan 4,5 juta view.
Saat ini, MPL Season 6 baru saja melalui minggu ke-2. Dari segi distribusi konten, satu hal yang membedakan MPL Season 6 dan musim sebelumnya adalah Season 6 disiarkan di dua channel YouTube resmi, yaitu channel Mobile Legends; Bang Bang dan MLBB Esports. Tentunya, Season 6 juga disiarkan di Facebook. Jumlah penonton MPL Season 6 di channel YouTube Mobile Legends: Bang Bang memang masih lebih banyak dari channel MLBB Esports. Meskipun begitu, jumlah view di channel MLBB Esports masih mengalahkan jumlah view di Facebook.
Selama dua minggu sejak MPL Season 6 dimulai, jumlah view MPL Season 6 di channel MLBB telah mencapai 9,4 jutaview, di channel MLBB Esports mencapai 4,1 jutaview, sementara di akun Facebook MPL Indonesia, jumlah view hanya mencapai 2,9 jutaview.
Menariknya, meskipun disiarkan di lebih banyak channel, hal ini tidak menjamin bahwa jumlah view dari MPL Season 6 akan lebih banyak dari musim sebelumnya. Faktanya, jika jumlah view MPL Season 6 dibandingkan dengan musim sebelumnya, terlihat bahwa jumlah view Season 6 lebih sedikit. Selama dua minggu pertama, jumlah view MPL Season 5 mencapai 17,4 jutaview, sementara MPL Season 6 hanya mencapai 16,5 jutaview.
Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, kecuali pada Minggu ke-2, Hari ke-3, jumlah view setiap minggu dari MPL Season 5 selalu lebih banyak dari Season 6.
PUBG Mobile Professional League
Oke, mari beralih ke PMPL. Sama seperti MPL, pertandingan PMPL juga disiarkan di channel resmi PUBG Mobile Indonesia, yaitu YouTube dan Facebook. Satu hal yang menarik, para fans PUBG Mobile lebih suka menonton pertandingan PMPL di Facebook daripada di YouTube. Buktinya, jumlah view dari pertandingan PMPL jauh lebih tinggi di Facebook daripada di YouTube. Di YouTube, jumlah view PMPL Season 1 dalam satu hari hanya mencapai sekitar 9 ribu sampai 300 ribuview. Sementara di Facebook, jumlah view liga esports tersebut bisa mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaanview.
Sepanjang musim pertama, PMPL berhasil mendapatkan 32,5 jutaview. Satu hal yang harus diingat, saat mengumpulkan data viewership untuk PMPL Season 1, saya tidak dapat menemukan video untuk Minggu ke-3, Hari ke-5 di Facebook, walau pertandingan dari hari tersebut tersedia di YouTube.
Seperti yang sudah bisa ditebak, hari terakhir liga menarik view paling banyak. Video dari pertandingan di hari tersebut berhasil mendapatkan view sebanyak 12 jutaview. Mengingat PMPL berlangsung selama 5 minggu, maka jumlah view rata-rata per minggu adalah 6,5 jutaview.
PMPL Season 2 kini tengah berlangsung. Pada akhir pekan lalu, liga tersebut telah melewati minggu ke-2. Sejauh ini, liga tersebut telah mendapatkan total view sebanyak 9,2 juta. Sama seperti Season 1, sebagian besar view tersebut — sekitar 8,3 jutaview — berasal dari Facebook. Namun, jumlah view di channel YouTube PUBG Mobile juga menunjukkan kenaikan.
Sayangnya, jika dibandingkan dengan dua minggu pertama dari PMPL Season 1, jumlah view dari PMPL Season 2 sejauh ini masih lebih sedikit. Dalam dua minggu, PMPL Season 1 berhasil mendapatkan 10 jutaview. Sementara PMPL Season 2 hanya mendapatkan 9,2 jutaview. Kemungkinan, salah satu alasan mengapa jumlah view dari pertandingan Season 2 lebih sedikit adalah karena di PMPL Season 1, Minggu ke-2 memiliki 5 hari, sementara dalam Season 2, hanya ada 3 hari dalam setiap pekan pertandingan.
