Kemendikbud Ristek bersama konsultan manajemen global Oliver Wyman merilis laporan terkait “Dampak Peran Teknologi dalam Transformasi Pendidikan Indonesia” untuk mengetahui pemanfaatan adopsi empat platform dalam mengakselerasi sistem pendidikan di Indonesia.
Keempat platform ini antara lain Platform Merdeka Mengajar (PMM), Rapor Pendidikan, ARKAS, dan SIPLah. Perlu dicatat, analisis ini berdasarkan survei Oliver Wyman terhadap 118.000 guru dan kepala sekolah, serta data aktual penggunaan PMM, Rapor Pendidikan, ARKAS, dan SIPLah.
Adapun, saat ini ekosistem pendidikan dasar dan menengah di Indonesia terdiri dari 437.311 sekolah (termasuk Pendidikan Anak Usia Dini/PAUD), 52,8 juta murid aktif, dan 3,38 juta guru aktif.
“Dalam pelaksanaan transformasi, guru dituntut untuk melakukan ini dan itu, mereka tidak tahu mulai dari mana. Inilah mengapa platform ini hadir. Teknologi berperan untuk menskalakan proses ini. Salah satu hal penting dalam transformasi adalah mengubah kompetensi, kita harus dapat hak untuk melakukan perubahan,” tutur Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dalam peluncuran laporan di Jakarta (6/12).
Sebelum bicara adopsi platform Kemendikbud Ristek, Oliver Wyman menemukan beberapa tantangan utama pada sistem pendidikan di Indonesia yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan Indonesia. Pertama, penerapan kurikulum yang bersifat one-size-fits-all mengakibatkan kesadaran sekolah terhadap pentingnya penyesuaian strategi pembelajaran juga rendah.
Kedua, mentalitas “zona nyaman” dinilai menghambat motivasi pengajar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Ketiga, akses terhadap pelatihan berkualitas terbatas karena belum meratanya fasilitas pelatihan guru dan sistem pengelolaan pelatihan masih terdesentralisasi.
Hendy Kurniawan mewakili Oliver Wyman Indonesia menambahkan tiga temuan lainnya, yaitu akses ke ekosistem pendidikan, faktor geografis di area pelosok, dan adopsi platform. Menurutnya, setiap provinsi memiliki aspek kapabilitas dan kualitas talenta yang berbeda-beda.
“Namun, adopsi platform ini mendorong mereka menjadi mandiri, membentuk perilaku dan mindset baru. Awalnya terbiasa didikte, sekarang punya kebebasan belajar. Ketersediaan konten dan dukungan pemerintah mendorong mereka berkembang secara mandiri,” jelasnya.
Laporan ini menyebut perlunya intervensi teknologi dalam menyelesaikan tantangan tersebut mengingat perlu waktu puluhan tahun untuk merealisasikan transformasi secara sistemik. Untuk mewujudkan hal tersebut, UNESCO bahkan merekomendasikan bahwa tak perlu teknologi canggih untuk memberikan dampak, tetapi teknologi spesifik sesuai dengan konteksnya.
Adopsi platform
Sejumlah negara telah memanfaatkan platform teknologi untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikannya. Laporan ini mencontohkan Singapura lewat platform Student Learning Space (SLS) yang berfungsi untuk menyediakan sumber daya pendidikan, alat penilaian, dan beragam fitur untuk memantau
kemajuan murid.
Sementara Estonia mengembangkan platform bernama eKool yang memungkinkan sekolah untuk memfasilitasi komunikasi dan kolaborasi antara murid, orang tua, sekolah, dan badan pengawas.
Di Indonesia, keempat platform di atas dilaporkan mendapat antusiasme dari ekosistem pendidikan. Klaimnya per September 2023, PMM telah mengantongi 2,3 juta pengguna, di mana 83% berasal dari sekolah G-12 (SD, SMP, SMA).
Kemudian, data Kemendikbudristek mencatat sekitar 220 ribu sekolah telah terdaftar di ARKAS. Hampir 100% dari seluruh sekolah jenjang dasar dan menengah, dan sekitar 150 ribu sekolah jenjang dasar dan menengah (sekitar 70%) telah login di SIPLah per awal November 2023.
Dari hasil analisis dan survei, beberapa dampak yang disoroti dalam laporan ini antara lain hampir 60% responden mengungkap bahwa mereka telah memakai lebih dari tiga fitur di PMM. Temuan ini mengindikasikan bahwa para guru aktif dalam menjelajahi fitur-fitur di dalam platform tersebut. Adapun, 40% responden mengaku lebih fokus untuk mempelajari fitur “Kurikulum Merdeka”, “Perangkat Ajar”, dan “Pelatihan Mandiri”.
Hasil survei juga mengungkap PMM mampu meningkatkan jumlah peserta pelatihan sebanyak 4,1 juta peserta per November 2023. Jumlah tersebut naik 7 kali lipat dari realisasi 2019 yang hanya 20% dari total 3 juta guru di Indonesia. Kemudian, lebih dari 40% (80 ribu) guru di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) telah menggunakan PMM untuk mengakses materi pembelajaran.
Penggunaan ARKAS yang dirancang untuk mengurangi beban administratif pengajar, juga dilaporkan mampu menghemat waktu hingga 5 jam menurut 40% responden. Dari total penghematan waktu ini, sebanyak 46% responden guru mengaku dapat meningkatkan kualitas pengajaran.
Selain mengumumkan pendanaan untuk pencegahan misinformasi, acara tahunan “Google for Indonesia 2022” mengangkat berbagai inisiatif baru untuk mencetak lebih banyak talenta digital agar dapat memenuhi kelangkaan talenta berkualitas di negara ini.
Inisiatif pertama adalah menumbuhkan kreator ekonomi di sektor game. Google akan mendanai Google Play x Unity Game Developer Training, program uji coba hasil kerja sama dengan Asosiasi Game Indonesia.
Program ini memberikan pelatihan dan sertifikasi Unity kepada 500 mahasiswa di 15 universitas dan 50 developer profesional. Pelatihan diberikan melalui kursus mandiri secara online dan gratis, dan developer dapat memilih sesi pelatihan online yang dipandu instruktur.
“Unity adalah salah satu mesin pengembang game terkemuka di dunia. Unity digunakan secara global, baik oleh developer besar maupun kecil, mulai dari studio game indie hingga studio game besar. Meningkatkan keterampilan mahasiswa dan developer lokal melalui berbagai kursus dan pelatihan yang tersedia di Unity akan membekali mereka dengan ilmu membuat game kelas dunia,” ucap Director of Google Play Partnership untuk Asia Tenggara dan Australia Kunal Soni saat paparan di Google for Indonesia 2022, kemarin (7/12).
Berikutnya, membuka angkatan baru untuk program Bangkit, yakni pelatihan industri untuk mahasiswa, bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (di bawah program Kampus Merdeka), GoTo, Traveloka, DeepTech, dan beberapa universtas lain. Program ini akan menerima 9.000 mahasiswa untuk angkatan 2023, naik tiga kali lipat dari 2021.
