Industri musik menjadi salah satu yang terkena dampak paling besar dari pandemi Covid-19 di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk menetapkan protokol kesehatan termasuk Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menyebabkan seni pertunjukan terhenti total. Ditiadakannya konser offline serta pembatasan-pembatasan dalam interaksi sosial nyatanya sangat berpengaruh terhadap aktivitas musisi.
Salah seorang musisi Febrian Nindyo Purbowiseso atau dikenal sebagai Febrian HIVI menyebut bahwa sekitar 55 persen dari musisi Indonesia kini telah menjual alat musiknya untuk bertahan hidup selama masa pandemi Covid-19. Angka ini didapatnya saat melakukan survei bersama Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) kepada 186 orang, dalam wilayah kerja untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Seiring dengan berjalannya waktu, industri musik mulai bangkit dengan inovasi-inovasi yang tercipta melalui platform digital. Lalu, dengan protokol kesehatan yang ketat dan selebihnya pertunjukkan offline mulai kembali diadakan namun lebih banyak yang beralih ke virtual. Meskipun begitu, tidak sedikit musisi yang mengaku kesulitan untuk memonetisasi karyanya secara virtual. Salah satu pemain yang coba menawarkan solusi untuk masalah ini adalah Pitchplay.co.
Co-Founder & CEO Pitchplay Fauzan Rezda mengungkapkan bahwa saat ini eksistensi para musisi tanah air sedang terguncang. Selain karena live performance yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama musisi berkurang signifikan di masa pandemi, namun juga polemik revenue model pada digital music streaming yang hanya berpihak pada musisi berskala besar.
Melalui Pitchplay, Fauzan beserta timnya berkomitmen ingin menyediakan sebuah sustainable revenue model untuk musisi tanpa menggantikan revenue model yang telah ada sebelumnya.
Alat monetisasi baru di industri musik
Pitchplay pertama didirikan pada Juni 2020 oleh tiga founder, yaitu Fauzan Rezda sebagai CEO, Egi Purwana sebagai CTO, dan Daus Gonia sebagai CMO. Platform ini dirilis secara resmi pada Oktober 2020.
Ia turut mengungkapkan bahwa ide dibalik pembentukan Pitchplay adalah keinginan untuk menciptakan sebuah model bisnis yang memungkinkan musisi mendapatkan revenue stream baru tidak hanya dari produk jadinya (karya lagu) tetapi juga dari proses kreatifnya dalam bentuk konten video dan langsung kepada penggemar, tidak ketergantungan kepada sponsor/brand.
Saat ini, Pitchplay memiliki 3 fitur yaitu rent-to-view, bundle, dan support. Fitur utamanya sendiri adalah rent-to-view, yang memungkinkan musisi menjual konten video langsung kepada fans. Sekali membayar, penggemar dapat menonton konten tersebut tanpa batas selama 7 hari dan Pitchplay hanya akan
mengenakan biaya potongan kepada musisi per transaksi.
Sedangkan untuk bundle, musisi dapat menjual lebih dari satu konten atau dengan merchandise. Selain itu, ada juga fitur support yang memungkinkan fans memberikan dukungan dalam bentuk uang dan juga pesan kepada musisi kesayangannya.
Sekilas mungkin terlihat tidak ada bedanya dengan platform distribusi konten lain seperti YouTube atau sejenisnya. Namun, salah satu yang menjadi musuh bebuyutan para musisi adalah piracy atau pembajakan. Sementara konten virtual yang didistribusikan secara gratis melalui platform digital rentan sekali dengan isu pembajakan. Dalam hal ini, Pitchplay juga menawarkan wadah bagi musisi untuk mendistribusikan karya dengan nyaman dan aman dari ancaman pembajakan.
Dari sisi teknologi, timnya mengaku telah menerapkan beberapa teknologi penunjang untuk memenuhi standar keamanan konten, seperti DRM, blocker third party download, serta watermarking untuk mencegah pembajakan. “Kita yakin pembajakan tidak bisa 100% dihilangkan, tapi bisa dioptimalkan dalam pencegahannya baik preventif atau penanggulangannya,” tambah Fauzan
Merujuk kepada peraturan Pasal 3 PP 56/2021 yang menyebutkan bahwa setiap orang bisa menggunakan lagu dan atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan catatan harus membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta dan atau pemilik hak terkait.
Untuk konten sendiri, timnya juga melakukan proses kurasi yang akan dipajang di platform. Jika isi dan kualitas konten dirasa tidak relevan, maka konten tersebut tidak akan dinaikkan atau secepatnya di take down.
Sebagai platform yang memiliki model B2B2C, Pitchplay berfokus kepada akuisisi artis sebagai penyedia konten. Untuk mendukung strategi akuisisi, timnya juga telah melakukan beberapa program edukasi baik secara langsung ke artis atau melalui program di media sosial.
Tantangan dan peluang
Sejauh ini, analisa dan tesis awal Pitchplay menunjukkan bahwa adopsi pasar terbilang cukup baik bahkan dengan biaya pemasaran yang kecil. Namun ada beberapa tantangan yang muncul, salah satunya adalah banyak fans yang bahkan belum memiliki akun e-wallet atau m-banking untuk pembayaran. Maka dari itu, selain OVO dan GoPay, platform ini juga menyediakan pembayaran lewat Alfamart.
Dari sisi pengguna sendiri, Pitchplay mengaku antusiasmenya cukup kuat bahkan dari segmen yang sebelumnya tidak bisa diprediksi. Kekuatan eksklusifitas dan tipe konten masih menjadi faktor utama bagi pengguna untuk mau membeli konten.
Menurut Fauzan, potensi konten berbayar sendiri masih sangat besar dan terus berkembang di Indonesia. Kuncinya adalah bagaimana bisa menjangkau target market yang menjanjikan tidak hanya dari sisi kualitas namun juga kuantitas.
“Hal tersebut yang membuat kami berfokus pada musik, karena bagi kami musik merupakan hal yang dekat dengan target market di Indonesia terutama jika kita berbicara segmen milenial dan second-tier cities, yang mana secara angka terbilang sangat besar,” ujarnya.
Dalam industri musik tanah air, sudah ada beberapa platform yang juga menawarkan revenue tambahan bagi para musisi. Salah satunya adalah GoPlay Live yang sudah dikostumisasi sedemikian rupa untuk menawarkan pengalaman real-time melalui platformnya. Selain itu juga ada aplikasi Modular yang memungkinkan konser virtual menggunakan teknologi Augmented Reality.
Selain itu, tantangan yang kemudian muncul adalah sulitnya musisi untuk membuat konten baru dengan terkendala masalah kreatif ataupun pendanaan. Platform ini pun sedang mempersiapkan solusi untuk masalah tersebut lewat beberapa fitur yang akan dirilis ke depannya.
Target ke depan
Terlepas dari tantangan yang muncul, layanan ini mendapat cukup banyak respons positif dari para musisi. Fauzan juga menyebutkan bahkan muncul permintaan dari industri lain selain musik yang memiliki masalah dan kebutuhan yang sama.
Saat ini sudah ada 43 artis terdaftar di Pitchplay dengan 20 konten eksklusif dan jumlah tersebut terus berkembang seiring diskusi dengan beberapa artis yang masih berjalan. Terkait pengguna sendiri, saat ini telah terdaftar lebih dari 3.500 pengguna terdaftar aktif. Beberapa band ternama yang sudah memajang konten eksklusif di Pitchplay seperti Mocca (Mocca’s Valentine Special), Burgerkill (25th Annivesary Virtual Concert), juga The SIGIT (Footnote: The SIGIT – Behind the Stage) dan lain-lain.
Sejak didirikan, Pitchplay menjalankan kegiatan operasional secara bootstrapping. Di tahun ini, timnya mengaku sudah berhasil mendapatkan pendanaan eksternal pertama, namun untuk saat ini, nama investor dan jumlahnya masih belum bisa disebutkan.
Melalui musik, platform ini yakin dapat menjangkau untapped market yang selama ini belum terjamah secara optimal. Timnya juga sempat mengadakan survey yang menunjukkan 4 dari 5 pengguna berbayar Pitchplay melakukan pembelian konten digital pertama di Pitchplay. Sebelumnya mereka belum pernah berlangganan/membeli konten digital termasuk layanan music streaming/VOD.
Selain memposisikan platformnya yang berfokus pada musik, Pitchplay juga berusaha menyediakan layanan 360° bagi musisi yang tidak hanya dapat menjual konten berbayar, tapi juga menyediakan fanengagement lewat beberapa fitur baru mendatang.
