Tag Archives: Nailul Huda

E-commerce Indonesia 2024

Outlook E-commerce 2024: Akankah Jadi Tahun Realisasi Keuntungan?

2023 seolah menjadi tahun terjal yang dihadapi industri e-commerce Indonesia. Berbeda dengan sebelumnya, saat pelaku e-commerce masih mengeksplorasi layanan, fitur, dan model bisnis — kini mereka fokus untuk mencapai keuntungan.

Pada tahun ini, sektor e-commerce diestimasi menyumbang Gross Merchandise Value (GMV) sebesar $62 miliar berdasarkan laporan e-Conomy SEA 2023. Secara total, GMV ekonomi digital Indonesia diproyeksikan tembus $110 miliar pada 2025 dengan porsi 75% masih disetor oleh e-commerce. Jelas menandakan sektor ini masih menjadi motor penggerak ekonomi digital di Indonesia.

GMV E-commerce Indonesia (dalam miliar dolar) / Sumber: e-Conomy SEA 2023

Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga menilai pelaku industri kini memantapkan fokus layanan/produk dan model bisnis yang tepat. Dalam skala makro, ruang pertumbuhannya juga masih sangat besar mengingat penetrasi e-commerce diperkirakan baru sekitar 20%.

Peningkatan penetrasi e-commerce sejalan dengan kenaikan penetrasi internet di Indonesia yang diproyeksi mencapai 70%-80%. Bima menyebut masih banyak wilayah di luar tier 1 yang belum terjangkau atau belum pernah berbelanja online. Laporan e-Conomy SEA 2021 sempat mencatat ada sekitar 21 juga pengguna internet baru saat pandemi, sebanyak 72% berasal dari luar kota besar.

Dinamika di 2023

Dalam perkembangannya selama lebih dari 10 tahun, industri e-commerce telah mengeksplorasi berbagai pendekatan, mulai dari B2C, B2B, atau C2C. Selama periode itu, ada hampir 10 platform e-commerce gulung tikar karena tak mampu bersaing dalam jangka panjang, sebut saja Blanja.com, Elevenia, dan JD.id.

Kini industri e-commerce menyisakan lima pemain teratas antara lain Shopee, Tokopedia, Lazada, Blibli, dan Bukalapak dengan fokus utama memperkuat bisnis inti dan mencapai keuntungan tahun ini. Berbagai upaya telah diambil untuk mendorong efisiensi lewat restrukturisasi karyawan dan pengurangan bakar uang pada promo belanja dan subsidi ongkos kirim.

Sorotan kami di sepanjang 2023:

  • Grup GoTo memangkas hampir 2.000 karyawan selama dua tahun terakhir, dilanjutkan dengan spinoff aplikasi GoPay (unit keuangan) dan divestasi GoPlay dan GoTix (unit bisnis hiburan).
  • Sejak tahun lalu, Shopee pivot strateginya untuk fokus mengejar profitabilitas dibandingkan pertumbuhan bisnis; juga telah merumahkan lebih dari 500 karyawan pada awal tahun ini.
  • Bukalapak melakukan PHK gelombang kedua pada akhir Juli 2023; lini bisnis Mitra masih jadi fokus utama, sedangkan di lini Marketplace, fokus pada produk yang punya take rate dan margin tinggi, yakni produk digital (pulsa dan game).
  • Blibli masih menggenjot ekspansi gerai omnichannel untuk mengakomodasi pesanan di berbagai kanal penjualan, termasuk penambahan 14 gerai consumer electronic dan gudang baru dengan dukungan AI untuk menghemat pengemasan barang.

Dalam pernyataan resminya, manajamen GoTo sempat mengungkap perubahan strateginya dengan fokus pada segmen budget consumer dan menekan insentif biaya pengiriman dengan memanfaatkan kapabilitas logistik sendiri. Strategi ini ditempuh untuk menjaga pangsa pasarnya, tetapi berdampak terhadap penurunan GTV e-commerce sekitar 9% (YoY) di Q3 2023.

Strategi efisiensi ini dirasa belum dapat merealisasikan keuntungan mengingat Blibli, Bukalapak, dan GoTo masih mencatatkan kerugian bersih dan EBITDA disesuaikan negatif, setidaknya hingga Q3 2023.

Platform EBITDA yang disesuaikan
Blibli -Rp817 miliar
Bukalapak -Rp95 miliar
Tokopedia -Rp974 miliar
Shopee (Asia) -$306,2 juta

Sumber: Laporan keuangan Q3 2023

“Dulu industri masih mengeksplorasi model bisnis dan fitur, sekarang lebih mengarah ke marketplace. Pemain e-commerce terus fokus mengembangkan revenue channel yang pas untuk meningkatkan profitabilitasnya, harus fokus di channel apa. Saya melihat offline dan online akan berjalan beriringan, mereka harus memanfaatkan semua channel,” tutur Bima saat dihubungi DailySocial.id.

Lanskap e-commerce di 2024

Resminya kemitraan GoTo dan TikTok untuk menggabungkan bisnis e-commerce menjadi salah satu aksi korporasi yang tak terduga jelang penutupan tahun ini. Kemitraan strategis ini adalah buntut pelarangan TikTok untuk memfasilitasi transaksi jual-beli di platform media sosialnya.

Bagaimana kongsi Tokopedia-TikTok dapat mengubah lanskap dan persaingan industri e-commerce di tahun 2024?

Sejak beberapa tahun terakhir, Shopee terus memimpin transaksi yang ikut terdongkrak berkat fitur live shopping. Berdasarkan laporan Momentum Works di 2022, Shopee mendominasi perolehan GMV sebesar $47,9 miliar di Asia Tenggara, diikuti Lazada ($20,1 miliar), Tokopedia ($18,4 miliar), Bukalapak ($5,3 miliar), TikTok Shop ($4,4 miliar), dan Blibli ($2,2 miliar).

TikTok diketahui berupaya menguasai dominasinya di Asia Tenggara melalui layanan e-commerce, Indonesia menjadi pasar utamanya. Compas Market Insight mencatat TikTok Shop membukukan penjualan produk FMCG hingga Rp1,33 triliun pada periode 1 September 2023-1 Oktober 2023 (sebelum ditutup). TikTok juga punya basis pengguna besar di Indonesia, yakni sekitar 125 juta pengguna.

Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyoroti dua poin besar dari kemitraan strategis GoTo dan TikTok. Pertama, langkah strategis ini untuk mengalahkan Shopee yang saat ini menduduki pangsa teratas e-commerce di Indonesia. Kedua, upaya untuk mengembalikan pengalaman bermedia sosial sekaligus berbelanja online. 

“[Namun], dampaknya bagi industri, [kemitraan] ini akan menciptakan [gap] yang jauh dengan kompetitor lainnya, seperti Lazada, Blibli, apalagi Bukalapak. Persaingan akan mengerucut antara Shopee dan Tokopedia dengan ekosistem milik masing-masing. Siapa yang punya ekosistem paling komplit dan disukai pengguna, mereka akan memenangkan persaingan,” jelasnya dihubungi DailySocial.id. 

Masuknya TikTok ke e-commerce lokal secara langsung mengindikasikan rivalitas kuat dari grup raksasa internet global, yakni ByteDance (Tiongkok) dan Sea Group (Singapura). Sementara, dari kacamata GoTo, kolaborasinya dengan TikTok dapat mendorong bisnis Tokopedia untuk menyeimbangkan segmen traditional e-commerce dan transaksi yang bersifat impulsif.