Tak hanya mahasiswa, kali ini Google membuka kesempatan yang sama untuk pelajar SMK. Program berdurasi 900 jam ini mengajarkan ilmu tentang machine learning, mobile development, dan cloud computing, telah menghasilkan lebih dari 5.000 lulusan Bangkit. Jumlah mitra perusahaan teknologi yang akan menerima peserta kali ini juga lebih banyak, disebutkan ada 77 perusahaan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengaku selalu bangga dan terinspirasi setiap bertemu dengan adik-adik lulusan Bangkit. Pihaknya menyadari kebutuhan talenta digital dalam negeri yang sangat besar, yaitu 600.000 talenta per tahunnya. Makanya, sangat dibutuhkan kolaborasi.
“Program Bangkit hadir sebagai inisiatif pengembangan kompetensi mahasiswa untuk berkarier di dunia teknologi global, dengan harapan melahirkan para pemimpin teknologi di Indonesia yang dapat berkontribusi dalam akselerasi ekonomi digital di tanah air,” ujar Nadiem.
Inisiatif hijau
Pada saat yang bersamaan, Google juga mengumumkan penandatanganan perjanjian non-komersial dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk menghadirkan Project Green Light di Jakarta. Proyek ini bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi lampu lalu lintas guna mengurangi kemacetan, konsumsi bahan bakar, dan emisi kendaraan.
Tim peneliti dari Google akan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah DKI Jakarta untuk mengoptimalkan pengaturan waktu lampu lalu lintas guna mengurangi lalu lintas yang tersendat, berdasarkan data lalu lintas anonim dan data mobilitas masyarakat berbasis Android.
VP of Engineering and Research Google Yossi Matias mengatakan inisiatif ini baru pertama kali diluncurkan di Asia Tenggara. Project Green Light menggunakan AI untuk mengoptimalkan lampu lalu lintas di persimpangan di seluruh dunia, guna membantu meminimalkan kemacetan dan polusi yang ditimbulkan. Kolaborasi ini nantinya memperlihatkan bagaimana teknologi AI menghadirkan solusi bermanfaat bagi masyarakat dengan sedikit investasi.
“Kami tidak perlu mengembangkan perangkat maupun ilmu baru karena kami menggunakan machine learning dan infrastruktur cloud yang sudah ada. Misalnya, AI memungkinkan Google menganalisis data tanpa sensor tambahan atau bahkan mengubah infrastruktur, sebelum mengirimkan rekomendasi ke dinas kota yang kemudian menerapkan cara-cara untuk mengoptimalkan pengaturan,” kata Matias.
Proyek ini akan dimulai pada 2023 melalui beberapa tahapan, yakni (1) analisis data lokasi anonim dari sistem navigasi, (2) pengukuran metrik arus lalu lintas persimpangan, (3) pemberian rekomendasi yang akan mengevaluasi perubahan bersama dengan kota.
Di India, proyek ini telah membantu kota mengoptimalkan pengaturan waktu lampu lalu lintas dengan lebih baik, mengurangi waktu tunggu di persimpangan, kemacetan jalan, dan emisi karbon. Pada 2022, khususnya di Bangalore, terlihat hasil awal dari pengurangan kemacetan sebesar 20%.
“Dengan menggunakan teknologi AI kami, diharapkan inisiatif ini akan meningkatkan efisiensi bahan bakar, mengurangi emisi, meningkatkan kualitas udara, dan membuat aktivitas berkendara jadi lebih aman dan menyenangkan di Jakarta,” kata dia.
Google yakin AI memiliki potensi untuk mentransformasi tantangan lingkungan di sejumlah area. Mitra, seperti World Resources Institute di India, menggunakan Google Earth Engine untuk menghasilkan peta dan jenis analisis yang diperlukan untuk merencanakan intervensi yang terencana.
Sementara itu, Environmental Insights Explorer tersedia di 17.000 kota di seluruh Asia-Pasifik, memungkinkan pemerintah mengukur sumber emisi karbon dan mengidentifikasi strategi yang tepat untuk menerapkan sumber daya energi yang lebih bersih.
Baru-baru ini, Google memperluas Open Buildings ke Asia Selatan dan Tenggara, menyediakan data untuk menginformasikan perencanaan kota, dan menggunakan AI dalam kemitraan dengan organisasi lokal seperti CSIRO Australia untuk mempelajari bagaimana lamun (seagrass) dapat melindungi ekosistem bawah laut dengan lebih baik di Indo-Pasifik.
“Momentum adalah hal yang tidak kekal, selalu naik dan turun. Jika kamu tidak menangkap momentum itu di saat terbaiknya, kamu akan kehilangannya.”
– Nadiem Makarim, Co-Founder Gojek
Meluncurkan startup bisa menghabiskan persiapan berbulan-bulan atau bahkan dalam hitungan tahun. Banyak waktu diinvestasikan dalam wawancara pelanggan, membangun prototipe, mengumpulkan dan menerapkan feedback, menjalankan kampanye sebelum peluncuran, bertemu investor, dan banyak lagi. Salah satu faktor penting lain adalah memperhatikan momentum. Pastikan Anda meluncurkan solusi di waktu yang tepat.
Pentingnya momentum dirasakan benar oleh Co-Founder Gojek Nadiem Makarim.
Di tahun 2010-2011, dia menciptakan Gojek dengan solusi yang sederhana menggunakan call center. Solusi itu tidak scalable karena semakin banyak pelanggan dibutuhkan semakin banyak “perantara” untuk mengurusi pekerjaan yang diberikan. Gojek sempat mati suri selama beberapa waktu.
Di tahun 2015, momentum pun datang. Kematangan aplikasi mobile dan teknologi GPS yang ditandai dengan masuknya Uber ke Indonesia adalah momentum terbesar bagi Gojek. Tidak perlu lagi call center untuk mengurusi semua pekerjaan. Semangat startup, aplikasi mobile, dan GPS mengatasi permasalahan ini.
Gojek terus dengan cepat mendiversifikasi layanan. Tidak hanya mengantarkan orang, Gojek kini telah berevolusi menjadi layanan on-demand untuk semuah hal, termasuk pengantaran makanan, pengantaran belanjaan, pengantaran obat-obatan, dan pengantaran barang lainnya.
Semua menjadi sejarah manis, karena Gojek memanfaatkan dengan optimal momentum yang datang.
– Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel ini
Gojek lahir dari rasa frustrasi co-founder dan mantan CEO Nadiem Makarim. Pada tahun 2008 dan 2009, Nadiem adalah seorang konsultan manajemen muda bercita-cita tinggi yang bekerja untuk McKinsey. Untuk beranjak dari rumahnya ke kantor setiap hari, dia membutuhkan transportasi cepat untuk bisa melalui kepadatan lalu lintas Jakarta. Mobil pribadi bukanlah pilihan yang tepat, karena jalanan ibu kota sering macet. Nadiem, 25 tahun, menjadi pelanggan setia ojek. Dia bahkan menyimpan nomor beberapa pengemudi ojek di ponselnya sehingga dia bisa menjadwalkan tumpangan.
Namun, dia frustasi karena kualitas layanan yang tidak konsisten. “Terkadang ojek langganan saya [ojek reguler] ada di tempat lain dan tidak bersedia,” sebutnya dalam wawancara tahun 2019 dengan mantan menteri Gita Wirjawan. “Hanya teknologi yang bisa meningkatkan skala itu.”