Free Fire Masters League
Liga terakhir yang akan saya bahas di sini adalah Free Fire Master League. FFML Season 1 diadakan pada awal tahun, untuk lebih tepatnya, pada akhir Januari hingga Februari 2020. Sementara Season ke-2 tengah berlangung sekarang, Agustus 2020. Untuk data viewership dari FFML Season 1, saya hanya dapat mengumpulkan data di channel YouTube FF Esports ID karena konten tersebut tidak ditemukan di akun Facebook resmi Free Fire Esports ID.
Jika dibandingkan dengan liga Mobile Legends atau PUBG Mobile, FFML Season 1 memiliki jumlah view paling sedikit. Total view sepanjang FFML musim pertama hanya mencapai 792 ribuview, jauh tertinggal dari jumlah view MPL dan PMPL yang mencapai puluhan juta. Meskipun begitu, FFML justru merupakan liga esports dengan pertumbuhan viewership terbesar.
Untuk mendistribusikan siaran pertandingan FFML Season 2, Garena tidak hanya menggunakan YouTube, tapi juga Facebook. Meskipun begitu, YouTube tetap memberikan kontribusi jumlah view terbesar. Sebagai perbandingan, jumlah view dari video FFML Season 2 di Facebook hanya mencapai ratusan ribu view. Sementara jumlah view di YouTube selalu mencapai lebih dari satu juta.
Saat ini, FFML Season 2 baru saja melewati pekan ke-3. Namun, hingga sekarang, jumlah total view dari liga tersebut telah mencapai 9 juta, jauh lebih banyak dari toatl view FFML Season 1 sepanjang musim. Hanya saja, sejauh ini, tren viewership untuk FFML Season 2 menunjukkan penurunan. Satu hal yang harus diingat, baik MPL dan PMPL juga menunjukkan tren yang sama. Belajar dari MPL Season 5 dan PMPL Season 1, jumlah penonton akan kembali naik saat pertandingan terakhir dilangsungkan. Pola ini juga bisa Anda temukan pada jumlah orang yang mengikuti shalat Tarawih berjamaah saat bulan Ramadan: ramai di awal dan di akhir.
Akhir Kata
Jika dibandingkan dengan musim sebelumnya, musim MPL dan PMPL yang tengah berlangsung menunjukkan penurunan dari segi jumlah view. Ada beberapa kemungkinan mengapa hal ini terjadi.
Pertama, karena ada tiga liga esports yang diadakan secara bersamaan. Jadi, mau tidak mau, fans harus memilih salah satu liga yang mau mereka tonton. Namun, berbeda dengan tayangan di televisi, konten yang sudah diunggah ke internet bisa ditonton kapan saja. Bahkan, tak jarang, ada orang yang bahkan mengunggah ulang video pertandingan dari liga esports. Selain itu, jika mau, Anda juga bisa membuka beberapa tab secara bersamaan.
Kemungkinan kedua adalah saat ini, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tak lagi berlaku. Jadi, orang-orang yang tadinya harus berdiam di rumah punya banyak opsi kegiatan lain. Misalnya, hangout bersama teman atau kegiatan lain yang melibatkan kerumunan dan meningkatkan kemungkinan seseorang terpapar COVID-19.
Bak cerita lama yang terulang kembali, ajang puncak MPL ID Season 5 menyajikan rivalitas tertua di skena Mobile Legends Indonesia, EVOS dengan RRQ. Liga kasta utama Mobile Legends: Bang-Bang ini memang unik, karena selalu menyajikan cerita-cerita tak terduga. Namun anehnya, cerita tak terduga yang terjadi sepanjang babak Regular Season seakan tak berarti, karena laga final kerap kali tertutup oleh sang dua raksasa.