Dari sudut pandang konsumen, pengalaman tersebut dapat meningkatkan jumlah dan loyalitas pengguna bagi platform masing-masing. Tinggal bagaimana Tokopedia dan TikTok saling mensinergikan fitur dan layanannya dalam satu aplikasi. “Selama ini, Tokopedia punya ekosistem yang cukup lengkap dan besar, dari pembayaran hingga logistik. Namun, salah satu kelemahan di Tokopedia adalah fitur live shopping-nya masih kalah dari Shopee,” tambah Huda.

Fenomena live shopping marak diminati di Indonesia karena didorong faktor viralitas dan harga yang murah. Tren ini pertama kali dipopulerkan oleh Alibaba pada 2016 yang berhasil menarik lebih dari 500 juta penonton. McKinsey, dalam laporannya, mencatat GMV dari live shopping oleh brand dan influencer pada periode 2017-2020 tumbuh hingga 280% p.a.

TikTok Shop Tokopedia
“Beli Lokal” jadi uji coba awal kemitraan Tokopedia dan TikTok

Terlepas itu semua, Huda menilai bahwa pemerintah perlu melakukan penyesuaian aturan yang sudah ada, merujuk pada Permendag No. 31 Tahun 2023 yang baru diterbitkan beberapa bulan lalu. Ia mengkhawatirkan kesepakatan dua pemain dominan ini bisa memicu gap yang tebal antar platform Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) lainnya.

Ia berujar, penyesuaian ini diperlukan untuk menekan potensi predatory pricing sehingga  dapat melindungi UMKM atau pedagang offline. Aturan terkait kategori produk impor dan minimum harga telah dimuat dalam Permendag yang baru, tetapi perlu penyesuaian pada pengetatan impor. Misalnya, penambahan tagging produk di seluruh platform PMSE, tidak hanya Tokopedia, TikTok, atau Shopee.

“Inovasi yang semakin cepat akan menciptakan model bisnis yang selalu diperbarui dan menyentuh langsung ke masyarakat. Regulasi yang terlalu tebal akan membuat regulator kebingungan menempatkan posisi platform. Jangan sampai posisi Tiktok dan Tokopedia bermasalah ke depannya. Perlu ada penyesuaian regulasi, terutama terkait jenis perizinan.”

Kemudahan pengunaan platform digital (wealthtech) mendorong kenaikan masif dari jumlah investor pemula. Ada 3 regulator yang mengawasi

Platform Wealthtech Roketkan Jumlah Investor Pemula

Tren peningkatan jumlah investor retail diprediksi terus berlanjut, mengingat baru 2% dari total penduduk usia produktif di Indonesia yang mengakses produk investasi di pasar modal. Momentum tersebut dimanfaatkan banyak pemain wealthtech, istilah yang kini digunakan untuk mendeskripsikan platform terkait investasi berbasis digital, untuk saling konsolidasi kemitraan agar semakin banyak investor baru yang bergabung.

Mengutip OJK, jumlah SID (Single Investor Identification / Identifikasi Investor Perorangan) mencapai 5,6 juta investor per Juni 2021, naik 44,2% secara year-to-date (YTD) sebesar 3,88 juta investor. Dirinci lebih jauh, SID saham sebanyak 2,5 juta investor (naik 48,32% YTD), SID reksa dana sebesar 4,9 juta (naik 55,27% YTD), dan SID SBN sebesar 538 ribu investor (naik 17,03% YTD).

Peningkatan di aset kripto jauh lebih fantastis. Kemendag mencatat investor di instrumen ini tembus ke angka 6,5 juta orang dengan nilai transaksi Rp370 triliun hingga Mei 2021. Dibandingkan sebulan sebelumnya, tercatat ada 4,8 juta orang dengan nilai transaksi sekitar Rp237,3 triliun.

Penambahan jumlah investor ini, selain didukung momentum, juga turut dipengaruhi inovasi yang dilakukan pemain wealthtech. Dalam catatan DailySocial, mayoritas pemain masih terfokus pada satu instrumen investasi saja, misalnya di reksa dana saja, atau emas saja.

Belakangan para pemain mulai berkolaborasi satu sama lain agar platform-nya semakin kaya dan dapat menjaring lebih banyak pengguna dari beragam profil risiko.

Tren tersebut, menurut Ekonom Indef Nailul Huda, akan terus berlanjut karena wealthtech di Indonesia termasuk masih sangat baru. Bila mengacu pada grafik non-linier, masih dalam masa akselerasi pertumbuhan bersama dengan industri fintech lainnya.

Pada industri fintech yang memasuki akselerasi pertumbuhan, investor-investor biasanya akan menaruh perhatian lebih besar karena nilai valuasinya semakin tinggi. “Kesempatan bagus bagi investor, dengan begitu biasanya semakin banyak pemain di wealthtech,” ujarnya kepada DailySocial.

Hal tersebut berdampak pada pasar yang akan terbentuk menuju persaingan monopolistik, yang mana tidak ada pemain yang dominan. Namun demikian, ia menyoroti kemungkinan platform-platform ini akan mengembangkan ekosistem sendiri.

Salah satu caranya adalah merger dengan sesama pemain wealthtech ataupun dengan platform fintech lainnya semacam fintech payment ataupun bank digital. Cara tersebut relatif lebih murah dibandingkan mengembangkan ekosistem sendiri. “Jika strategi ini dilakukan, maka lambat laun biasanya akan terbentuk pasar yang lebih oligopoli.”

Di sisi lain, bermitra dengan banyak lintas industri wealthtech sebenarnya adalah langkah dalam mengatasi berbedanya regulator yang berlaku di Indonesia. Ada yang diawasi oleh Bank Indonesia, OJK, maupun Bappebti, menimbulkan kesan sebagai hambatan bagi para pemain untuk bergerak lebih cepat.

Cost regulasi ini bisa disiasati dengan merger. Mungkin platform A sudah punya izin OJK, platform B punya izin Bappebti, bisa merger biar menghemat biaya.”

Berikut ini adalah jenis-jenis investasi yang disajikan oleh masing-masing platform wealthtech:

No

Aplikasi wealthtech Emas Reksa Dana Saham atau derivatif Aset kripto

Securities crowdfunding

1 Bareksa

2 Pluang

3 Tanamduit

4 Raiz Invest

5 E-mas

6 Lakuemas

7 Treasury

8 Indogold

9 Tamasia

10 Bibit

11 Ajaib

12 IPOT

13 Invisee

14 XDana

15 Stockbit

16 Halofina

17 Fundtastic

18 Santara

19 Bizhare

20 LandX

21 Crowddana

22 Indodax

23 Tokocrypto

24 Pintu

25 Luno

Aplikasi wealthtech satu pintu

Salah satu pemain wealthtech yang kini makin lengkap kelas asetnya adalah Pluang. Dari awalnya, saat masih menggunakan brand EmasDigi, perusahaan menyediakan produk investasi komoditas emas sebagai produk pertamanya kini sudah melengkapi diri, mulai dari indeks S&P 500, aset kripto, dan reksa dana.

Pengembangan tersebut berjalan relatif singkat sejak rebrand pada Juli 2019. Perusahaan bermitra dengan para pemain di industri terkait, hingga membentuk anak usaha untuk memperoleh lisensi APERD bernama Pluang Grow (PT Sarana Santosa Sejati) agar dapat bermitra dengan perusahaan manajer investasi.

Co-Founder Pluang Claudia Kolonas menyampaikan rebrand adalah langkah perusahaan untuk sampai pada cita-citanya yang ingin menyediakan sebuah platform yang memudahkan pengguna berinvestasi.