Itulah benih-benih Gojek, sebuah perusahaan yang berawal dari call center ojek yang sederhana. Tapi Nadiem membuat beberapa manuver sebelum perusahaan itu akhirnya menjadi decacorn pertama di Indonesia.
Nadiem meninggalkan McKinsey untuk mengampu ilmu di Harvard Business School selama dua tahun. Setelah lulus, ia bergabung dengan Zalora pada tahun 2011. Gojek telah berdiri dan berjalan, dengan 450 pengemudi pada saat itu. Setelah Nadiem merasa telah mendapat cukup pengetahuan dan pengalaman untuk menjalankan startupnya sendiri, dia mengundurkan diri dari Zalora pada tahun 2012, dan menuangkan seluruh kemampuannya untuk Gojek. Penduduk urban Indonesia sudah memahami aplikasi pemesanan kendaraan, berkat Uber dan Grab (yang saat itu disebut GrabTaxi). Variasi Gojek yang berfokus pada sepeda motor diterima dengan baik karena lebih praktis bagi kebanyakan orang untuk melintasi Jakarta dengan roda dua daripada empat.
Nadiem menggaet rekannya di Zalora, Kevin Aluwi, untuk mengelola perusahaan bersamanya. Andre Soelistyo, yang sebelumnya menjadi bagian dari investor Gojek, Northstar Group, juga bergabung dengan perusahaan secara penuh sebagai presiden. Dengan dana awal sebesar USD2 juta dari Openspace Ventures dan Capikris Foundation, aplikasi Gojek online pada Januari 2015. Itu merupakan kejayaan dalam semalam.
Sekarang, Gojek memiliki pengaruh yang tak tergoyahkan di Asia Tenggara. Perusahaan ini kian membentuk laju bepergian penduduk, dan bagaimana orang menggunakan ponsel mereka untuk serangkaian fungsi — pembayaran, pesanan makanan, pembelian bahan makanan, dan banyak lagi — hanya dengan membuat lebih dari 20 jenis layanan dalam satu aplikasi. Merger dengan perusahaan e-commerce Tokopedia sedang dikerjakan untuk M&A terbesar dalam sejarah sektor teknologi Indonesia, dan kemungkinan akan go public akhir tahun ini.
Bukan sekedar ride-hailing
Lintasan Uber menawarkan gambaran sekilas kepada anggota pendiri Gojek tentang masa depan. Mereka tahu bahwa layanan tumpangan mereka akan populer, tetapi ada sisi negatifnya: model bisnis tersebut melibatkan pembakaran modal awal yang gila-gilaan untuk diskon dan subsidi demi membangun basis pengguna yang cukup besar. Pada 2019, Uber dan Lyft melakukan IPO yang sulit, dengan valuasi di bawah kisaran yang diharapkan. Jika Gojek ingin memutus siklus, perusahaan akan membutuhkan banyak kaki untuk berdiri.
Nadiem memahami hal tersebut dan meletakkan dasar bagi diversifikasi Gojek sejak dini. Saat pertama kali diluncurkan, Gojek menawarkan empat layanan — fitur ride-hailing GoRide, yang menjadi tulang punggung perusahaan; layanan pengiriman GoSend; layanan grosir GoMart; dan layanan pengiriman makanan GoFood. Inisiatif ini membuat Gojek menjadi sosok yang sangat berbeda, karena GrabTaxi dan Uber berfokus penuh pada transportasi pada saat itu. Kemudian, pada 2016, Gojek meluncurkan cabang pembayaran elektroniknya, GoPay. Saat itu, Nadiem mengatakan hal itu karena banyak pengguna yang mengeluhkan pengemudi sering tidak memiliki cukup uang kembalian. Temannya dari Harvard, Aldi Haryopratomo, menjadi nahkoda GoPay hingga Januari 2021.
Tahun itu, Gojek menjadi unicorn pertama di Indonesia, perusahaan bernilai lebih dari USD1 miliar.
Bagi beberapa orang, memiliki andil dalam banyak lini mungkin merupakan proposisi yang berisiko, tetapi langkah pertama terbayar untuk Gojek. Perusahaan menjadi pemain terkemuka di sektor tersebut, bahkan mengalahkan saingan pengiriman makanan FoodPanda. Ride-hailing tidak lagi menjadi penghasil pendapatan utama perusahaan. Sebaliknya, biaya dari pengiriman makanan dan pembayaran adalah penghasil uang. Pada 2018, Gojek meraup USD9 miliar dalam nilai transaksi bruto (GTV) dari semua pasar, menurut siaran pers yang diterbitkan pada Februari 2019. GoPay berkontribusi USD6,3 miliar dalam total tersebut, sementara GoFood menyalurkan USD2 miliar. Pada 2020, GTV Gojek mencapai USD12 miliar, diperkuat dengan volume transaksi tiga kali lipat untuk GoPay dan layanan paylater perusahaan.
Perkembangan ini menarik perhatian investor asing. Google, Tencent, dan JD.com masuk untuk putaran Seri E Gojek pada tahun 2018, mendorong ekspansinya ke Vietnam, Singapura, dan Thailand.
Gojek memiliki satu keunggulan signifikan di Indonesia — timnya selaras dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat di tanah air. Populasi kelas menengah yang sedang tumbuh ingin melipatgandakan kekayaannya sebanyak mereka menghabiskan uangnya dengan cara baru, untuk hal-hal baru. Banyak yang berinvestasi di saham, reksa dana, bahkan emas. Perusahaan teknologi yang bergerak cepat dapat menyediakan sarana bagi banyak orang untuk menjelajahi jalur investasi ini, dan Gojek tidak mau ketinggalan.
Pada 2019, GoPay menambahkan opsi investasi reksa dana melalui kerja sama dengan Bibit. Dan pada Mei tahun itu, Gojek meluncurkan layanan investasi emas syariah GoInvestasi dengan aplikasi investasi Pluang.
Ketika Gojek membuat kemajuan ke banyak milieux, perusahaan kehilangan Nadiem, yang ditunjuk sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan di kabinet Presiden Joko Widodo. Kevin dan Andre pun menjadi co-CEO.
Prioritas baru
Lebih jauh lagi, Gojek berinvestasi di perusahaan asuransi PasarPolis, yang kemudian mengikat keduanya, memungkinkan pengguna GoPay untuk membeli asuransi perjalanan, kesehatan, kendaraan, dan properti yang ditawarkan oleh PasarPolis. Pada April 2020, Gojek mengakuisisi layanan POS Moka untuk memperluas jaringan B2B-nya. Moka digunakan oleh lebih dari 35.000 restoran, gerai ritel, dan kedai kopi di lebih dari 100 kota di Indonesia.
Pengembangan Gojek sejalan dengan perubahan pasar. Banyak orang Indonesia sekarang merasa sangat nyaman menggunakan ponsel mereka untuk pembayaran, makanan dan pemesanan bahan makanan, melakukan investasi dan mengambil polis asuransi, menurut laporan e-Conomy SEA 2020 yang diterbitkan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company. Mereka dapat melakukan semua ini di satu tempat — aplikasi Gojek.
Untuk pedagang, GoPay dan akuisisi Moka membuat kurva pembelajaran penerapan pembayaran digital lebih halus. Mengintegrasikan sistem POS dan e-wallet membuat kegiatan bertransaksi menjadi lebih mudah.
