Tag Archives: MVP

Validasi Ide Startup

Menekankan Kembali Pentingnya Validasi Ide Buat Startup

Punya ide cemerlang saja bukanlah bekal yang cukup untuk membawa suatu perusahaan startup bisa “lepas landas” dan berkembang. Perlu validasi yang terus menerus, tidak bisa sekali saja saat baru mau merintisnya.

Berangkat dari validasi ide, akan terbentuk cara eksekusi yang tepat sehingga menimbulkan efek “snowball” seperti misalnya dilirik oleh investor, mendapat pengakuan dari para pengguna dan semakin banyak dikenal oleh masyarakat.

Untuk menekankan pentingnya konsep ini, #SelasaStartup menghadirkan CEO & Co-Founder Nodeflux Meidy Fitranto. Meidy banyak berbagi mengenai pengalamannya bagaimana bisa memvalidasi idenya sehingga terbentuklah Nodeflux, startup intelligent video analysis dengan AI.

Tidak validasi ide, penyebab startup gagal

Meidy menjelaskan punya produk bagus, tim dan uang saja yang cukup tidak menjamin suatu startup bisa sukses. Kunci pertama terletak di kemauan founder untuk menekan ego sendiri yang mengasumsikan produk ini canggih dan pasti akan dibeli masyarakat.

Kenyataan sebenarnya, bahwa tidak ada yang peduli dengan produk dikira canggih dan belum ada di pasar manapun. Ini pasti terjadi ketika asumsi berlebihan tanpa disertai validasi ide.

“Saat Nodeflux dirintis, kita juga bermain dengan asumsi yang ternyata tidak fit dengan pasar. Padahal waktu itu kita berpikir produk ini sangat canggih. Akhirnya market fit bolak balik sampai pivot, lalu ketemu celah yang kita pilih ini bisa dioptimalkan dan jadi landasan Nodeflux untuk maju ke depannya,” kata Meidy.

Untuk validasi ide, ada tiga pertanyaan dasar yang harus bisa dijawab oleh founder. Yakni: (1) apakah ada orang yang mau pakai produk kita?; (2) berapa banyak dari mereka yang mau bayar?; (3) dan seberapa banyak orang di luar sana mau beli produk?.

Dalam membuktikan validasi, satu hal yang wajib dilakukan founder adalah pergi ke luar, bertemu orang untuk melihat seberapa terkonfirmasinya ide dengan kebutuhan pasar. Kalau ingin mendapatkan hasil yang instan, bisa menyebarkan kuisioner dengan random sampling bahkan tidak harus mengeluarkan biaya sepeser pun.

Metode lainnya adalah bertemu langsung dengan perwakilan yang memiliki suara cukup penting dan mewakili industri untuk mendapatkan masukan lebih dalam.

Lakukan validasi secara berulang

Meidy juga menekankan bahwa validasi ini bukan berarti harus dilakukan sebelum bertemu investor, ada juga yang kasusnya baru bisa terjadi setelah mendapat kucuran dana. Kejadian tersebut terjadi di Nodeflux, sebab untuk validasi ide ini disadari butuh uang dan tidak bisa dilakukan dengan cara yang instan dan gratis.

Validasi ide juga tidak bisa dilakukan sekali saja, melainkan harus terus menerus. Meidy menjelaskan bahwa ini terjadi karena validasi ide ini bergerak dinamis, menyesuaikan dengan posisi suatu startup.

Bisa jadi pertama kali dilakukan, dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran besar dari industrinya. Seiring waktu berjalan dia meyakini akan berkembang karena ide kita terhadap sesuatu akan menjadi value, yang mana akan terus bergerak sehingga butuh validasi terus menerus.

Pola validasi ide ini dimulai dari membangun MVP, peluncuran produk, memperbaiki semua kekurangan, dan selalu mengulangi ketiga hal ini.

Prototyping kita dimulai tahun 2015, lalu mulai bangun kantor di tahun berikutnya. Di situ kita dapat funding, rekrut talenta, dan eksekusi produk. Setahun berikutnya baru yakin untuk hadir ke pasar.”

Eksekusi terpenting, ide ada di nomor kesekian

Konsep ini sebenarnya juga dianut oleh para investor, bahwa mereka cenderung untuk berinvestasi ke founder bukan ke produk mereka, seberapa canggih teknologi yang dipakai. Mentalitas founder mampu untuk adaptif terhadap berbagai kemungkinan di luar lingkungan yang bisa memengaruhi bisnis.

Kemampuan adaptif inilah yang lebih penting dari sekadar ide yang bisa ditemukan oleh siapapun tapi belum tentu bisa sukses saat eksekusi.

“Sebaik apapun ide yang dibahasakan dengan baik ke orang, enggak akan segampang itu kalau mau dicontek dari ide saja sebab harus memahami semua seluk beluknya, jadinya tidak mudah.”

Agar eksekusi berjalan mulus, butuh produk bagus yang hanya bisa dihasilkan oleh talenta yang berkualitas. Oleh karenanya, isu rekrut talenta di tahap awal bisa jadi halangan. Meidy mengaku tidak mudah mendapatkan talenta kualitas bagus saat awal Nodeflux dirintis.

