Di tahun 2015 DailySocial pernah melakukan survei untuk mengetahui bagaimana adopsi layanan streaming di Indonesia. Kini, kami melakukan hal yang tak jauh berbeda melalui survei “Music Listening Pattern in Indonesia” yang diterbitkan hari ini. Survei ini merupakan hasil kerja sama DailySocial dan JakPat untuk memberikan gambaran mengenai pola mendengarkan musik saat ini dengan melibatkan 1015 responden.
Ada beberapa hal menarik yang ditemukan dalam laporan ini, yaitu:
Hanya 29,54% responden saat ini mendengarkan musik melalui layanan streaming, sedangkan 70,46% sisanya masih memilih jalur offline.
Jalur offline ini artinya responden tidak terhubung dengan internet sama sekali ketika mendengarkan musik. Ada 58,21% responden yang menempatkan free download sebagai prioritas utama sumber untuk mendengarkan musik.
Pun demikian, 50,29% responden menyatakan kenginannya untuk pindah ke layanan streaming.
Yang harus diperhatikan di tahap awal penetrasi layanan streaming musik di Indonesia adalah fakta bahwa tidak banyak yang berminat untuk membayar layanan musik streaming. 89,69% responden survei menyebutkan bahwa mereka adalah free user.
Dalam survei kali ini, YouTube berhasil keluar sebagai platform favorit untuk mendengarkan streaming musik dengan persentase mencapai 74,23%, diikuti Joox di posisi kedua dan Spotify di posisi ketiga.
Hasil lengkap dari survei Dailysocial “Music Listening Pattern in Indonesia” yang terdiri dari 27 halaman ini dapat diunduh secara gratis melalui tautan ini setelah Anda menjadi member DailySocial.
Layanan streaming musik Nada Kita diluncurkan sekitar sebulan yang lalu sebagai hasil kolaborasi sejumlah label rekaman musik lokal dan perusahaan pengembang Tuned Global yang berbasis di Australia. Saat ini Nada Kita mengklaim telah memiliki lebih dari 100 ribu lagu di aplikasi. DailySocial berkesempatan berbincang dengan Managing Director Tuned Global Con Raso untuk mengetahui lebih banyak tentang Nada Kita, skema model bisnis, dan inovasi yang ingin dikembangkan.
“Sekilas layanan yang kami berikan memang serupa namun Nada Kita memberikan fitur lebih yang bisa dinikmati oleh pengguna secara gratis tanpa harus direpotkan dengan membuat playlist atau memiliki lagu pilihan dulu sebelum digunakan,” kata Raso.
Didukung sederetan brand dan pengiklan, Nada Kita menyediakan akses bebas tanpa batas bagi konsumen untuk menikmati musik-musik kesukaan mereka, sambil memberikan peluang bagi brand untuk berinteraksi dengan konsumen dengan cara-cara baru yang inovatif.
Label musik dapat menggunakan aplikasi ini untuk melakukan monetisasi pada konten musik yang dimiliki dengan model pembagian pendapatan.
Aplikasi Nada Kita saat ini sudah bisa diunduh di Android dan iOS, serta telah terpasang secara pre-installed di rangkaian ponsel bermerek SPC.
“Saat ini Nada Kita telah menggandeng 6 label musik besar hingga independen di Indonesia, di antaranya adalah Aquarius Musikindo, Musica Studios, MyMusic, Nagaswara, Trinity Optima Production dan VMC. Kami pun berencana untuk menambah label musik lainnya untuk bergabung dengan Nada Kita,” ujar Raso.
Cara kerja serupa Pandora Radio
Anda yang telah familiar dengan cara kerja Pandora Radio akan dengan mudah menggunakan aplikasi Nada Kita. Dengan kurasi stasiun yang dilakukan tim Nada Kita di Indonesia, pengguna bisa memilih penyanyi favorit kemudian secara otomatis bisa mendengarkan lagu dari penyanyi tersebut. Selain pilihan penyanyi favorit, terdapat juga playlist lagu campuran yang telah dikurasi oleh tim lokal Nada Kita.
“Musik tentunya menjadi pendekatan utama yang kami lakukan untuk meraih lebih banyak jumlah pengguna. Nantinya Nada Kita akan dilengkapi dengan fitur lainnya, seperti live video concert hingga sejenis video diary dari artis favorit Indonesia,” ungkap Raso.
