Tag Archives: Nalagenetics

NalaGenetics Preventive Healthcare

Inovasi “Preventive Healthcare” NalaGenetics dan Potensinya dalam Merevolusi Layanan Kesehatan

NalaGenetics adalah startup biotech yang berusaha merevolusi layanan kesehatan melalui inovasi di bidang genomik. Lewat layanan tes DNA terjangkau yang dimiliki, mereka berupaya memberdayakan setiap individu agar bisa membuat keputusan tepat untuk kesehatan mereka. Ini termasuk dengan memberikan rekomendasi terpersonalsiasi tentang pilihan nutrisi dan obat-obatan sesuai dengan genetika tubuhnya.

Berlandaskan data hasil tes DNA tersebut, layanan yang dimiliki NalaGenetics terus diperluas. Belum lama ini kapabilitas mereka diperluas dengan melahirkan tes prediksi risiko kanker payudara bernama MammoReady — dinilai sebagai yang paling komprehensif di Asia Tenggara. Ini adalah inovasi yang sangat penting dalam dunia medis, karena dengan melakukan deteksi dini akan kanker tersebut penyitas bisa memiliki tingkat kelangsungan hidup hingga 98%.

Seperti diketahui, dari data Globocan seperti dikutip Kemenkes, pada tahun 2020 tercatat jumlah kasus baru kanker payudara mencapai 68.858 kasus (16,6%) dari total 396.914 kasus baru kanker di Indonesia. Adapun jumlah kematiannya mencapai lebih dari 22 ribu jiwa. Angka ini menjadikan penyakit ini sebagai salah satu penyumbang kematian tertinggi di Indonesia.

Menariknya, banyak hal yang sebenarnya bisa dieksplorasi melalui data DNA manusia. DailySocial.id berkesempatan untuk berbincang dengan Co-Founder & COO NalaGenetics Astrid Irwanto, PhD.

Pengembangan solusi genomik

NalaGenetics sendiri didirikan oleh 4 orang founder: Levana Sani (CEO), Astrid Irwanto (COO), Alexander Lezhava, dan Jianjun Liu. Keempatnya bertemu saat melakukan riset di Genome Institute of Singapore bagian dari A*STAR.

Petualangan mereka dimulai saat para founder mengerjakan sebuah proyek di Papua bermitra dengan Kemenkes tahun 2016 untuk mendistribusikan seribu alat tes genetik di 5 desa di Papua dan Papua Barat. Hasil pengujiannya menemukan bahwa 20% pasien kusta di sana membawa gen yang bertanggung jawab atas reaksi yang berpotensi fatal terhadap Dapson (obat anti kusta); penemuan ini akhirnya membantu dokter memutuskan pasien yang dapat dirawat dengan aman dengan antibiotik.

Sejak itu, mereka berminat untuk membuat layanan itu bisa berdampak lebih luas dengan bekerja sama dengan dokter, rumah sakit, dan peneliti di Jakarta dan Singapura. Debut awalnya menjadi semakin mantap saat tahun 2018 lalu NalaGenetics membukukan seed funding. Mereka berhasil melakukan proof-of-value project bersama sejumlah rumah sakit dan institusi kesehatan di Indonesia dan Singapura.

“Nalagenetics bergerak di bidang preventive health dari sisi genomik. Kami mulai dari pemberian rekomendasi untuk obat-obatan yang tepat untuk seseorang berdasarkan DNA (farmakogenomik) dan juga nutrisi, vitamin, mineral yang tepat untuk seseorang berdasarkan DNA mereka (nutrigenomik). Untuk prediksi risiko seseorang terhadap penyakit, fokus kami di penyakit kronis. Selain kanker payudara, kami akan meluncurkan tes prediksi risiko untuk beberapa kanker lain, penyakit kardiovasuler, serta penyakit neurodegenerative seperti Parkinson’s Disease. Semuanya akan kami sesuaikan dengan etnik populasi Asia,” jelas Astrid kepada DailySocial.id.

Putaran Nilai Investor
Seed $1 juta East Ventures, Intudo Ventures, dan beberapa angel investor
Seri A $12,6 juta Intudo Ventures, Vulcan Capital, DxD Hub, A*STAR, Dexa International, Diagnos Laboratories, East Ventures, AC Ventures, GDP Venture, dan angel investor

Menurut hasil laporan yang dirangkum ResearchAndMarkets, pangsa pasar layanan genomik global telah mencapai $33,25 miliar pada 2022 dan akan terus bertumbuh sampai $441,35 miliar pada tahun 2023 mendatang (CAGR 19,4%). Dampak yang semakin nyata dirasakan di sektor biomedis dan kedokteran menjadikan solusi berbasis genomik semakin mudah diterima pasar, di tengah perhatian masyarakat yang lebih baik terhadap kesehatan pasca-pandemi Covid-19.

Merekomendasikan obat dan nutrisi yang tepat

Ada sejumlah produk yang saat ini sudah dikomersialkan oleh NalaGenetics. Pertama ada RxReady™, merupakan layanan tes DNA untuk membuka profil genetik konsumen (farmakogenomik). Tes farmakogenomik menganalisis susunan genetik unik setiap pasien untuk memberikan informasi yang dipersonalisasi tentang obat mana yang paling efektif bagi pasien dan membantu menghindari reaksi obat yang merugikan.

Hasil pengujian ini akan menghasilkan laporan komprehensif (sekitar 200an halaman: contoh laporan) yang berisi ringkasan upaya tindak lanjut, rekomendasi, pembuktian ilmiah, informasi genom, hingga laporan obat individu. Dengan lebih dari 180 jenis obat di panel NalaGenetics, tes farmakogenomik dapat mengurangi peluang reaksi obat yang merugikan hingga 24%.

