Tag Archives: natali ardianto

e-farmasi indonesia

Masih Dini, Pasar Apotek Online Berpotensi Tinggi

Kesadaran gaya hidup sehat telah menjadi pendorong utama di balik pertumbuhan sektor ritel farmasi. Menurut hasil temuan Ken Research, pasar ritel farmasi Indonesia diperkirakan akan tumbuh pada CAGR 1,5% berdasarkan pendapatan penjualan selama 2019-2025.

Ada beberapa faktor dari kenaikan ini, yakni jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) terus bertambah. Per 31 Desember 2019, jumlahnya mencapai 224 juta orang dan telah melampaui 83% dari total penduduk Indonesia.

Di samping itu, obat generik banyak digunakan sebagai alternatif obat paten yang harganya mahal, akibat bahan baku mayoritas diimpor. Alhasil melalui program JKN, pemerintah mengatur harga agar obat terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Bila dilihat dari angka harapan hidup orang Indonesia pada 2019 adalah 71,59 tahun, meningkat dari 0,25% pada 2018. Statistik ini mencerminkan cara yang lebih baik untuk mengendalikan penyakit menular dan fasilitas medis yang lebih baik, pada akhirnya menyebabkan peningkatan usia rata-rata penduduk Indonesia.

Sedangkan, makin menuanya umur seseorang turut dipengaruhi oleh meningkatnya pengeluaran untuk perawatan kesehatan. Dengan meningkatnya populasi usia tua, penjualan obat-obatan di dalam negeri juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Untuk meningkatkan aksesibilitas dan kenyamanan, hampir semua rantai ritel farmasi besar mulai menawarkan produknya melalui portal online, tak terkecuali pemain startup. Meski apotek online mungkin belum terlalu populer di Indonesia, pandemi kemarin membuka pintu lebar-lebar bagi bisnis ini. Lambat tapi pasti, dampak kehadirannya mulai terasa.

Tak sekadar kemudahan dan kecepatan dalam membeli obat, ada banyak isu genting yang tengah diselesaikan oleh pemain digital dengan pendekatan digital pula. Di antaranya, rantai pasok dan keaslian produk farmasi. Lifepack adalah salah satu contoh startup yang mencoba menangkal isu tersebut.

Startup yang dirintis oleh eks petinggi Tiket.com, Natali Ardianto, menyampaikan tantangan dunia farmasi di Indonesia masih dihadapi oleh obat palsu. Dari data yang ia kutip, bahkan sebanyak 25% dari total pendapatan penjualan obat nasional adalah sumbangsih dari penjualan obat palsu yang masuk ke Indonesia secara ilegal dan tidak memiliki tanda BPOM.

“Kondisi ini membuat rasa percaya konsumen untuk beli sesuatu secara online jadi rendah karena mereka takut barangnya tidak asli. Tantangan ini sama seperti saat memulai Tiket.com dulu, banyak yang bertanya ini penipuan atau enggak. [Tantangan] ini umum banget bagi perusahaan teknologi untuk adopsi di pasar yang masih early adopter ini,” terangnya kepada DailySocial.id.

Masih dari laporan yang ia kutip, pada 2025, industri farmasi di Indonesia diprediksi akan tumbuh dua kali lipat dengan estimasi nilai pasar mendekati $20 miliar. Apotek online hanya mencakup 3,5% dari total angka tersebut.

Dia juga menekankan permasalahan yang paling mengakar di industri farmasi itu bukan karena kekurangan jumlah apotek dan distributor, melainkan sistem rantai pasoknya yang tidak efisien. Ambil contoh, apotek yang berlokasi di rumah sakit atau klinik sangat mudah untuk menebus resep dari dokter di rumah sakit tersebut. Apotek pun mudah untuk menyetok suplai obat-obat dengan frekeuensi penjualan yang tinggi.

Kondisi sebaliknya, justru sangat sulit bagi konsumen bila menebus obatnya di luar lingkaran rumah sakit di mana resep itu dibuat. Alasannya karena beragamnya merek farmasi yang beredar untuk satu molekul. Sementara pada umumnya, dokter itu menuliskan resep bukan dari molekul tapi dari mereknya.

“Jadi apotek di rumah sakit itu suplai produknya berdasarkan apa yang sering ditulis dokter. Bagaimana dengan apotek kecil di luar rumah sakit? Itu yang kita coba selesaikan masalahnya.”

Co-Founder & President Director of Alodokter Suci Arumsari sepakat bahwa bisnis apotek online ini berpotensi besar dalam meraih pasar yang semakin mengadopsi belanja online. Tantangan yang perlu diatasi, seperti kepatuhan regulasi terkait penjualan obat, membangun kepercayaan konsumen terhadap kualitas dan keamanan produk, dan persaingan dengan pemain besar.

Sebagai catatan, Alodokter menjadikan layanan telemedisin sebagai bisnis utamanya yang dilengkapi dengan ekosistem pendukungnya, salah satunya apotek online Aloshop yang sudah diperkenalkan sejak 2021. Perusahaan bekerja sama dengan mitra apotek dan kurir last-mile untuk pengantarannya.