“Pengembangan ini sesuai dengan cita-cita kami untuk menyediakan sebuah platform yang memudahkan penggunanya untuk investasi. Melalui nama Pluang, menjadi semangat baru kami untuk terus mengembangkan produk-produk investasi lainnya pada platform kami,” ucapnya.

“Mulai dari perubahan nama, memberikan edukasi secara organik kepada masyarakat hingga akhirnya berbagai macam produk baru yang kami luncurkan, itu juga yang “melepaskan” branding dari hanya 1 aset jadi ke beragam aset investasi,” sambungnya.

Dengan posisi sebagai one stop investment app, Pluang ingin merangkul semua calon pengguna yang datang dari beragam profil risiko. “Untuk saat ini, mayoritas user kami memang masih memilih emas sebagai portofolio mereka, untuk S&P 500, aset kripto, dan reksa dana dapat dibilang kelas aset yang baru saja booming. Pluang sendiri baru meluncurkan untuk reksa dananya.”

Kondisi tersebut cukup terfleksi dengan profil risiko pengguna yang dicatat perusahaan saat KYC, yakni mayoritas berada di moderat. Meski tidak dirinci lebih jauh, Claudia menyebut pertumbuhan bisnis Pluang pada tahun lalu tumbuh 20 kali lipat. Ia berharap tren kinerja tersebut setidaknya dapat dipertahankan perusahaan pada tahun ini.

“Pluang tetap bermisi untuk memberikan nasabah: akses ke kelas aset yang beragam dengan harga yang terjangkau. Di setiap kelas aset kami akan/sudah menawarkan produk yang menarik dan distinctive di kelasnya masing-masing.”

Tren teknologi robo advisor

Sebelum pemain wealthtech hadir, industri wealth dikuasai pengguna yang datang kelompok tertentu, yakni High-Net-Worth-Individual (HNWI) dan Ultra-High-Net-Worth-Individual (UNHWI). Kelompok ini merasakan layanan portofolio yang dipersonalisasi secara eksklusif dari para wealth manager.

Tapi eksklusivitas tersebut kini dapat dirasakan pengguna dari semua latar belakang ekonomi berkat teknologi robo-advisor yang dikembangkan para wealthtech. Teknologi ini menganalisis data berdasarkan berdasarkan jawaban kuesioner klien, lalu merekomendasikan solusi investasi sesuai dengan tujuan dan kebutuhan klien.

Dibandingkan manusia, robo-advisor dapat menganalisis ribuan variabel secara bersamaan dan efisien. Beberapa variabel yang dipertimbangkan antara lain demografi, waktu, tren historis, analisis teknikal, analisis fundamental, sentimen pasar, dan lainnya.

Dan yang tak kalah penting, nilai jual yang menonjol dari robo-advisor adalah biaya yang rendah dibandingkan dengan penasihat tradisional yang mengenakan biaya manajemen 2% – 3% dari AUM, menurut laporan dari Bambu, startup penyedia teknologi robo-advisor dari Singapura.

Bukan berarti tenaga manusia tidak lagi dibutuhkan pada saat ini. Dengan data yang dikumpulkan oleh robo-advisor, wealth manager berada dalam posisi tepat untuk memahami klien mereka dengan lebih baik – Apa gaya hidup mereka; Ke mana arah tren; Apa kebutuhan dan tujuan mereka?. Lalu mereka kemudian dapat menyusun strategi dan menemukan cara untuk mengatur keputusan investasi, manajemen risiko, dan meningkatkan hubungan penasihat-klien mereka.

Para ahli memperkirakan aset AUM dari industri robo-advisor ini tembus pada angka $1,4 triliun pada 2020 kemarin, tumbuh 47% dan 70,5 juta pengguna baru secara global. Pemanfaatan robo-advisor sudah sampai tahap mature di negara maju, di Inggris misalnya, nilai pasarnya mencapai $24 miliar. Sementara itu, di Singapura dan Hong Kong, mencatat pertumbuhan AUM yang kuat sebesar 400% selama lima tahun terakhir.

Di Singapura, kompetisi wealthtech semakin sengit karena perusahaan keuangan petahana mulai memanfaatkan teknologi robo-advisor. Mengutip dari Fintechnews, persaingan ini hanya akan meningkat karena perusahaan non keuangan terus masuk ke industri wealth.

Salah satunya adalah UOB Asset Management (UOBMA) yang bermitra dengan perusahaan telekomunikasi Singtel untuk meluncurkan layanan robo-advisory di Singapura. Layanan tersebut akan diintegrasikan ke dalam dompet seluler Dash Singtel dan akan memungkinkan pelanggan Dash untuk berinvestasi dalam ETF, managed funds, atau kelas aset lainnya secara langsung melalui aplikasi.

Statista memperkirakan bahwa pada 2020, AUM di Singapura untuk segmen robo-advisor mencapai $1,06 miliar. Diproyeksikan pada 2024 menjadi $2,62 miliar tumbuh 25,3%. Pengguna di segmen ini diperkirakan akan meningkat lebih dari 83% menjadi 192.500 pada 2024 dari sebelumnya dari sekitar 104.900 pada 2020.

Di Indonesia sendiri, teknologi robo-advisor sudah mulai banyak diimplementasikan banyak pemain wealthtech. Bibit menjadi salah satu pengusungnya terutama saat mereka pertama kali berdiri.

CEO Bibit Sigit Kouwagam menjelaskan, teknologi robo-advisor yang mereka kembangkan terbukti secara ilmiah dapat memetakan profil risiko tiap pengguna. Kemudian, dilanjutkan dengan diversifikasi portofolio sehingga pengguna dapat berinvestasi pada berbagai kelas aset berdasarkan profil risiko, kondisi keuangan, dan tujuan finansialnya.

“Lebih dari 50% pengguna Bibit berinvestasi untuk jangka waktu lebih dari 24 bulan dan mereka terus meningkatkan investasinya,” ucap Sigit.

Disebutkan pengguna Bibit telah tembus lebih dari satu juta orang, sebanyak 91% di antaranya adalah investor pemula. Total AUM yang dikelola Bibit mencapai lebih dari Rp5 triliun. Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan pengguna baru Bibit melonjak hingga 10 kali lipat.

Sigit menyebutkan tak hanya robo-advisor untuk menjaring lebih banyak investor baru, pihaknya juga melakukan banyak sejumlah penyesuaian, baik itu dari segi biaya transaksi yang lebih rendah, transparansi biaya dan informasi. “Biaya itu jadi enemy terbesar untuk mengajak orang-orang sebelum sukses berinvestasi jangka panjang.”

Tak menutup kemungkinan Bibit memperluas kelas asetnya di luar reksa dana. Sigit bilang, selain mendengarkan pengguna untuk menghadirkan pengalaman yang lebih baik, juga memiliki semangat kolaborasi untuk menghadirkan konektivitas di dalam ekosistem digital. Sister company Bibit, Stockbit, fokus pada kelas aset saham.

“Kami secara konsusten memantau produk-produk investasi tambahan untuk portofolio jangka panjang pengguna kami. Intinya produk-produk tersebut harus dipastikan agar sesuai dengan profil risiko pengguna, serta kejelasan regulasinya agar kami tetap dapat melindungi seluruh investor.”

Perjalanan edukasi masih panjang

Baik Claudia dan Sigit sama-sama menyadari bahwa edukasi adalah strategi yang harus terus dilakukan secara berkesinambungan dalam upaya mengembangkan wealthtech lebih jauh. Pluang aktif mengadakan program edukasi Pluang Talks dalam bentuk webinar melalui berbagai channel digital di Clubhouse, Instagram Live, dan Telegram Discussion.