Fitur tersebut diklaim menjadi satu-satunya yang terdapat dalam layanan musik streaming dan hanya dimiliki oleh Nada Kita.
“Selain memberikan dukungan kepada musisi secara langsung, Nada Kita juga memberikan kesempatan untuk brand melakukan advertising dengan cara cerdas tanpa terkesan ‘beriklan’. Pengiklan dapat mensponsori stasiun musik dan menggunakan iklan audio yang sangat terarah di platform ini, melalui teknologi periklanan mobile Triton,” ujarnya.
Ditegaskan juga oleh Raso, iklan tersebut nantinya akan terdengar menyenangkan dan tentunya relevan dengan minat serta kebiasaan dari pengguna terkait. Nada Kita sendiri saat ini menyadari sepenuhnya consumer behavior dari pengguna layanan music streaming di Indonesia yang tidak menyukai iklan dan enggan untuk membayar layanan music streaming.
“Kami telah melakukan proses riset dan percobaan selama satu tahun di Indonesia dengan menempatkan tim lokal yang bertanggung jawab untuk menyusun dan mengkurasi musik hingga melakukan pendekatan dengan mitra brand dan label. Dengan demikian diharapkan Nada Kita bisa diterima dengan baik oleh pecinta musik Indonesia,” kata Raso.
Kenyamanan lain yang ditawarkan Nada Kita adalah penggunaan paket data yang kecil. Nada Kita telah dioptimalisasi sedemikian rupa sehingga tidak akan memakan paket data yang berlebihan. Sebagai ilustrasi, menonton 5 video musik di YouTube akan menghabiskan data sebesar 60 MB, yang setara dengan mendengarkan 83 judul lagu di Nada Kita.
Inovasi terbaru dan target pengguna
Saat ini aplikasi Nada Kita sudah soft launch di Indonesia dan masih akan terus diperbarui setiap dua minggu oleh tim Nada Kita di Indonesia dan Tuned Global Australia. Salah satu inovasi yang nantinya akan dikembangkan oleh Nada Kita adalah komunikasi interaktif dua arah antara artis dan pengguna.
“Tentunya rencana tersebut sudah termasuk dalam long term plan kami, namun masih dalam proses dan pengembangan. Fokus utama kami saat ini adalah memberikan user experience yang baik untuk pengguna,” tutup Con Raso.
Setelah meluncurkan layanan streaming video Tribe, XL Axiata (XL) dan Yonder Music meluncurkan layanan streaming musik khusus untuk pengguna XL di seluruh Indonesia. Yonder Music ingin merubah gaya masyarakat menikmati musik dan mendukung industri musik di Indonesia. Yonder Music akan bersaing dengan Spotify, Apple Music, Joox, Deezer, Guvera, dan LangitMusik/MelOn yang lebih dulu hadir.
“Secara adil Yonder Music ingin memberikan keuntungan lebih kepada musisi dengan persentase sebesar 75%. Dengan ini kami harapkan dapat menarik minat musisi lokal lebih banyak lagi bergabung dengan Yonder Music,” kata CEO Yonder Music Adam Kidron saat jumpa pers di Hotel Mulia Jakarta.
Perusahaan yang berbasis di New York Amerika Serikat ini memiliki aplikasi yang menyediakan layanan musik dengan ragam fitur terkini dan mengedepankan aspek sosial. Setelah peluncuran di Malaysia, bersama Celcom, pada tahun 2015 silam, Yonder Music telah berhasil mengumpulkan 200 ribu pengguna dalam waktu 3 bulan. Indonesia merupakan negara kedua di Asia Tenggara yang disambangi Yonder Music.
Saat ini Yonder Music mengklaim telah memiliki lebih dari 20 juta lagu dari musisi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dengan menggandeng sekitar 48 label musik di Indonesia, Yonder Music berkomitmen untuk menghadirkan konten lokal terlengkap.
Penawaran khusus untuk pengguna operator XL dan Axis
Saat ini layanan musik streaming Yonder Music hanya tersedia untuk pengguna operator XL dan Axis saja. Perjanjian eksklusif antara Yonder Music dengan XL ini akan dilakukan selama 2 tahun sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan.
“Kami melihat saat ini Yonder Music merupakan platform yang paling tepat untuk XL memberikan layanan streaming musik dengan pengguna setia, dengan demikian perjanjian tersebut kami tetapkan antara XL dengan Yonder Music,” kata Presiden Direktur XL Dian Siswarini.