Dalam membangun kepercayaan, Alodokter melakukan sejumlah langkah preventif untuk meminimalisir pelanggaran. Misalnya, untuk penjualan obat non-OTC yang memerlukan resep dokter, maka setiap pembelian obat di Aloshop akan diverifikasi secara ketat. Resep yang diunggah untuk dibeli, akan diverifikasi lagi oleh tim dokter di Alodokter.

“Hal ini bisa mencakup validasi apakah obat yang diresepkan sudah sesuai dengan kondisi medis pasien atau tidak, apakah obat tersebut memang bisa ditebus secara online atau tidak (karena ada beberapa obat yang tidak bisa dibeli secara online) dan sebagainya. Kami juga terus edukasi ke pengguna tentang pentingnya resep dokter untuk obat-obatan tertentu,” terang Suci.

Pengambilan suplai stok di Aloshop berasal dari jaringan mitra apotek resmi, seperti Century, Apotek K24, Watsons, dan Viva Medika. Jaringan yang luas ini memungkinkan Aloshop dapat diakses dan melakukan pengantaran untuk para penggunanya di seluruh Indonesia.

Isu rantai pasok

Natali melanjutkan, sebagai pemain apotek online, tidak efisiennya rantai pasok di industri farmasi ini dilatarbelakangi oleh regulasi yang berlaku. Setiap apotek itu setidaknya harus bekerja sama dengan 80-100 distributor. Distributor itu biasanya mengambil inventarisnya dari beberapa pabrik.

Masalah berikutnya, jika apotek tersebut berbentuk jaringan, seperti K24. Maka setiap outletnya yang tersebar di tiap kota itu harus cari distributor farmasi yang ada di masing-masing kota dan harus membentuk badan hukum sendiri. Regulasi juga tidak memperbolehkan apotek di suatu kota membeli suplai dari kota lain.

Lifepack

“Karena dari dulu cara kerja distributor itu akuisisi apoteknya menggunakan sales. Di tiap kota itu ada tim sales masing-masing dan punya target masing-masing. Jadi purchasing-nya tidak ter-centralized, negosiasi diskon di masing-masing titik makanya tidak efisien. Ketidakefisiensinya ini sangat luar biasa. Industri farmasi paling terlambat [adopsi teknologi].”

Untuk mengatasi isu besar ini, Lifepack mengakuisisi perusahaan distributor Tetama (PT Global Logistic Medika) pada September 2022. Tetama adalah perusahan distributor farmasi online yang mendistribusikan obat & suplemen kesehatan. Perusahaan inilah yang menangani rantai pasok untuk apotek Lifepack dan pebisnis apotek.

Melalui solusi one-click purchase, Tetama ingin mempermudah pebisnis farmasi dalam pemesanan produk. Mereka dapat mengisi stok produk dari berbagai manufaktur secara lebih mudah tanpa perlu membuat banyak surat pemesanan, belum lagi untuk dapat diskon, harus negosiasi yang panjang.

Fitur ini dapat diakses berkat integrasi API Tetama dengan VMedis, software dengan fitur stok dan pengadaan anti-bocor (pencegah kecurangan). Data terakhir menyebut, terdapat lebih dari 2.900 apotek dan klinik di dalam jaringan VMedis.

Tetama sendiri memberikan jaminan stok lengkap, mulai dari obat resep, obat yang dijual bebas (OTC), suplemen, vaksin, produk kecantikan, hingga fast moving consumer goods (FMCG). Ditambah, telah mengantongi sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), Cold-Chain Product (CCP), BPOM, Alat Kesehatan, dan lainnya demi menjaga kualitas produk yang optimal selama proses distribusi.

Selain kemudahan inventaris barang, software Tetama juga memudahkan apotek dalam pencatatannya berdasarkan kode batch kedaluwarsa. “Tanggal expire itu harus dicatat satu-satu, first expire first out. Jadi pergerakan barangnya sesuai tanggal expire. Ketika terima barang, sekarang tinggal masuk ke rak saja.”

Disebutkan, ada 500 apotek, klinik, dan RS yang pakai solusi dari Tetama di Lifepack. Lifepack memiliki empat apotek yang tersebar di Jakarta, Cakung, Bandung, dan Surabaya. Walau disebut apotek, sebenarnya sangat berbeda dengan kebanyakan apotek offline lainnya. Lantaran apotek ini berada di area pergudangan sehingga tidak menerima pembelian langsung oleh konsumen.

“Segmentasi konsumen kami berbeda, kami hanya menyasar pasien penderita penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi yang harus konsumsi obat setiap hari. Jadi beli obatnya berkala lewat kita. Dengan fokus ke sana, jadi servis kami lebih detail dan spesifik. Sebelum obat habis, biasanya kita selalu ingatkan mereka.”

