Tag Archives: MPL Season 4

Hadiah kemenangan EVOS esports

Berapa Total Hadiah Kemenangan EVOS Esports Tahun Ini?

Minggu lalu, tim Hybrid mengumpulkan data tentang total hadiah turnamen yang telah dimenangkan oleh RRQ sepanjang tahun 2019. Kali ini, kami akan membahas tim esports besar lainnya, EVOS Esports. Jika dibandingkan dengan tim-tim esports besar lain di Indonesia, strategi bisnis EVOS Esports cukup unik. Mereka tak hanya ingin dikenal sebagai tim esports, tapi juga merek lifestyle. Inilah yang mendorong mereka untuk bekerja sama dengan merek streetwear, Thanksinsomnia. Tak hanya itu, mereka bahkan membuka toko di One Belpark, Fatmawati, Jakarta Selatan, yang menjual merchandise mereka, seperti jaket dan jersey.

Dalam Hybrid Talk, Merch Manager EVOS GOODS, Yansen Wijaya menjelaskan bahwa pada awalnya, alasan EVOS menyediakan merchandise adalah karena memang ada permintaan dari fans. Karena permintaan ini ada terus-menerus, akhirnya mereka memutuskan untuk membuka toko sendiri. Berkaca dari klub olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket, penjualan merchandise memang bisa jadi salah satu sumber pemasukan klub. Tak heran jika EVOS kini juga mulai tertarik untuk menyediakan merchandise sendiri, terutama jika memang ada permintaan dari fans.

Selain itu, EVOS juga memiliki manajemen untuk talenta, seperti streamer. EVOS diklaim membawahi sekitar 50 influencer secara eksklusif dan telah bekerja sama dengan 250 talent. Ketika mendapatkan kucuran dana sebesar sekitar Rp61 miliar, EVOS juga menggunakan dana ini untuk manajamen influencer mereka. Hanya karena bisnis mereka beragam bukan berarti EVOS tak berprestasi. Justru sebaliknya, organisasi esports dengan ikon macan putih ini cukup sering unjuk gigi. Sepanjang 2019 (setidaknya sampai artikel ini ditulis), mereka telah mengumpulkan hadiah dari berbagai turnamen sebesar sekitar Rp6 miliar.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Sebagian besar data yang kami kumpulkan adalah tim EVOS Indonesia, walau mereka juga beroperasi di empat negara lain di Asia Tenggara. EVOS Singapura memberikan berkontribusi yang cukup besar pada total hadiah yang dimenangkan EVOS tahun ini berkat kemenangan mereka di Mobile Legends Professional League untuk kawasan Singapura dan Malaysia. Menjadi juara satu, mereka berhasil membawa pulang US$25 ribu atau sekitar Rp350 juta.

Sementara berdasarkan data di Liquipedia, cabang EVOS di Thailand, EVOS Burnout, telah membawa pulang hadiah turnamen sebesar sekitar Rp72 juta. Satu hal yang menarik dari EVOS, tim ladies mereka juga cukup sering juara. Tim EVOS Galaxy Sades bahkan pernah membawa nama Indonesia ke kancah internasional dengan menjadi runner up dari Point Blank International Women Championship yang diadakan di Rusia pada Mei 2019. Sayangnya, total hadiah turnamen esports khusus perempuan biasanya tak sebesar turnamen esports kebanyakan. Sebagai runner-up PBIWC, EVOS Galaxy Sades hanya membawa pulang US$2,5 ribu atau sekitar Rp35 juta. Sebagai perbandingan, tim RRQ yang menjadi juara satu Point Blank International Championship membawa pulang US$30 ribu, atau sekitar Rp423 juta.

Inilah sejumlah turnamen besar yang dimenangkan oleh EVOS Esports.