Saat ini, Pitchplay disebut sedang menyiapkan untuk merilis mobile app dan beberapa fitur baru. “Lewat beberapa fitur baru tersebut, fokus kami akan tetap memperkuat solusi sustainable revenue model bagi musisi dan juga menyediakan pengalaman yang lebih menyenangkan bagi pengguna,” tambah Fauzan.
Musik telah menjadi kebutuhan primer bagi kebanyakan orang di belahan dunia mana pun. Orang-orang kini bersedia membayar harga yang pantas untuk dapat menikmati musik di mana pun mereka berada melalui perangkat seluler. Di Indonesia, kancah aplikasi streaming musik cukup penuh dengan pemain global. Salah satu yang terbesar, dan baru saja merayakan hari jadinya yang ke-5 adalah JOOX.
Pada tahun 2017, JOOX meluncurkan fitur LIVE dengan mendekatkan artis dan penggemar dengan pertunjukan langsung gratis dari artis lokal dan internasional. Di tahun yang sama, mereka juga meluncurkan fitur karaoke yang memungkinkan pengguna menyanyi, mendengarkan, dan mengomentari lagu yang disukai. Ada lebih dari 100 juta lagu telah dinyanyikan di JOOX, yang berarti 20 lagu dalam satu menit. Melihat pertumbuhan pengguna Karaoke yang cukup signifikan, JOOX memutuskan untuk meluncurkan fitur Karaoke baru, Quick Sing, sehingga memudahkan pengguna untuk menyanyikan lagu dan membagikannya kepada orang lain.
Peter May, Head of JOOX Indonesia, mengatakan, “Dalam lima tahun terakhir, kami juga melihat perkembangan pesat industri musik Indonesia. Setiap tahun, jumlah musisi baru bertambah, membawa kreasi dan inspirasi baru di semua genre musik. Platform streaming musik seperti JOOX telah membantu orang untuk mendapatkan akses ke beragam musik dan memperoleh kesadaran akan genre yang berbeda di Indonesia. Hal ini telah membantu meningkatkan kebanggaan masyarakat lokal terhadap musik Indonesia.”
Pertumbuhan bisnis JOOX
Meningkatnya kebutuhan akan layanan platform streaming musik mendorong JOOX untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk. Lebih dari sekedar platform streaming musik, JOOX merupakan platform hiburan sosial yang menyediakan lebih dari 30 juta koleksi lagu dengan berbagai pilihan genre musik yang dapat disimak melalui fitur interaktif lainnya untuk memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat Indonesia kapanpun dan dimanapun.
Platform streaming musik besutan Tencent ini telah tersedia di delapan negara, antara lain Indonesia, Hongkong, Malaysia, Thailand, Myanmar, Makau, dan Afrika Selatan. Peter juga menyebutkan bahwa sebelum memasuki pasar, timnya melakukan riset dan survei menyeluruh tentang situasi pasar. Permintaan pasar adalah pertimbangan dasar JOOX untuk memulai operasinya. Sekarang, JOOX selalu menjadi salah satu pemain industri teratas di pasar tempatnya beroperasi. Dia mengklaim JOOX sebagai aplikasi streaming musik yang paling banyak diunduh, menurut App Annie, baik di Apple App Store dan Google Play Store (di semua pasar terkait) selama tiga tahun berturut-turut.
“Fokus utama kami adalah menyediakan layanan terbaik dan memenuhi beragam kebutuhan pelanggan di tempat kami beroperasi saat ini, tetapi kami selalu mencari cara untuk tumbuh baik di pasar yang ada atau di pasar baru yang potensial,” tambah Peter.
Sejak pandemi COVID-19, masyarakat kini menyesuaikan gaya hidupnya dengan melakukan berbagai aktivitas dari rumah secara virtual, termasuk cara mereka menikmati konten hiburan.
Tanpa merincikan angka pertumbuhan penggunanya, tim JOOX menyampaikan kebiasaan pengguna yang mendengarkan musik untuk menemani mereka melakukan apa pun, mulai dari bepergian, bekerja, belajar, dan bersantai. Beberapa ahli juga mengatakan bahwa musik bisa menjadi platform untuk merangkul dan mengekspresikan perasaan, kebahagiaan, atau kesedihan orang saat ini. Oleh karena itu, fitur Karaoke dan Live Streaming menjadi fitur JOOX yang paling banyak digunakan kedua dan ketiga.
“Semua fitur dan keseruan ini merupakan bagian dari komitmen kami untuk terus berupaya menyediakan konten hiburan yang relevan bagi pengguna di Indonesia sekaligus mendukung ekosistem industri musik dan kreatif tanah air,” kata Peter.
Pimpinan JOOX Indonesia ini terus menyebutkan bahwa musik telah menjadi bagian dari kehidupan banyak orang. Selain itu, timnya juga melihat bahwa podcast mendapatkan daya tarik yang semakin signifikan di industri global. JOOX, dengan teknologi dan fitur-fiturnya saat ini, akan mendukung pertumbuhan podcast di wilayah ini.
Dengan kehadiran developer yang hanya berpusat di kantor China, JOOX tetap mengikuti tren teknologi di kawasan ini dengan menggunakan teknologi AI di platformnya. Teknologi pembelajaran mesin AI yang diterapkan di JOOX dikatakan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kebiasaan, perilaku, dan preferensi pengguna saat mereka mendengarkan musik. Dari sana, JOOX dapat mengambil langkah berikutnya dengan memberikan pengalaman streaming musik yang disesuaikan kepada pengguna melalui fitur tambahan seperti rekomendasi daftar putar yang dipersonalisasi dan pemberitahuan dalam aplikasi.
Selain perluasan geografis dan pembaruan fitur, penggunaan teknologi pembelajaran mesin atau machine learning juga penting bagi pengguna dan musisi. Bagi pengguna, ini memudahkan mereka untuk menemukan lagu-lagu yang sesuai dengan selera dan preferensi, sedangkan bagi para musisi, ini membantu mereka mendapatkan eksposur untuk lagu-lagu mereka ke lingkup audiens yang lebih luas.
Terus pacu kolaborasi
Meskipun sistem berlangganan merupakan faktor penting dalam pertumbuhannya, JOOX memiliki aliran revenue yang cukup beragam. Di B2C, mereka memiliki fitur unik yang berbeda, seperti K-Plus, Coin Redemption (model sosial/ekonomi penggemar). Pengguna dapat menggunakan koin mereka untuk berbagi hadiah selama siaran langsung, mendukung lagu karaoke favorit mereka, atau membeli airtime, merchandise, voucher belanja, dan bahkan akses VIP.
Dari sisi B2B, JOOX menyediakan platform bagi pemasar dan pengiklan untuk menjangkau dan terlibat dengan audiens target mereka melalui musik dan hiburan.
JOOX telah berkolaborasi dengan pihak ketiga, agensi, dan merek untuk menyatukan konsumen dan pengiklan di platformnya. Kemitraan tersebut menawarkan eksposur berdasarkan rasio klik-tayang dan rasio respons aplikasi di JOOX. Beberapa mitra mereka sebelumnya seperti Coca-Cola, P&G, Unilever, dan merek regional terkemuka seperti eCommerce Shopee dan aplikasi super Asia Tenggara Grab telah memanfaatkan solusi periklanan JOOX di wilayah terkait.
Selain layanan streaming musik, JOOX juga menghadirkan banyak konten hiburan video, mulai dari siaran langsung acara musik regional seperti tiga upacara penghargaan K-Pop besar di Korea hingga program musik Korea seperti M countdown.
“Selain sebuah merek dan pengiklan, kami juga memposisikan diri sebagai penyedia hiburan digital karena kami bekerja sama secara erat dan memiliki hubungan yang kuat dengan label musik di seluruh wilayah,” kata Peter.
– Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian
Music has become a primary need for most people in any part of the world. Those people are willing to pay a good price to be able to enjoy music anywhere they could through their mobile devices. In Indonesia, the music streaming applications scene is quite full of global players. One of the biggest ones, and recently just celebrated its 5th year anniversary is JOOX.
In 2017, JOOX launched its LIVE feature by bringing artists and fans closer together with free live performances from both local and international artists. In the same year, they also launched a karaoke feature, enabling users to sing, listen, and comment on the songs they like. There are more than 100 million songs have sung on JOOX, which translates to 20 songs a minute. Seeing quite significant growth of its Karaoke user, JOOX decided to launch a new Karaoke feature, Quick Sing, making it easier for the user to sing a song and share it with people.
Peter May, Head of JOOX Indonesia, said, “In the past five years, we have also seen the rapid development of the Indonesian music industry. Every year, the number of new musicians increases, bringing new creation and inspiration across all music genres. Music streaming platforms like JOOX have helped people to get access to any music and gained awareness of different genres in Indonesia. This has helped contribute to the surge of local pride for Indonesian music.”