“Selama program edukasi ini, memang terlihat antusiasme dari peserta yang hadir dengan banyaknya pertanyaan yang mereka lontarkan.”

Sigit menambahkan, pengetahuan mengenai investasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengalaman berinvestasi seorang pengguna. “Kami berkolaborasi dengan fund managers dan key opinion leaders untuk mengedukasi masyarakat lewat berbagai forum seperti webinar YouTube, Telegram audio chat, dan strategi konten di kanal-kanal media sosial. Ini kami lakukan secara cuma-cuma,” tutupnya.


Foto header: Depositphotos.com

Red Carpet for Startup on the Stock Market

The rhetoric of unicorn startups’ going IPO has been heating up since the beginning of this year considering it’s “time” for early generation’s VC investment startups to reach the mature stage, aka cash out to be returned to the LPs.

Therefore, it is only natural that the Indonesia Stock Exchange (IDX) openly announced that the three Indonesian unicorns are to get a dual listing. At least Gojek, Tokopedia, and Traveloka have been widely reported about its IPO this year. IPO is a way of exit for investors, apart from mergers, acquisitions, or issuing new shares.

Regardless of the technology startup status, the company’s ambition to go public is a very strategic decision as it requires a commitment to obeying stock exchange rules with good governance.

To date, technology startups that have gone public is not quite many. The IDX racked the brains to make IPOs friendly to disruptive types of companies and chose to focus on pursuing growth rather than looking for profit. Establishing acceleration boards, simplifying regulations, and creating the IDX Incubator program are some of the efforts.

IDX Incubator was first started in Jakarta in 2017, next to Surabaya and Bandung a year later. It is said to gather 114 startups, 62 startups from Jakarta, 24 startups from Bandung, and 28 startups from Surabaya.

To date, there are three startups that have successfully go public. Those are PT Yelooo Integra Datanet Tbk (YELO), PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO), and PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH). The stock exchange officials said that there will be two startups to follow in this first semester.

Separately, DailySocial reached the Head of IDX Incubator Saptono Adi Junarso regarding the IDX Incubator evaluation. There’s no significant answer for the stock exchange study. He said his team will continue to learn and improve, therefore, the current program will be upgraded.

It requires support from various parties in order to prepare the company for an IPO. Not only from professional institutions, but also from other stakeholders such as investors, the government, and the community.

“We seek to cooperate with institutions that can support more startups and small and medium-scale companies to go public,” he said.

One of the adjustments by IDX Incubator was changing the curriculum to be more focused on helping companies with small and medium scale assets to list their shares on the IDX. This curriculum is called “Road to IPO” which has been effective since 2019.

Road to IPO has a curriculum that contains training and mentoring. With this distinction, IDX Incubator is claimed to be in a more strategic position in the ecosystem. Nor does it overlap with other incubator/accelerator programs.

“There are already some existing players for the incubation program that emphasizes business development. Therefore, we want to be a follow-on incubation program for IPO preparation,” IDX Incubator’s Operational Manager, Aditya Nugraha said.

This curriculum adjustment affects the tightening requirements for advanced startups to join. One requirement is a startup that with one step below the IPO process. However, those who join do not have to be tech startups. Conventional SMEs have the same opportunity.

Sumber: BEI
Source: BEI

Lack of enthusiasm

Apart from the three IDX Incubator graduates who made it to go public, there are 20 technology companies have run the IPOs, citing the IDX website. Five companies have been listed on the existing acceleration board. Two of those are Cashlez and Pigijo. Other technology companies are listed majority on the development board, then the main board. The acceleration board itself has been officially announced by the IDX since 2019, cited in the Regulation Number I-V.

Sumber: BEI
Source: BEI
Sumber: BEI
Source: BEI

IDX Development Director, Hasan Fawzi explained, although there aren’t many companies on the acceleration board, it does not necessarily mean that IDX missed the target. In fact, he said that the IDX remains prudent in performing its duties. Not just any company can pass the selection.

“We take a deep view of the company’s condition and its concerns about the future growth prospects. There is a mini expose for us to see from the company management perspective and whether it has confirmed business plan prospectus,” he explained.

The IDX tends to be more strict in assessing companies to enter this board as there is a responsibility to protect investors. The IDX makes different monitoring parameters because of its own board. On one side, investors are expected to fully understand all the risks of buying shares, apart from seeing the potential business being offered.

“We have required stock exchange members to submit a disclaimer for each share on the acceleration board, the interface will be different, especially for the transactions. This has been done by all stock exchange members.”

Fawzi said that the stock exchange has positioned itself as an inclusive place by offering alternative sources of funding through IPOs. “It’s possible because it is still small [the scale of the business] is still difficult to obtain conventional [financial institutions] funding sources.”

According to Indef’s economist and researcher, Nailul Huda, the stock exchange still needs a long time to grow enthusiasm for startups to go public. Basically, IDX Incubator is only a means. The success or failure of an IPO depends on the ability of the company itself.

“Currently, there is equity crowdfunding as an alternative to IPO besides the IDX. This is more possible as it is a very complicated process with the IDX and you have to deposit standardized financial reports. It’s tough for those who may not have capable financial staff.”

Another thing that may be burdensome for startups is maintaining share prices. There are many US-based tech companies which stock prices went down after the IPO. On average, they do not have a strong pathway to ascertain how the company will be profitable in the future.

“[Because] the aim is valuation. As calculated from the GMV and the number of subscriber coverage. The business model is yet to explain how the future profits will be.”

Huda also said that the concept of stock prices does not always reflect company performance.

“High stock prices with bad fundamentals will surely be a hit and irrational buyers, it’ll be brief. However, if the company’s performance and fundamentals are good, the stock price will tend to increase. One interesting example [that does not reflect the company’s performance] is Gamestop.”

When the three unicorns successfully enter the market, Nailul is not certain that other startups will immediately be motivated to follow the same steps. They definitely monitor the listing results. If it makes a good share price at the beginning, that means they are only looking for money at the beginning. After that, the stock price is no longer matters.

“It will indeed be a standard for other technology companies not to be listed early. However, if it makes a good result, it will definitely become a benchmark for other companies to list.”

Sumber: Traveloka
Source: Traveloka

Separately, at a media gathering held by East Ventures (19/2), East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca said that all startups must eventually be listed on the stock exchange, but not all startups can do because each is in a different stage. Moreover, IPO is only part of the cycle of a company.

For startups, the advantages are having additional liquidity and having very good compliance as they have to comply with stock exchange rules. Meanwhile, being a public company is the valuation validation for investors that have been measured before investing in the startup, whether it is a good deal or not.

“Which startups do I think should list? All startups must be listed because there is validation of valuation, liquidity, and increased compliance. But can all startups be listed? No, because it takes time to get to that point. If the early-stage startup is busy taking that step, they will not be able to make products,” Cuaca said.

Significant groundwork

The stock exchange is getting serious about encouraging unicorns to enter the capital market by making a number of adjustments. Their presence is considered to motivate other startups for listing.

Fawzi explained that his team had intensive meetings with unicorn stakeholders to discuss the obstacles. First is the demand to enter the main board because it provides more added value for its investors, than a development or acceleration board.

This makes sense given that the valuation of each company deserves to be aligned with a public company with large capitalization in Indonesia.

Sumber: Tokopedia
Source: Tokopedia

Therefore, the IDX is finalizing the change to regulation number I-A, this rule will later accommodate various characteristics of issuers, including technology companies for IPOs. “We really want to [enforce the rules], but now we are in the process of discussing it to get approval from the OJK.”