Ketika skala Gojek meluas, pandemi menghantamnya dari berbagai sisi. Industri transportasi pada dasarnya menguap selama semi-lockdowns. Gaya hidup vertikal di mana pengguna dapat memesan layanan seperti pembersihan rumah dan pijat, GoLife, dipotong seluruhnya, dan perusahaan memangkas 9% dari total tenaga kerjanya. Kevin mengatakan transportasi, pengiriman makanan, dan pembayaran akan menjadi fokus utama perusahaan sejak saat itu. Fokus baru tersebut memicu perombakan manajemen.
Facebook dan PayPal berinvestasi di Gojek pada Juni 2020, memanfaatkan jejak Gojek yang luas di Indonesia untuk menghidupkan bisnis baru dengan UMKM negara. Hal ini menghasilkan peluncuran GoToko pada September 2020, yang menghubungkan warung yang kurang terlayani, atau toko lingkungan, dengan perusahaan barang konsumen. Sektor ini dipadati oleh pemain lain seperti Kudo, Mitra Bukalapak, dan mitra merger Gojek yang dikabarkan Tokopedia dengan program Mitra Tokopedia.
Untuk benar-benar memantapkan kehadiran Gojek sebagai broker keuangan mapan, perusahaan melakukan investasi di bank digital Bank Jago pada Desember 2020. Idenya adalah untuk memperluas layanan perbankan ke basis pelanggannya, yang beberapa anggotanya bukan klien lembaga keuangan konvensional.
Expedisi pinggiran
Klien inti Gojek pernah menjadi komuter di kota-kota besar di Indonesia. Tapi sekarang, bisnisnya didukung oleh pedagang kecil, biasanya pemilik toko yang menjual bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari melalui GoToko dan GoMart, atau operator F&B yang menggunakan GoFood. Indonesia adalah rumah bagi hampir 60 juta bisnis kecil, dan kegiatan Gojek sehari-hari menjadi langkah yang menguntungkan.
Sementara bagi sekian banyak pengemudi yang membangun reputasi Gojek? Dalam beberapa kasus, pandemi merusak mata pencaharian mereka, dan upaya bantuan perusahaan tampaknya tidak konsisten. Yang lain bekerja untuk berbagai platform agar tetap bertahan. Namun banyak yang masih menggunakan sepeda dan memakai helm hijau berlogo Gojek, bekerja sebagai pembeli dan kurir.
Diversifikasi awal perusahaan memberinya sarana untuk menangkis serangan dari saingan dengan amunisi yang jauh lebih besar. Gojek memiliki langkah awal dalam membangun basis pengguna dan memperoleh mitra pedagang di Indonesia. GoFood telah ada sejak 2015, sementara GrabFood mulai beroperasi tiga tahun kemudian. (GrabFood akhirnya maju pada 2019.) Selain itu, Gojek memiliki layanan yang tidak ditawarkan Grab, seperti vertikal streaming, GoPlay.
Gojek GoPay juga menjadi saluran pembayaran elektronik kedua yang paling banyak digunakan pada Q1 2021, dengan sedikit unggul dari Ovo yang didukung Grab, menurut survei yang dilakukan oleh firma riset pasar Snapcart. Namun, di beberapa bidang, layanan cepat Gojek masih kalah dengan operasional Grab, seperti pengiriman makanan dan tumpangan pada tahun 2020.
Langkah selanjutnya dalam peta Gojek adalah meningkatkan bisnis kecil yang menggunakan platformnya. Gojek mengadakan kegiatan edukasi untuk komunitas mitra GoFood, yang menerima lebih dari 67.000 pendatang baru dalam satu tahun terakhir. Serangkaian modul pembelajaran dan diskusi virtual memberikan petunjuk tentang cara mengembangkan bisnis kecil. Tapi Gojek juga harus menghadapi Grab di sini. Saingannya dari Singapura telah berkomitmen untuk membangun basis pengguna ini juga.
Gojek mengincar wilayah di luar kota metropolitan Indonesia. Pada Maret 2021, perusahaan berinvestasi di e-wallet LinkAja, yang memiliki kekuatan di kota-kota kecil di Indonesia. Hal ini dapat membantu memperkuat kehadiran Gojek di area tersebut, di gawai individu maupun terminal transaksi bisnis lokal.
Fokus pada UMKM ini menjadikan merger Gojek dengan Tokopedia sebuah perspektif bagus, karena Tokopedia juga berupaya untuk meningkatkan jangkauannya di luar kota-kota besar di Indonesia. Perpaduan antara keduanya dapat memberi Gojek pintu masuk yang alami ke e-commerce, sementara Tokopedia dapat memperkuat kemampuan logistiknya. Kesatuan ini akan menjadi lebih besar dari total bagiannya, dan mungkin menarik lebih banyak perhatian dari investor asing saat perusahaan mengejar simbol ticker mereka pada tahun 2021.
– Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial
Beberapa bulan terakhir bermunculan berita mengenai sulitnya akses internet untuk pembelajaran jarak jauh, terutama para pelajar yang berada di wilayah rural atau terpencil. Ada yang terpaksa berkumpul di pemakaman demi mendapat akses internet yang lebih baik, ada pula yang menggunakan HT (handie talkie) karena dirasa lebih murah dibandingkan harus membeli kuota internet. Kondisi ini semakin memperlihatkan kesenjangan digital atau teknologi yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Pandemi COVID-19 berhasil memaksa dunia pendidikan bertransformasi dengan cepat namun pada waktu bersamaan turut mengangkat beberapa masalah krusial ke permukaan. Masalah umum, yang hadir sejak dulu, mencakup perbedaan status sosial dan pembangunan infrastruktur yang tidak merata, sehingga memberikan dampak nyata pada kesenjangan akses pendidikan berkualitas.
Sejak pemerintah menerapkan kebijakan pembelajaran jarak jauh di bulan Maret 2020, jurang antara si miskin dan si kaya, anak kota dan anak daerah semakin terlihat. Hanya saja, kita terlalu fokus ke topik yang itu-itu saja. Salah satunya adalah isu teknologi.
Teknologi sesungguhnya memberikan peluang solusi pemerataan pendidikan yang lebih luas, tapi ketidaktersediaan infrastruktur membuat kesenjangan semakin menjadi.
Disrupsi pendidikan di masa pandemi
Sebelum Covid-19 melanda seluruh penjuru tanah air, disrupsi dalam dunia pendidikan sudah dimulai sejak lama. Selama satu dekade terakhir, gelombang digital yang melanda industri pendidikan telah menciptakan disrupsi, salah satunya di bidang teknologi pendidikan atau edtech.
Layanan edtech di Indonesia mulai menjadi hype memasuki tahun 2015an – kendati startup seperti Zenius sudah ada sejak tahun 2004. Pemain besar lain, seperti Ruangguru dan HarukaEdu, baru debut di 2013. Popularitas platform tersebut juga mengikuti tren digital yang berkembang di masyarakat, termasuk sebaran broadband yang meluas, makin akrabnya masyarakat dengan layanan berbasis aplikasi, hingga opsi pembayaran digital yang lebih banyak.
Tim riset DSResearch baru saja mempublikasi laporan bertajuk Edtech Report 2020 yang membahas seluk beluk tentang dunia teknologi pendidikan di Indonesia.