JOOX’s business growth
The increasing needs for music streaming platform services have driven JOOX to continue innovating and developing the product. More than just a music streaming platform, JOOX is a social entertainment platform that provides more than 30 million song collections with a wide selection of music genres that can be listened through other interactive features to meet the entertainment needs of the Indonesian people anytime and anywhere.
The Tencent backed music streaming platform has been available in eight countries, including Indonesia, Hongkong, Malaysia, Thailand, Myanmar, Macau, South Africa. Peter also mentioned that before entering a market, his team will do thorough research and survey on the market situation. The market demand is the basic consideration for JOOX to start its operation. Now, JOOX is always one of the top industry players in the markets it operates in. He claims JOOX as the most downloaded music streaming app, according to App Annie, both on Apple App Store and Google Play Store (across all markets with its footprint) for three consecutive years.
“Our main focus is providing the best services and meeting the diverse needs of our customers where we currently operate, but we are always looking to grow whether it is in existing markets or in potential new markets,” Peter added.
Since the COVID-19 pandemic, people are now adjusting their lifestyle to carry out various activities from their homes virtually, this includes how they enjoy entertainment contents.
Without sharing any detailed numbers on its user growth, JOOX’s team said their users usually listen to music to accompany them doing anything, from commuting, working, studying, and relaxing. Some experts also said that music could be a platform to embrace and express people’s current feelings, happiness, or sadness. Therefore, the Karaoke and Live Streaming feature become the second and third most used feature of JOOX.
“All of these features and excitement are part of our commitment to continuously strive to provide relevant entertainment content for users in Indonesia while supporting the country’s music and creative industry ecosystem,” Peter said.
As the JOOX’s Indonesia Head continues mentioning that music has been a part of many people’s lives, his team also see that podcast is gaining more mainstream appeal in the global industry. JOOX, with its current technology and features, is to support the growth of podcasts in the region.
With the presence of developers only in China’s headquarter, JOOX still keeping up with the technological trend in the region by using AI technology in its platform. The AI machine learning technology implemented in JOOX is said to have a better understanding of user’s habits, behavior, and preferences when they listen to music. From there, JOOX can take the next step by providing users with a customized music streaming experience through additional features like personalized playlist recommendations and in-app notifications.
Aside from geographical expansion and feature updates, the use of machine learning technology is also important for both users and musicians. For the users, it makes it easier for the user to find the songs that are suited to their tastes and preferences, while for the musicians, it helps them gain exposure to their songs to a wider scope of audience.
Continue strives for collaboration
While the subscription is an important factor in its growth, JOOX has a diversity of revenue streams. On B2C, they have different unique features, e.g. K-Plus, Coin Redemption (social/fan economy model). Users can use their coins to share gifts during live broadcasts, support their favorite karaoke song, or purchase airtime, merchandise, shopping vouchers, and even VIP access.
In terms of B2B, JOOX provides a platform for marketers and advertisers to reach and engage with their target audience via music and entertainment.
JOOX has been collaborating with 3rd parties, agencies, and brands to bring consumers and advertisers together on its platform. The partnerships offer exposure based on the click-through rate and app response rate on JOOX. Some of their previous partners like Coca-Cola, P&G, Unilever, and leading regional brands such as eCommerce Shopee and Southeast Asian super app Grab have leveraged JOOX’s advertising solutions in the region.
In addition to music streaming services, JOOX also brings in a lot of video entertainment content, from live broadcasts of regional music events such as the three major K-Pop award ceremonies in Korea to Korean music programs like M countdown, among others.
“Apart from brands and advertisers, we also position ourselves as a digital entertainment provider as we collaborate closely with and have a strong relationship with music labels across the regions,” Peter said.
Peta persaingan aplikasi streaming musik di Indonesia hari ini ramai dihuni aplikasi besutan pengembang global. Sebut saja Spotify, Joox, Resso, SoundCloud, Deezer, Apple Music, dan terakhir YouTube yang sudah merilis aplikasi khusus YouTube Music. Satu-satunya aplikasi lokal yang masih eksis adalah Langit Musik yang di-back up oleh Telkom Group.
Beberapa tahun lalu para pemain operator lokal merilis aplikasi seperti Langit Musik. Ada XL Axiata yang merilis Yonder dan Arena Musik besutan Indosat Ooredoo. Keduanya tak bertahan lama.
Di luar itu, menurut catatan DailySocial, situs atau aplikasi streaming musik lokal yang beroperasi hingga sekarang tinggal Insan Music dan Irama Nusantara. Hanya saja Irama Nusantara berbentuk yayasan dan didirikan bukan untuk kebutuhan komersial.
Misi mereka adalah pengarsipan dan pengelolaan lagu Indonesia dalam bentuk digital dari piringan hitam agar masyarakat bisa memperoleh referensi atau informasi seputar musik populer Indonesia. Irama Nusantara telah mendigitalkan 40 ribu lagu dari rentang era 1920-an hingga 1990-an sejak beroperasi pada tujuh tahun lalu. Data yang telah diarsipkan dapat diakses melalui situs resminya.
Langit Musik
Kiprah Langit Musik menarik untuk ditelusuri. DailySocial berkesempatan untuk mewawancarai Langit Musik yang diwakili General Manager VAS Entertainment Telkomsel Douby Kusumawirachma.
Langit Musik adalah produk Telkomsel yang sudah hadir sejak 2009. Dikelola oleh MelOn Indonesia, yang masih dalam satu keluarga Telkom Group. Tim Langit Musik itu sendiri bergabung ke dalam divisi digital lifesyle yang berisikan beragam produk digital Telkomsel, termasuk MaxStream.
Douby mengakui keberadaan aplikasi sejenis dari luar negeri memberikan tantangan tersendiri dalam hal akuisisi user. “Namun dengan kelebihan harga paket harga premium yang paling terjangkau, terutama untuk pelanggan Telkomsel serta akses langsung ke pasar dan event lokal yang lebih mudah, Langit Musik dapat menjadi pilihan yang menarik buat pelanggan Indonesia,” katanya.
Tidak dijelaskan lebih jauh bagaimana dampak sengitnya persaingan ini terhadap pertumbuhan pengguna Langit Musik dari tahun ke tahun. Diklaim jumlah unduhan saat ini mencapai 10 juta kali, dengan jumlah pengguna berbayar aktif sebanyak 2 juta orang.
Dari sisi demografi, pengguna Langit Musik terbesar berada di rentang usia 25-34 tahun berlokasi di Jakarta, Surabaya, Batam, Makassar, dan Bandung. Mereka umumnya menghabiskan waktu di Langit Musik hingga 30 menit per hari.
“Total katalog mencapai 7 juta lebih konten lagu, musik digital, dan podcast. Selama pandemi, trafik Langit Musik cukup stabil jika dibandingkan masa sebelum pandemi.”
Dalam memperkaya konten musik, perusahaan tidak hanya bekerja sama dengan major label untuk promo eksklusif lagu atau album. Mereka juga aktif melakukan event offline/online dengan mengadakan workshop di berbagai kota dan mengajak indie artist dan artis lokal untuk mendistribusikan karyanya di LangitMusik, melalui Laguku.id, situs untuk mengunggah karya original dalam bentuk audio.
Sulit menawarkan diferensiasi
Secara layanan dan fitur, Langit Musik tidak menawarkan hal yang jauh berbeda dengan kompetitornya. Yang sedikit membedakan adalah kehadiran platform Laguku.id.
Sepinya pemain lokal yang berani terjun ke segmen ini menandakan bahwa persaingan di industri ini sulit dan belum ada yang bisa memberikan diferensiasi mencolok. Hukum diferensiasi berlaku keras untuk setiap perusahaan yang terjun ke bisnis manapun.
Strategi freemium kini menjadi barang umum yang ramai-ramai diterapkan seluruh aplikasi streaming untuk mengakuisisi pengguna. Bagi pemain baru yang belum ada nama, butuh upaya ekstra, termasuk didukung kapital yang kuat, untuk mengubah loyalitas seseorang terhadap suatu merek. Proses tersebut tidak bisa instan akan semakin susah bila tidak ada diferensiasi yang menonjol.
Pengamat musik Ario Tamat berpendapat menyajikan sesuatu yang berbeda di industri streaming musik adalah sesuatu yang sulit dicapai. Pasalnya, kegiatan mendengarkan musik itu sudah jadi komoditi, sehingga sulit untuk diferensiasi di pasar.