According to the current stock exchange regulations, there is an obligation for companies attempting to enter the main board to have tangible assets (net worth). Meanwhile, the characteristic of startups is intangible assets are larger than tangible assets. Therefore, the stock exchange will provide other measurement aspects, such as revenue and market utilization.

“We can’t deny the fact that we had not been prepared for companies which strategy development was different from companies in general.”

Second, that is a concern and currently being prepared by the stock exchange is the classification of the sub-sectors according to the business of the unicorns. The stock exchange launched the IDX Industrial Classification (IDX-IC) on January 25. This classification changes the stock exchange classification used previously since 1996, the Jakarta Stock Industrial Classification (JASICA). The transition process was run for three months.

IDX-IC uses a grouping method based on market exposure for the final goods or services used by listed companies, aiming to provide guidance for users regarding groups of companies with similar market exposure.

The categories are more detailed into four levels, sector, sub-sector, industry, and sub-industry. Currently, JASICA has classified issuers by sector based on the principle of economic activity, therefore, it is only divided into two levels, sector and sub-sector.

Fawzi explained, the IDX-IC uses benchmarks of global exchanges, similar to the index published by private parties such as Bloomberg.

Global investors will be happier if they can compare company shares to similar industrial groups in other countries. As compared by sector, it is more apple-to-apple to see the growth or performance of its peers.

“In fact, it is more comparable now. Companies that have been listed can also benefit as they were previously included in the general category, some have entered services or trading, now there is a sports to entertainment sub-sector which is more suitable in their field.”

The final request is related to the potential implementation of several rules, such as the special right of the founders to conduct dual class shares by giving different voting weight to the founding shareholders and public shareholders. Next, the multiple voting share scheme or one share owned by the founder has more rights than ordinary shares in terms of decision making.

Junarso added, in finalizing this framework, IDX will not only focus on increasing the supply side, but also on investment demand from sophisticated investors for technology companies, such as venture capital, private equity, and other investors by engaging and inviting them to enter the Indonesian capital market.

Dual listing

Dual listing is not a new thing in the global exchange world, however, this strategy is rarely chosen by most companies in Indonesia. Global tech companies, such as Alibaba and Sea Group, choose the United States stock exchange as it is the largest stock market in the world. NYSE (New York Stock Exchange) is the largest, followed by NASDAQ, which consists of technology companies.

For example, millions of shares can travel fast [per second] between buyers and sellers on the NYSE. Due to the high volume of exchange, the transaction process is relatively easy. In other words, the U.S. stock market is very liquid with low transaction costs.

To date, only a few local companies going public on the global stock exchange. Quoting from Bisnis.com, a number of state-owned companies that are making dual listings were Indosat, Telkom Indonesia, Aneka Tambang, and Timah. Telkom and Antam are the only ones still implementing this strategy.

Telkom has been listed on the NYSE since 25 years ago. The journey has not always very smooth along the way. They were threatened with delisting as they failed to meet the submission deadline of the 2002 financial report audit.

Samuel Sekuritas Indonesia’s (SSI) Head of Research, Suria Dharma believes that dual listings have a positive impact on companies in general because they can have access to bigger sources of funding. However, there is a price to pay, that regulations and reporting are often more strict than at home.

Meanwhile, for unicorns, because they are predicted to have a large market capitalization, this dual listing scheme is expected to make a broader penetration for potential investors. It will result in a chunk of fresh funds.

He described the stock price movements for the dual listing companies to adjust to one another. “Previously, it only follows the global price but now vice versa, it’s often to follow Indonesian price. It might be because Indonesian investors are getting more of the latest information.”

Willson added that the dual listing to be performed by local unicorns can combine the two best things, entering the US and local exchanges. “This is related to nationalism. If it can be dual, of course the local market will be more excited. We have to go to the US because there is a huge capital market, this is the perfect combination.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

BEI menyiapkan sejumlah relaksasi aturan untuk menyambut tiga unicorn. Diharapkan membuat bursa Indonesia lebih bergairah / DepositPhotos

Gelar Karpet Merah Bursa untuk Startup

Sejak awal tahun ini, wacana IPO startup unicorn semakin memanas mengingat sudah “waktunya” investasi VC untuk startup generasi awal masuk tahap mature, alias harus cash out untuk dikembalikan ke para LP.

Untuk itu wajar jika Bursa Efek Indonesia (BEI) terang-terangan mengeluarkan wacana bahwa tiga unicorn Indonesia akan memilih dual listing. Setidaknya Gojek, Tokopedia, dan Traveloka sudah santer diberitakan bakal IPO tahun ini. IPO adalah salah satu cara exit bagi investor, selain merger, akuisisi, atau menerbitkan saham baru.

Kepentingan perusahaan untuk melantai, terlepas statusnya startup teknologi atau bukan, adalah keputusan yang sangat strategis karena harus berkomitmen tunduk ke aturan bursa dengan tata kelola yang baik.

Hingga kini, startup teknologi yang sudah melantai masih bisa dihitung jari. Bursa memutar otak untuk membuat IPO ramah terhadap jenis perusahaan yang disruptif dan memilih fokus mengejar pertumbuhan daripada cari untung. Membuat papan akselerasi, menyederhanakan regulasi, dan membuat program IDX Incubator, adalah beberapa upaya tersebut.

IDX Incubator pertama kali dimulai di Jakarta pada 2017, menyusul Surabaya dan Bandung pada setahun kemudian. Disebutkan saat ini memiliki 114 startup binaan, sebanyak 62 startup dari Jakarta, 24 startup dari Bandung, dan 28 startup dari Surabaya.

Sejauh ini, ada tiga startup binaan yang berhasil melantai. Mereka adalah PT Yelooo Integra Datanet Tbk (YELO), PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO), dan PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH). Pejabat bursa menyebut pada semester I ini akan ada dua startup binaan yang menyusul.

Secara terpisah, DailySocial menghubungi Head of IDX Incubator Saptono Adi Junarso terkait evaluasi IDX Incubator sejauh ini. Ia tidak memberikan jawaban spesifik seperti apa pembelajaran bursa. Dijelaskan bahwa pihaknya terus belajar dan berbenah agar program yang dijalankan semakin baik.

Dibutuhkan lebih banyak dukungan dari berbagai pihak guna mempersiapkan perusahaan menuju IPO. Tidak hanya dari lembaga profesi penunjang, tapi juga dari stakeholder lainnya seperti investor, pemerintah, dan komunitas.

“Kami senantiasa berusaha bekerja sama dengan instansi-instansi yang dapat mendukung lebih banyak lagi startup maupun perusahaan skala kecil menengah untuk go public,” katanya.

Salah satu penyesuaian yang dilakukan IDX Incubator adalah mengubah kurikulum agar lebih fokus membantu perusahaan dengan skala aset kecil dan menengah untuk mencatatkan sahamnya di BEI. Kurikulum ini dinamai “Road to IPO” yang berlaku sejak 2019.

Road to IPO memiliki kurikulum yang berisi training dan mentoring. Dengan pembeda seperti ini, IDX Incubator diklaim berada di posisi yang lebih strategis di ekosistem. Tidak tumpang tindih pula dengan program inkubator/akselerator lainnya.

“Untuk incubation program yang menekankan kepada pengembangan bisnis, sudah ada beberapa pemainnya. Nah kami ingin menjadi incubation program lanjutan untuk persiapan IPO,” kata Operational Manager IDX Incubator Aditya Nugraha.