Ketika tahun 2020 dimulai, tepat sebelum COVID-19, pendidikan online mulai mendapatkan pengakuan karena dianggap cukup, atau bahkan lebih efektif, daripada pendidikan kelas tradisional. Teknologi pembelajaran digital yang inovatif memasuki pasar, sedangkan semakin banyak orang yang terhubung ke area daring di seluruh dunia berkat investasi publik dan swasta dalam infrastruktur jaringan. Literasi digital berkembang di tengah masyarakat, terutama di kalangan anak muda.
Tantangan pembelajaran jarak jauh
Setelah Mendikbud menyatakan kondisi Pandemi COVID-19 tidak memungkinkan kegiatan belajar mengajar berlangsung secara normal, terdapat ratusan ribu sekolah ditutup sementara untuk mencegah penyebaran. Sekitar 68 juta siswa kini melakukan kegiatan belajar dari rumah,dan kurang lebih empat juta guru melakukan kegiatan mengajar jarak jauh . Hal ini menciptakan peluang untuk industri teknologi berperan dalammenyambung pendidikan para pelajar di seluruh penjuru tanah air.
Konsep pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini sebenarnya bukan hal baru, namun keragaman wilayah Indonesia, menjadi sebuah tantangan yang besar untuk bisa mewujudkan pemerataan akses pendidikan.
Sebagaimana diatur dalam SE Mendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan pada Masa Darurat Penyebaran Covid-19, satuan pendidikan harus menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh sejak akhir Maret 2020. Tidak bisa dipungkiri, metode ini menyisakan banyak celah, namun saat ini pembelajaran jarak jauh secara daring merupakan skenario terbaik dari yang terburuk.
Dalam pelaksanaannya, PJJ menimbulkan respon yang sangat variatif dari seluruh elemen sekolah (guru, siswa dan wali murid). Ada yang menyikapi dengan positif, ada yang mencanangkan protes, ada pula yang masih kebingungan. Dukungan fasilitas, administrasi, serta latar belakang ekonomi siswa bisa dikatakan menjadi pemicu reaksi terhadap perubahan dalam dunia pendidikan. Sekolah yang termasuk kriteria golongan menengah ke atas tentu tidak menemukan masalah signifikan dalam menerapkan konsep PJJ ini.
Dalam sebuah paper yang dipublikasi CIPS, yang membahas tantangan dalam Pembelajaran Jarak Jauh, disebutkan pergeseran tiba-tiba dari metode tatap muka di kelas ke pembelajaran jarak jauh di rumah memperlihatkan perlunya peningkatan kapasitas guru. Laporan ini juga turut membahas akses yang tidak merata ke Internet, disparitas dalam kualifikasi guru dan kualitas pendidikan, serta kurangnya keterampilan TIK menjadi kerentanan dalam inisiatif pembelajaran jarak jauh di Indonesia.
Tim DailySocial berbincang dengan salah satu pengamat pendidikan, Budi Muhamad, yang juga dikenal sebagai Bukik, mengenai isu ini.
Ia menyampaikan, “Pada pembelajaran tatap muka, seringkali guru berperan sebagai menara kontrol yang memantau, menegur dan mendisiplinkan perilaku murid. Pembelajaran jarak jauh membuat guru kehilangan kemampuan untuk mengontrol murid. Tidak ada pilihan peran bagi guru selain menjadi fasilitator. Sayangnya hanya sedikit guru yang siap berperan sebagai fasilitator, apalagi orangtua yang memang tidak pernah mengikuti pendidikan menjadi pendidik.”
Tidak kenal batasan umur, hampir di semua jenjang menerapkan sistem pembelajaran jarak jauh. Untuk jenjang pendidikan usia dini, dasar, dan menengah pertama, jet lag atau semacam cultur shock rentan terjadi. Pada dasarnya, di usia 12 tahun ke bawah, pendidikan tidak hanya soal pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga nilai dan emosi. Di jenjang pendidikan tersebut teknologi digital bukan solusi yang konkret.
Namun, di jenjang lainnya, seperti SMA dan perguruan tinggi, teknologi digital harusnya bisa diserap dan diadopsi di beberapa aspek. Beberapa layanan teknologi pendidikan sudah mulai menawarkan blended learning, pembelajaran yang menggabungkan tatap muka dan online.
Yang masih jadi persoalan adalah mereka yang berada di jenjang SMK atau sekolah vokasi, yang notabene merupakan sekolah yang mengandalkan keterampilan sebagai output para siswanya. Di sini digital secara penuh mungkin membutuhkan waktu, terlebih untuk mereka yang butuh lab untuk praktek, dan proyek-proyek lapangan lainnya.
Bukik menambahkan, “Pembelajaran jarak jauh membuat perubahan ritme belajar. Ritme belajar yang selama ini dikontrol guru, berubah menjadi diatur guru, murid dan orangtua. Dulu ketiga pihak bersepakat mengenai waktu pembelajaran. Misal jam 8-12, maka guru, murid dan orangtua melakukan upaya-upaya agar terselenggara pembelajaran pada jam yang telah disepakati itu. Sementara pada pembelajaran jarak jauh, ada sejumlah faktor yang menjadi pembeda mulai dari kemampuan orangtua, kesibukan orangtua, jumlah anak, ketersediaan gawai dan akses internet.”
Pandemi memaksa sektor pendidikan bertransformasi dengan cepat serta mengadopsi teknologi digital secara masif dan menyeluruh. Pemerintah, melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sudah menawarkan solusi, beberapa kali direvisi untuk menyesuaikan kondisi.
Beragam upaya untuk tetap berdaya
Dunia pendidikan Indonesia bak tersambar petir di siang bolong. Pandemi datang di saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sedang mulai gencar menerapkan program kerjanya. Sejumlah rencana terpaksa harus mundur digantikan dengan rencana-rencana lain untuk segera mengantisipasi dampak pandemi yang semakin meluas. Jika dipetakan secara lebih luas, problemnya mungkin ada banyak tapi banyak pihak sudah mulai mengambil peran masing-masing.
Tak hanya pemerintah, gerak cepat dalam rangka membantu dunia pendidikan datang dari sejumlah pihak. Seperti operator yang berbondong-bondong menghadirkan paket kuota khusus belajar di rumah dengan harga terjangkau. Tak hanya itu pemerintah juga mencanangkan subsidi kuota untuk semua elemen pendidikan, mulai dari guru, siswa, mahasiswa hingga dosen.
Di sisi lain, kondisi ini adalah laboratorium sempurna bagi layanan teknologi pendidikan. Demand akan layanan digital sedang tinggi-tingginya. Mereka yang notabene masuk sebagai layanan teknologi pendidikan pun ramai-ramai mencoba menghadirkan solusi. Mulai dari yang memudahkan akses konten hingga melengkapi teknologi yang memungkinkan pengelolaan kelas.
Kemendikbud juga bermitra dengan industri edtech. Salah satunya Quipper untuk memberikan tayangan-tayangan video pembelajaran melalui kanal TV Edukasi yang ditayangkan di TVRI secara gratis. Upaya tersebut merupakan salah satu cara untuk tetap memberikan konten edukasi bagi siswa yang tidak dapat mengakses internet dan hanya memiliki akses frekuensi TV (TVRI). Sayangnya hal itu belum cukup.