Contoh hasil laporan tes genetik untuk merekomendasikan penggunaan obat untuk pasien / NalaGenetics
Contoh hasil laporan tes genetik untuk merekomendasikan penggunaan obat untuk pasien / NalaGenetics

“Saat ini kita ada dokter khusus di lab/klinik NalaGenetics yang dapat membantu memberikan konsultasi terhadap hasil tes [..] jumlahnya masih terus diperbanyak. Kami juga memberikan kesempatan training ke dokter yang ingin bisa baca laporan farmakogenomik ini. Jadi kita tidak ingin, setelah tes tidak ada follow up, tapi kami ada layanan yang memungkinkan pasien untuk satu atau beberapa kali berkonsultasi langsung ke dokter,” jelas Astrid.

Kendati tes genomik ini hanya perlu dilakukan satu kali seumur hidup, namun rekomendasi yang diberikan akan terus diperbarui berdasarkan bukti ilmiah terbaru. Untuk itu laporan tersebut juga dikemas dalam mobile apps yang saat ini sudah dirilis agar memudahkan pengguna mendapatkan info terkini tentang analisis terhadap DNA-nya.

“Sekarang kami juga sudah jalan dengan RSCM untuk membantu pasien depresi. Biasanya pasien akan diberikan obat setelah melakukan konsultasi dengan dokter, lalu sekitar 2 minggu lagi akan dicek apakah obat itu memberikan dampak atau tidak, jika tidak akan diberikan dosis atau jenis obat yang berbeda. Dengan farmakogenomik, NalaGenetics menghadirkan solusi yang lebih cost-effective dengan merekomendasikan obat yang lebih tepat ke pasien,” ujar Astrid.

Layanan berikutnya dari NalaGenetics adalah NutriReady™, yakni tes DNA yang dilakukan untuk membantu mempersonalisasi asupan nutrisi tubuh berdasarkan keunikan DNA. Laporan dari hasil tes ini sekitar 24 halaman (contoh laporan), memberikan informasi seperti intoleransi makanan, nutrisi apa yang lebih dibutuhkan tubuh, hingga personalisasi meal plan. Dari studi yang dilakukan, 67% orang mencapai tujuan kesehatannya dengan mengetahui nutrisi tubuh dari DNA.

Selain itu ada sejumlah produk lain yang saat ini turut dijajakan NalaGenetics, di antaranya:

  • MammoReady™ adalah tes DNA yang dapat membantu pasien memahami risiko kanker payudara, memungkinkan mereka untuk mengambil tindakan pencegahan guna menghindari hasil yang tidak diinginkan di masa depan.
  • QuickSpit™ adalah tes RT-PCR menggunakan air liur yang bertujuan untuk membuat pengujian PCR lebih mudah dan nyaman bagi pasien.
  • Nala PGx Core® adalah panel uji multi-gen yang dirancang untuk menganalisis empat farmakogen penting (CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6 dan SLCO1B1).
  • Nala Clinical Decision Support™ adalah software untuk menginterpretasi genetik, yang dibangun dengan standar ISO untuk kualitas pengembangan produk, keamanan, dan kerahasiaan.

Grant penting untuk penelitian biotech

Terkait dengan genomik Astrid berpendapat, dari sisi teknologi saat ini perkembangannya cukup pesat. Sementara yang masih menjadi tantangan justru awareness di sisi masyarakat. Selama ini preventive healthcare masih belum banyak diminati — jarang yang memiliki alokasi budget khusus untuk mengakses layanan ini.

Untuk memasyarakatkan preventive healthcare di Asia Tenggara, khususnya pengujian genomik, dibutuhkan sinergi yang baik antara sektor publik dan privat dengan berbagai skenario. Termasuk misalnya kemitraan B2B dengan pemain asuransi atau integrasi dengan program kesehatan pemerintah.

Tamu ahli NalaGenetics, dr. Lonah, Sp.FK memberikan tips untuk mencegah efek negatif obat-obatan melalui tes DNA / NalaGenetics
Tamu ahli NalaGenetics, dr. Lonah, Sp.FK memberikan tips untuk mencegah efek negatif obat-obatan melalui tes DNA / NalaGenetics

“Kami secara konsisten melakukan banyak sekali awareness training kepada klinisi dan masyarakat umum melalui webinar, seminar, dan media sosial. Kami pun berusaha memperluas jangkauan melalui kerja sama dengan perusahaan yang memang ada budget untuk melakukan health screening pada staf mereka. Semoga kami juga bisa ikut dalam Health Technology Assessment dari pemerintah Indonesia di waktu dekat supaya mulai bisa di-reimburse juga dari sisi pemerintah,” imbuh Astrid.

Di sisi lain, pengembangan solusi genomik juga membutuhkan biaya besar untuk riset. Mekanisme grant (baik dari pemerintah dan swasta) menjadi salah satu amunisi penting untuk menjalankan mesin inovasi tersebut. Sayangnya waktu itu memang grant untuk penelitian klinis di bidang bioteknologi belum banyak di Indonesia.

Grant ini penting sekali dalam melangsungkan validasi klinis dari teknologi dan algoritma bioinformatika yang kami buat serta melakukan pilot implementasi di klinik. Untuk melangsungkan aktivitas tersebut dibutuhkan sampel yang cukup banyak dan biaya yang cukup besar,” jelas Astrid.

Kemudian NalaGenetics bekerja sama dengan sejumlah firma riset, termasuk di Singapura, untuk bisa mengakses grant tersebut untuk kebutuhan penelitian dan pengembangan produknya.

“Karena grant ini semua dari pemerintah Singapura, kolaborasi kami juga selalu dengan menggandeng key opinion leader dari instansi klinis pemerintah, recruitment pasien dari instansi klinis tersebut, dan hasilnya adalah suatu publikasikan bersama dan peluncuran servis dengan mereka. Ini berkaitan erat juga dengan adanya upaya pemerintah Singapura dalam proyek National Precision Medicine sehingga pilot ini pun menjadi proof of concept untuk scale up di skala nasional,” imbuh Astrid.