Penyesuaian kurikulum ini berdampak pada pengetatan syarat startup binaan yang ingin bergabung. Salah satunya adalah startup yang sudah satu langkah di bawah proses IPO. Kendati demikian, mereka yang bergabung tidak harus berbentuk startup teknologi. UKM konvensional punya kesempatan yang sama.

Sumber: BEI
Sumber: BEI

Antusiasme masih minim

Selain tiga lulusan IDX Incubator yang berhasil melantai, mengutip laman BEI, ada 20 perusahaan teknologi yang sudah IPO. Bila melihat dari papan yang digunakan, tercatat ada lima perusahaan yang tercatat di papan akselerasi. Dua di antaranya adalah Cashlez dan Pigijo. Perusahaan teknologi lainnya tercatat mayoritas di papan pengembangan, lalu papan utama. Papan akselerasi itu sendiri sudah diresmikan BEI sejak 2019, termuat dalam Peraturan Nomor I-V.

Sumber: BEI
Sumber: BEI
Sumber: BEI
Sumber: BEI

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi menjelaskan, meski perusahaan di papan akselerasi masih bisa dihitung jari, bukan dalam artinya ini tidak sesuai dengan target yang dibidik BEI. Ia justru memandang bahwa BEI tetap prudent dalam menjalankan tugasnya. Tidak sembarang perusahaan yang bisa lolos seleksi.

“Kami lihat betul kondisi perusahaan dan bagaimana concern mereka terhadap prospek pertumbuhan ke depannya seperti apa. Ada mini expose untuk kami lihat dari sisi manajemen perusahaan dan prospektus business plan-nya terkonfirmasi atau enggak,” paparnya.

BEI cenderung lebih ketat dalam menilai perusahaan yang ingin masuk ke papan ini karena ada tanggung jawab untuk melindungi investor. BEI membuat parameter pengawasan yang berbeda karena papannya tersendiri. Di satu sisi, investor diharapkan sudah betul-betul paham dengan segala risiko membeli saham di sana, selain melihat potensi bisnis yang ditawarkan.

“Kami sudah wajibkan anggota bursa untuk menyampaikan disclaimer untuk setiap saham di papan akselerasi, interface-nya akan berbeda khusus untuk transaksi di sini. Ini sudah dilakukan oleh semua anggota bursa.”

Hasan menuturkan saat ini bursa menempatkan diri sebagai tempat yang inklusif dengan menawarkan sumber pendanaan alternatif melalui IPO. “Kan mungkin saja karena masih kecil [skala bisnisnya] masih sulit dapat sumber pendanaan dari [institusi keuangan] konvensional.”

Menurut ekonom sekaligus peneliti Indef Nailul Huda, bursa masih butuh waktu panjang untuk menumbuhkan antusiasme startup untuk melantai. Pada dasarnya IDX Incubator hanya sebatas sarana. Sukses atau tidaknya IPO tergantung kemampuan perusahaan itu sendiri.

“Saat ini ada equity crowdfunding sebagai alternatif IPO selain di BEI. Hal itu lebih memungkinkan karena jika di BEI ini prosesnya sangat ribet dan harus setor laporan keuangan terstandarisasi. Berat bagi mereka yang mungkin tidak memiliki staf bidang keuangan yang mumpuni.”

Hal lain yang mungkin memberatkan startup adalah menjaga harga saham. Banyak cerita perusahaan teknologi di Amerika Serikat yang justru harga sahamnya memburuk setelah IPO. Rata-rata mereka tidak memiliki jalur yang kuat untuk memastikan bagaimana perusahaan bisa untung ke depannya.

“[Sebab] yang dikejar kan hanya valuasi. Dihitung dari GMV dan besaran jangkauan subscriber. Model bisnisnya belum bisa menjelaskan bagaimana keuntungan ke depan.”

Nailul juga berpendapat, konsep harga saham tidak selalu mencerminkan kinerja perusahaan.

“Harga saham tinggi tapi fundamental perusahaan jelek sudah pasti banyak bermain dan pembeli irasional, hanya sebentar biasanya. Tapi kalau kinerja perusahaan dan fundamentalnya bagus harga saham akan cenderung meningkat. Salah satu contoh menarik [yang tidak mencerminkan kinerja perusahaan] adalah Gamestop.”

Seandainya tiga unicorn ini sukses masuk ke bursa, Nailul berpendapat belum tentu startup lainnya langsung terdorong untuk mengekor ke strategi yang sama. Mereka pasti memantau dari hasil listing. Kalau harga sahamnya oke di awal saja, artinya mereka hanya mencari cuan di awal. Setelahnya masa bodoh sama harga saham.

“Tentu akan menjadi patokan bagi perusahaan teknologi lainnya untuk tidak listing dulu. Tapi kalau hasilnya bagus pasti akan menjadi patokan bagi perusahaan lainnya juga untuk listing.”

Sumber: Traveloka
Sumber: Traveloka

Secara terpisah, dalam temu media yang diselenggarakan East Ventures (19/2), Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca memandang semua startup pada akhirnya harus tercatat di bursa, tapi tidak semua startup bisa melakukan itu karena masing-masing berada dalam tahap yang berbeda. Terlebih lagi, IPO hanyalah bagian dari cycle dari suatu perusahaan.

Bagi startup, keuntungan bisa tercatat adalah punya tambahan likuiditas dan memiliki kepatuhan yang sangat baik karena harus tunduk pada aturan bursa. Sementara itu, bagi investor, menjadi perusahaan terbuka itu adalah pembuktian validasi valuasi yang selama ini diukur sebelum melakuan investasi ke startup tersebut, apakah tepat atau tidak.

“Menurut saya startup mana yang harus listing? Semua startup harus listing karena ada validasi valuasi, likuiditas, dan compliance ditingkatkan. Tapi apakah semua startup bisa listing? Tidak bisa, karena untuk sampai ke titik itu butuh waktu. Kalau startup awal sibuk ke sana enggak akan bisa buat produk,” ucap Willson.

Persiapan serius lainnya

Bursa semakin serius mendorong unicorn masuk ke pasar modal dengan membuat sejumlah penyesuaian. Kehadiran mereka dianggap bisa mendorong gairah startup lain untuk listing.

Hasan menerangkan, mereka telah bertemu secara intensif dengan para stakeholder unicorn untuk berdiskusi tentang hal apa saja yang menjadi ganjalan. Permintaan pertama adalah keinginan untuk masuk ke papan utama karena memberikan lebih banyak nilai tambah untuk para investornya, ketimbang papan pengembangan atau akselerasi.

Hal ini memang masuk akal melihat valuasi masing-masing perusahaan layak untuk disejajarkan dengan perusahaan terbuka dengan kapitalisasi besar di Indonesia.

Sumber: Tokopedia
Sumber: Tokopedia

Untuk itu, BEI tengah memfinalisasi perubahan peraturan nomor I-A, nantinya aturan ini akan mengakomodasi berbagai karakteristik emiten, termasuk perusahaan teknologi untuk IPO. “Kita sih benar-benar ingin segera [aturan diberlakukan], tapi sekarang sedang proses pembahasan agar mendapat persetujuan dari OJK.”

Menurut aturan bursa yang berlaku saat ini, ada kewajiban perusahaan yang berniat masuk ke papan utama adalah memiliki tangible assets (aset yang berwujud bersih). Sementara itu, karakteristik dari startup adalah kepemilikan intangible assets yang lebih besar dari tangible assets. Maka dari itu bursa akan memberikan aspek pengukuran lainnya, seperti pendapatan dan market utilisasi.