Saat ini pengguna XL bisa mengakses layanan musik cukup dengan berlangganan paket data XL HotRod atau Combo Xtra senilai lebih dari Rp 100 ribu, semua layanan bisa dinikmati secara gratis. Sementara bagi pelanggan yang tidak berlangganan data lebih dari Rp 100 ribu akan dikenakan biaya berlangganan Rp 35 ribu/bulan.
“Sejak diluncurkannya Yonder Music semua pengguna XL bisa menikmati secara gratis hingga 30 Juni 2016 mendatang, untuk menikmati promo ini pengguna tidak perlu melakukan registrasi apapun,” kata Dian.
Dengan kehadiran Yonder Music XL menargetkan sekurangnya 1,2 juta pelanggan akan menggunakan layanan musik ini di tahun pertama. Dengan mengedepankan layanan 4G LTE khusus untuk semua pengguna XL di seluruh Indonesia.
Ragam fitur Yonder Music
Sebagai aplikasi musik streaming Yonder Music menghadirkan berbagai fitur yang cukup menarik dan tentunya unik untuk pengguna. Di antaranya adalah Song Stream pilihan lagu yang bisa dipersonalisasi sesuai dengan selera pengguna, kemudian fitur Magic Library yang berfungsi untuk mengunduh secara otomatis semua lagi yang telah didengarkan atau auto download. Pengguna juga bisa mendengarkan musik secara offline dan membagikannya kepada pengguna lainnya.
Fitur lainnya adalah Deep Yonder berupa rekomendasi artis yang memiliki kesamaan jenis musik atau kategori dengan artis yang disukai pengguna, Heavy Hitter merupakan fitur sosial yang memungkinkan semua pengguna melihat siapa saja musisi yang disukai dan paling sering didengarkan. Authorities menawarkan pengguna untuk melihat rekomendasi musik-musik terkini dari tangga lagu atau chart internasional seperti Billboard, Grammy dan tangga lagu di berbagai radio yang ada di Indonesia.
“Fitur Authorities merupakan fitur unik yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna untuk mencari rekomendasi berdasarkan tangga lagu terkini. Nantinya Yonder Music juga akan bermitra dengan radio-radio yang ada di Indonesia untuk berbagi tangga lagu yang sedang populer,” kata Country Manager Yonder Music Indonesia Zico Kemala Batin. Zico sendiri sebelumnya adalah Head of Business Development MNC Tencent yang mengurusi JOOX.
Saat ini Yonder Music sudah bisa diunduh di aplikasi mobile platform Android dan iOS, namun hanya bisa digunakan oleh pengguna XL.
Minggu lalu, di IESE, Badan Ekonomi Kreatif meluncurkan platform Telinga Musik Indonesia, disingkat TELMI. Dari yang bisa saya baca dari liputan yang ada di media, pada dasarnya platform TELMI ini terdiri dari dua komponen:
hardware, berupa sebuah kotak internet-enabled yang kelihatannya dibuat dari platform Arduino atau Raspberry Pi, yang bertugas merekam lagu yang sedang dimainkan di sekitarnya dan mengirimkan ke aplikasi TELMI
software aplikasi TELMI, berupa web-based application yang bertugas untuk menerima rekaman lagi dari hardware TELMI, mengenali lagunya apa, dan merekam ke dalam database.
Secara hukum (menurut UU Hak Cipta No. 28 tahun 2014), pencipta lagu, produser dan artis berhak mendapatkan sebuah royalti saat lagu mereka diperdengarkan ke umum di ruang komersil seperti hotel, restoran dan kafe. Selama ini, implementasi pengumpulan royalti ini. baik berdasarkan UU no. 28 tahun 2014 ataupun UU Hak Cipta sebelumnya, masih kurang efektif, karena beberapa hal:
sosialisasi atas hak royalti ini ke pihak hotel, restoran dan sebagainya masih kurang luas
dalam pengelolaan pengumpulan royalti sebelumnya, metode-metode yang digunakan masih kurang tepat (dari cara pengumpulan royalti yang, um, agak preman, sampai formula perhitungan royalti yang tidak transparan)
distribusi royalti yang tidak transparan
Semangat dari UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 adalah perbaikan pengumpulan royalti ini, yang sering diistilahkan public performance, dengan dibentuknya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, dengan para komisionernya.