“Kalau strateginya dengan menyediakan konten yang tidak tersedia di tempat lain, menurut gue tidak akan merebut pangsa pasar yang besar karena akan sangat tergantung ke konten eksklusif tersebut basis fans-nya sebesar apa dan sefanatik apa,” ujarnya.
Dia melanjutkan, “Kalau ada layanan khusus musik indie, itu enggak apa-apa. Tapi apa perusahaannya bisa hidup? Karena satu band itu pasti punya fans sendiri, apakah mereka bersedia untuk bayar terus-terusan? Sebab musisi itu juga punya kepentingan untuk hadir mendapatkan akses ke pendengar yang lebih besar.”
Ario sendiri sudah memvalidasi pernyataannya tersebut saat mendirikan situs radio online bernama Ohdio FM di 2012, jauh sebelum kini fokus ke KaryaKarsa. Konsepnya pada waktu itu adalah situs yang menawarkan pengguna pengalaman streaming lagu lokal secara online seperti mendengarkan radio karena tidak bisa memilih lagu, tapi tanpa ada iklan dan penyiar.
Dalam perjalanannya, Ohdio mencoba penawaran untuk menggaet klien B2B dengan menyajikan anak-anak usaha situs streaming lagu tematik yang bisa dipasang ke dalam situs mereka untuk para pelanggan. Situs musik yang waktu itu dirilis adalah LaguGalau, Lagu90an, Orgasmara.com, Santaidipantai, dan TembangLawas.com. Namun konsep tersebut gagal dijual.
“Semua sudah kita tutup. LaguGalau domainnya enggak diperpanjang, terakhir sampai Oktober ini masih bisa diakses.”
Mendiferensiasikan diri dengan kompetitor di industri ini bukan sesuatu yang mudah dipecahkan. Semua pihak bisa terjun ke kolam yang sama, namun kapital yang kuat memegang faktor penting untuk mampu bersaing. Kabar gulung tikar di industri ini tak lagi asing didengar, tidak hanya terjadi di Ohdio.
Hingga Ohdio tutup, Ario mengaku perusahaan belum mencetak untung.
“Aplikasi streaming musik itu bukan jadi masalah yang sulit untuk dipecahkan, sehingga kalau bikin itu ya gampang bisa buat sekarang. Kalau besok dapat ide yang bisa diverifikasi kenapa enggak [dibuat]? Tapi menurut gue rasanya masih banyak hal lain yang bisa di-solve.”
Pengamat musik lainnya, Adib Hidayat, mengakui tenarnya aplikasi global turut dipengaruhi brand awareness aplikasi tersebut yang dibawa pemberitaan media luar. Persona tersebut memengaruhi kehadiran konsumen baru dan keaktifan label musisi dalam memasarkan karyanya di platform tersebut.
“Orang Indonesia suka brand internasional karena bisa aktualisasi dan media internasional juga sering mention aplikasi-aplikasi tersebut. Dari artisnya juga akhirnya mempromosikan karya mereka lewat tautan ke aplikasi itu. Akhirnya ini mempengaruhi masyarakat kita lebih familiar dengan apa yang biasa dipopulerkan artis-artis, meskipun karya mereka juga ada di aplikasi seperti Langit Musik,” kata Adib.
Masa depan ada di podcast
Sebagai sesama aplikasi OTT, pemain streaming video lokal terhitung lebih ramai daripada musik. Masing-masing memiliki diferensiasi dan “peperangan” ini sendiri baru dimulai karena rata-rata baru beroperasi.
Adib menjelaskan, tayangan eksklusif terbukti bisa berjalan dengan baik di aplikasi streaming video, tapi tidak untuk musik. Konsep ini dianggap justru merugikan, baik untuk label maupun konsumen, karena perilisan lagu perlu dilakukan secara serentak tanpa sekat agar dapat didengar fans di manapun mereka berada.
“Dari sisi bisnis itu enggak menguntungkan karena orang maunya saat itu langsung viral. Apalagi dengan ada algoritma. Ini akhirnya akan merugikan industri jadi sebaiknya dilepas saja secara bebas. Bisa saja kalau jual konten eksklusif, asal jangan terlalu istimewa, misalnya versi live, remix, atau cover. Ini yang membedakan antara OTT video dengan musik,” paparnya.
Beberapa platform mencoba pendekatan eksklusif ini. Aplikasi milik Jay Z, Tidal, adalah penganut keras konten musik eksklusif untuk menarik pengguna beralih ke mereka. Katalog mereka diklaim lebih banyak dibanding Spotify (60 juta vs 50 juta) dengan kualitas audio yang jauh lebih baik dan biaya berlangganan lebih mahal.
Sementara Apple Music punya kesepakatan dengan beberapa label besar dan artis untuk biasanya memasarkan lagu terbaru secara eksklusif di platform mereka selama jangka waktu tertentu.
Podcast punya andil penting untuk arah strategi pemain streaming musik ke depannya. Pemain streaming musik tidak mau kalah dengan konten video original, seperti Netflix Original atau HBO Original Series, yang sudah dikenal luas. Strategi tersebut sudah diterapkan Spotify. Mereka menambahkan branding podcast dalam penamaan deskripsinya karena berambisi menjadi platform audio streaming terbesar.
“Podcast menjadi mainan baru. Tinggal bagaimana atur strategi, misalnya mengontrak host–host musik mengisi acara podcast. Tinggal keunikan konten itu yang mendorong. Sekarang Spotify enggak hanya klaim jadi streaming musik, tapi juga ada podcast karena memang ke depan arahnya ke sana,” kata Adib.
Untuk menarik pengguna di Indonesia, Spotify membuat program kerja sama khusus dengan podcaster lokal bernama Podcast Eksklusif Spotify sejak awal tahun ini. Mereka mengunci para podcaster tersebut untuk memasarkan kontennya di Spotify saja.
Saat ini daftar podcaster yang digaet terus bertambah. Ada 21 podcaster, termasuk Podkesmas, Rapot, Podcast Raditya Dika, Suara Puan, Makna Talks, BKR Brothers, Rintik Sendu, Thirty Days of Lunch, dan lainnya. Mereka memproduksi konten dengan platform Anchor, yang juga dimiliki Spotify.
Dari data internal Spotify, Indonesia memiliki jumlah pendengar podcast terbanyak untuk wilayah Asia Tenggara. Lebih dari 20% pengguna Spotify di negara ini mendengarkan podcast setiap bulannya. Angka tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global. Spotify sendiri disebutkan memiliki lebih dari 1 juta judul podcast, yang dapat didengarkan secara gratis.
Langit Musik mulai menyeriusi konten podcast tahun ini. Douby menerangkan podcast merupakan salah satu bagian roadmap lini konten LangitMusik yang bakal digalakkan. Saat ini sudah tersedia beragam channel podcast dengan beragam genre mulai lifestyle, musik, komedi, hingga horor.
“Kami akan terus perkaya koleksi konten podcast melalui kerja sama dengan para podcaster dan para content creator.” tandas Douby.
Di samping itu, agar tetap bersaing, Langit Musik terus berimprovisasi dan inovasi produk, baik dari user experience maupun variasi penawaran kepada pengguna. Douby mengatakan, saat ini (pengembangan) aplikasi Langit Musik telah mencapai versi 5, dengan fitur terbaru seperti lirik lagu, konten podcast, sharing lirik, dan beberapa lainnya yang sedang disiapkan.
Langit Musik, meski kuenya di Indonesia kalah dari pemain non lokal, beruntung karena menjadi bagian korporasi besar. Besar kemungkinan mereka dipertahankan sebagai komplementer yang melengkapi rangkaian layanan digital di Telkomsel untuk para pelanggannya.
MelOn Indonesia sendiri memiliki beragam lini bisnis digital pendukung, seperti game, penukaran voucher digital, RBT, dan event. Bila bisnis Langit Musik belum memberikan keuntungan, perusahaan tersebut masih disokong oleh sumber pendapatan lainnya.
Langit Musik mengandalkan penjualan layanannya dengan konsep bundling yang dijual melalui Indihome dan Telkomsel. Di Telkomsel misalnya, pelanggannya dapat menikmati Langit Musik bila berlangganan paket data khusus musik MusicMax. Di dalamnya terdapat akses data ke aplikasi musik yang berlaku selama satu bulan.
Sebenarnya Langit Musik juga dapat dinikmati oleh pengguna non Telkomsel, hanya saja biaya berlangganannya lebih mahal. Tentunya ini akan mempengaruhi faktor untuk beralih, meski platform ini sudah didukung LinkAja untuk metode pembayarannya.