Mengingat konsep Nodeflux yang cukup hi-tech, akhirnya diputuskan untuk mengambil pendekatan dengan gimmick marketing “magical particle” yang disematkan dalam situs disertai kalimat marketing dengan susunan eye-catching. Hasilnya cukup banyak aplikasi yang masuk dari anak-anak lulusan S2.

“Kita baru bisa validasi ide setelah dapat funding. Dari situ elemen yang paling susah adalah rekrut orang. Untuk meyakinkan orang gabung itu susah banget, kebanyakan mereka itu mikirnya lebih baik gabung ke startup yang sudah besar. Padahal produk yang bagus itu harus dihasilkan dari orang-orang yang kualitasnya bagus,” pungkasnya.

Co-Founder Taptopick Puja Pramudya / DailySocial

Cara Tepat Menerapkan MVP Saat Jalankan Startup secara Bootstrap

Menurut definisinya, Minimum Viable Product (MVP) adalah pengembangan teknis yang terjadi ketika startup memiliki produk baru atau situs dengan fitur yang dihadirkan untuk early adopter. Proses tersebut dilakukan demi mendapatkan feedback dari target pasar.

Menjadi penting bagi startup untuk menyelesaikan proses tersebut dengan mengumpulkan feedback dan respon (positif dan negatif) dari pengguna. Proses ini, jika dihiraukan, akan mengganggu jalannya bisnis ke depannya.

Hal tersebut ditegaskan Co-Founder Taptopick Puja Pramudya saat sesi #SelasaStartup yang mengambil tema Minimum Viable Product untuk startup bootstrap. Bersama Radya Labs, Puja telah menghasilkan beragam aplikasi untuk berbagai perusahaan multinasional. Berikut adalah kiat-kiat yang harus diperhatikan.

Jangan hanya fokus di teknologi

Kesalahan tebesar yang masih banyak dilakukan startup adalah masih fokus kepada teknologi. Untuk bisa menghasilkan produk yang baik dan diterima target pasar, prioritas utama adalah apa yang menjadi kesulitan pengguna dan bagaimana produk yang dibuat bisa membantu mereka.

“Yang menjadi fokus utama dari startup saat melakukan MVP adalah temukan value dari produk atau layanan yang akan dihadirkan,” kata Puja.

Puja memberikan contoh ketika ia mulai mengembangkan aplikasi TapTopick, layanan laundry on-demand, dengan fitur beragam.

“Pada akhirnya konsumen hanya ingin menggunakan aplikasi yang mudah dipahami dan berfungsi. Mereka tidak peduli teknologi apa yang digunakan atau berapa fitur yang dimiliki,” kata Puja.

Di sini peranan MVP memiliki andil cukup besar, yaitu menangkap minat konsumen melalui feedback yang diberikan. Dari feedback tersebut, startup bisa mulai menentukan fitur yang tidak berguna, kurang dipahami ,dan belum dibutuhkan konsumen. Perusahaan tinggal fokus kepada fitur yang bisa langsung membantu mereka.

“Di Taptopick sendiri kami banyak mengurangi fitur di awal pengembangan produk dan hanya fokus kepada kebutuhan konsumen yaitu jasa antar jemput laundry kiloan dan seberapa cepat dan mudah aplikasi tersebut digunakan,” kata Puja.

Pada akhirnya fokus kepada kebutuhan konsumen dan hadirkan fitur baru secara berkala. Dengan demikian konsumen bisa lebih menghargai update rutin yang dilakukan startup.

Kurang komunikasi dengan target pasar

Kesalahan lain yang masih banyak dilakukan startup adalah kurangnya komunikasi atau masih kerap menghiraukan feedback konsumen. Kebanyakan startup merasa cukup yakin dengan produk yang ada dan langsung meluncurkannya tanpa melakukan komunikasi dengan konsumen yang disasar.

“Dengan melakukan komunikasi kepada konsumen, Anda bisa menentukan langkah berikutnya, apakah membuat aplikasi versi Android terlebih dahulu atau iOS. Kemudian versi apa yang sesuai untuk konsumen dan mitra,” kata Puja.

Puja kembali mengambil contoh, di awal Taptopick fokus ke versi iOS karena ingin merangkul lebih banyak ekspatriat atau orang asing yang bekerja di Indonesia dan kebanyakan lebih familiar dengan iOS. Sementara untuk mitra, yaitu kurir, fokus ke versi Android.

Uji coba langsung

Agar produk yang dibuat berfungsi dengan baik, lakukan uji coba terkait dengan layanan atau produk yang akan dihadirkan. Jika startup Anda fokus ke layanan on-demand, coba cari tahu secara langsung berapa waktu yang dihabiskan untuk layanan yang akan ditawarkan. Proses tersebut membantu startup menentukan perkiraan waktu, tantangan di jalan, dan solusi yang ideal menghadapi kendala tersebut.

“Di Taptopick sendiri kita sempat melakukan uji coba antar jemput laundry kiloan dari rumah konsumen ke mitra laundry kiloan kami. Dari situ akhirnya kami bisa memberikan estimasi waktu yang tepat untuk konsumen,” kata Puja.

Puja menganjurkan untuk memanfaatkan analytics tools yang bisa membantu startup melihat kebiasaan konsumen. Dengan demikian startup bisa menentukan fitur baru seperti apa yang dibutuhkan hingga kolaborasi atau promo ideal apa yang bisa ditawarkan kepada konsumen.