“Kami tidak memungkiri kenyataan dulu belum terakomodir untuk perusahaan seperti mereka yang pengembangan strateginya berbeda dengan perusahaan pada umumnya.”

Hal kedua yang menjadi perhatian dan sudah disiapkan bursa adalah klasifikasi sub-sektor yang sesuai dengan bisnis dari para unicorn. Pihak bursa meluncurkan IDX Industrial Classification (IDX-IC) pada 25 Januari lalu. Klasifikasi ini mengubah klasifikasi bursa yang dipakai sebelumnya sejak 1996, yakni Jakarta Stock Industrial Classification (JASICA). Proses transisi dilaksanakan selama tiga bulan.

IDX-IC menggunakan metode pengelompokkan berdasarkan eksposur pasar atas barang atau jasa akhir yang digunakan perusahaan tercatat, bertujuan untuk memberikan panduan bagi para pengguna terkait kelompok perusahaan dengan eksposur pasar yang sejenis.

Pembagiannya lebih mendetail dalam empat tingkat, yakni sektor, subsektor, industri, dan subindustri. Adapun JASICA selama ini mengelompokkan emiten per sektor berdasarkan prinsip aktivitas ekonomi, sehingga pembagiannya hanya dua tingkat, yakni sektor dan subsektor.

Hasan menerangkan, IDX-IC menggunakan benchmark yang dipakai bursa global, termasuk mirip dengan indeks-indeks yang diterbitkan pihak swasta seperti Bloomberg.

Investor global akan lebih senang kalau saham yang mereka tanamkan untuk perusahaan dapat dibandingkan dengan kelompok industri sejenis di negara lain. Ketika dibandingkan berdasarkan sektornya jadi lebih apple-to-apple untuk melihat pertumbuhan atau kinerja dari peer-nya.

“Sehingga sekarang jadi lebih comparable. Perusahaan yang sudah listed juga dapat manfaatnya karena tadinya masuk kategori yang umum, ada yang masuk ke jasa atau trading, sekarang sudah ada subsektor sport hingga entertainment yang lebih cocok di bidangnya.”

Permintaan terakhir terkait potensi penerapan beberapa aturan, seperti hak khusus para founder melakukan dual class share dengan cara memberikan bobot pemungutan suara (vote) yang berbeda antara pemegang saham pendiri dan pemegang saham publik. Lalu penerapan skema multiple voting share atau satu saham milik founder punya memiliki hak yang lebih besar dari saham biasa dalam hal pengambilan keputusan.

Saptono menambahkan, dalam menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah ini, BEI tidak hanya fokus meningkatkan sisi supply, tapi juga dari demand investasi dari para sophisticated investor untuk perusahaan-perusahaan teknologi, seperti modal ventura, private equity, maupun investor lainnya dengan melakukan engagement dan mengajak mereka masuk ke pasar modal Indonesia.

Dual listing

Dual listing bukan hal baru di dunia bursa global, namun di Indonesia strategi ini jarang dipilih kebanyakan perusahaan. Perusahaan teknologi global, seperti Alibaba dan Sea Group, memilih bursa Amerika Serikat karena di sana adalah pasar saham terbesar di dunia. NYSE (New York Stock Exchange) adalah yang terbesar, disusul NASDAQ yang komposisinya dihuni perusahaan teknologi.

Di NYSE misalnya, jutaan saham dapat berpindah tangan antara pembeli dan penjual per detiknya. Karena volume pertukaran yang tinggi, maka relatif mudah proses transaksinya. Dengan kata lain pasar saham A.S sangat likuid dengan biaya transaksi yang rendah.

Sejauh ini perusahaan lokal yang melantai di bursa global masih bisa dihitung jari. Mengutip dari Bisnis.com, sejumlah BUMN yang melakukan dual listing ada Indosat, Telkom Indonesia, Aneka Tambang, dan Timah. Hanya Telkom dan Antam yang masih melakukan strategi ini sampai sekarang.

Telkom sudah tercatat di NYSE sejak 25 tahun lalu. Perjalanannya tidak selalu mulus. Mereka sempat terancam delisting karena tidak dapat memenuhi batas akhir penyampaian audit laporan keuangan tahun 2002.

Head of Research Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Suria Dharma berpendapat dual listing punya dampak positif bagi perusahaan pada umumnya karena bisa memiliki akses ke sumber pendanaan yang lebih besar. Meskipun demikian, di balik itu ada harga yang harus dibayar, yakni peraturan dan pelaporannya seringkali lebih ketat daripada di dalam negeri.

Sementara bagi unicorn, karena mereka diprediksi punya kapitalisasi pasar yang besar, skema dual listing ini diperkirakan membuat potensi penyebaran ke calon investor juga jauh lebih besar. Alhasil dana segar yang bisa diraup lebih besar.

Dia menggambarkan pergerakan harga saham bagi perusahaan yang dual listing itu saling menyesuaikan satu sama lain. “Dulu seringkali mengikuti harga di luar negeri, tapi sekarang malah kebalikannya lebih sering mengikuti harga di Indonesia. Mungkin karena semakin banyak info yang lebih dahulu diketahui investor di Indonesia.”

Willson menambahkan, dual listing yang akan dilakukan unicorn lokal dapat menggabungkan dua hal yang terbaik, masuk ke bursa AS dan lokal. “Ini berhubungan dengan nasionalisme. Kalau bisa dual, tentu pasar lokal akan lebih bergairah. Harus ke AS karena di sana capital market-nya besar sekali, jadi ini menggabungkan the best of both.”


Gambar header: Depositphotos.com

Jalan menuju industri keuangan, perbankan, dan fintech yang terintegrasi kian menjanjikan menggunakan konsep open banking atau open API

Mendorong Implementasi “Open API” Perbankan di Indonesia

Dengan semakin maraknya saluran dan aplikasi digital di sektor finansial, generasi modern sekarang sudah jarang mengunjungi cabang bank lokal untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka. Masyarakat ingin mengakses layanan perbankan bukan di mana bank berada, tetapi di mana mereka berada. Perbankan kini berinovasi dengan customer journey dan multi-channel yang semakin modern.

Kemunculan permintaan baru ini, dikombinasikan dengan kemunculan teknologi perangkat lunak yang semakin inovatif, menciptakan bentuk keuangan baru yang disematkan melalui application programming interfaces (API) yang memungkinkan layanan bank dan data konsumen terintegrasi pada aplikasi pihak ketiga.

Pengamat ekonomi INDEF Nailul Huda menyampaikan bahwa open API sebenarnya bukan barang baru dalam ekosistem keuangan global namun masih baru di ekosistem keuangan di Indonesia. Lalu, mengapa open API menjadi penting dalam evolusi sektor perbankan?

Implementasi open API perbankan

Pada tahun 2010, pembuat kebijakan Inggris dan Eropa membuat peraturan yang mewajibkan bank untuk membuka data dan layanan kepada pihak ketiga secara aman untuk mendorong inovasi yang akan mengubah dan menciptakan produk keuangan yang lebih baik bagi konsumen. Hal ini menghasilkan investasi yang lebih besar di ekosistem fintech, karena banyak pengusaha dan investor mengambil kesempatan untuk melakukan revolusi perbankan dengan dukungan infrastruktur yang ada.

Inisiatif ini juga disebut open banking atau perbankan terbuka, yang dikeluarkan di Inggris dengan peraturan Perbankan Terbuka Inggris dan di benua Eropa dengan Petunjuk Layanan Pembayaran 2 (PSD2). Beberapa pemimpin industri memahami potensi bisnis yang menarik, tetapi tidak sedikit yang memilih untuk mempertahankan status quo.