Terlalu sering menghadapi perangkat gawai membuat anak-anak usia sekolah dasar dan menengah cenderung lebih cepat jenuh. Hal ini menjadi tugas dan beban berat bagi para pengajar. Di titik ini bantuan orang tua atau wali murid sangat dibutuhkan.
Kerja sama antara guru dan orang tua menjadi sebuah keharusan. Keduanya harus memiliki komitmen untuk membuat anak belajar dengan cara yang menyenangkan namun tetap bisa menambah pengetahuan. Kurikulum yang ada tak mungkin dikejar dengan kondisi sekarang ini. Untuk itu pemerintah mengeluarkan kurikulum darurat, dengan harapan anak-anak tetap belajar dan bertumbuh di tengah carut marut kondisi pandemi ini.
Sementara untuk jenjang yang lebih tinggi, mau tidak mau harus ada solusi yang lebih baik. Terlebih untuk sekolah vokasi untuk pelajaran berbentuk praktek.
Untuk jenjang SMA, para siswa bisa terbantu dengan adanya layanan teknologi pendidikan dengan sederet konten pembelajaran yang dikemas menarik dan penuh gamifikasi. Meskipun demikian, pengalaman praktek sulit tergantikan. Pengalaman langsung terlibat dalam sebuah proyek, memegang alat berat, dan semacamnya tidak bisa digantikan dengan simulasi atau sekadar pembelajaran online. Sesuatu yang sampai saat ini masih menjadi persoalan.
– Prayogo Ryza berkontribusi untuk penulisan artikel ini
Pertengahan bulan Juni lalu, dunia startup diwarnai masuknya Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid menjadi salah satu Direksi Telkom Group. Ia meninggalkan posisi President Bukalapak dan menjadi Direktur Digital Business menggantikan Faizal R. Djoemadi.
Selain Fajrin, Co-Founder Gojek Nadiem Makarim juga sudah menanggalkan titelnya di startup dan menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
DailySocial mencoba menelaah lebih dalam, apa yang menyebabkan penggiat startup menjadi pilihan sebagai pejabat di posisi strategis pemerintahan dan korporasi besar — dan bagaimana dampak yang diharapkan dihadirkan oleh mereka.
Bertahan dan relevan
Terbiasa dengan kultur yang sarat inovasi, agile, dan minim birokrasi, perpindahan penggiat startup ke korporasi dan pemerintahan membutuhkan adaptasi yang cukup menantang. Mereka harus menyesuaikan diri dengan berbagai unggah-ungguh dan compliance terhadap segi-segi pemerintahan.
Menurut Johnny Widodo, CEO OLX Autos yang sebelumnya pernah bekerja di korporasi, persoalan birokrasi di sebuah korporasi merupakan hal yang sulit dihindari.
Mereka tidak mungkin langsung melakukan perubahan secara drastis. Ada proses yang harus dilalui. Idealnya get buy in, fokus kepada quick wins dan coba memperoleh kepercayaan dari stakeholders lainnya.
“Jadi fokus kepada high impact less effort terlebih dahulu. Jika sudah terbukti track record [keberhasilannya], akan menjadi jadi lebih mudah dan didukung untuk implementasi yang lebih radikal. Dalam hal ini saya melihat, baik Nadiem maupun Fajrin, sudah mature karena startup mereka sebelumnya pun sekarang sudah seperti korporasi ukurannya,” kata Johnny.
Sementara itu, menurut CTO Dana Norman Sasono, yang sempat bekerja selama 7 tahun di Microsoft Indonesia, BUMN dan korporasi yang ingin tetap relevan perlu menempatkan orang-orang yang telah memiliki pengalaman, inisiatif, dan kultur yang agile untuk membantu perusahaan.
Pemilihan pelaku startup menjadi langkah strategis untuk mewujudkan rencana jangka panjang tersebut.
“Big corporate mayoritas adalah non-digital native. Untuk bisa survive dan stay relevant in today’s world, they need to do digital transformations. Apakah untuk hal sederhana seperti automating/digitizing business process, build a delivery channel of existing non-digital products/services, atau menciptakan model bisnis baru yang digital,” kata Norman.
Di sisi lain, menurut Norman, kebanyakan pendiri startup adalah digital native. Korporasi membutuhkan tidak hanya masukan dan nasihat, tetapi juga cara yang tepat untuk mengeksekusi visi demi mewujudkan transformasi digital.
Penggabungan kultur
Meskipun akan menjadi tantangan tersendiri untuk menerapkan kultur startup, menurut Johnny pada akhirnya keberhasilan akulturasi ini akan memberi angin segar. Perubahan ini tidak dilakukan secara sendirian. Harus ada dukungan yang solid dari pemangku kepentingan lainnya.
“Di sinilah kunci keberhasilan untuk bisa membuat high impact melalui buy-in untuk implementasi dari stakeholders yang ada. Perubahan secara birokratis dan policy harus bisa dilakukan sesudah mempelajari situasi dan alasan kenapa hal tersebut ada. Jadi tidak bisa main copas ilmu lama dan main dobrak saja karena setiap masalah pasti unik situasinya,” kata Johnny.
CEO Telunjuk Hanindia Narendrata, yang sebelumnya bekerja di Indosat Ooredoo, melihat pengalaman yang dimiliki pendiri startup teknologi bisa membantu dan memberikan impact ke korporasi dan pemerintahan.
“Gojek dan Bukalapak tentunya memiliki keunggulan dan pengalaman dari sisi disrupsi dan agility. Kemampuan Nadiem dan Fajrin untuk mensinergikan keunggulan-keunggulan ini yang menjadi kunci. Sehingga keunggulan tersebut bisa membuat Telkom dan Kementrian Pendidikan memberi impact yang lebih besar lagi buat masyarakat,” kata Hanindia.
Selain menyesuaikan keunggulan dan kemampuan masing-masing, penting bagi pelaku startup yang beralih ke korporasi untuk menjalin kolaborasi yang positif dengan rekan kerja. Menurut Norman, hal ini menjadi keuntungan tersendiri, karena sebelumnya pelaku startup sudah terbiasa menjalin interaksi langsung dengan berbagai level dan tidak segan untuk berbincang dengan semua.
“Tujuan akhir adalah meraih kesuksesan di dunia digital lebih cepat. Namun untuk bisa mencapai proses tersebut, pelaku startup yang kemudian masuk ke korporasi dan pemerintahan harus dibekali dengan kewenangan dan ruang untuk berkembang serta dukungan dari berbagai pihak di tempat baru untuk bisa menciptakan dan mengeksekusi inovasi baru,” kata Norman.
Berikan kepercayaan dan keyakinan yang lebih agar mereka bisa membuktikan kemampuannya untuk meningkatkan dan memperbaiki sistem yang ada menjadi lebih baik lagi.
“Saya rasa [Pemerintah] menghadirkan Nadiem dan Fajrin untuk meng-install value agility dan mengawal digital transformation. Kembali lagi menurut pendapat saya, kemampuan Nadiem dan Fajrin dalam beradaptasi dan bersinergi menjadi hal yang menarik untuk kita tunggu,” kata Hanindia.