Langit Musik menyediakan kualitas audio yang bersaing dan cocok dengan kondisi internet di Indonesia, yakni medium dan high. Untuk kualitas medium, format file-nya DRM dengan ukuran lagu rata-rata 1-3MB dengan bitrate 128 kbps. Sementara untuk high, formatnya MP3 dengan ukuran file 7-10MB dan bitrate 320Kbps.
Kualitas high ini kurang lebih setara dengan format yang ditawarkan kebanyakan aplikasi streaming musik populer. Format audio looseless FLAC belum tersedia di Langit Musik.
Telkomsel sendiri tidak hanya menyediakan paket bundling untuk Langit Musik. Mereka bahkan mengumumkan kerja sama khusus dengan Spotify untuk pelanggan pascabayar KartuHalo. Sebelumnya, di 2019, kedua perusahaan bekerja sama untuk paket MusicMAX yang memberikan akses bebas untuk pelanggan pascabayar dan beberapa pelanggan prabayar menggunakan Spotify tanpa kuota.
Adakah ruang untuk pemain lokal?
Pertanyaan di atas menarik untuk ditelusuri lebih jauh. DailySocial bekerja sama dengan platform survei JakPat membuat survei singkat mengenai awareness aplikasi streaming musik dan podcast di Indonesia.
Survei ini diikuti 1996 responden, laki-laki (56,1%) dan perempuan (43,9%). Mereka mayoritas ada di kelompok usia 20-29 tahun (53,3%), 30-39 tahun (28,6%), dan di bawah 20 tahun (10,6%). Lokasinya tersebar di Jakarta (17,9%), Bodetabek (13,5%), Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, dan kota-kota besar lainnya.
Dari seluruh responden, hanya 1,7% yang memilih Langit Musik sebagai aplikasi streaming musik yang mereka gunakan. Sisanya memilih aplikasi populer seperti YouTube (39,4%), disusul Spotify (19,7%), Joox (19,7%), dan YouTube Music (9,4%).
Mayoritas dari mereka mengonsumsi aplikasi tersebuts selama 1-3 jam (53,2%) setiap harinya , kurang dari 1 jam (22,1%), dan 3-5 jam (15,6%). Alasan pemilihan aplikasi tersebut adalah banyak fitur yang memudahkan, seperti social sharing (47,1%) dan fitur beragam lainnya, seperti live streaming, video clip, dan lirik (44,4%), punya katalog lagu lengkap (41,2%), dan gratis (40,6%).
Kami menanyakan perihal minimnya aplikasi streaming musik lokal yang kurang terdengar kepada responden. Mereka menjawab karena kurang promosi (57,2%), fitur dan tampilan kurang menarik (46,5%), kurang inovasi (46,1%), dan katalog tidak lengkap (42,6%).
Meski mayoritas responden memilih aplikasi global, mereka masih menaruh harapan untuk kehadiran aplikasi lokal yang menonjol (90,4%). Alasannya karena jadi kebanggaan tersendiri (76,1%), bahasa lebih dimengerti (56,1%), semakin banyak pilihan (49,3%), dan konten pasti lebih berkaitan (41%).
Mereka yang menjawab tidak perlu ada (9,6%), beralasan bahwa konten yang disajikan tidak jauh berbeda (50,5%), sudah kalah saing (47,4%), dan harga berlangganan mahal (33,9%).
Khusus untuk podcast, hasil survei mencatat Spotify (50,3%) menjadi platform paling populer digunakan untuk mendengarkan podcast. Platform lokal yang mendapat highlight untuk segmen ini adalah Kaskus Podcast, Noice, dan Inspigo.
Kebanyakan responden mengakses konten saat waktu senggang (71,7%) dan hal yang menjadi fokus tentang podcast adalah memberikan hiburan (62,3%) dan menambah ilmu (54,5%)
Aplikasi India Gaana mungkin bisa menjadi studi kasus menarik bagaimana platform musik lokal mampu bersaing dengan platform global. Gaana diklaim memiliki lebih dari 185 juta pengguna aktif bulanan, memutar lebih dari 3,3 miliar kali menit lagu, dengan lebih dari 35% konten berasal dari musik lokal. Lebih jauh, ada sekitar 27% konsumsi musik didukung rekomendasi berbasis AI.
Gaana juga memiliki lebih dari 2.500 judul podcast yang dibuat pengguna per bulan. Selain itu, terdapat pula fitur konten video singkat yang memungkinkan pengguna membuat kreasi video mereka.
“Saat ini 80% pengguna Gaana adalah loyalis, mereka suka dengan gagasan dapat mengakses lagu, podcast, dan video pendek dari artis favorit mereka dalam pengalaman yang terintegrasi. Kami yakin kemampuan tersebut akan membantu kami meningkatkan 250 juta pengguna baru dalam 12 bulan ke depan,” ucap CEO Gaana Prashan Agarwal.
Keunggulan Gaana di pasar lokal belum berarti permasalahan selesai. Kendati unggul di jumlah pengguna, tantangan dihadapi platform ini dari segi penerimaan. Jumlah pertumbuhan penerimaan dari langganan turun drastis di tahun 2019.
Baik Adib dan Ario memberikan pendapatnya terkait peluang kehadiran pemain lokal ini. Mereka kompak menanggapi bahwa potensi itu ada selama pemain lokal mampu memberikan diferensiasi sebagai keunikan yang membedakan dengan pemain lain di industri.
“Keunikan konten itu yang mendorong. Telkom punya kekuatan untuk menggairahkan, mereka punya resource lokal dan ada akses untuk masuk ke sana,” kata Adib.
Sementara Ario menambahkan, “Lagi-lagi yang perlu dipikirkan adalah konsumen Indonesia. Kalau ada pemain lokal yang bisa menawarkan keunggulan khusus yang hanya bisa orang Indonesia ngerti dan mau bayar, itu oke. Lagi-lagi diferensiasi.”
Sebagai bagian terakhir rangkaiansurveiDailySocial dan Populix, kami mengangkat kategori aplikasi hiburan yang paling banyak diakses pengguna smartphone selama pandemi. Dijabarkan lebih jauh, aplikasi hiburan yang kami tanyakan kepada para responden adalah aplikasi media sosial, streaming video, game, dan streaming musik.
Masih menggunakan sampel yang sama, sebelumnya kami menanyakan aktivitas online apa saja yang paling banyak digunakan selama pandemi. Responden meresponsnya dengan jawaban tertinggi adalah aplikasi produktivitas (68%), aplikasi hiburan (66%), dan belanja online (52%).
Dilihat secara berurutan, pilihan responden tergolong naluriah. Di tengah rutinitas baru harus menggunakan berbagai aplikasi produktivitas saat bekerja, mengakses aplikasi hiburan tentunya menjadi obat untuk mengurangi kepenatan.
Pertanyaan pertama yang kami tanyakan adalah kegiatan apa yang sering digunakan untuk mendapatkan hiburan? Mereka memilih aplikasi media sosial (79%), aplikasi streaming video (67%), aplikasi game (63%), aplikasi streaming musik (44%), lainnya (3%).
Ditelusuri lebih jauh untuk aplikasi media sosial, pilihan tertinggi responden jatuh pada Instagram (88%), lalu disusul Facebook (76%), Twitter (42%), TikTok (25%), dan lainnya (4%). Responden yang memilih Instagram, menyebutkan mereka mengakses aplikasi tersebut setiap harinya paling banyak 1 s/d 3 jam (39%) dan 3 s/d 5 jam (24%).
Untuk Facebook, mayoritas responden mengaksesnya selama 1 s/d 3 jam (39%) dan kurang dari 1 jam (29%). Detil lainnya kami cantumkan ke dalam infografis.
Pertanyaan kedua, kami menanyakan perihal aplikasi streaming video yang digunakan responden. Kebanyakan dari mereka memilih YouTube (94%) untuk menikmati konten video. Pilihan berikutnya adalah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), Hooq (28%), Vidio (25%), GoPlay (14%). Lalu, Genflix (11%), HBO Go (11%), KlikFilm (9%), Amazon Prime Video (8%), Catchplay (8%), lainnya (2%).
Kami juga menanyakan berapa waktu yang dihabiskan saat mengakses aplikasi tersebut. Mayoritas responden mengaku 1 s/d 3 jam (41%) dan kurang dari 1 jam (23%). Dalam mengakses aplikasi, responden mengatakan bahwa mereka mengakses versi gratis (60%), baru disusul bayar mandiri (37%), dan premium benefit dari provider internet (33%).
Alasan mereka memilih aplikasi tersebut yang paling utama adalah kemudahan akses (87%), kelengkapan konten (81%), promo yang diberikan (54%), biaya berlangganan (48%), dan memilih platform lokal (27%). Perangkat yang paling banyak dipakai saat mengaksesnya adalah smartphone (97%), computer/laptop (51%), tablet (18%), dan smart TV (24%).