Babak Regular Season MPL ID Season 5 kita melihat Bigetron Alpha, mendominasi musim dengan perolehan menang-kalah 11-3. Namun masuk babak Playoff, mereka harus tersungkur tak berdaya saat menghadapi EVOS di upper-bracket dan ONIC Esports di lower-bracket.
ONIC Esports jadi tim lain yang juga tampil tak terduga. Terseok di babak Regular Season, mereka malah tampil prima di babak Playoff. Kalau di upper-bracket oleh RRQ, mereka mendapat momentum setelah kalahkan Bigetron di lower-bracket. Sayang, menghadapi semangat muda pemain-pemain EVOS, mereka tersungkur di peringkat 3, kalah 2-0.
Babak final menjadi sajian yang diidam-idamkan oleh para penonton, The El Clasico, EVOS vs RRQ. Tercatat laga antara dua organisasi esports terbesar di Indonesia ini sudah terulang sebanyak 3 kali sepanjang 5 musim MPL Indonesia. Pertemuan pertama mereka pada MPL ID Season 2, yang mana RRQ melenggang mulus jadi juara dengan skor 3-0, membuat EVOS bertahan menjadi raja tanpa mahkota.
Kutukan juara dua EVOS putus di musim keempat, saat laga El Clasico lagi-lagi terulang di babak Grand Final. Musim itu EVOS sedang dalam keadaan prima, mereka pun menjuarai MPL ID Season 4, bahkan sekaligus menjadi juara dunia di ajang M1 World Championship.
Musim ini, EVOS kembali terseok. Berada di peringkat 3 babak Regular Season, performa permainan EVOS cenderung inkonsisten. Salah satu penyebabnya mungkin karena pemain senior mereka yaitu Oura yang undur diri dari ajang kompetitif Mobile Legends setelah menyelesaikan musim terbaik mereka.
Walau EVOS terseok di Regular Season, namun laga final MPL ID Season 5 ternyata berlangsung dengan sengit. Menariknya, dalam pertandingan ini, RRQ selalu menang dominan, namun kemenangan EVOS didapatkan lewat usaha berlebih yang mereka lakukan.
Game pertama dan kedua contohnya. RRQ menangkan game hanya dalam 12 menit saja dengan keunggulan 10 ribu net-worth. Sementara EVOS harus memenangkan game kedua lewat pertarungan sengit, bahkan hampir kalah oleh RRQ, dengan durasi permainan selama 14 menit dan tanpa keunggulan net-worth yang begitu besar.
Game ketiga dan keempat keadaan malah berbalik. RRQ menang ngotot, pertandingan baru selesai setelah lord kedua dengan durasi permainan selama 20 menit, dan beda net-worth yang tipis-tipis sepanjang permainan. Setelahnya EVOS melawan balik dengan sangat galak. Harith dari Wann sunggu merepotkan RRQ, EVOS pun bisa selesaikan pertandingan dalam 12 menit, setelah satu kali Lord saja.
https://www.youtube.com/watch?v=SH6Damjqra8
Entah apa yang terjadi, EVOS malah seperti kehilangan semua momentumnya pada game terakhir. RRQ menutup dengan dominasi yang sangat kuat, pertandingan berakhir dalam 11 menit, diselesaikan setelah satu kali push dengan Lord.
Seakan mengulang cerita laga final MPL ID Season 2, RRQ menjadi juara di MPL ID Season 5. Ini sekaligus jadi rekor tersendiri bagi RRQ di MPL, menjadi tim pertama yang bisa memenangkan liga kasta utama MLBB sebanyak dua kali.
Selamat bagi RRQ Hoshi! Perjuangan RRQ belum usai sampai di sini. Mereka akan melanjutkan perjuangan mereka di Mobile Legends South East Asia Championship 2020 (MSC 2020) nanti bersama EVOS Legends selaku runner-up dari MPL ID Season 5. Akankah Indonesia tetap mendominasi skena MLBB internasional? Mari kita doakan yang terbaik bagi kedua tim.