Astrid juga bercerita bagaimana Enterprise SG (unit pengembangan inovasi di bawah Kementerian Perdagangan Singapura) setempat memberikan dukungan menyeluruh untuk pengembangan inovasi NalaGenetics.

“Sedari awal kami sangat terbantu, terutama dari segi mengembangkan tim yang masih kecil. Karena Enterprise SG ada grant yang namanya T-UP untuk hire 2 talent selama 2 tahun dengan subsidi 70%, ini sangat membantu. Berikutnya adalah standards adoption grant yang bentuknya bisa berupa penambahan sertifikasi seperti ISO 13485 dan ISO 27001 yang memberikan kredibilitas kami kepada klien dan juga membuka akses ke market lain.”

Ia melanjutkan, “Kami juga mendapatkan market akses grant ke Eropa, USA serta program immersion ke Australia dan Cina berkat ketersediaan grant dari Enterprise SG juga. Selain itu kami diberi akses ke venture capital yang bekerja sama dengan mereka serta kesempatan berkolaborasi dengan partner private maupun government. Semua ini sangat membantu pengembangan produk dan bisnis di NalaGenetics.”

Mendukung inovasi genomik di Indonesia

Jajaran founder NalaGenetics / NalaGenetics
Jajaran founder NalaGenetics / NalaGenetics

NalaGenetics didirikan oleh jajaran founder dengan pengalaman yang cukup solid untuk menghasilkan inovasi. Astrid sendiri merengkuh strata doktoral di bidang Human Genetics, di NUS. Ia sempat bekerja di beberapa firma penelitian yang tidak jauh dengan dunia biomedis.

“Mempunyai co-founding yang solid dengan complementary skills itu penting sekali. Adanya suatu inovasi canggih dan berguna bagi masyarakat tapi kalau ilmuannya itu harus memajukan teknologi itu sendiri akan sangat sulit. NalaGenetics ini bisa lahir karena ada 4 orang di tim kami dengan kemampuan yang saling melengkapi, termasuk CEO kami Levana Sani yang memang berlatar belakang science dan juga bisnis, yang bantu mematangkan model bisnisnya dan fundraising,” jelas Astrid.

Ia melanjutkan, “Lalu Dr. Liu Jianjun co-founder & advisor kami yang saat ini adalah Executive Director dari Genome Institute of Singapore yang mengerti landscape genomics, koneksi dengan key opinion leader dan B2G partnerships. Dan terakhir Dr. Alexander Lezhava yang juga adalah co-founder & advisor kami mengerti cara membuat kit in-vitro diagnostic serta penyediaan layanan tes klinis.”

Saat ini NalaGenetics juga telah didukung 50 staf di Indonesia dan 25 staf di Singapura. Sekitar separuhnya adalah tim R&D.

Soliditas dan pemahaman mendalam tentang genomik tersebut juga akhirnya ingin dibawa lebih dalam ke Indonesia. Pertengahan Oktober 2023 lalu, bersama salah satu investor utamanya yakni East Ventures, NalaGenetics mengumumkan komitmennya untuk mendukung analisa sampel genomik di Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi).

NalaGenetics akan bekerja sama dengan BGSi dengan transfer ilmu dan keahlian dalam melakukan sequencing. Kerja sama ini diharapkan dapat menciptakan inovasi produk baru berbasis data genetik lokal dalam memanfaatkan potensi dari data genomik populasi Indonesia.

Penandatanganan nota kesepahaman antara BGSi, East Ventures, dan NalaGenetics / East Ventures

Di sisi lain, saat ini NalaGenetics juga terus memperbanyak cakupan klinik dan kerja sama dengan ekosistem kesehatan di Indonesia untuk makin memasyarakatkan solusi berbasis genomik tersebut. Terbaru, mereka akan segera meresmikan klinik di daerah Fatmawati, Jakarta untuk memberikan akses tes DNA dan layanan konsultasi komprehensif kepada masyarakat.

“Tes DNA bisa dilakukan di mana saja. Tapi yang dikembangkan NalaGenetics adalah algoritmanya, ini yang kami jual ke lab/klinik. Algoritma ini memungkinkan kita untuk mendapatkan hasil analisis yang lengkap dari tes DNA tersebut [..] Ke depan kami juga akan terus memperdalam kerja samad dengan Kemenkes di Indonesia supaya preventive healthcare ini semakin terjangkau untuk masyarakat kita,” ujar Astrid.

Selain di Indonesia dan Singapura, NalaGenetics juga berkomitmen untuk bisa menjangkau pasar regional. Ambisi ini disampaikan saat mereka mendapatkan pendanaan seri A Maret 2022 lalu. Dana segar yang didapat akan dimaksimalkan untuk ekspansi, dengan negara tujuan berikutnya adalah Malaysia. Upaya ini di tengah momentum pertumbuhan pasar pengujian genetika yang sangat cepat di kawasan Asia.

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Seri A Nalagenetics

Nalagenetics Umumkan Pendanaan Seri A 181 Miliar Rupiah

Startup pengembang produk dan layanan pengujian genetik Nalagenetics mengumumkan telah menutup putaran pendanaan seri A senilai $12,6 juta atau setara 181 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Intudo Ventures dan Vulcan Capital, didukung sejumlah investor termasuk Diagnostics Development Hub (DxD Hub) melalui Agency for Science, Technology and Research’s (A*STAR) A*ccelerate Technologies Pte Ltd, Dexa International, Diagnos Laboratories, East Ventures, AC Ventures, dan sejumlah angel investor — termasuk salah satu eksekutif platform e-commerce lokal.