It is undeniable, that Gojek and Grab kinds of services as the top of mind are getting high awareness among users due to flexibility and simplicity offered within just one platform. Each platform is claimed to be the super app, not only just a ride-hailing tool, and has accommodated various services in the application.
Gojek’s Co-Founder who is recently appointed as Indonesia’s Minister of Education and Culture, Nadiem Makarim said in an interview that an application capable to be the one-for-all services would create a great potential in Indonesia.
“When you digitize human movement and trace back transactions, you create a new visibility level and understand very clearly how each city operates,” he said.
A similar statement comes from Grab’s CEO, Anthony Tan. He thought as the number of young users grows, it actually changes the habit and lifestyle in more digital ways. Through smartphones and apps, the data collected can be very useful for service development.
Starts in China
Since China, many applications have emerged offering solutions and provide more than one service. The term super app began to extend and happened to capture as much attention from people.
Super app has created a relevant ecosystem and needed on a daily basis. Starts from purchasing groceries, transportation, shopping and payment to the extent of entertainment.
Today, the super app model is rapidly growing in the emerging market, such as India, South America, and Southeast Asia. Its focus is on making horizontal expansion and dominating certain geographic spots aggressively. Eventually, with the right and relevant features and categories, the super app is predicted to be the future technology.
The Future Technology
Using the super app framework as the direction of many technology startups, it’ll be wiser for those startups, corporates, and brands to collaborate and create an application with a one-stop-shopping concept.
Gojek, for example, has partnered up with cinemas, health consulting service, and drug purchasing, also the news portal for users can stay longer in the application.
Grab, on the other side, provides grocery service with GrabFresh in collaboration with HappyFresh. Partnering with Grab allows HappyFresh to add more slots in the sales, also to improve delivery time.
HappyFresh’s CEO, Guillem Segarra said, the partnership approach, as the one with Grab, will give consumers easier access to groceries from their currently used app, without having to download the HappyFresh app.
“We believe in the partnership approach and it has proven with Grab. They are very helpful towards us getting new users. Hereby, we decided to stay open to other platforms with lots of user base,” He added.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Tidak dapat dipungkiri, layanan seperti Gojek dan Grab bisa menjadi top of mind dan mendapatkan awareness tinggi di antara pengguna karena fleksibilitas dan kemudahan yang ditawarkan dalam satu platform. Masing-masing platform mengklaim menjadi super app, tak hanya sekadar layanan ride hailing, dan sudah mengakomodasi berbagai layanan di satu aplikasi.
Dalam sebuah wawancara, Co-Founder Gojek Nadiem Makarim, yang kini menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menyebutkan, aplikasi yang bisa menjadi layanan untuk semua memiliki potensi sangat besar dikembangkan di Indonesia.
“Ketika Anda mendigitalkan pergerakan manusia, barang, dan melacak semua transaksi, Anda membuat lapisan visibilitas baru dan mengetahui dengan jelas cara masing-masing kota beroperasi,” kata Nadiem.
Hal senada disampaikan CEO Grab Anthony Tan. Menurutnya, makin besarnya pertumbuhan pengguna dari kalangan muda telah mengubah kebiasaan dan gaya hidup menjadi lebih digital. Melalui smartphone dan aplikasi, data yang masuk bisa dimanfaatkan untuk pengembangan layanan.
Dimulai di Tiongkok
Sejak diawali di Tiongkok, mulai banyak bermunculan aplikasi yang mampu mengatasi masalah dan memberikan solusi lebih dari satu layanan. istilah super app kemudian mulai banyak dikembangkan dan ternyata mampu menarik perhatian orang banyak.
Super app telah menciptakan ekosistem yang relevan dan dibutuhkan setiap harinya oleh orang banyak. Mulai dari membeli kebutuhan sehari-hari, transportasi, pembelian dan pembayaran hingga hiburan.
Saat ini model super app berkembang pesat di pasar negara berkembang, seperti India, Amerika Selatan, dan Asia Tenggara. Fokus super app adalah melakukan ekspansi secara horizontal dan mendominasi geografi tertentu secara agresif. Pada akhirnya, dengan fitur dan kategori yang tepat dan relevan, diprediksi super app menjadi teknologi masa depan.
Masa Depan
Dengan framework super app yang menjadi arahan banyak startup teknologi, menjadi hal yang bijak bagi startup, korporasi, dan brand untuk berkolaborasi dan menciptakan aplikasi dengan konsep one stop shopping.
Gojek, misalnya, telah menggandeng bioskop, layanan konsultasi kesehatan dan pembelian obat-obatan, dan platform berita supay pengguna betah berlama-lama menggunakan aplikasinya.
Sedangkan Grab menghadirkan layanan pembelian barang-barang sehari-sehari bersama GrabFresh menggandeng HappyFresh. Kehadiran mitra Grab memungkinkan HappyFresh menambah lebih banyak slot pengiriman dan meningkatkan waktu pengiriman.
CEO HappyFresh Guillem Segarra menjelaskan, pendekatan partnership, seperti dengan Grab ini, akan memudahkan konsumen dalam mengakses layanan groceries dari aplikasi yang mereka pakai, tanpa harus mengunduh aplikasi HappyFresh.
“Kita percaya dengan pendekatan partnership dan sudah terbukti dengan Grab. Mereka sangat membantu kami dalam mendapatkan konsumen baru. Dari sini kami memutuskan untuk terbuka ke platform lain yang memiliki basis pengguna yang banyak,” unggap Guillem.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menekankan fungsi pendidikan dan teknologi sebagai jalan pintas (shortcut) untuk meningkatkan kualitas talenta digital di Indonesia.
“Saya sangat excited mengenai program pendidikan teknologi di Indonesia. Alasan pertama, ini bidang saya, jadi saya sedikit biased, saya diakui itu. Kedua, kalau Indonesia ingin maju, SDM-nya unggul, enggak mungkin bisa dilakukan dengan jalur yang sama seperti negara lain, enggak bakal sampai,” terangnya saat hadir di Google for Indonesia, Rabu (20/11).
Menurutnya, cara tercepat untuk meningkatkan talenta adalah melalui digitalisasi pendidikan dan teknologi. Akan tetapi, yang terpenting bukan dari sisi teknologinya, melainkan dari software atau sistemnya itu sendiri. Bagaimana dia bisa membentuk manusia, meningkatkan kapabilitasnya yang tadinya level 1, 2, jadi level 5, 6, dan 7.
“Ada skalabilitas yang dilakukan satu individu dengan panduan teknologi, dia bisa jadi multiplier, bisa berdampak 10 kali lebih produktif, lebih efisien.”
Bekerja membangun teknologi, menurutnya, juga membuat cara kerja jadi berbeda. Lewat cara itu, manusia bisa mengasah produk atau layanan yang sangat user centric. Teknologi juga memberikan hasil yang jujur, tidak ada yang bisa disembunyi-sembunyikan.
Kalau produk tidak jalan, hasilnya akan langsung terlihat secara real time, ini sangat dibutuhkan buat sebuah perusahaan atau organisasi yang sangat user oriented.
“Teknologi juga memaksa kita untuk kolaborasi, memaksa kita untuk menanyakan keputusan kita setiap hari, memaksa kita untuk menciptakan outcome yang user oriented.”