“Yang penting satu hingga dua tahun pertama jangan patah semangat. Hindari telalu fokus kepada hanya teknologi dan jangan melupakan kebutuhan dari konsumen,” tutup Puja.

Ide Saja Tidak Cukup, Butuh Kesiapan Lebih sebelum Menghadap ke Investor

Pada umumnya, proses terbentuknya sebuah startup baru berawal dari seseorang (founder) yang menemukan sebuah ide produk atau bisnis, lalu berusaha ingin merealisasikannya. Di tahap awal, walaupun mungkin jumlahnya tidak signifikan, ada banyak modal yang harus dipenuhi. Mulai dari waktu untuk mengerjakan produk tersebut, fasilitas pendukung, hingga hal lain berkaitan dengan operasional. Startup butuh modal awal, dan salah satu cara untuk memenuhinya dengan menggandeng rekanan investor guna mendapatkan seed-funding (pendanaan tahap awal).

Ide-ide baru yang dicetuskan startup tahap awal selalu menarik, mencoba menyelesaikan permasalahan yang ada dengan cara yang selalu diklaim lebih efisien dan lebih terjangkau. Nyatanya beberapa startup memang membuktikan bahwa ide yang dimilikinya berhasil “mengubah dunia”, sebut saja cikal-bakal GO-JEK atau Tokopedia. Tapi sekarang startup tengah menjadi tren, setiap hari selalu ada ide baru yang muncul, ada startup baru yang dilahirkan.

Fenomena tersebut sedikit menggeser pandangan tentang sebuah startup, yang tadinya memfokuskan pada penyelesaian masalah dengan ide-ide segar, kini banyak yang tidak konsisten dalam melakoninya. Publikasinya startup baru, tapi yang disampaikan ke konsumen atau investor hanya sebatas nama startup, logo dan landing page, tanpa ada progres yang berkelanjutan.

Mendapat investasi menjadi agenda yang banyak diinginkan startup baru, tujuannya untuk cepat merealisasikan ide tersebut menjadi bisnis yang nyata. Namun investor butuh diyakinkan tidak hanya menggunakan ide atau visi yang ditulis dalam slide. Ada beberapa hal yang seharusnya disiapkan dengan baik.

Ide yang sudah tervalidasi, berdasarkan kebutuhan di lapangan

Memvalidasi ide bisa dilakukan dengan beragam cara. Bisa dengan menunjukkan angka-angka hasil riset atau survei terkait dengan permasalahan yang ingin dipecahkan, atau coba menunjukkan ide tersebut kepada khalayak, apakah sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Konsep dari produk yang sudah dijalankan MVP-nya

Ide menjadi gambaran yang sangat abstrak, memiliki Minimum Viable Product akan memberikan pemahaman yang lebih gamblang kepada investor tentang bagaimana solusi tersebut bekerja. Atau setidaknya sudah harus ada proof-of-concept. Karena ini sekaligus menunjukkan bahwa ide tersebut sangat memungkinkan untuk dieksekusi dan direalisasikan.

Memahami betul konsumen dari produk

Pada akhirnya produk dikembangkan untuk digunakan oleh pangsa pasar, karena dari situ proses bisnis akan bekerja. Yakinkan bahwa solusi dari ide yang saat ini ada benar-benar ada yang membutuhkan. MVP bisa menjadi cara terbaik untuk menguji, apakah hipotesis terkait dengan ide tersebut sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Meyakinkan tentang kapabilitas founder dan tim

Di luar dari hal berkaitan dengan produk, unsur internal juga penting untuk digambarkan dengan jelas. Yakni tentang siapa founder dari startup tersebut dan tim pendukungnya. Latar belakang founder dan tim akan sangat berpengaruh –atau memberikan keyakinan lebih, bahwa produk yang dikembangkan bisa berhasil, karena memiliki keterampilan dan penguasaan terhadap masalah.

Jadi, pada dasarnya ide saja tidak cukup. Temuilah investor dengan empat kesiapan di atas. Suguhkan presentasi terbaik dengan menunjukkan bukti-bukti terukur tentang rencana bisnis yang akan digerakkan bersama startup baru.

Cara Mudah untuk Memvalidasi Ide Produk atau Bisnis

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memvalidasi ide pengembangan produk. Selain mendiskusikan dengan ahli atau mentor bisnis, pengembangan MVP (Minimum Viable Product) dinilai menjadi cara yang lebih terukur. MVP menjadi sebuah mekanisme untuk memperkenalkan ide produk dan fungsionalitas intinya sedini mungkin kepada publik. Penting dilakukan untuk mengurangi risiko produk tersebut tidak ada penggunanya.

MVP dapat dirilis dalam berbagai macam metode, di antaranya A/B Testing (peluncuran versi Alpha atau Beta dari aplikasi), penjelasan melalui landing page, survei dan riset, hingga pembuatan video demo produk. Untuk startup di tahap awal yang biasanya memiliki anggota tim yang sedikit dan waktu yang sempit untuk melakukan pengujian –karena jika gagal harus secepat mungkin agar bisa beralih ke ide lainnya, tentu harus mencari cara yang paling cepat dan efisien.