Pertanyaan ketiga adalah durasi yang dihabiskan saat bermain aplikasi game. Responden paling banyak memilih 1 s/d 3 jam (44%) dan kurang dari 1 jam (31%).
Pertanyaan terakhir adalah aplikasi streaming musik yang paling banyak digunakan responden adalah Spotify (71%), Joox (61%), LangitMusik (27%), SoundCloud (25%), Apple Music (14%), Deezer (13%), Resso (12%), dan lainnya (2%). Durasi terbanyak yang dihabiskan responden adalah 1 s/d 3 jam (35%), dan kurang dari 1 jam (30%).
Temuan lainnya
Turut mendukung hasil survei di atas, rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of Covid-19 Pandemic” menunjukkan aplikasi game mengalami banyak peningkatan baik dari segi jumlah unduhan dan total konsumsinya.
Mengutip dari berbagai sumber, seperti Agate dan Statista, secara global jumlah unduhan aplikasi game meningkat hingga 39% menjadi 4 miliar unduhan pada Februari 2020. Di Asia saja, kenaikannya mencapai 46% menjadi 1,6 miliar di bulan yang sama. Kenaikan tersebut diprediksi terus meningkat, seiring pandemi yang belum menunjukkan tanda perlambatan.
Pencapaian tersebut mendongkrak permintaan iklan di aplikasi game naik 100% untuk kuartal pertama tahun ini. Jam tertinggi akses aplikasi game terjadi pada jam 5 sore hingga jam 8 malam. Angka ini merepresentasikan selesainya jam kerja kebanyakan orang.
Dari sumber yang berbeda, untuk melihat kenaikan konsumsi di aplikasi media sosial, tercatat TikTok menjadi juara dengan kenaikan engagement sampai 27% sepanjang isolasi berlangsung. Kenaikan impresi juga terjadi untuk Instagram sebesar 22%, sementara angka pengguna aktif di Twitter dan Facebook naik 15%. Penurunan justru terjadi di LinkedIn sebesar 26% untuk pencariannya.
Khusus untuk aplikasi streaming video, laporan dari Brandwatch menyatakan, pilihan platform yang dinikmati adalah Netflix (untuk responden yang tinggal di kawasan urban) dan YouTube untuk jawaban paling populer di kalangan responden.
AppAnnie melihat konsumsi video streaming di Indonesia (dalam per jam) secara year to date hingga Maret 2020 mengalami kenaikan 15%.
Moengage Covid Report mencatat platform OTT yang mengalami berkah kenaikan pengguna dikuasai Netflix, iQiyi, V-Live, dan Viu. Kenaikan Netflix di Asia Tenggara didukung pengguna di Indonesia (+16% dalam 30 hari terakhir) dan Malaysia (+35%).
Sementara laporan lainnya, “Southeast Asia Online Video Consumer Insights and Analytics: A Definitive Study by Media Partners Asia”, menyebutkan Vidio paling menikmati “berkah” dibandingkan platform OTT lokal lainnya selama pandemi dan anjuran kerja dari rumah diberlakukan.
Laporan ini mencatat Vidio mengalami kenaikan konsumsi 225% setiap minggunya dalam kurun waktu 20 Januari sampai 11 April 2020. Kenaikan ini menempatkan Vidio sebagai platform OTT berkonsep freemium terdepan di Indonesia.
Kontradiktif
Bisnis aplikasi hiburan, yang terdiri dari berbagai kategori, ini bisa dikatakan sebagai salah satu sektor yang tumbuh hijau di tengah pandemi, seperti yang dilaporkan oleh BCG Henderson Institute. Kebalikannya, industri hiburan yang berbasis offline justru jadi sektor yang paling menderita, seperti industri film, musik, dan event.
Karena tidak ada acara yang dibuat, terpaksa banyak tenaga kerja di industri ini ada yang “dirumahkan” sembari putar otak agar tetap bertahan. Sebenarnya ada solusi untuk menyelamatkan mereka, yakni migrasi ke platform online. Akan tetapi, pengalaman yang dirasakan penonton tentu tidak akan sama ketika mereka datang ke acara konser tersebut, misalnya.
Isu lainnya adalah, belum meratanya infrastruktur internet. Lancarnya koneksi adalah privilege buat orang-orang yang tinggal di perkotaan.
Meski tumbuh subur, pemain aplikasi juga ada yang melakukan layoff bahkan gulung tikar, seperti yang dialami iflix dan Hooq. Faktor pemicunya bukan dari pandemi, melainkan keputusan internal yang dipengaruhi persaingan pasar streaming video yang ketat.
– Disclosure: Artikel ini didukung oleh platform market research Populix.
Resso, aplikasi streaming musik besutan Bytedance yang merupakan induk TikTok, mengumumkan kehadirannya di Indonesia setelah beberapa bulan uji coba dalam versi beta. Peluncurannya hari ini (11/3), menyusul setelah Resso resmi bertandang ke India minggu lalu (6/3). Kedua negara ini memang sejak awal menjadi sasaran sebelum Resso digulirkan ke negara lainnya.
Country Manager Resso Indonesia Tricia Dizon menerangkan, Resso diciptakan untuk merevolusi cara mendengarkan musik yang diterjemahkan ke dalam tampilan dan fitur-fitur yang dihadirkan. Menurutnya, selama ini hubungan antara musik dan pendengar masih pasif.
Social sharing merupakan inti dari Resso yang diberikan ke pengguna. Hal ini dianggap selama ini absen di industri streaming. Aplikasi ini punya empat fitur utama, seperti Vibes, Comment, Lyric Quotes, Lyrics Effects, serta kemampuan user generated content.
Tampilan Resso dirancang memberikan interaksi langsung ke pengguna dan memudahkan mereka menemukan musik-musik baru. Ketika aplikasi dibuka, mereka dapat langsung menikmati format scroll tanpa batas yang akan memperkenalkan mereka kepada artis-artis baru dan mempermudah penggemar menemukan genre dan lagu yang disukai.
“Gen Z dan milenial merupakan inti dari fitur-fitur yang kami tawarkan, di mana musik dan jejaring sosial menjadi hal pokok dalam kesehariannya. Tujuan kami adalah untuk mendorong mereka dan penikmat musik lainnya untuk mengekspresikan diri melalui cara yang menarik dan interaktif,” terangnya, Rabu (11/3).
Head of Music Resso Indonesia Christo Putra menambahkan, perusahaan berusaha memperdalam kategori musik yang terbagi menjadi subgenre dan genre agar dapat memenuhi selera pendengar. Contohnya, subgenre dibagi ke dalam musik genre alternatif, eksperimental, fusion, post rock, indie rock.
Sedangkan subgenre terbagi ke dalam kategori yang lebih spesifik, seperti popgaze, bow pop, indie psynch pop, maupun ambient. Tidak disebutkan secara kuantitas katalog musik yang sudah masuk dalam database Resso.
Pihak Resso sendiri terus berupaya melengkapi katalog musik dengan menggaet label musik global, lokal, indie, pun agregator musik. Mereka sudah menggandeng sejumlah nama, seperti Sony Music Entertainment, Warner Music Group, Merlin and Beggars Group, T-Series, Saregama, Zee Music, YRF Music, Times Music, Tips, Venus, Shemaroo, dan label lokal seperti Musica, Aquarius, My Music, Trinity, dan Maheswara.
“Dengan menggaet banyak label musik, maka apapun musiknya bisa ditemukan di Resso. Jadi tidak terbatas untuk milenial atau gen Z saja, bahkan untuk anak pun bisa,” imbuh Christo.
Menurut laporan SensorTower yang dikutip dari TechCrunch, Resso diperkirakan telah diunduh hingga satu juta kali di App Store dan Google Play Store di India dan Indonesia. Angka itu terdiri dari 600 ribu unduhan di India dan 400 ribu unduhan di Indonesia.
Keseriusan Resso untuk pasar Indonesia dibuktikan dengan perekrutan tim lokal.
Persaingan aplikasi streaming musik
Kehadiran Resso membawa dinamika baru dalam peta persaingan aplikasi streaming musik. Ada empat petahana seperti Joox, Spotify, Apple Music, dan YouTube Music yang berupaya menggaet kolam yang sama dengan Resso.
Menurut data, terdapat 338,2 juta koneksi seluler di Indonesia. Sebanyak 84% di antaranya menggunakan jasa streaming musik setidaknya 1,5 jam setiap harinya. Dengan penetrasi smartphone, konsumsi internet, dan populasi generasi muda Indonesia yang bakal terus membesar, kesempatan untuk menggaet lebih banyak pengguna terbuka lebar.