Sebelumnya mereka telah membukukan pendanaan tahap awal pada November 2018 lalu senilai $1 juta. Berbekal dana investasi tersebut, Nalagenetics secara agresif mengembangkan solusi pengujian genetika menyeluruh, yang memungkinkan pencegahan penyakit. Melalui perangkat lunak dan solusi genetiknya, mereka memberdayakan profesional di bidang kesehatan untuk menerapkan pengujian prediktif dan pra-gejala guna pencegahan atas kondisi kronis.

Solusi awal yang dihadirkan Nalagenetics adalah kit genotipe yang terjangkau dan solusi bioinformatika untuk interpretasi data genetik. Seiring perkembangannya, kini mereka turut menawarkan ragam solusi mencakup pembuatan, penerapan, dan integrasi informasi genetika dalam sistem perawatan kesehatan. Dengan salah satu platform berjuluk “Clinical Decision Support” untuk lab-lab kesehatan.

Di luar perangkat lunak, layanan Nalagenetics mencakup protokol lab basah, algoritma bioinformatika, rekomendasi klinis, dan koneksi API, untuk memberdayakan rumah sakit dan laboratorium agar menjalankan layanan pengujian genetik yang efektif.

Selain itu, Nalagenetics telah mendukung pemerintah dan sektor swasta selama pandemi Covid-19, meningkatkan pengujian untuk pasien di seluruh penjuru Indonesia.

Lanjutkan ekspansi regional

Saat ini Nalagenetics melayani pasar utamanya di Indonesia dan Singapura. Selanjutnya melalui dana segar yang didapat, perusahaan akan melanjutkan ekspansi ke Malaysia dan sejumlah negara lain tahun ini. Perusahaan juga telah bermitra strategis dengan lebih dari 40 rumah sakit dan klinik kesehatan. Selain ekspansi, pengembangan produk juga akan menjadi fokus utama.

Nalagenetics telah mengembangkan modul klinis untuk farmakogenomik, nutrigenomik, dan prediksi risiko kanker payudara. Kemudian berencana untuk mengembangkan modul baru seputar skor risiko poligenik untuk mengatasi kondisi kompleks dan pembunuh terbesar di Asia Tenggara, yang mencakup penyakit kardiometabolik, kanker, dan kondisi neurodegeneratif.

“Kami bersemangat untuk terus mengadvokasi pengembangan skrining genetik hemat biaya untuk personalisasi resep dan skrining untuk kardiovaskular, neurodegeneratif, dan kanker sebagai pembunuh terbesar di Asia Tenggara. Karena momentum untuk pengujian genetik dan adopsi perawatan berbasis nilai semakin meningkat, kami melihat banyak minat dari rumah sakit dan penyedia layanan yang sebelumnya tidak ada,” kata Co-Founder & CEO Nalagenetics Levana Sani.

Pertumbuhan pasar yang signifikan

Menurut data yang disampaikan, Asia menjadi pasar pengujian genetika dengan pertumbuhan tercepat. Namun, masih ada ruang yang signifikan untuk pertumbuhan, karena saat ini hingga 80% dari semua penemuan genetik terus ditemukan terutama pada populasi Kaukasia.

Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip mengatakan, “Populasi lokal membutuhkan solusi lokal dalam mengatasi masalah terkait genetika. Indonesia, dan lebih luas lagi di Asia Tenggara, telah lama menjadi pasar yang kurang terlayani untuk pengujian genetika. Dengan solusi yang disesuaikan dengan konteks lokal, Nalagenetics mengintegrasikan produk dan layanan yang ditargetkan ke dalam sistem perawatan kesehatan lokal untuk menawarkan layanan pengujian genetika dan analitik untuk pasien yang tidak memiliki akses ke layanan tersebut.”

Kendati demikian, di Indonesia memang belum banyak startup yang bermain di ranah ini. Kebanyakan kebutuhan akan pengujian genetika atau biomedis lainnya baru di tangani lab-lab konvensional – yang biasanya membutuhkan biaya lebih besar untuk penggunaan layanannya. Startup biotech lain yang telah hadir dan juga mendapatkan pendanaan dari pemodal ventura adalah Nusantics. Selama pandemi salah satu inovasi yang mereka gencarkan ialah menghadirkan alat pengujian Covid-19 yang ramah di kantong.

Pasar startup bioteknologi dan life science masih sangat niche namun memiliki potensi besar. Sejumlah investor mulai memberikan dukungannya

Mendukung Pertumbuhan Startup Bioteknologi dan “Life Science” Indonesia

Salah satu sektor yang masih sangat niche di Indonesia adalah sektor biotech (bioteknologi) dan life science. Dengan aturan yang begitu kompleks, tidak banyak pemain baru yang ingin masuk ke sektor ini. Angin segar hadir ketika selama setahun terakhir mulai hadir startup-startup yang mendapat dukungan investor untuk mencoba memberikan warna baru. Sebut saja startup seperti Nusantics, Nalagenetics, dan Sensing Self.

DailySocial mencoba memahami seperti apa peluang, tantangan, dan masa depan startup bioteknologi dan life science saat ini. Lebih jauh, bagaimana dukungan investor menyikapi dan menangkap peluang yang ada.

Pasar yang “niche”

Tim Nalagenetics
Tim Nalagenetics

Bagi Nalagenetics, salah satu portofolio East Ventures, menjadi tantangan tersendiri untuk mulai mengembangkan bisnis di Indonesia. Startup yang didirikan oleh Jianjun Liu, Astrid Irwanto, Alexander Lezhava, dan Levana Sani ini hadir menyediakan layanan tes genetik berbiaya murah yang disesuaikan pasar Asia. Penetrasi bisnisnya dimulai di Singapura dan Indonesia.