Konten berbasis “Demand Validation Video” bisa dicoba, dipadukan dengan optimasi media sosial untuk publikasi. Hal yang perlu dilakukan ialah buat sebuah desain produk sesuai dengan ekspektasi ide, dan paparkan bagaimana fungsionalitas produk tersebut bekerja. Lebih baik lagi jika sebelumnya sudah dilakukan pengembangan tahap awal, sehingga video tersebut berisi demo produk yang dikembangkan.

Selanjutnya manfaatkan media sosial seperti Twitter atau Facebook untuk mempublikasikan video tersebut. Tambahkan sebuah keterangan yang bersifat “menjual” dalam mempublikasikan video tersebut. Untuk memastikan capaian yang besar, jika perlu gunakan layanan iklan dengan menargetkan pangsa pasar yang ingin dirangkul melalui inovasi tersebut.

Ini ada sebuah contoh menarik, dari sebuah pengembang yang menyampaikan MVP melalui video di Twitter.

Ia memaparkan melalui tulisan di Twitter, bahwa sebuah aksesoris harus multifungsi bisa digunakan untuk pembayaran. Dan video memberikan gambaran tentang contoh bagaimana sistem tersebut bekerja. Sangat jelas dan mudah dipahami. Maka selanjutnya serahkan kepada publik untuk menilai. Terkait apakah akan ada penerimaan atau tidak, itu adalah jawaban yang dibutuhkan dari sebuah MVP.

Dari studi kasus di atas, kebetulan produk mendapatkan penerimaan yang cukup baik. Komentar yang diberikan dalam Reply menunjukkan sentimen baik atas hipotesis yang diunggah. Kemudian jumlah Retweet juga memvalidasi bahwa ide tersebut cocok diaplikasikan, sehingga orang lain ingin berbagi tentang inovasi ini kepada rekannya. Ini sebenarnya serupa dengan video MVP yang cukup legendaris dari Dropbox.

Proposisi nilai telah divalidasi dengan umpan balik yang didapat dari media sosial. Sebenarnya di titik ini sudah bisa ditentukan, apakah pengembangan produk perlu diprioritaskan ke depan atau tidak. Jika masih butuh meyakinkan diri lagi, bisa langsung mewawancara narasumber yang terlibat dalam percakapan di media sosial, tanyakan mengapa mereka tertarik atau mengapa mereka menganggap solusi tersebut kurang penting.

Baca juga:

Pro dan Kontra Startup Melakukan “Stealth Mode”

Demi menjaga ide hingga model bisnis yang dimiliki saat ini, masih banyak pemilik startup yang merahasiakan startup mereka dan mengklaim dalam fase “stealth mode” demi menjaga kerahasiaan dan privasi. Meskipun terkesan eksklusif, namun pada akhirnya jika startup memilih untuk melakukan cara ini bakal mengganggu perkembangan hingga proses MVP (Minimum Viable Product) dari startup itu sendiri.

Artikel berikut ini akan membahas 5 efek negatif yang terjadi kepada startup jika memilih untuk “stealth mode“.

Membatasi kegiatan pemasaran dan promosi

Jika saat ini Anda terbilang baru dalam dunia startup dan bukanlah seorang serial entrepreneur atau tokoh yang berpengaruh (seperti Elon Musk atau Steve Jobs), ada baiknya untuk mulai mempromosikan startup Anda sejak awal. Dengan demikian kegiatan untuk melakukan perekrutan tim hingga bertemu dengan investor yang tepat bakal lebih terbuka jika kegiatan “stealth mode” di tinggalkan.

Menyulitkan proses MVP dan validasi

Fase “stealth mode” atau merahasiakan produk startup merupakan kebalikan dari proses yang paling banyak diterapkan oleh startup yaitu Lean Startup. Program tersebut justru mengajak pemilik startup untuk menerapkan MVP hingga proses validasi. Sehingga ketika satu model bisnis gagal, bisa segera di koreksi bahkan melakukan pivoting demi mendapatkan produk startup yang ideal.

Memilih untuk “stealth mode” justru membatasi startup untuk melakukan metode tersebut sehingga Anda tidak pernah tahu apakah produk yang dimiliki berfungsi dengan baik dan bakal disukai oleh target pasar.

Melindungi ide startup

Saat ini ketika ide serta model bisnis startup sudah semakin beragam akan menjadi sulit bagi startup untuk merahasiakan atau menutupi hal tersebut. Intinya adalah meskipun ide yang Anda miliki terbilang unik dan baru, bukan berarti akan sulit untuk di duplikasi oleh orang lain, sehingga Anda pun enggan untuk mengumumkan ide startup Anda. Jika Anda memiliki model bisnis hingga teknologi dan formula yang khusus, tentunya akan sulit untuk ditiru, untuk itu jangan pernah merasa takut ide bisnis akan dicuri oleh pesaing.

Mengklaim ide startup fantastis

Saat ini sudah banyak startup yang mengklaim memiliki ide yang “bisa merubah dunia” atau “membuat dunia lebih baik” semua hal tersebut akan menjadi percuma jika tidak dibuktikan dengan traksi hingga pendapatan yang telah Anda peroleh. Semua ide startup yang nampak fantastis belum tentu bakal menjadi “game changer” tanpa adanya bukti nyata.