Tricia menyebut pihaknya cukup optimistis dengan kekuatan fitur Resso yang dianggap merefleksikan pola konsumsi konten online di Indonesia. Generasi muda ini cenderung ekspreksif, kreatif, dan cenderung lebih sosial.
Untuk menjaring lebih banyak pengguna, Resso akan menggelar konser offline untuk menghubungkan musisi secara lebih personal dengan penggemarnya. Di samping itu, di dalam aplikasi Resso sendiri memungkinkan musisi untuk mengemas katalog musiknya secara lebih fresh supaya penggemar dapat berinteraksi dengan musik dan memperkenalkan karyanya ke pendengar baru.
“Kami akan pertimbangkan fitur-fitur lainnya dari para pengguna untuk pengembangan berikutnya, termasuk paket keluarga.”
Berbeda dengan sister company-nya, TikTok, yang menganut konsep aplikasi gratis, Resso menggunakan konsep freemium. Pendengar tetap dapat mendengarkan musik tapi dengan sejumlah limitasi fitur. Versi gratis diselingi dengan iklan dan kualitas stream hanya mencapai 128 kbps.
Sementara versi berbayarnya tanpa iklan dan kualitas stream meningkat sampai 256 kbps. Tersedia pula fitur pengunduhan, lagu dapat dimainkan dalam kondisi offline, dan unlimited skips. Harga yang dibanderol untuk sebesar Rp49 ribu per bulan untuk Android dan Rp59 ribu untuk iOS. Nominal harga ini kurang lebih mirip dengan aplikasi sejenisnya.
Tricia tidak merinci alasan di balik perbedaan harga tersebut. Ia menyebutkan keputusan ini tidak diambil dan berlaku untuk Resso saja, tapi juga pemain aplikasi berbayar lainnya.
Resso, aplikasi musik besutan induk TikTok, mulai unjuk gigi di Indonesia dalam versi beta dan sudah bisa diunduh di Google Play dan App Store. Impresi pertama adalah tingkat interaktivitasnya yang begitu tinggi menjadi keunggulan Rosso dibandingkan tandingannya.
Selayaknya mengakses TikTok, tampilannya begitu intuitif, penuh visual sehingga tidak membosankan. Sepertinya pengguna setia TikTok tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan Resso.
Kepada DailySocial, perwakilan Resso hanya mengonfirmasi bahwa aplikasi Resso sedang dalam tahap tes beta. “Apabila terdapat informasi lebih lanjut terkait hal ini [Resso], kami akan segera informasikan kepada Anda,” ujarnya Senin (27/1).
Secara personal, katalog musik di Resso untuk tahap awal ini memang masih kalah dibandingkan pemain petahana. Mencari lagu di luar genre pop, rock, dan hip hop, belum sekaya Spotify atau YouTube Music. Pun dari genre k-pop saja, mencari boy band atau girl band generasi lama seperti Big Bang, Girl’s Generation, hingga Super Junior belum tersedia.
Tapi mohon tenang, ini hanya masalah waktu. Resso pasti bakal melengkapi katalognya seiring perusahaan telah mencapai kesepakatan untuk lisensi musik dari puluhan ribu label rekaman independen diwakili Merlin. Disebutkan Merlin menguasai 15% pasar label musik global.
Sebelumnya perusahaan dalam proses penandatanganan kontrak dengan tiga label global, Universal, Sony, dan Warner terkait lisensi musik.
Di luar itu, Resso begitu kuat dari segi UI/UX yang begitu intuitif. Rupanya menyerupai TikTok, ditambah sentuhan visual gambar dan lirik lagu yang telah sinkron sesuai alunan lagu. Pengguna bisa memberikan masukan apabila ada lirik yang kurang sinkron dengan lagu, atau bagian yang hilang dalam kolom “Feedback lyrics.”
Menariknya, Anda bisa menambah daftar lagu yang disukai, membagikan lagu tersebut beserta lirik pilihan ke platform sosial media lain. Sebelum mengunggahnya, Anda bisa memilih bagian lirik dari lagu tersebut, entah intro, verse, dan chorus, yang ingin dibagikan.
Berikut pula dengan memilih efek font, mengubah background cover lagu dengan pilihan video, atau mengunggah konten dari internal galeri Anda. Kegiatan aktualisasi diri niscaya akan semakin maksimal buat kalangan generasi Z.
Kemampuan ini bagi orang Indonesia bisa dikatakan tergolong baru dan belum disajikan oleh petahana manapun. Joox sendiri, sejauh ini baru menyediakan lirik memungkinkan pengguna untuk menyanyi bersama. YouTube Music pun sebenarnya juga menyediakan klip video, tapi tidak bisa dipersonalisasikan sesuai keinginan pengguna.
Di India, yang juga menjadi pasar sasaran Resso, fitur ini juga disajikan aplikasi streaming musik lokal Gaana.
Hal lainnya yang disajikan Resso adalah diselipkan fitur media sosial. Anda bisa memberikan komentar dari lagu kesukaan dan berinteraksi dengan pengguna lainnya dalam kolom yang sama.
Visualisasi latar belakang lagu dapat Anda ubah sesuai “Vibes.” Ibarat memilih efek visualisasi di Winamp yang dapat diubah-ubah dengan gif, gambar, atau klip video yang otomatis diputar saat Anda memasang lagu.
Apabila Anda menemukan vibes yang memuat konten negatif, spamming, atau sensitif dapat dilaporkan langsung ke pihak Resso.
Di samping itu, Resso juga menyediakan pengaturan “stream using cellular“; “use cellular data to download music,” dan “data saver.” Mengindikasikan bahwa Resso sadar betul bahwa orang Indonesia sangat peduli dengan ketersediaan data internet yang mereka pakai.
Peluang Resso bersaing dengan petahana
Seperti aplikasi streaming musik kebanyakan, Resso adalah aplikasi berbayar. Dari segi harga, sedikit lebih murah dengan penawaran Spotify, tapi sama dengan penawaran YouTube Music dan Joox. Pengguna harus menyiapkan kocek sebesar Rp49 ribu per bulan untuk menikmati Resso.
Ada free trial selama 14 hari sebelum beralih ke premium. Biaya pun baru dikenakan sebulan kemudian (30-day free trial) setelah memasukkan akun billing, bisa melalui Google Wallet atau pulsa.
Untuk menjadi pengguna premium, Resso menawarkan pilihan lagu tak terbatas. Dapat mengunduh lagu, tanpa iklan, unlimited skips, dan audio lagu yang berkualitas tinggi. Penawaran ini tidak jauh berbeda dengan yang lain.
Resso membuat dinamika persaingan aplikasi streaming musik di Indonesia makin ramai. Kondisi ini memungkinkan makin kecilnya peluang aplikasi lokal untuk ambil posisi teratas karena didominasi pemain dari luar.
Meskipun demikian, karena harga yang ditawarkan satu sama lain tidak jauh berbeda, persaingan akan jauh lebih sehat. Tinggal siapa dan dengan cara apa mereka mengakuisisi pengguna. Dari segi katalog lagu, yang disediakan masing-masing aplikasi tidak jauh berbeda.
Pengguna hanya melihat seberapa lengkap katalog yang dimiliki dan bagaimana aplikasi semakin pintar memberikan rekomendasi lagu sesuai preferensi. Semakin lengkap katalog tersebut akan menggiring orang untuk beralih.
Konsep konten original yang kini dipakai aplikasi streaming video, seperti Netflix, bukan solusi tepat bila diterapkan buat aplikasi streaming musik karena sifatnya yang lebih universal sehingga secara tidak sadar ada hak untuk bisa didengarkan oleh siapapun.
Pada akhirnya, pengguna pasti akan berpikir ulang untuk memilah-milah aplikasi yang mereka unduh diperangkatnya. Semakin dekat fungsinya untuk kebutuhan sehari-hari kemungkinan besar akan pertahankan. Apalagi untuk menggunakan Resso ada biaya yang harus dikeluarkan tiap bulannya.
Harapan terakhirnya adalah karena pilihan yang banyak, opsi untuk melakukan pembajakan semakin berkurang. Dengan nama TikTok yang sudah populer di Indonesia, seharusnya mereka bisa melakukan manuver yang cepat dalam mengakuisisi pengguna loyal baru secara masif.
ByteDance, induk usaha aplikasi video pendek TikTok, dikabarkan akan segera merilis aplikasi streaming musik. Menurut laporan dari Financial Times, aplikasi tersebut dikabarkan akan dirilis pada bulan depan. Indonesia, India, dan Brazil menjadi tiga negara pertama yang bakal menjajalnya.