Co-founder Nalagenetics Levana Sani mengungkapkan, salah satu kendala mengapa startup seperti Nalagenetics kesulitan memperkenalkan produknya ke target pasar adalah kurangnya pengetahuan terkait tes genetik. Proses yang bisa membantu orang banyak beradaptasi dengan obat-obatan yang mereka konsumsi sudah cukup familiar di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Untuk Indonesia, kebanyakan belum memahami lebih jauh.

“Karena hal tersebut terkadang menyulitkan kami untuk melakukan pendekatan ke pihak rumah sakit dan pemerintah. Meskipun para dokter kebanyakan sudah mengetahui layanan yang kami sediakan, tapi sebagian besar pihak terkait belum mengenal lebih jauh,” kata Levana.

Saat ini Nalagenetics telah mendapatkan hibah dan menjalin kerja sama dengan berbagai institusi terkait di Indonesia, termasuk FKUI, RSCM, dan Litbangkes. Sementara di Singapura, perusahaan juga telah berkolaborasi dengan NUHS, NNI, GIS. Dukungan yang diterima dari investor membantu perusahaan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi.

“Menurut saya, sektor ini masih sangat baru, tetapi lebih banyak dikembangkan di beberapa bidang seperti pertanian. Tingkat implementasi juga bervariasi tergantung pada kompleksitas teknologi yang terlibat. Kebanyakan permintaan yang ada datang dari industri swasta, bukan dari kalangan umum atau arahan pemerintah,” kata Levana.

Tim Nusantics
Tim Nusantics

Menurut CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri, meskipun dukungan yang diberikan tidak terlalu besar jumlahnya, namun perhatian investor dan pemerintah telah membantu Nusantics mengembangkan bisnis. Sebagai startup berbasis teknologi, Nusantics fokus pada pengembangan dan penerapan berbagai riset genomika dan mikrobioma untuk memenuhi gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Nusantics juga merupakan portofolio East Ventures.

“Menurut saya, pertumbuhan startup biotech dan life science seperti Nusantics dan lainnya masih dalam tahap awal. Potensi yang ditawarkan cukup besar, namun kebanyakan masih kurang dipahami karena istilahnya yang masih sangat asing, sehingga seseorang harus memulai dari suatu tempat dan terus berkontribusi dalam membangun momentum.”

Pandemi mendorong akselerasi

Pandemi telah mengubah semua kebiasaan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi momentum baik bagi startup seperti Nusantics dan Nalagenetics. Bagi mereka, kondisi pandemi menjadi ideal untuk melakukan uji coba dan mempercepat akselerasi, sekaligus ajang pembuktian bahwa teknologi yang mereka tawarkan sangat relevan.

“Pandemi telah meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat yang cukup besar akan pengujian genetik di rumah,” kata Levana.

Hal senada diungkapkan Sharlini. Meskipun pandemi mempengaruhi bisnis mereka secara negatif, terutama layanan pemeriksaan mikrobioma kulit, di sisi lain perusahaan melihat pandemi juga telah memberikan dampak yang positif ke pipeline bisnis baru, yaitu produk lokal komersial pertama untuk COVID-19 PCR Test Kit.

Bulan April lalu produk serupa juga diluncurkan Sensing Self. Sebagai alat tes mandiri untuk Covid-19, alat tes ini diklaim memberikan hasil deteksi yang cepat dan akurat karena menggunakan analisis enzim. Memungkinkan setiap orang melakukan pengetesan di rumah masing-masing, dalam waktu 10 menit, dan harga terjangkau (Rp160 ribu per unit).

“Kehadiran alat tes mandiri ini dapat membantu pemerintah untuk menyediakan akses tes yang lebih aman, praktis, dan terjangkau. Ketika terdapat pasien positif, mereka dapat langsung melakukan isolasi mandiri ataupun mendapatkan perawatan di rumah sakit,” kata Co-Founder Sensing Self Santo Purnama.

Startup yang berbasis di Singapura ini, didirikan Santo dan Shripal Gandhi. Mereka berdua menempatkan Sensing Self sebagai perusahaan yang fokus menciptakan alat tes kesehatan mandiri, agar setiap orang dapat mendeteksi kesehatannya sendiri dan mendapatkan pengobatan di tahap sedini mungkin.

Dukungan investor

Menurut Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures, sektor ini masih dalam tahap pertumbuhan di Indonesia, karena proses penemuan obat membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan penelitian. Namun, dengan jumlah penduduk yang secara alami menjadi pasar potensial yang besar, startup bioteknologi Indonesia dapat mengambil peran lebih banyak dalam mengembangkan uji klinis bersama perusahaan-perusahaan farmasi (asing). Jalur kemitraan dengan perusahaan farmasi asing ini secara bertahap akan membangun kapabilitas bioteknologi Indonesia.

“Untuk memfasilitasi uji klinis, ketersediaan Rekam Medis Elektronik (EMR) yang terstruktur menjadi sangat penting. Ini adalah enabler yang akan memungkinkan perusahaan bioteknologi / life science memiliki kumpulan data yang lebih besar dan lebih komprehensif untuk dikerjakan. Ini bisa menjadi peluang langsung untuk bekerja di bidang teknologi kesehatan,” kata Tania.

Sebagai investor, Tania melihat peluang yang besar untuk menyasar bidang ini. Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi startup Indonesia untuk membangun rekam medis digital health yang akan menjadi infrastruktur pengembangan bidang bioteknologi dan life science di Indonesia.

“Seperti yang kita saksikan dalam lima tahun terakhir, dua negara di Asia, yaitu Tiongkok dan Korea, telah muncul sebagai pemain global di bidang bioteknologi dan life science. Ini adalah sektor yang secara tradisional didominasi perusahaan AS, Eropa, dan Jepang dengan perusahaan global seperti Amgen, GSK, dan Takeda. Startup di sektor ini juga baru-baru ini menemukan jalannya untuk menjadi perusahaan yang terdaftar, seperti Vir Biotechnology, yang didukung oleh Softbank dan Gates Foundation,” kata Tania.