Salah satu tugas LMKN ini adalah menentukan tarif besaran royalti, yang setahu saya sampai saat ini belum diputuskan secara final. Namun, perangkat hukum dan birokrasi ini memang perlu ada dahulu sebagai fondasinya.
TELMI ini sebenarnya sebuah terobosan, karena akhirnya ada jawaban dari industri teknologi terhadap kebutuhan dari industri musik. Kebanyakan perusahaan teknologi yang ada lebih mencari peruntungan dengan menawarkan sesuatu langsung ke konsumen, yang pada akhirnya berkisar pada layanan musik download maupun streaming, dan perusahaan teknologi yang melakukan sesuatu yang lain masih sangat sedikit; mungkin karena ketidaktahuan komunitas teknologi mengenai masalah dan kesempatan dalam industri musik (bukan salah mereka, karena industri musik sendiri terkadang lupa akan berbagai kesempatan lain dalam industrinya sendiri).
Tapi kok…
Masalah pertama
Saya melihat diagram dari artikel ini (yang entah dari mana dapatnya, mungkin dibuat sendiri) dan seperti ada yang kurang.
Kotak TELMI diletakkan di sumber musik, yang akan merekam lagu, mengirimkannya ke aplikasi TELMI, yang dengan teknologi song fingerprinting seperti yang dimiliki Shazam, akan mengenali lagu tersebut dan memasukkannya dalam laporan. Laporan ini kemudian dapat diakses oleh pencipta lagu, produser, komposer dan musisi. Laporan ya, bukan uang. TELMI tidak mengumpulkan uang dan lebih berupa teknologi pengawasan/monitoring.
Yang melakukan pengumpulan uang dari pengguna musik seperti hotel, restoran dan sebagainya? Para Lembaga Manajemen Kolektif, sesuai persetujuan dari LMKN.
Dari liputan para media pun, Kepala Bekraf Triawan Munaf pun mengatakan bahwa TELMI itu untuk memberikan gambaran royalti yang bisa didapat oleh para musisi. Ya ini hanya satu langkah dari beberapa langkah yang perlu dilakukan, termasuk berkoordinasi dengan LMKN dan para LMK.
Siapa yang akan melakukan koordinasi? Apakah LMK melakukan pengumpulan laporan secara independen? Kalau ada perbedaan laporan gimana?
Masalah kedua
Ini bukan pertama kali pengawasan pemerintah berupa kotak berisi elektronik diletakkan dalam ruang-ruang komersil — pengawasan pajak sudah melakukan ini dengan memasang kotak yang mencatat transaksi pada kasir. Sebuah kotak berisi elektronik, yang tetap membutuhkan listrik, dan tetap membutuhkan sang pemilik usaha untuk menyalakannya dan memastikan kotak tetap nyala.
Bukan tidak mungkin, tapi tetap memerlukan perangkat pengawasan lain berupa hukuman dan insentif. Ini sudah ada atau belum? Dan di bawah wewenang siapa?
Masalah ketiga
TELMI beroperasi dengan mendengarkan lagu yang diputar. Nah, di ruang komersil seperti cafe atau restoran, ada yang menyetel lagu dari CD/MP3/file digital, ada pula dari live music. Apakah penerapan teknologi listening dan song fingerprinting ini akan selalu tepat guna?
Ada beberapa perusahaan di luar negeri yang melakukan sesuatu yang jauh lebih praktis untuk pemilik usaha: pengelolaan playlist lagu dan streaming dengan alat khusus, langsung ke sound system para pemilik usaha. Pencatatan lagu dapat lebih akurat (nggak perlu pakai song fingerprinting, wong lagunya dari server), pemilik usaha juga mendapatkan sebuah layanan yang mempermudah dan memperkuat usaha mereka, bukan cuma “dipalak” karena nyetel lagu. Mungkin gabungan teknologinya TELMI dan layanan streaming khusus bisnis ini bisa lebih cocok?
Masalah keempat
Song fingerprinting sangat tergantung database lagu yang lengkap, dari data fingerprint itu sendiri, sampai informasi seperti judul lagu, nama artis, pencipta lagu, publisher, dan seterusnya. Apakah database seperti ini sudah ada? Belum ada yang komprehensif.