Penerapan teknologi (advance/basic)

Salah satu kegiatan “stealth mode” yang dinilai sukses adalah, ketika Co-founder Adam Cheyer tengah mengembangkan produk Siri ke pasaran. Dengan menerapkan teknologi yang membutuhkan proses lama untuk pengembangan, merupakan hal yang wajar jika produk tersebut dirahasiakan terlebih dahulu. Namun jika startup Anda masih memanfaatkan teknologi dalam tahap awal dan belum memanfaatkan teknologi yang berat, ada baiknya untuk meninggalkan “stealth mode“.

Memilih Platform yang Tepat untuk Validasi Produk Startup

Salah satu yang dapat dilakukan startup untuk memvalidasi produknya ialah dengan menghadirkan platformnya sedini mungkin. Dalam dunia produk, proses tersebut disebut dengan Minimum Viable Product (MVP) atau produk inisial yang perlu diluncurkan startup secepat mungkin untuk mengetahui bagaimana respons pasar terhadap solusi yang ditawarkan.

Ini menjadi langkah awal yang penting, sebab proses ini juga menjadi dasar yang memberikan keyakinan produk tersebut akan dilanjutkan atau tidak. Karena jika memang tidak memiliki traksi yang mencukupi, lebih baik startup segera melakukan pivot untuk menghadirkan produk berikutnya.

Berbicara seputar produk, saat ini terdapat opsi yang dapat dikembangkan oleh startup sesuai dengan minatnya masing-masing. Setelah memahami spesialisasinya, maka selanjutnya startup perlu memikirkan platform seperti apa yang layak dikembangkan. Faktanya ada banyak sekali jenis platform yang bisa dikembangkan, namun demikian beberapa jenis platform sangat lekat dengan kebutuhan pengguna saat ini.

Khususnya di Indonesia, masih banyak edukasi yang perlu dilakukan di tingkat pengguna akhir. Jika ingin berakselerasi cepat, ide startup perlu dioptimasi dengan tipikal paltform yang lebih “merakyat”. Berikut beberapa jenis platform yang menurut penulis sangat akrab dengan pengguna teknologi di Indonesia saat ini.

Marketplace

Platform ini memiliki tujuan sebagai media transaksi jual beli oleh masyarakat. Bentuknya sangat efisien, karena pengguna dapat berlaku sebagai penyedia produk ataupun pembeli produk. Ini cocok dikembangkan untuk bisnis yang berorientasi pada produk.

Dari sudut pandang MVP, marketplace turut menjadi wadah yang pas untuk memahami ketertarikan pengguna. Bisnis memberikan jalan yang mudah bagi pengguna untuk menjangkau produk yang hendak dijual atau didistribusikan.

Komunitas

Layanan berbasis komunitas atau forum juga dapat menjadi pilihan. Selain meningkatkan traksi dalam model membership, model ini juga memungkinkan pengguna berinteraksi langsung. Bisnis yang cocok menggunakan tipikal platform ini ialah layanan yang berorientasi pada komunikasi konsumen.

Untuk kebutuhan MVP juga cocok karena dari sana interaksi dapat terjadi lebih mendalam. Baik sebagai masukan terkait produk, ataupun testimoni atas penggunaan produk.

Chatbot

Menjadi salah satu platform yang paling populer, chatbot memberikan kemudahan bagi bisnis untuk mengotomatisasi berbagai proses. Platform ini dipilih dengan harapan dapat meningkatkan intensitas penggunaan suatu layanan. Cocok digunakan untuk bisnis berbasis pelayanan.

Tujuh Cara Membangun Bisnis untuk Startup Tahap Awal

Pemilik startup yang baru mulai untuk menjalankan bisnis biasanya mengalami keraguan dan kehilangan arah langkah mana yang baik diambil saat awal startup mulai dibangun. Untuk startup yang masih berada pada early stage, akan menjadi penting membangun bisnis sejak awal dengan tepat, untuk bisa menjadi acuan kemana arah bisnis startup akan dibawa nantinya. Artikel berikut akan membahas 7 langkah awal yang baiknya dicermati oleh pemilik startup tahap awal.

Minimum Viable Product

Istilah Minimum Viable Product sudah harus menjadi acuan di langkah awal berdirinya startup. Menjadi penting bagi startup untuk mendapatkan MVP yang sempurna sejak awal. Buatlah prototipe atau desain awal yang masih dalam format draft atau versi awal, coba tawarkan layanan atau produk tersebut ke target pasar dan dapatkan feedback dari orang-orang, untuk meningkatkan produk awal secara cepat sesuai dengan produk yang ingin diwujudkan.

“MVPs help entrepreneurs and corporate intrapreneurs outsmart the odds of failure by compartmentalizing big decisions—and big risks—into a series of smaller ones.” – Storyhackers co-founder Rita Puri.

Meluncurkan versi beta untuk kalangan terbatas

Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah ketika MVP sudah didapatkan segar untuk membuat produk tersebut dalam versi beta untuk kalangan terbatas. Dari sana nantinya Anda bisa melihat kekurangan, fitur terbaik dan koreksi yang harus dilakukan, berdasarkan feedback dari orang-orang terdekat yang telah mencoba versi beta sebelumnya.