Sementara itu menurut Sr. Executive Director Vertex Ventures Gary Khoeng, ada beberapa alasan mengapa belum banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal kepada startup yang menyasar biotech dan life science, selain kompleks dan luasnya bidang ini.

Dibutuhkan investasi dalam jangka cukup lama untuk melakukan riset dan membuat produk yang diterima masyarakat.

“Pada akhirnya solusi dan penelitian bioteknologi biasanya memiliki waktu gestation yang sangat lama karena penelitian dan uji coba. Misalnya dengan pengobatan baru untuk penyakit yang menyebar luas atau mengembangkan vaksin baru. Berdasarkan pembayaran dan pendanaan yang ada, harus dipastikan perusahaan dapat bertahan dan juga memiliki rencana akhir yang jelas.”

Sebagai venture capital, Vertex Ventures melihat potensi yang besar untuk berinvestasi ke startup di kategori ini. Salah satu dukungan perusahaan adalah melalui Vertex Healthcare Fund yang fokus ke startup yang menawarkan solusi bioteknologi.

“Dana ini berasal dari Singapura tetapi telah dipindahkan ke Amerika Serikat karena fakta bahwa sebagian besar peluang bioteknologi ada di AS dibandingkan negara lainnya. Meskipun sektor ini cukup tertinggal dan berjalan lambat dibandingkan sektor lainnya, namun memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan oleh startup yang benar-benar memiliki semangat dan kemampuan untuk beroperasi di bidang ini,” kata Gary.

Program akselerator online memberikan kesempatan yang sama untuk startup di berbagai daerah, memungkinkan menghadirkan mentor yang lebih bervariasi

Berbagi Pengalaman Program Akselerator Online di Tengah Pandemi

Sebelum pandemi berlangsung, sebagian besar kegiatan program akselerator, bootcamp, dan demo day dilakukan secara langsung di kantor atau coworking space. Program akselerator mendanai semua kegiatan dan menghadirkan mentor relevan untuk membantu para entrepreneur mengembangkan bisnis mereka.

Namun, saat pandemi datang, kegiatan ini beralih secara online dan mengandalkan tools seperti video conference. Opsi ini menjadi menarik, tak hanya membantu pihak penyelenggara memangkas pengeluaran, tapi juga memberikan fleksibilitas ke para peserta.

DailySocial, misalnya, di bulan April lalu melancarkan kegiatan DSLaunchpad. Sebuah program inkubasi startup yang dilakukan secara online. Program ini meloloskan 107 startup, dengan preferensi untuk startup-startup yang berdomisili di luar kawasan ibukota.

CEO DailySocial Rama Mamuaya secara langsung mengorganisir program ini. Ia mengatakan, “Kami melihat adanya ketidakseimbangan antara acara dan program edukasi teknologi dan startup antara di DKI Jakarta dan di provinsi lain. Tujuan utama program DSLaunchpad adalah membuktikan bahwa kesempatan untuk menjadi founder startup dimiliki semua orang Indonesia tanpa terkecuali.”

Dalam pelaksanaannya, DSLaunchpad menggandeng berbagai mentor dari startup dan perusahaan modal ventura ternama. Kevin Aluwi (Co-CEO Gojek), Fajrin Rasyid (Co-Founder Bukalapak), Izak Jenie (CEO Jas Kapital), Dyota Marsudi (Executive Director Vertex Ventures), Dondy Bappedyanto (CEO Biznet Gio), dan Andy Zain (Managing Partner Kejora Ventures) adalah sebagian mentor yang terlibat.

Usaha “menyamakan tingkat persaingan” ini berbuah menarik. Banyak pendiri startup di luar ibukota yang ikut serta, bahkan beberapa berpeluang pitching dan mendapatkan pendanaan  dari investor tanpa tatap muka secara langsung. Mengandalkan koneksi internet, kesempatan mereka memperkenalkan inovasi menjadi lebih terbuka.

Kesempatan yang sama

Selama pandemi berlangsung, beberapa program akselerator tetap konsisten menjalankan kegiatannya. GK Plug and Play dan Gojek Xcelerate tetap menjalankan program dengan pembekalan ilmu secara online dan offline.

Menurut Direktur GK Plug and Play Aaron Nio, virtual pitching atau virtual event mempermudah usaha memperluas jaringan, karena sifatnya yang lebih praktis – bisa mobile dan easy to access.

“Dan meskipun excitement yang dihadirkan pada setiap acara virtual berbeda dengan tatap muka, untuk orang-orang yang memiliki banyak kegiatan dan bergerak dinamis, virtual event lebih ideal tanpa mengurangi kualitas dalam berkomunikasi,” kata Aaron.

Menurut Co-Founder Nalagenetics Levana Sani, salah satu peserta program akselerasi GK Plug and Play, keputusan GK Plug and Play melakukan virtual pitching dan demo day adalah keputusan yang bijak.

“[..] Dengan organisasi yang baik, peluang harus sama bagi semua [peserta] pemula yang berpartisipasi,” kata Levana.

Menurut Gojek Xcelerate Lead Yoanita Simanjuntak, penyelenggaraan secara online memungkinkan mengundang ratusan partner untuk bergabung, bahkan dari luar Indonesia sekalipun. Hal ini merupakan salah satu hal yang sulit didapatkan secara offline.

“[..] Kami menyelenggarakan demo day kali ini secara online via Zoom Webinar. Ini merupakan pengalaman yang unik, karena selain pitching, kami juga memberikan beberapa sesi pembekalan oleh talenta terbaik Gojek dan partner global,” kata Yoanita.

Sebelum demo day, Gojek Xcelerate mendatangkan 11 startup untuk mengikuti program akselerator batch 4 di Jakarta. Bootcamp intensif 5 hari dilakukan di Gojek HQ dan Gojek Xcelerate Learning Space di Menara Digitaraya pada Maret lalu.