Rasanya ini lebih mendesak untuk dibangun, dan lebih dekat pada kepentingan nasional (bukan saja kepentingan industri, tapi juga sebagai rekam budaya, misalnya). Informasi seperti ini malah lebih fokus dikumpulkan oleh layanan streaming/download, ataupun lembaga seperti Irama Nusantara. Rasanya ini lebih penting pada fondasi tadi, ketimbang memikirkan end user applications.
Masalah kelima
Yang membuat TELMI canggih, menurut saya, adalah song fingerprinting. Tapi menurut saya, ada kegunaan yang lebih cocok, yaitu media monitoring. Pasangkan aplikasi TELMI dengan seluruh siaran radio terestrial maupun online, sehingga kita benar-benar tahu lagu apa sedang disetel di radio mana dan kapan. Top 10 yang resmi dan datanya dapat dipertanggungjawabkan. Data ini berguna untuk pendengar musik, pelaku industri musik, brand maupun perusahaan riset. Teknologi yang sama juga dapat digunakan untuk media monitoring iklan — berapa kali sebuah iklan radio (atau TV) tayang? Jual data ini ke perusahaan riset atau langsung ke brand. Jadi satu startup deh.
Memang, menjadi komentator sesuatu yang sudah jadi memang sangat mudah. Ah kurang ini, harusnya seperti itu, dan setelah itu puas karena sudah merasa lebih pintar ketimbang yang membuat. Di zaman penuh teknologi ini, terkadang masalah dan kekurangan pada sebuah produk teknologi baru jelas terlihat saat sudah dibuat dan dilempar ke pasar.
Ide — dan komentar — itu murah dan mudah didapat. Membuat sesuatu, apalagi punya nilai guna yang baik ke orang lain, itu yang susah. Berkarya tak mudah dan tak akan luput dari kritisi. Saya nggak mau sok lebih pintar, karena belum tentu juga saya bisa mengerjakan ini sendiri. Demi industri musik yang lebih luas, kompeten, berkesinambungan, interconnected, dan transparan.
– Disclosure: Artikel ini pertama kali terbit di Medium dan dipublikasi ulang atas izin penulis, Ario Tamat.
Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik Indonesia. Ia bisa dikontak melalui Twitter di @barijoe atau di blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.
Layanan streaming musik lokal Ohdio mengumumkan perolehan pendanaan dari Pranala Group, yang terdiri dari sejumlah perusahaan yang bergerak di bisnis digital. Salah satu hasil pendanaan ini adalah peluncuran ulang LaguGalau.com, sebuah segmen khusus lagu-lagu sendu, untuk desktop dan mobile browser.
Kehadiran Pranala Group, yang di antaranya memiliki Wooz.in yang juga dipegang oleh Co-Founder Ohdio Ario Tamat, diharapkan mampu memberi sinergi bagi kedua belah pihak, termasuk memperkuat produk yang ditawarkan Ohdio untuk para brand dan agency secara umum.
Selain Wooz.in, Pranala Group juga menaungi Think.web, Talklink PR, dan Inmotion.
Ramya Prajna dari Pranala Group dalam rilis persnya menyatakan, “Bergabungnya Ohdio ke dalam keluarga Pranala memperkuat visi kami untuk memberdayakan usaha-usaha muda Indonesia dan kami harapkan akan saling memperkuat dan menguntungkan.”
Ario menambahkan, “Kami sangat senang dapat bergabung dengan keluarga Pranala. Tentunya, banyak yang bisa dilakukan bersama-sama dan dipelajari juga bersama. Mudah-mudahan baru ini dapat terus memperkuat Ohdio untuk ke depannya.”
Ario kepada DailySocial menyebutkan, selain LaguGalau, Ohdio memiliki beberapa proyek di pipeline pasca pendanaan ini. Yang ia bisa ceritakan saat ini adalah pengembangan segmen teknologi musik B2B (seperti yang diusahakan melalui Ohdio for Business).
Layanan streaming musik menjadi alternatif baru di masyarakat untuk mendapatkan akses musik dari penyanyi atau band favoritnya. Tren ini hampir merata terjadi di semua negara, tak terkecuali di Indonesia. Melihat potensinya yang besar dan pengalaman sukses di negaranya, layanan aplikasi streaming musik asal Korea Selatan Beatpacking (atau sering disebut Beat) berencana melakukan ekspansi ke beberapa negara di Asia Tenggara, salah satunya ke Indonesia.