1. Mobile Legends Professional League Season 4 — Rp2,1 miliar (US$150 ribu)
2. M1 World Championship 2019 — Rp1,1 miliar (US$80 ribu)
3. Arena of Valor Star League (ASL) Season 2 — Rp500 juta
4. PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC) 2019 – Rp400 juta
5. ESL Clash of Nations — Rp350 juta (US$25 ribu)
6. Mobile Legends Professional League SG/MY — Rp350 juta (US$25 ribu)
7. AOV Star League Season 3 — Rp300 juta

Menurut Head of Esports, EVOS, Aldean Tegar Gemilang total hadiah yang dimenangkan oleh para pemain EVOS memiliki kontribusi yang cukup signfiikan pada total pendapatan EVOS sebagai organisasi esports. “Tapi, sumber utama pendapatan tim masih dari sponsor sih,” ujarnya saat dihubungi melalui pesan singkat. Dia mengatakan, kebanyakan tim esports di Indonesia memang masih menggantungkan diri pada sponsor. Begitu juga dengan RRQ. Memang, menurut data dari Goldman Sachs dan Newzoo, tahun ini, sponsorship masih menjadi sumber utama pendapatan dari industri esports. Di industri esports global, sponsorship menyumbangkan 38 persen dari total pendapatan. Iklan menjadi penyumbang terbesar kedua dengan total kontribusi sebesar 22 persen

Pembagian sumber pendapatan esports 2019 | Sumber: Goldman Sachs
Pembagian sumber pendapatan esports 2019 | Sumber: Goldman Sachs

Sementara ketika ditanya soal persentase pembagian hadiah antara tim dan pemain, Dean enggan untuk menjawab. “Sudah rahasia kontrak dengan masing-masing player kita,” ujarnya. Satu hal yang pasti, dia mengatakan, mayoritas hadiah yang dimenangkan tim diberikan pada pemain. Ini sama seperti dengan ketetapan yang ditentukan oleh RRQ.

Akankah Model Franchise di Liga Esports Jadi Tren di Masa Depan?

Saat ini, semakin banyak pihak yang tertarik untuk mendukung esports, baik sebagai sponsor ataupun investor. Salah satu hal yang membuat investor berani untuk berinvestasi besar-besaran di industri esports adalah penggunaan model franchise pada turnamen esports. Di Indonesia, model franchise hanya digunakan oleh Moonton pada Mobile Legends Professional League Season 4. Meski memiliki sejumlah kelebihan, penggunaan model franchise menuai pro dan kontra, bahkan di kalangan pelaku esports. Dalam liga yang menggunakan sistem franchise, sebuah tim harus membayar sejumlah uang untuk ikut serta dalam sebuah turnamen. Di kasus MPL Season 4, masing-masing tim harus membayar Rp15 miliar. Salah satu argumen pihak yang mendukung penggunaan sistem franchise adalah model franchise membuat struktur liga esports menjadi lebih mudah dimengerti oleh calon investor dan pengiklan, yang berarti akan semakin banyak pihak yang tertarik untuk menjadi sponsor atau pengiklan.

“Penggunaan model franchise memberikan kestabilan pada para tim dan menjamin komitmen tim pada penyelenggara turnamen,” kata Bryce Blum, pendiri ESG Law dan Theorycraft, yang sering menjadi pengacara dari banyak tim ternama di Amerika Utara, menurut laporan The Esports Observer. “Model franchise menawarkan framework yang memudahkan semua pihak yang terlibat dalam mengambil keputusan dan kejelasan dalam pembagian pendapatan — bagi penyelenggara liga, model franchise memberi jaminan bahwa sebuah tim tidak akan mendadak mengundurkan diri. Komitmen ini bisa sangat berharga.” Di luar Indonesia, ada sejumlah liga yang menggunakan sistem franchise, seperti Overwatch League dan League of Legends Championship Series yang merupakan liga di kawasan Amerika Utara. Tahun depan, Activision Blizzard juga akan menggunakan model franchise untuk Call of Duty League. Namun, juga banyak game yang turnamennya tidak menggunakan model franchise, seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan Fortnite.

Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard
Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard

Bagi tim esports, penggunaan model franchise menawarkan jaminan bahwa mereka akan tetap dapat ikut serta dalam sebuah turnamen, tak peduli bagaimana performa mereka sepanjang liga. Misalnya, sebelum Riot menggunakan model franchise untuk LCS, mereka menggunakan sistem terbuka yang memungkinkan sebuah tim mendapatkan promosi atau terdemosi, tergantung pada performa mereka. Ini membuat tim enggan untuk menanamkan investasi besar dan membuat rencana jangka panjang karena sebuah tim bisa mendadak terdemosi keluar dari liga jika performa mereka tidak cukup baik. Walau model franchise memiliki sejumlah kelebihan, itu bukan berarti semua turnamen esports harus menggunakan model franchise. Jeremy Dunham, Vice President Psyonix Studios, publisher Rocket league mengatakan bahwa ada banyak model lain yang bisa digunakan pada turnamen esports.

“Kita tidak bisa mengatakan bahwa model franchise adalah model yang tepat untuk digunakan pada semua scene esports profesional di dunia karena akan ada beberapa game dan liga yang tidak cukup besar untuk menggunakan sistem franchise, yang memerlukan dana dan peraturan yang ketat,” kata Blum. Dia juga mempertanyakan apakah biaya yang dikeluarkan oleh tim esports pada awal turnamen memang sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. Tim Hybrid membuat perhitungan tentang apakah investasi yang dikeluarkan tim MPL Season 4 memang pantas. Blum juga membahas tentang motivasi sebuah publisher dalam mengembangkan esports dari game mereka. Misalnya, Epic Games dianggap lebih tertarik untuk mengembangkan Fortnite sebagai game untuk gamer individual daripada sebagai game esports. Karena itu, mereka tak segan untuk mengubah berbagai elemen dalam game dan memasukkan hal-hal random pada game, sehingga game ini sulit untuk dikuasai oleh para pemain profesional.

Sumber: Epic Games
FOrtnite World Cup | Sumber: Epic Games

Sementara itu, sebagian pelaku esports percaya, tak semua liga esports cocok untuk menggunakan model franchise. Para fans juga merasa, menggunakan model franchise menghilangkan elemen akar rumput dari ekosistem esports. Dengan model franchise, tim yang dapat berlaga dalam sebuah turnamen hanyalah tim yang bisa membayar investasi di awal. Itu artinya, meskipun sebuah tim profesional memiliki kemampuan yang mumpuni, bisa jadi mereka tak bisa ikut serta dalam sebuah liga karena tak bisa atau tak mau membayar biaya investasi di awal. Sementara pada sistem terbuka (non-franchise), semua orang berhak untuk mencoba ikut serta dalam sebuah turnamen atau liga esports. Inilah alasah mengapa Epic Games bisa mengklaim bahwa ada 60 juta orang yang mencoba untuk lolos kualifikasi Fortnite World Cup. Tak hanya itu, sistem turnamen terbuka juga biasanya memiliki jaringan distribusi dengan lebih luas. Biasanya, penggunaan model franchise akan memunculkan kontrak eksklusif untuk hak siar media. MIsalnya, hak siar Overwatch League dipegang oleh ABC/ESPN dan Twitch. Jadi, konten turnamen tersebut tak akan muncul di YouTube.

Masalah lain akibat penggunaan model franchise adalah ada beberapa tim esports yang mengundurkan diri dari liga. Hal ini terjadi pada Call of Duty League. Tim 100 Thieves memutuskan untuk mundur setelah Activision Blizzard mengumumkan mereka akan menggunakan sistem franchise pada liga Call of Duty pada tahun depan. Dalam sebuah video, pendiri 100 Thieves, Matt “Nadeshot” Haag menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah karena biaya yang harus mereka keluarkan untuk ikut serta yang dianggap terlalu mahal. Selain itu, 100 Thieves juga ingin untuk membangun fanbase secara global. Sementara sistem Call of Duty didasarkan pada kota asal tim esports, seperti Overwatch League.