“When in doubt always build a product that is a painkiller rather than a vitamin.” – Pakar Marketing Vinay Koshy

Merekrut tenaga kerja

Ketika Anda sudah mulai membuat produk sudah waktunya untuk mempekerjakan tenaga ahli yang bisa membantu proses lebih cepat. Dalam hal ini ada baiknya Anda mulai merekrut developer atau mengajak seorang Co-founder yang memiliki pengalaman berbeda dengan Anda. Carilah tenaga kerja baru dalam jumlah kecil terlebih dahulu di awal startup, agar bisa membantu Anda membawa startup ke level selanjutnya.

“For a startup, people are as important as the idea,” – Founder Devishobha Chandramouli

Desain ulang / koreksi produk

Setelah uji coba telah dilakukan langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah mengoreksi kekurangan atau kesalahan dari produk hingga desain yang ada. Coba fokuskan prioritas Anda terkait aspek yang harus dikerjakan terlebih dahulu, lakukan proses ini usai versi beta untuk kalangan terbatas dilakukan.

“[Startups] learn from the results of each test, refine the hypothesis, and test again—all in search of a repeatable, scalable, and profitable business model.” – Stanford professor Steven Blank.

Peluncuran versi beta untuk publik

Setelah versi beta untuk kalangan terbatas dicoba, koreksi, dan perbaikan produk telah dilakukan, langkah selanjutnya adalah meluncurkan versi beta untuk publik. Saat proses ini dilakukan, bersiaplah untuk menerima keluhan dan feedback dari orang banyak usai versi beta diluncurkan. Cara terbaik untuk menangani proses ini adalah dengan menyiapkan tim humas atau agensi kehumasan untuk membantu startup menjalankan proses tersebut.

Pembuktian model bisnis

Usai versi beta diluncurkan kepada publik, secara organik startup akan mulai menunjukkan siapa target pengguna yang tertarik dan fitur seperti apa yang berfungsi dengan baik dan berpotensi untuk dijual. Matangkan konsep dan produk yang ada dengan melakukan koreksi dan penambahan fitur yang lebih sempurna. Tahap ini menjadi krusial bagi startup, sebelum meluncurkan eksistensi startup secara resmi kepada publik dan tentunya investor.

Pendanaan tahap pertama

Tahap yang satu ini merupakan akhir dari proses membangun startup saat tahap awal, yaitu meyakinkan kepada investor untuk memberikan investasi berdasarkan produk yang ada. Siapkan faktor pendukung untuk bisa meyakinkan investor, mulai dari data, testimoni pengguna, target dan rencana serta potensi bisnis yang dimiliki, berdasarkan proses sebelumnya yang telah dijalankan startup.

Pendanaan tahap awal, atau seed round, biasanya tidak didapatkan sebelum startup telah melalui proses tersebut dan memastikan semua aspek berjalan dengan lancar.

Seri Pengembangan Produk #3: tentang Minimum Viable Product

Arikel seri sebelumnya telah membahas tentang Product Management dan Product-Market Fit untuk menemukan sekaligus memvalidasi tipikal produk yang tepat. Sedikit mengulas kembali, bahwa simpulan definisi produk adalah solusi yang ditawarkan untuk memecahkan masalah. Pada seri ini, akan dibahas tentang bagaimana startup menguji solusi yang ditawarkan, sehingga mengetahui sejauh apa penerimaan masyarakat.

Teknik tersebut disebut dengan Minimum Viable Product (MVP). Sesuai namanya, MVP merupakan hasil pekerjaan paling minimalis yang dapat disajikan ke calon pengguna dengan tujuan mendapatkan banyak pelajaran ketertarikan dan masukan calon pengguna. Sederhananya seperti ini, sebut saja startup memiliki visi untuk mengembangkan produk ABC dengan fitur X, Y, Z. Startup hanya perlu meluncurkan X (dianggap sebagai fitur paling penting) untuk segera dikenalkan ke pasar.

Beberapa pertimbangan mendasar mengapa MVP diperlukan sebelum produk tersebut benar-benar dijadikan adalah untuk mengurangi risiko, meningkatkan kemungkinan untuk sukses, mendapatkan timbal balik lebih cepat, mengurangi kompleksitas hingga mengukur proses pengembangan.

Mulai mengembangkan MVP

MVP dibuat setelah startup benar-benar mengetahui visi produk yang akan dikembangkan, biasanya masih bersifat ide dan konseptual. Project Manager, membuat daftar fitur atau prioritas pengembangan sesuai dengan urgensinya. Hal pertama yang harus setelah ada daftar prioritas tersebut, lakukan penjajakan setiap fitur yang akan dikembangkan dengan mempertemukan antara asumsi dan risiko yang mungkin terjadi.

Sebagai contoh sebuah startup akan mengembangkan sebuah platform mobile untuk pembelajaran jarak jauh. Salah satu fitur di dalamnya ialah adanya konten interaktif untuk pembelajaran siswa secara mandiri. Asumsinya dengan adanya konten tersebut siswa tidak bergantung dengan guru dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Dan risikonya adalah jika para siswa menanggap konten konvensional seperti buku lebih nyaman digunakan untuk belajar harian.