“Jika dibandingkan memang kita terbiasa dengan interaksi langsung, karena bisa empati dengan lawan bicara, bisa melihat gesture dan emosi. Tapi, tim Gojek Xcelerate bisa mengemas dengan baik. Jadi pengalaman virtual 1-on-1 mentoring juga sangat efektif,” kata Co-Founder MENA Indonesia Ni Nyoman Sri Natih S, salah satu peserta Gojek Xcelerate batch 4.

Persiapan untuk startup

Meskipun proses secara online terbilang lebih membebaskan para peserta  mengekspresikan diri, ada beberapa hal yang tetap harus diterapkan saat presentasi. Tak hanya koneksi internet harus stabil, Aaron menekankan pitch deck yang ingin dipresentasikan harus menarik dan kemampuan menyampaikan materi harus mudah dimengerti.

Sementara di Gojek Xcelerate, sebelum demo day dilakukan, untuk meminimalisir isu konektivitas, pitching atau presentasi peserta direkam sebelum acara dan ditayangkan saat demo day. Dengan demikian, para calon investor dan partner dapat menyaksikan presentasi dengan lebih nyaman.

“Melihat respon positif para startup dan juga partner undangan, kami percaya bahwa dengan persiapan yang matang, aktivitas serupa tetap dapat memberikan hasil yang optimal bagi para startup dan seluruh pihak yang terlibat,” kata Yoanita.

Sementara bagi startup, menurut Levana, penting untuk tidak kehilangan momentum pasca presentasi. Follow up melalui email dan platform pesan dari pihak yang berkepentingan menjadi hal yang dapat membantu.

“Secara keseluruhan saya melihat dari pengalaman melakukan secara virtual pun efisien. Termasuk keberhasilan acara puncak demo day,” kata Ni Nyoman.

Kegiatan offline masih menjadi pilihan

Meskipun kegiatan ini berhasil dilakukan dan mampu memberikan kontribusi bagi startup dan penyelenggara, ada beberapa hal yang masih membuat pelaksanaan secara offline masih lebih nyaman, termasuk kegiatan networking antara investor, mentor, dan peserta.

Namun demikian, menurut Aaron, adanya momentum pandemi membuat mereka menjadi lebih aware dan terbiasa menggunakan teknologi. Diharapkan, melalui momen seperti ini, akan bermunculan inovasi-inovasi baru yang semakin mengutilisasi teknologi.

“Memang pada awalnya terasa kurang nyaman, tapi pemanfaatan teknologi ini menurut saya baik untuk mengembangkan ekosistem teknologi di Indonesia. Jadi tidak menutup kemungkinan kami akan menyelenggarakan banyak event atau agenda program secara virtual.”

Aaron menambahkan, jika dihadapkan dengan pilihan, pitching secara langsung excitement dan engagement lebih terasa dibandingkan secara virtual.

Untuk mengakali kesulitan melakukan proses networking secara online, Gojek Xcelerate menghadirkan profil video setiap peserta sebelum pitching, kemudian menampilkan kode QR masing-masing startup agar calon investor dan partner bisa langsung terhubung dengan para founder.

“35 Startup Gojek Xcelerate dari batch 1 hingga 4 ini telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, termasuk mampu menghadirkan berbagai inovasi yang menjawab kebutuhan masyarakat di tengah pandemi. Semangat inovasi ini ke depannya akan terus kita gaungkan untuk memberikan dampak sosial yang lebih luas bagi masyarakat,” ujar Yoanita.

Healthtech di Indonesia

Edukasi Pengguna Masih Jadi Tantangan Mendasar Bagi Pelaku Startup Healthtech

Salah satu industri yang mengalami peningkatan dari sisi inovasi dan permintaan dari pengguna saat ini adalah layanan healthtech dan healthcare. Bukan hanya memudahkan masyarakat mengakses pembelian obat, layanan yang ada juga telah memberikan alternatif layanan dan konsultasi kesehatan secara online.

Salah satu yang mencoba peruntungan tersebut adalah Nalagenetics. Startup yang didirikan oleh Jianjun Liu, Astrid Irwanto, Alexander Lezhava, dan Levana Sani ini hadir menyediakan layanan tes genetik berbiaya murah disesuaikan pasar Asia. Penetrasi bisnisnya dimulai di pasar Singapura dan Indonesia.

Dalam sesi webinar yang menghadirkan Levana Sani dari Nalagenetics dan Joshua Agusta dari Mandiri Capital Indonesia, dibahas potensi dan peluang layanan helathcare di Indonesia.

Edukasi dan pengenalan

Salah satu kendala mengapa startup seperti Nalagenetics kesulitan untuk memperkenalkan produknya kepada target pasar adalah, kurangnya pengetahuan terkait dengan tes genetik. Proses yang bisa membantu orang banyak untuk beradaptasi dengan obat-obatan yang mereka konsumsi, sudah cukup familiar oleh pasar di Amerika Serikat dan Singapura. Namun untuk Indonesia belum banyak yang memahami lebih jauh.

“Karena hal tersebut terkadang menyulitkan kami untuk melakukan pendekatan kepada pihak rumah sakit hingga pemerintah. Meskipun para dokter kebanyakan sudah mengetahui layanan yang kami sediakan tapi sebagian besar pihak terkait belum mengenal lebih jauh,” kata Levana.

Dari sisi investor Joshua melihat akan lebih baik bagi startup jika memiliki penasihat atau rekanan yang cukup menguasai layanan atau produk kesehatan yang dihadirkan. Dengan demikian ketika pada akhirnya produk ditawarkan ke pasar atau regulator, mereka memiliki pemahaman yang baik.