Pendidikan teknologi yang diusung Google lewat Bangkit, sangat ia apresiasi karena momentum ini terbilang jarang terjadi. Namun ia meminta, program ini bisa diperluas cakupannya, tidak hanya 300 anak saja, kalau bisa 300 ribu anak. Pemerintah siap bantu untuk hal tersebut.
“Jangan bilang enggak possible dulu, coba kita pikirkan over the time bisa tidak kita capai skala tersebut.”
Dia juga meminta kepada seluruh perusahaan teknologi, tidak hanya Google, untuk memprioritaskan Indonesia sebagai nomor satu di dunia. Oleh karenanya, dia mengimbau seluruh perusahaan teknologi yang memiliki komunitas atau lainnya untuk terbuka. Tidak segan-segan minta bantuan kepada pemerintah apa yang mereka butuhkan.
“Sampaikan langsung, ini yang kita butuhkan untuk capai angka-angka ini.” Jangan segan-segan karena di kementerian saya, sekarang paradigmanya diubah. Kita bukan regulator tapi ecosystem enabler.”
Menurutnya, saat ini kabinet dipersiapkan untuk sangat progresif dan siap diajak kolaborasi. Bahkan di tempatnya menerapkan metodologi pendekatan yang agile, layaknya umum dipakai dalam startup teknologi. Konsep OKR (Objective and Key Results) juga mulai diimplementasikan.
Nadiem percaya kolaborasi antara pihak swasta dan pemerintah adalah hal terpenting untuk memajukan SDM lokal.
“Terus terang kita enggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, yang penting adalah adaptabilitas bangsa kita untuk menghadapi, dengan karakter kuat, keberanian dan keingintahuan yang tinggi, dan kejujuran. Semoga ini awal dari partnership besar dengan ekosistem dan pemerintah.”
Masuknya Nadiem Makarim ke jajaran Kabinet Indonesia Maju memberikan suatu sinyal bahwa orang-orang yang berkecimpung di industri teknologi (tech people) bisa memberikan kontribusi yang lebih luas bagi masyarakat. Tentu Nadiem bukan satu-satunya orang teknologi yang mencoba jalan ini.
Pemilihan kandidat Presiden Partai Demokrat Amerika Serikat untuk tahun 2020 juga diramaikan dua kandidat muda yang yang sebelumnya pernah bersinggungan dengan dunia teknologi. Andrew Yang dan Beto O’Rourke, meskipun bukan dari kalangan milenial, memiliki eksposur serupa.
Andrew Yang di awal masa dotcom bubble pernah membangun startup dan kemudian menjadi CEO Venture for America, sebuah program untuk membantu lulusan perguruan tinggi yang ingin menjadi wirausahawan atau membangun startup.
Jika nantinya terpilih sebagai Presiden, Andrew ingin menciptakan posisi setingkat kabinet baru dalam bentuk Departemen Teknologi yang akan mengatur artificial intelligence dan teknologi baru lainnya.
Kandidat lainnya adalah Beto O’Rourke. Meskipun tidak memiliki latar belakang sebagai pendiri startup, ia diberitakan sempat menjadi hacker dan tergabung dalam kelompok terkenal dengan “hactivism” yang merupakan kelompok peretas komputer tertua dalam sejarah AS.
Meskipun tidak adanya indikasi O’Rourke pernah terlibat jenis peretasan yang paling canggih, seperti membobol komputer, keanggotaannya dalam kelompok tersebut dapat menjelaskan pendekatannya terhadap politik dengan cara yang berbeda. Latar belakangnya sebagai hacker tertuang dalam visi dan misi jika terpilih menjadi Presiden, yaitu merombak sistem yang ada dan memperbaikinya dengan ide-ide dan inovasi yang baru.
Tidak heran ketika inovasi, teknologi, dan disrupsi menjadi fokus utama tech people ketika masuk ke dalam pemerintahan.
Artikel berikut akan mengupas lima poin yang dimiliki kebanyakan tech people dan bagaimana mereka bisa melakukan perubahan terhadap sistem yang sudah ada sebelumnya.
Berani ambil risiko
Sebagai pendiri startup, Nadiem Makarim dan Andrew Yang memahami benar sulitnya membangun perusahaan rintisan. Tidak hanya membutuhkan modal dan sumber daya, namun juga kemampuan untuk berani mengambil risiko. Tidak banyak startup yang sukses saat menjalankan bisnis di awal. Dibutuhkan waktu dan effort yang cukup lama bagi startup untuk bisa sukses. Mereka dituntut untuk mencari solusi terbaik agar perusahaan tetap bertahan menjalankan bisnis dan meraup pendapatan.
Ketika masuk ke dalam pemerintahan, bisa dipastikan mereka mencoba memahami proses yang ada dan, jika memungkinkan, melakukan transformasi sesuai dengan value yang mereka miliki selama menjalankan startup.
Memangkas birokrasi
Salah satu kelebihan bekerja di startup adalah kebebasan dan suasana kerja yang lebih terbuka dibandingkan dengan gaya konvensional yang sarat birokrasi. Kecepatan mengambil keputusan, penentuan orang yang tepat untuk mengerjakan proyek, dan percepatan semua proses kerja merupakan jiwa startup.
Anti birokrasi ini akan menjadi tantangan bagi mereka yang masuk ke dalam jajaran pemerintahan. Nilai-nilai tersebut akan coba diterapkan secara perlahan dan mereka berupaya memotong proses birokrasi yang rumit menjadi lebih sederhana dan efektif.
Kolaborasi
Keunikan lain yang hanya ditemui dalam dunia startup adalah konsep open collaboration. Tidak lagi mengusung ruang kerja dengan pembatas dan ruangan kantor terpisah, startup mulai banyak menerapkan ruangan kerja terbuka yang memudahkan kolaborasi antar pegawai.
Kolaborasi dan kultur perusahaan tidak hanya menjadi tanggung jawab pegawai level awal. Setiap level harus bisa memberikan kontribusi dan bertanggung jawab terhadap semua pekerjaan yang dibebankan.
Adopsi cepat dan agile
Agile merupakan istilah yang paling banyak digadang-gadang penggiat startup. Agile di sini berarti kemudahan semua pihak untuk melakukan perubahan, transformasi, dan tidak fokus ke satu mindset saja. Fleksibilitas dan wawasan yang lebih terbuka juga merupakan konsep agile yang ingin dicapai startup.
Sebagai pihak yang mengedepankan teknologi, tech people juga cenderung lebih cepat mengadopsi perubahan demi menciptakan inovasi dan solusi yang lebih baik. Konsep ini pada akhirnya akan sangat masuk akal diterapkan dalam pemerintahan, sehingga tidak terjebak dalam rutinitas dan fokus ke masa depan.
Inovasi adalah raja
Dunia startup sarat dengan inovasi dan bagaimana inovasi yang tercipta bisa menjadikan solusi yang tepat. Inovasi pada akhirnya akan menjadi kunci utama bagi tech people ketika masuk ke dalam pemerintahan.
Inovasi melibatkan aplikasi informasi, imajinasi, dan inisiatif yang demi mewujudkan nilai yang lebih besar atau berbeda dari sumber daya.
Mendorong pegawai untuk lebih kreatif dan agresif akan menciptakan ide-ide baru yang lebih baik dan bermanfaat, dengan didukung teknologi dan berbagai tools yang ada.