Namun itu masih sebatas estimasi, sehingga perlu dilakukan pengujian. Sebelum melakukan pengujian, pastikan startup telah mengidentifikasi variabel untuk memvalidasi keabsahan ide yang digagas. Paling mudah dengan menentukan faktor keberhasilan dengan angka numerik. Misalnya jika meneruskan contoh produk sebelumnya, validasinya bisa berupa: jika konten mendapatkan rating minimal 4 dari 80% pengguna maka dikatakan disukai.

Sehingga didapatkan formula sebagai berikut: Kami melihat <pengguna> memiliki <masalah yang <dihadapi>. Kami dapat membantu mereka dengan <solusi yang ditawarkan>. Kami tahu kami sedang mengerjakan hal yang benar jika <ukuran keberhasilan>.

Contoh penerapan formula yang sama dengan studi kasus Uber, oleh Frankie Le Nguyen
Contoh penerapan formula yang sama dengan studi kasus Uber, oleh Frankie Le Nguyen

Strategi implementasi MVP

Pada dasarnya MVP tidak harus berupa barang siap pakai atau aplikasi prototipe yang dapat dioperasikan –walaupun jika memungkinkan cenderung akan lebih baik dalam memberikan gambaran kepada konsumen. Dalam konsep pengembangan produk sejauh ini dikenal beberapa tipe implementasi populer penyampaian MVP, di antaranya:

  • Concierge
  • Wizard of Oz
  • Landing Pages
  • Videos
  • Crowdfunding
  • Single Feature MVP
  • Paper Prototypes
  • Customer Interviews

Dari beberapa bentuk implementasi MVP di atas, penggunaannya sangat bergantung dengan karakteristik produk yang ingin diperkenalkan dan disampaikan ke calon pengguna. Untuk format video misalnya, dapat digunakan untuk menjelaskan sebuah konsep yang cenderung sulit dipahami oleh pengguna, bisa jadi karena itu adalah hal yang baru. Video yang dibuat harus menggambarkan antarmuka yang mirip dengan konsep produk yang dikembangkan. Contoh startup populer yang menggunakan model ini dalam MVP adalah Dropbox.

Kemudian Landing Page atau sebuah halaman website tunggal untuk memberikan penjelasan dan gambaran dari proof-of-concept dari produk. Selain informasi produk secara umum, di sini pengembang juga dapat memberikan kanal respons untuk mengetahui ketertarikan calon pengguna. Contoh startup yang mengimplementasikan model ini adalah Buffer. Mereka melihat ketertarikan pengguna dengan menambahkan sebuah kolom email untuk pemberitahuan ke calon pengguna ketika produk benar-benar siap untuk dicoba.

Tren yang ada saat ini adalah dengan meluncurkan fitur terbatas pada aplikasi. Seperti yang dilakukan Foursquare pada awal pengembangan. Ia hanya mengaktifkan sebuah fitur utama untuk mengeliminasi kebingungan pengguna sekaligus memfokuskan pengguna pada layanan utama yang mereka miliki, yakni check-in di suatu tempat.

Hasil akhir yang diharapkan dari proses ini ialah memberikan perspektif yang benar-benar baru bagi tim produk dari sisi konsumen yang akan menjadi pangsa pasar. Dari sini tim pengembang dapat bergerak lebih cepat, mengetahui secara eksplisit mengenai apa yang harus disesuaikan dan apa yang harus ditambah sesuai dengan masukan pengguna. Product Manager akan berperan sentral dalam proses MVP, untuk menentukan iterasi dan mengatur komunikasi dengan pengguna untuk memastikan masukan yang diberikan terjaring dengan baik.

Seri Pengembangan Produk #2: tentang Product-Market Fit

Pada seri sebelumnya telah dibahas mengenai Product Management dan Product Manager dalam sebuah proses pengembangan.

Selanjutnya akan dibahas mengenai kondisi Product-Market Fit. Secara sederhana, Product-Market Fit dapat tercapai bila solusi yang tepat diciptakan untuk pasar yang tepat. Sifat Product-Market Fit adalah memvalidasi gagasan ide produk yang dirancang. Sehingga jika melihat dari definisi tersebut, untuk mencapai Product-Market Fit kuncinya startup harus mampu memecahkan masalah konsumen dengan proses bisnis yang dimilikinya.

Dalam proses ini pengukuran menjadi kunci untuk menilai apakah produk yang dikembangkan sudah mencapai Product-Market Fit atau belum. Terkait dengan pengukurannya, setiap produk akan memiliki cara yang berbeda-beda, sangat bergantung pada bagaimana produk tersebut didistribusikan dan digunakan oleh masyarakat.

Umumnya pada sebuah produk digital startup, standar pengukurannya seperti pada jumlah orang yang menggunakan produk/layanan, tingkat pertumbuhan pengguna produk/layanan dari waktu ke waktu, hingga kepuasan pelanggan terkait dengan produk/layanan yang diberikan.

Bagi startup, untuk melakukan penyusunan diperlukan validasi untuk setiap hipotesis yang dimiliki. Misalnya beberapa contoh capaian Product-Market Fit untuk startup yang sudah besar saat ini. Pertama Dropbox, hipotesisnya bisnis akan memberikan versi gratis layanan dengan kapasitas tertentu untuk mendapatkan jumlah konsumen yang banyak. Maka dari hipotesis tersebut Dropbox akan mencapai Product-Market Fit jika sekian persen pengguna yang mau membayar untuk kapasitas penyimpanan yang lebih besar.