Disebut-sebut sebagai “game changer” di industri, layanan streaming musik turut mengubah bagaimana bisnis di lingkungan industri beroperasi. Pro dan kontra terus bermunculan, ada yang merasa dirugikan (dari sisi industri), namun tak sedikit juga yang merasa diuntungkan.
Menurut Park Su-man, CEO Beatpacking Company, saat sebuah layanan streaming musik memberikan akses gratis kepada pendengarnya itu bukanlah hal yang benar-benar gratis, tetap akan ada yang dibayarkan atas akses tersebut.
Park mengatakan kepada Korea Herald:
“Sejak peluncuran aplikasi peluncuran musik yang didukung iklan digital, penjualan musik digital di platform lain tidak menurun, tetapi terpantau adanya peningkatan keuntungan kepada pemegang hak cipta musik berkat royalti yang diterima.”
Di Korea sendiri layanan streaming yang memberikan akses gratis dan memaksimalkan pendapatan melalui iklan masih cukup baru di industri dan Beatpacking termasuk salah satu pemula yang sudah mendulang pendapatan. Wajar saja, Korea merupakan salah satu negara dengan industri musik yang cukup berpengaruh dalam perekonomian.
Sebelumnya di ranah global terdapat Pandora dan Spotify yang sudah cukup terkenal. Dua platform tersebut bekerja mendigitalisasi proses industri musik tradisional dan memberikan model berlangganan. Secara esensial tak berbeda dengan cara lama dalam melakukan monetisasi.
Park menceritakan awalnya sempat banyak pihak yang skeptis dan ragu, apakah iklan digital mampu menutup biaya produksi dan royalti hak cipta. Namun nyatanya terbukti bisa, setidaknya di Korea Selatan. Hingga saat ini Beatpacking berhasil merangkul 6 juta pengguna di Korea dan telah mengembalikan royalti 14 miliar won (Rp 162 miliar) tahun ini kepada pemegang hak cipta.
Di Korea sendiri sudah ada aturan terkait royalti, yakni 3,6 won untuk setiap pemutaran sebuah lagu di sistem berlangganan dan 7,2 won untuk sistem berbasis iklan.
Indonesia dipilih sebagai salah satu lahan ekspansi Beatpacking karena potensi penggemar K-Pop yang begitu besar.
Menurut PricewaterhouseCoopers, secara global diprediksikan pendapatan dari layanan streaming musik akan mencapai $5 miliar di tahun 2018, melebihi pendapatan layanan unduh musik digital. Layanan berpendapatan dengan iklan seperti ini sekaligus menjadi cara baru bagi industri musik untuk berkembang.
In any “new” industry, there will always be a pioneer that basically proves the worthiness of a business model (or at least some aspect of it), after which they will continue to grow with ‘copycats’ (I’m using the term loosely here) following in step to see on whether they can build something for the new industry. As time has proven time and time again, the greatest beneficiaries of a new industry are not necessarily always the pioneers, as in the case of the smartphone, it took Apple to basically turn the market around although many players have dabbled in that market before with some success.
And just like in any other industry, growth spurts witnessing the birth of many similar-modeled businesses will continue for a time, until the business model itself will prove itself (or not) as something sustainable in the longer term. Bankruptcy and consolidation is unavoidable, whether it is triggered by government oversight or regulation, or the fact that the business model itself does not scale as well for multiple companies. Or perhaps in the case of music services, contracts like these simply don’t allow for a variety of company sizes.
Spotify continues to dominate the music streaming market due to their deep pockets (I mean, what else could it be?) while Apple and Google have their own streaming plays. While Rdio is probably the first of the more ‘international’ music streaming services to stop operating, there are probably many other regional- or local-based digital music services who are probably operating at a loss or defunct. That said, even Spotify is yet to be profitable. The winners of this game? Not even the artists, but the recording companies who own the masters of the songs. Yet, even when we say ‘recording companies’, it simply does not paint an accurate picture of what is actually going on, as with any other industry, there are big companies and there are small companies, with differing influence. And even they are trying to figure out what to do next.
So recent events have apparently confirmed what I postulated last year, that digital music services — to an extent — are not scalable. You either have to run a very lean ship to be sustainable, find multiple revenue streams (not be a pure consumer-facing play), or expand with no end using other people’s money with hopes of an IPO or acquisition down the line.
Why is it always a question of streaming vs downloads?