Geek Fam Ekspansi ke Indonesia Lewat Akuisisi tim MLBB SFI.Critical

Banyak hal terjadi jelang Mobile Legends Professional League Season 4 ini. Salah satunya adalah soal polemik para tim menghadapi sistem baru, sistem franchised league. Tapi selain soal itu, ada juga hal lain yang sebenarnya patut diperhatikan, yaitu ekspansi organisasi esports asal Malaysia, Geek Fam, ke Indonesia.

Berawal dari desas-desus, Geek Fam Indonesia akhirnya menunjukkan diri lewat postingan akun official @geekfamid pada 12 Juli 2019 lalu.

Sumber: Instagram @geekfamid
Pengumuman resmi dari Geek Fam atas ekspansi organisasinya ke Indonesia. Sumber: Instagram @geekfamid

Kehadiran Geek Fam di Indonesia bisa dibilang merupakan buah dari sistem franchise league yang akan diterapkan dalam MPL S4. Ekspansi Geek Fam ke Indonesia hadir lewat akuisisi tim SFI.Critical. Maka dengan ini, Geek Fam Indonesia hadir dengan roster Mobile Legends SFI.Critical pada MPL Season 4 mendatang.

“Setelah rencana franchise league diumumkan oleh Moonton, kami dari pihak SFI segera memikirkan hal ini.” Lee, owner SFI memberikan komentarnya kepada redaksi Hybrid. “Menurut saya, ini (franchised league) adalah rencana yang bagus. Tapi sebagai organisasi esports yang sedang tumbuh dan berkembang, saya khawatir membawa SFI ke dalam liga malah akan mengganggu pertumbuhan organisasi, terutama dari sisi finansial.”

Ketika polemik MPL Season 4 muncul ke permukaan, ongkos investasi memang menjadi salah satu hal yang cukup disorot. Dari berbagai informasi yang beredar, banyak yang mengatakan bahwa biaya investasi untuk masuk ke dalam liga MPL S4 adalah sebesar Rp15 miliar atau sekitar US$1 juta.

Namun, karena hal tersebut adalah investasi, tentunya Rp15 miliar tersebut datang dengan beberapa keuntungan yang bisa dinikmati oleh organisasi esports yang tergabung ke dalam liga.

“Inisiatif awal dari ekspansi kami adalah dengan terjun ke dalam kancah kompetitif MLBB di Indonesia. Kami mengakuisisi SFI.Critical, salah satu tim MLBB yang menonjol di Indonesia. Sambil mempersiapkan roster yang bertanding untuk MPL Season 4, kami juga mencari talenta terbaik untuk mengisi jajaran manajemen kami. Setelah menemukan orang yang tepat, baru setelahnya inisiatif ekspansi kami di Indonesia akan berjalan dengan kecepatan penuh.” Manajemen Geek Fam, lewat sebuah rilisan yang dikirimkan kepada redaksi Hybrid.

Sumber: Official Page SFI Esports indonesia
Roster Terakhir dari tim SFI.Critical. Sumber: Official Page SFI Esports indonesia

Terkait soal akuisisi roster SFI.Critical oleh Geek Fam, Lee juga memberikan sedikit komentarnya. “Manajemen dan player SFI.Critical sudah menyutujui hal ini dengan Geek Fam. Demi masa depan roster SFI.Critical, agar dapat bertanding di MPL. Pada satu sisi kami cukup sedih harus melepas mereka, namun di sisi lain kami juga berbahagia bisa melihat para pemain Doyok dan kawan kawan dapat bertanding di MPL Season 4, walau bukan di bawah naungan SFI.”

Moonton akan mengumumkan berbagai hal seputar MPL Season 4 lewat sebuah konferensi pers yang diadakan pada 23 Juli mendatang. Satu hal yang pasti, Anda pendukung Doyok, Ipin, Joker, Ramzu, dan Wongcoco tidak perlu khawatir. Mereka akan tetap bertanding dalam gelaran MPL Season 4, hanya saja kini berganti bendera menjadi tim Geek Fam.