Kemudian contoh lagi hipotesis Groupon. Dengan layanannya bisnis memberikan diskon besar dalam jangka waktu singkat untuk mendapatkan sejumlah pelanggan baru. Maka Groupon akan mencapai Product-Market Fit bila secara konsisten dapat meyakinkan bisnis untuk membuat kesepakatan diskon dengan layanannya untuk menarik pelanggan baru, dan mampu mengulangnya untuk ragam bisnis dan area.

Bersiap untuk mencapai Product-Market Fit

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membawa startup mencapai Product-Market Fit. Sebelum membahas teknis dan skemanya terkait dengan produk (akan dimasukkan dalam pembahasan Minimum Viable Product di seri berikutnya), ada beberapa analisis pragmatis yang perlu dilakukan. Pertama ialah memahami pasar –di dalamnya terdapat ragam variabel terkait calon pengguna. Pengamatan juga perlu dilakukan secara detail, tidak hanya terpaku pada prakiraan nilai semata, namun harus benar-benar mengerti sampai pada level segmentasi pasar.

Prinsipnya untuk pasar, semakin spesifik semakin fokus bisnis dan produk startup dikembangkan. Selain melakukan pengamatan langsung, hal yang bisa dilakukan untuk identifikasi pasar adalah berdiskusi dengan para pakar. Umumnya investor ataupun mentor memiliki pandangan yang jelas terkait dengan pasar. Mengapa pandangan seputar pangsa pasar penting? Ini akan dikorelasikan dengan proses yang dikerjakan dalam Product Management, saat Product Manager berkumpul dengan orang Business Development untuk memastikan produk tersebut mencapai Product-Market Fit.

Value Proposition untuk mencapai Product-Market Fit

Ada satu komponen bisnis yang sangat berhubungan dengan Product-Market Fit adalah Value Proposition. Yakni tentang nilai apa yang akan diberikan oleh startup kepada segmen pasar. Untuk mendapatkannya cara yang paling valid ialah berkomunikasi langsung dengan calon konsumen, melalui metode wawancara ataupun survei. Terkadang membutuhkan proses dalam iterasi tertentu, sehingga mampu terdefinisikan dengan baik unsur penting yang akan menjadi DNA produk.

Beberapa Hal yang Harus Diperhatikan saat Mengembangkan Produk Baru

Dalam menjalankan sebuah bisnis saat-saat paling sibuk adalah saat sedang mempersiapkan sebuah produk baru.  Biasanya banyak energi tercurah di sana, mulai dari riset hingga proses pengembangan sebuah produk. Untuk memudahkan dalam proses persiapan produk baru, berikut beberapa hal yang bisa disiapkan pada fase persiapan produk baru.

Persiapan mulai dari ide hingga riset

Untuk bisa mendapatkan ide mengenai produk baru bisnis bisa memanfaatkan banyak sumber, mulai dari umpan balik dari pengguna, masukan dari tim, atau inspirasi-inspirasi yang didapat dari pengembangan teknik. Dari sana biasanya muncul ilham untuk dicoba diterapkan menjadi sebuah produk baru.

Langkah selanjutnya adalah menyesuaikan dengan sumber daya dan strategi yang ada. Dua hal pertama adalah melihat sejauh mana potensi pasar dan potensi basis pengguna yang ada. Di titik ini bisnis juga harus bisa memetakan seberapa banyak kompetitor dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing. Informasi tersebut akan membantu bisnis menentukan akan jadi seperti apa produk baru. Belajar dari keunggulan-keunggulan kompetitor dan hindari kesalahan-kesalahan yang mereka buat. Jika produk Anda menyasar segmen baru dan belum terdapat saingan, artinya tes pasar dan pengguna perlu dilakukan lebih intensif.

Tentukan seperti apa spesifikasi produk yang akan dibangun, alangkah lebih baik jika lengkap dengan seperti apa produk dalam dua hingga sampai tiga tahun ke depan. Tentukan seperti apa versi paling final atau gambaran sempurna produk yang ingin dibangun. Menentukan spesifikasi produk ini bisa membantu bisnis menentukan selling point.

Mempersiapkan tim

Setelah selesai dengan ide dan strategi produk yang akan dibangun selanjutnya adalah fokus pada pembangunan tim dan alokasi anggaran. Proses pembagian tim di sini sangat penting. Pastikan anggota tim yang terlibat bisa membagi waktu dan fokus pada pengembangan produk baru. Skill mereka memang dibutuhkan, tapi fokus dan konsistensi juga diperlukan. Mulai dari tim marketing, produksi, desain, hingga tim finansial harus disiapkan. Kemudian tentukan hal-hal teknis yang berkaitan dengan deskripsi pekerjaan dan deadline.

Bagian terpenting dari menentukan tim adalah mengalokasikan dana, objektif, dan jadwal pengembangan. Semua harus terhitung secara matang, untuk menghindari jadwal mundur dan alokasi dana yang membengkak.

Mulai dari prototipe

Setelah proses persiapan selesai, coba keluarkan produk baru dalam bentuk prototipe. Prototipe ini berfungsi untuk tes pasar. Bagaimana respon dan penerimaan pelanggan. Selanjutnya monitoring berkelanjutan untuk menentukan respons dan harapan pengguna terhadap produk baru.