Pada saat yang bersamaan, pihak ByteDance disebutkan sedang dalam pembicaraan dengan label musik besar seperti Universal Music, Sony Music, dan Warner Music; untuk kesepakatan lisensi global memasukkan lagu-lagu mereka pada aplikasi yang bakal dirilis tersebut.
Menurut Techradar, tidak hanya sekadar berfungsi sebagai aplikasi streaming musik, ByteDance akan menambah unsur video yang terdiri dari klip video pendek, mungkin bersumber dari TikTok. Pengguna dapat menyinkronkan ke lagu ke klip tersebut saat mendengarkan lagu.
Fitur ini bisa menjadi indikasi bahwa ada unsur TikTok yang bakal dibawa ke dalam aplikasi teranyar tersebut. TikTok juga memiliki fitur yang memungkinkan pengguna untuk merekam video lip-sync.
Aplikasi ini belum memiliki nama. Namun dipastikan harga berlangganan yang ditawarkan bakal di bawah $10 (sekitar Rp140 ribu) per bulan, lebih murah dari harga Spotify dan Apple Music di Amerika Serikat.
TikTok bukan nama asing buat pengguna internet milenial Indonesia. Platform ini dapat diakses di 150 negara, didukung oleh 75 bahasa dan kantor cabangnya tersebar di 50 lokasi di seluruh dunia.
Aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 1 miliar kali di seluruh dunia. Rekor unduhannya berhasil mengalahkan PUBG Mobile, WhatsApp, hingga Instagram. Diklaim pengguna terbesar TikTok ada di India, mencapai lebih dari 180 juta pengguna.
Makanya, wajar bila India termasuk ke dalam urutan pertama yang bakal menjajal lebih dulu. Sementara, Indonesia juga termasuk pasar potensial karena memiliki penduduk terpadat keempat di dunia dan pengguna internet tercepat di Asia Tenggara.
Baru-baru ini, YouTube Music meresmikan kehadirannya di Indonesia, setelah tersedia di lebih dari 50 negara sedunia. Sebenarnya aplikasi ini bisa diakses secara gratis, namun disediakan versi berlangganan dengan berbagai fitur tambahan.
Biayanya mulai dari Rp49 ribu per bulan. YouTube menyebut ada lebih dari 1 miliar pencinta musik yang mengakses platformnya tiap bulan. Ada lebih dari 2 juta artis di dunia yang memasarkan karyanya lewat YouTube.
Kehadiran YouTube Musik, lalu ByteDance, tentunya akan membuat persaingan aplikasi streaming musik di Indonesia makin ketat ke depannya. Tahun lalu, DailySocial pernah membuat riset terkait hal ini. Disebutkan aplikasi berbayar yang paling populer dipakai adalah Joox, disusul Spotify, LangitMusik, SoundCloud, dan Apple Music.
Menjelang akhir tahun 2018, layanan musik streaming asal Perancis Deezer menyampaikan sejumlah rencana dan target yang ingin dicapai tahun depan. Mulai dari menambah jumlah pengguna, menambah kemitraan dengan operator telekomunikasi, dan memperbanyak pilihan pembayaran.
Kepada DailySocial Business Development Manager Deezer Indonesia Salman Aditya mengungkapkan, saat ini Deezer telah memiliki sekitar 500 ribu pengguna di Indonesia. Pihaknya terus fokus pada akuisisi pengguna dan kegiatan pemasaran, termasuk melalui serangkaian promo khusus di Indonesia.
“Dari sisi kemitraan dengan label di Indonesia, Deezer sudah cukup lengkap. Namun untuk menambah jumlah pengguna, kami nantinya akan memberikan promo dan tambahan pilihan pembayaran kepada pengguna di Indonesia,” kata Salman.
Selain itu, Deezer juga berencana menambah fitur di aplikasi dengan menghadirkan Audiobooks. Fitur tersebut saat ini sudah bisa dinikmati di berbagai negara. Rencananya jika sesuai target, fitur tersebut akan hadir di Indonesia dalam waktu dekat. Fitur menarik lainnya yang akan hadir di Deezer Indonesia adalahpodcast.
“Tentunya kita akan melihat trennya di Indonesia seperti apa. Dua fitur itu sendiri sudah cukup diminati di negara lainnya,” kata Salman.
Sementara fitur yang sudah ada di platform Android adalah SongCatcher, memungkinkan pengguna mencari tahu judul lagu memanfaatkan suara yang direkam dari lokasi sekitar. Fungsinya serupa dengan Shazam, namun dikustomisasi secara khusus untuk pengguna Deezer.
Menghadirkan pilihan musik dari Timur Tengah
Setelah mendapatkan pendanaan dari Kingdom Holding Company dan Rotana bulan Agustus 2018 lalu, memberikan kesempatan Deezer menghadirkan konten-konten musik dari Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk dari Mesir, Arab Saudi, Turki dan Uni Emirat Arab.
Menurut Salman, konten tersebut dinilai relevan untuk pecinta musik di Indonesia dan Malaysia. Rotana merupakan perusahaan media dari Dubai, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dengan mereka, Deezer bisa melakukan kurasi untuk pilihan musik tersebut.
“Kita tengah mempersiapkan konten-konten tersebut untuk pengguna di Indonesia yang sangat menggemari musik dari sana. Idealnya akan kami luncurkan pada bulan Ramadan mendatang,” kata Salman.
Deezer saat ini telah hadir di lebih dari 180 negara di seluruh dunia. Menghubungkan 14 juta pengguna aktif bulanan di seluruh dunia untuk dapat menikmati 53 juta lagu.
Setelah meluncur di akhir tahun 2017, layanan streaming musik lokal Gtunes kembali melakukan pembaruan dan mengumumkan kerja sama strategis dengan Smartfren. Dalam acara temu media, Business Development Gtunes Aradita mengungkapkan, pembaruan tersebut dilakukan akhir tahun 2018 ini agar bisa memberikan layanan lebih baik lagi kepada pengguna.
“Dari sisi fitur tidak ada yang berbeda, Gtunes tetap menjadi layanan musik streaming dari musisi lokal independen (indie label) dengan fitur lainnya seperti live chat dan karaoke bareng musisi yang nantinya bisa di-share ke media sosial,” kata Aradita.
Untuk fitur terakhir karoke, rencananya akan diluncurkan oleh Gtunes tahun 2019 mendatang.
Saat ini Gtunes fokus pada konten streaming musik lokal yang belum memiliki label dan kesulitan untuk mempromosikan karyanya. Gtunes menjalin kolaborasi dengan Asosiasi Komunitas Musisi Indie Indonesia, yang selama ini telah menjadi wadah untuk musisi indie berkarya.
“Secara keseluruhan kita punya sekitar 70 musisi indie, jumlah tersebut tentunya akan kita tambah. Sementara untuk pengguna sendiri masih sedikit jumlahnya,” kata Aradita.
Saat ini Gtunes dapat diakses melalui platform Android dan website. Ke depannya, Gtunes juga akan mengembangkan berbagai fitur, termasuk kanal untuk memproses voucher di aplikasi. Untuk saat ini semua proses tersebut baru bisa dilakukan di situs.
Strategi monetisasi
Masih dalam fase awal, Gtunes juga akan memberlakukan revenue sharing kepada musisi lokal yang bergabung dengan Gtunes. Perhitungan juga akan dilihat dari jumlah pengguna yang mendengarkan lagu di aplikasi, sesuai kesepakatan dengan masing-masing musisi.
“Tentunya semua memiliki kesepakatan yang berbeda-beda antara musisi senior hingga yang masih baru. Pada dasarnya kami akan menerapkan revenue sharing kepada musisi,” kata Aradita.
Saat ini pilihan paket berlangganan juga baru bisa diakses oleh pengguna Smartfren, sementara untuk pilihan pembayaran carrier billing operator telekomunikasi lainnya baru bisa diakses di situs Gtunes.
“Selain carrier billing kami juga menyediakan pembayaran melalui kartu kredit, Doku, hingga bank transfer untuk semua pengguna. Namun bagi pengguna Smartfren nantinya bisa menggunakan kuota khusus untuk menikmati layanan musik streaming Gtunes,” kata Aradita.
Berada dalam naungan PT Milenial Nusantara Citra, Gtunes hingga saat ini belum memiliki investor dan tidak memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana. Namun demikian perusahaan menggelontorkan investasi yang cukup banyak, untuk pembaruan Gtunes saat ini.
“Target kami saat ini adalah mengakuisisi pengguna dan menambah jumlah ulasan dan rating aplikasi kami di Play Store,” tutup Aradita.