Source: BLUEPRINT SISTEM PEMBAYARAN INDONESIA 2025
Source: Blueprint sistem pembayaran Indonesia 2025

Di Indonesia sendiri, pengembangan open banking melalui API telah diimplementasi oleh beberapa bank, termasuk BCA, BRI, Permata Bank, BNI, CIMB Niaga, dan Mandiri.

Tahun 2016 menjadi momen awal perbankan membuka diri ke ekosistem dalam bentuk API. Saat itu, BCA, melalui Finhacks 2016, sebuah upaya percepatan inovasi digital Indonesia di bidang financial technology (fintech). Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan ketersediaan API ke komunitas pengembang di Indonesia.

Selanjutnya, BRIAPI memungkinkan konsumen bisnis melakukan transaksi dan mengakses informasi mengenai produk-produk BRI langsung dari aplikasi, mulai dari fitur pembayaran lewat virtual account dan Direct Debit, fitur isi ulang saldo BRIZZI, hingga fitur pengecekan lokasi Kantor Cabang dan lokasi E-Channel BRI. Di sisi internal perusahaan, open API BRI juga memudahkan proses pengecekan saldo dan mutasi rekening bisnis, hingga melakukan transfer baik menuju rekening BRI maupun bank lainnya.

Salah satu BUMN yaitu Bank Mandiri belum lama ini juga mengenalkan layanan Mandiri Application Programming Interface (API) yang menyasar pasar pelaku bisnis digital, seperti financial technology (fintech) dan e-commerce, yang sedang tumbuh di Indonesia. Mandiri API memiliki 13 fitur sandboxing serta 3 fitur by call untuk top up e-money, direct debit, dan seller financing. Platform ini dapat diakses oleh pelaku bisnis digital untuk mencari informasi produk, melakukan pengembangan dan uji coba, serta integrasi produk dan layanan perbankan Bank Mandiri langsung melalui situs ataupun aplikasi mereka.

Selain itu, open API juga bisa mempecepat proses interlink antar perbankan dan layanan jasa keuangan lainnya seperti fintech pembayaran, fintech p2p lending, ataupun jenis fintech lainnya.

Sejumlah bank juga secara progresif menjalin kolaborasi dengan fintech. Sejak tahun 2018, BRI sudah memulai kerjasama dengan menyalurkan pendanaan melalui platform fintech Investree dan Modal Rakyat. Startup fintech Modalku juga telah bekerja sama dengan Bank Sinarmas sebagai bank kustodian yang akan berwenang untuk menampung dana pemberi pinjaman untuk bisa meningkatkan keamanan dan transparansi dana.

Pada dasarnya, implementasi open API di Indonesia bertujuan sama. Menyongsong era ekonomi digital dan inklusi finansial. Diharapkan dengan tersedianya berbagai fitur ini akan mendorong terjadinya perubahan besar di ekosistem perbankan nasional.

Pandemi picu akselerasi digital dan keterbukaan

Menurut survei yang diadakan Comscore bertajuk “COVID-19 and its impact on Digital Media Consumption in Indonesia”, tertera data-data tentang jumlah pengguna internet yang semakin meningkat di masa pandemi. Masyarakat mulai mengurangi interaksi dan transaksi langsung, serta lebih memilih untuk mencukupi segala kebutuhan secara daring.

Semakin berkembangnya sektor e-commerce yang menjadi lokomotif industri digital di Indonesia telah memicu perbankan untuk mendorong adopsi Open API yang lebih masif.

Dengan adanya API, nantinya konsumen yang melakukan pembelian produk di market place dapat memilih opsi kanal pembayaran dari transfer virtual account. Market place yang bekerja sama dengan payment gateway menyediakan opsi pembayaran, yang nantinya akan terjadi pertukaran data dari kedua belah pihak dan terhubung ke bank sebagai penyedia uang elektronik.

Dengan masa depan indah yang diproyeksikan melalui implementasi open API, kenyataannya masih banyak perbankan yang belum berbenah menghadapi era digitalisasi dan adanya disrupsi yang ditimbulkan oleh pelaku layanan jasa keuangan innovative seperti fintech. Akibatnya proses perkembangan open API masih terhambat.

Tantangan yang dihadapi

Dalam pengembangannya, teknologi open banking di Indonesia kerap mendapat pandangan pesimis dari beberapa pihak. Pasalnya teknologi ini memungkinkan terjadinya tindakan moral hazard yang bisa mengancam aspek perlindungan konsumen. Aspek ini merupakan pedoman yang harus diutamakan bagi industri jasa keuangan dalam berbisnis.

Sudah sewajarnya perbankan sangat berhati-hati dalam masalah tata kelola data, hal ini kerap menjadi alasan mereka belum siap untuk menghadapi perbankan era digital dan keterbukaan informasi. Salah satu alasannya memang sistem keamanan data yang dimiliki perbankan [terutama bank kecil dan bank daerah] yang belum memadai. Ada rasa khawatir yang besar akan terjadinya penyalahgunaan data.

Dalam hal ini, regulator memiliki peran kunci yang harus segera dipentaskan –  standardisasi API kemungkinan akan menjadi syarat utama kesuksesan. Sebaliknya, kurangnya standar umum akan menghambat kemajuan dan menambah beban.

Anton Himawan, Head of Digital Business Development Bank CIMB Niaga, mengatakan, “Di antara tantangan yang dihadapi perbankan yaitu belum adanya aturan baku tentang implementasi Open Banking, sehingga membuat Bank wajib mengacu pada aturan-aturan yang sudah diterapkan sebelumnya yang mungkin tidak lagi cocok.”

Maka diperlukan sebuah peraturan yang setara undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi. Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai UU Perlindungan Data Pribadi yang bisa menjadi pedoman.

“Apabila UU Perlindungan Data Pribadi disahkan maka saya yakin perbankan nasional akan menuju sebuah era baru keterbukaan informasi. Saya rasa peluang penerapan open banking akan semakin kajadian apabila UU Perlindungan Data Pribadi disahkan,” tambah Nailul.

Masa depan open API

Pada akhir bulan Juli lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan akan mengeluarkan standar Open Application Programming Interface (API) untuk mendorong kolaborasi perbankan, dan perusahaan teknologi finansial (fintech). Kolaborasi perbankan dan fintech melalui standar Open API diharapkan dapat mewujudkan ekosistem layanan keuangan yang inklusif.

Standar Open API dibutuhkan untuk mendorong adopsi open banking yang mendukung tercapainya layanan pembayaran yang efisien, aman, dan handal;  meningkatkan inovasi dan kompetisi; mendorong inklusi keuangan termasuk pembiayaan kepada UMKM; mengurangi risiko shadow banking; serta mendorong terciptanya ekosistem Open API yang berintegritas.

Penerapan standar open API ini akan dilakukan secara bertahap mempertimbangkan keberagaman dalam industri sistem pembayaran di Indonesia. Tahapan tersebut disebutkan akan dilakukan baik dari sisi pelaku maupun waktu implementasi, dengan mempertimbangkan aspek ukuran dan kompleksitas bisnis.

“Kami melihat pada akhirnya Open Banking akan menjadi sebuah keharusan bagi industri perbankan. Ke depan, kompetisi terkait Open Banking tidak hanya terkait fitur dan ketersediaan teknologi, yang lebih penting adalah bagaimana pihak-pihak yang berkolaborasi dapat memanfaatkan Open Banking secara maksimal baik dari sisi layanan maupun model bisnis yang tepat bagi masyarakat,” ujar Anton.