“Bagi kami penting bagi startup telah melalui product market fit dan menemukan pelanggan yang tepat. Sebelum bertemu dengan investor, ada baiknya untuk mengetahui latar belakang mereka dan apakah mereka tertarik dengan model bisnis yang startup Anda tawarkan,” kata Joshua.

Potensi healthcare di Indonesia

Kultur masyarakat Indonesia yang menerima dengan baik kehadiran layanan dan berbagai produk yang ditawarkan oleh startup, ternyata menjadi salah satu kelebihan tersendiri yang kemudian banyak dimanfaatkan oleh startup. Bagi Levana yang saat ini masih terus memperluas bisnis dan membina kolaborasi dengan pihak terkait, model bisnis yang mereka tawarkan memiliki potensi yang baik untuk berkembang, bukan hanya di Indonesia namun di negara lainnya.

“Pada akhirnya misi dari kami adalah agar perusahaan bisa melakukan ekspansi ke negara lain. Bukan hanya niche di pasar lokal namun juga di pasar secara global,” kata Levana.

Yang menjadi menarik untuk diperhatikan ke depannya adalah, apakah akan ada layanan yang dihadirkan oleh startup yang menyasar healthtech dan healthcare untuk memberikan layanan digital rekam medis pasien.

Meskipun masih terkendala dengan aturan yang berlaku dan sebagian besar negara lainnya juga belum banyak yang memberikan pilihan tersebut, namun digitize medical information, menjadi peluang yang menarik untuk diikuti baik oleh komunitas startup hingga para investor.

Digitizing medical information masih menjadi wide space bukan hanya di Indonesia tapi juga secara global, bisa menjadi kesempatan yang baik untuk startup saat ini dan ke depannya,” kata Joshua.

Nalagenetics tes genetik murah

Nalagenetics Terima Pendanaan Awal 15 Miliar Rupiah, Kembangkan Layanan Tes Genetik Berbiaya Murah

Startup di bidang kesehatan (healthtech) untuk pengujian genetik Nalagenetics hari ini (01/11) mengumumkan perolehan putaran pendanaan tahap awal (pre-seed round) senilai $1 juta (setara 15 miliar Rupiah). Pendanaan ini didapat East Ventures, Intudo Ventures, dan beberapa angel investor. Melalui solusinya, Nalagenetics mencoba menghadirkan layanan tes genetik yang berbiaya murah disesuaikan pasar Asia. Penetrasi bisnisnya akan dimulai di pasar Singapura dan Indonesia.

Dana yang diperoleh akan dialokasikan untuk menyelesaikan proof-of-value project bekerja sama dengan beberapa rumah sakit dan institusi kesehatan di Singapura dan Indonesia. Selain itu Nalagenetics juga mengharapkan bisa merekrut anggota untuk menguatkan tim. Selain tes genetik, Nalagenetics juga mengembangkan beberapa produk lain untuk mendukung pengujian, termasuk Cilincal Decision Support dan Patient Engagement Tools.

Nalagenetics didirikan oleh sekelompok ilmuwan, yakni Jianjun Liu, Astrid Irwanto, Alexander Lezhava dan Levana Sani. Keempatnya bertemu saat bekerja di Genome Institute of Singapore. Pengembangan produk tes genetik bukan tanpa sebab, tim Nalagenetics mendasarkan pada sebuah temuan riset yang dilakukan di Singapura. Banyak kerugian yang bisa ditimbulkan oleh efek samping obat karena faktor genetik. Nalagenetics berfokus pada farmakogenomik, cabang dalam genetika yang mempelajari bagaimana DNA mempengaruhi respons obat seseorang.

Nalagenetics
Founder Nalagenetics / Nalagenetics

Sekitar 30% efek samping oleh obat-obatan disebabkan karena faktor genetik. Dengan mengetahui susunan genetik seseorang dapat menyelamatkan pasien dari efek samping, yang kadang bisa saja mematikan. Produk Nalagenetics juga berproses dari temuan dan pengujian para founder-nya. Salah satunya Astrid, dalam sebuah penelitiannya di Papua, ia bekerja sama dengan Lezhava untuk merancang tes genetik dengan biaya di bawah $5 dan melakukan tes sebanyak 1000 kali

Tes genetik ini diharapkan juga memberikan solusi pengobatan terbaik. Misalnya saat di Genome Institute of Singapore, tim bekerja sama untuk membawa produk biomarker genetik yang mereka temukan untuk menentukan apakah pasien kusta tertentu ada kemungkinan memiliki reaksi merugikan yang bisa berdampak fatal, dalam bahasa medis disebut Sindrom Hipersensitivitas Dapsone (DHS). Deteksi tersebut hasilnya akan digunakan untuk penentuan obat-obatan untuk menghindari efek samping.

Sepak terjang dan pembuktian penelitian tim Nalagenetics yang juga membuat para investor percaya. Salah satunya diungkapkan Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca. Ia mengungkapkan, pertemuan pertama dengan tim Nalagenetics membuatnya langsung terkesan. Apa yang diselesaikan Nalagenetics akan berdampak baik bagi populasi di Asia. Solusi tes dengan biaya hemat yang dikerjakan dipastikan dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas.

Pun demikian dengan Partrick Yap, Founding Partner Intudo Ventures. Ia menyampaikan bahwa inovasi yang turut didukung ilmuwan Indonesia ini akan membantu mengatasi tantangan kesehatan lokal yang sebelumnya diabaikan. Pihaknya berkomitmen mendukung bisnis Nalagenetics melalui jaringan mitra strategis lokal dan internasional yang dimiliki.

Sejak didirikan pada tahun 2016 untuk proyek kusta, Nalagenetics telah diinkubasi di program Harvard’s Venture Incubation Program dan memperoleh dukungan untuk pengembangan tes genetik mereka di Genome Institute of Singapore melalui Exploit Technologies Pte Ltd (ETPL).