Another angle to this problem is the generated revenue itself. Warner says streaming income is overtaking downloads, while some high-profile artists, most recently Adele, have shunned streaming services in favor of supporting download services like iTunes. While it’s totally up to the artists — as it should be — to decide where they want to sell their music, thinking about one business model versus the other, I think, is counterproductive.
Artistes and musicians today, on differing scales and revenues, already enjoy a much more diverse choice of revenue streams: live shows, merchandise, experiential packages, games/apps, and so on. The increase of “screens” enjoyed by the fans must also be serviced by content produced by these artistes and musicians, so it should never be a discussion around streaming vs downloads, for instance.
If the music industry were to learn something from the movie industry, it wouldn’t be something like this, but making separate release windows for downloadable content and streamable content could be similar to how movie studios break down their release dates to cinema, then to DVD release or streaming services, and lastly TV. This could become the norm, instead of the exception, as some artistes have already done this before.
[Digital] music services will need a ‘big brother’
We have yet to see how Apple Music will fare, and I have no idea on how much money Google Play Music is actually making. But there is no doubt in my mind that they will thrive on, as both Apple and Google do not depend their livelihood from those services. That said, the services are needed for, at the least, customer retention, so they’ll definitely run their services properly. Deezer has some relations with Warner Music, Sony Music Entertainment is part of Sony, and Universal Music is part of the French conglomerate Vivendi. Rdio had Cumulus Networks as an investor, which was more of a strategic deal rather than an investment deal. Spotify? Spotify currently stands alone, and I would think they would have better chance to sell themselves to a ‘big brother’ rather than getting to IPO stage. But who will they sell to?
Simply put, if it doesn’t have Spotify’s scale (and as mentioned in the previous article, even Spotify would be under scrutiny here), a music service is bound to need a ‘big brother’ — a network or ecosystem of sister companies — to keep it afloat and either enhance the service, or make the service as part of a bigger experience. The multiple consumption “screens” that users now have simply doesn’t have space for standalone music services, or will not have. Consolidation in the industry will either be caught up with consolidation with other entertainment-driven services, or a consolidation of consumer offerings (for instance, instead of paying separate prices for Netflix, Hulu, Spotify, and so on, users can pay one price to enjoy everything).
As has happened with the major labels, who basically consolidated from 5 major players to 3, the digital-based entertainment industry will further consolidate, either through acquisitions, technology purchases and so on, and the ones with the largest consumer base (and sustainable business model, of course) will win. Naturally this would not include services serving special niches or market segments that by scale do not make sense for these giant companies to do, but niche companies like these will have limited room to grow anyway.
So what’s the takeaway?
For users — get used to more services shutting down or consolidating in the future.
For artistes/musicians — get your music on as many platforms as possible but do not expect a big payday. Your superfans will probably spend more for exclusive merchandise anyway (well unless you have the capabilities to become an international artist, of which you will definitely need an international-level music marketing company).
For aspiring music services — consumer-facing business models will simply not scale enough for you to be profitable (unless you’re Spotify). Find other ways of making money and target for sustainability over scale.
– This article has been republished with editing and permission from Ario Tamat. Original source is from Medium.
Ario is a co-founder of Ohdio, an Indonesian music streaming service. He worked in the digital music industry in Indonesia from 2003 to 2010, and recently worked in the movie and TV industry in Vietnam. Keep up with him on Twitter at @barijoe or his blog at http://barijoe.wordpress.com.
Setelah beberapa waktu lalu kami beritakan kehadirannya, aplikasi streaming musik Volup resmi diluncurkan kemarin (29/10) di Jakarta. Peluncurannya, dimeriahkan oleh beberapa musisi yang mendukung kehadiran Volup. Volup sendiri berambisi untuk mendapatkan satu juta pengguna di tahun depan.
Indonesia kembali kedatangan satu lagi pemain baru di sektor industri musik digital yang berasal dari Tiongkok, bernama Joox. Joox merupakan layanan aplikasi musik streaming yang dapat diakses melalui situs daring resminya ataupun aplikasi perangkat bergerak berbasis Android atau Apple. Sebelum meluncur di Indonesia, Joox telah hadir lebih dahulu di Hong Kong dan Malaysia pada awal tahun 2015.
TechCrunch reported that Spotify is on the course of expanding to Indonesia and Japan, two countries with the most digital population in Asia. According to TechCrunch’s informant, the service will first enter Indonesia, then Japan afterward. Continue reading Spotify is Reportedly Ready for Indonesia→