Pasien penyakit kronis ini, menurut data Riskesdas 2018 (Riset Kesehatan Dasar), jumlahnya 20% dari total pasien se-Indonesia. Tapi biaya yang harus mereka keluarkan, lebih tinggi sampai 70% karena harga obat yang dibeli tergolong mahal.

Selain menawarkan pelayanan yang ekstra untuk pasien penyakit kronis, Lifepack memiliki aplikasi Lifepack for medic, untuk suster dan dokter. Di aplikasi tersebut, dokter dapat langsung menulis resep untuk pasiennya. Pasien tidak perlu antre untuk menebus resepnya karena obatnya dikirim oleh Lifepack. Dokter juga bisa melihat apakah pasien tersebut menebus obatnya atau tidak. Sebanyak 2 ribu dokter spesialis telah menggunakan solusi ini.

“Lifepack juga ada aplikasi untuk end-user tapi itu bukan main activity kita.”

Prospek positif

Bagi Natali, industri farmasi akan mendominasi di dunia kesehatan. Di negeri maju, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, bahkan India, penggunaan apotek online sudah de-facto sudah umum. “Di Cina, orang langsung ke apotek karena ada screen untuk konsultasi online dengan dokter dan bisa langsung tebus obat. Apotek digital akan jadi sesuatu yang biasa.”

Dia melanjutkan, “Industri farmasi ini challenging karena ubah budaya itu butuh waktu lama dan harapan saya dukungan dari semua pihak itu sangat membantu kita semua.”

Untuk itu, Lifepack, melalui Tetama, akan terus menggenjot kinerjanya agar distribusi farmasi dapat makin merata ke seluruh titik di Indonesia. Dengan demikian konsumen mau di manapun mereka dapat mengakses obat dengan harga yang sama di Jakarta, tanpa harus beli dari negara tetangga.

Diklaim saat ini kontribusi bisnis dari apotek Lifepack dan Tetama imbang, yakni 50:50. Kontribusi dari Tetama ditargetkan akan melaju lebih jauh karena ke depannya semakin banyak software apotek yang akan bergabung untuk melakukan pembelian suplai farmasi secara lebih efisien.

“Kami pasang harga tidak jauh dari HET (harga eceran tertinggi), tetap kompetitif karena ada pemain lain yang pasang di atas 20%-30% dari HET. Mimpi kita ingin beri harga jauh lebih murah, tapi efisiensi meningkat terus. Karena semakin banyak volume yang dibeli, diskon [dari distributor] makin banyak, jadi harga jual bisa diturunkan.”

Partner Antler Indonesia Agung Bezharie Hadinegoro menyampaikan secara umum healthtech di Indonesia masih memiliki kesenjangan yang perlu diatasi. Di saat yang sama, di ranah regional, Indonesia selalu menjadi pasar penting yang banyak mewakili lahirnya kesempatan baru.

Adanya founder startup yang memiliki ketertarikan di sektor ini dapat menjadi peluang besar untuk mengisi kekosongan tersebut. Dalam menyikapi inovasi di sektor ini, perlu disadari bahwa sebagian besar ide berasal dari inisiatif atau pain point yang dialami oleh para founder sendiri.

“Upaya kami terfokus pada mendengarkan cerita di balik motivasi mereka untuk terlibat dalam sektor kesehatan, serta bagaimana mereka ingin memberikan solusi terbaik kepada target pengguna. Keunggulan dari pendekatan ini, solusi yang dihasilkan cenderung lebih relevan dan dapat langsung mengatasi permasalahan konkret dalam dunia kesehatan,” kata Agung.

Sejauh ini, Antler belum memiliki dana kelolaan khusus untuk sektor ini karena pendekatannya masih secara agnostik. Namun, ketika melihat portofolio perusahaan yang telah dihasilkan oleh Antler, terlihat banyak founder yang memiliki passion yang menarik di healthtech.

“Hal ini mungkin menunjukkan bahwa, meskipun tidak ada fokus secara eksplisit, tetapi potensi dan minat dalam sektor ini tetap ada.” Adapun portofolio Antler di Indonesia khusus healtech adalah CareNow, Healthpro, Qalboo, Sesama Care, dan Ziwa.

Para pendiri Lifepack / Lifepack

Startup Healthtech Lifepack Rampungkan Pendanaan Seri A yang Dipimpin Golden Gate Ventures

PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia (ITMI) melalui brand Lifepack, berhasil meraih pendanaan Seri A senilai $7 juta atau lebih dari 103 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Golden Gate Ventures dan diikuti beberapa investor terdahulu, seperti Teja Ventures, Jungle Ventures, dan SkyStar Capital.

Natali Ardianto, Co-Founder dan CEO Lifepack, mengungkapkan bahwa dana segar ini akan digunakan untuk memperkuat kehadiran di luar Jakarta. Hingga saat ini apotek Lifepack sudah tersedia di Jakarta dan Surabaya. Perusahaan juga sudah mendapat lisensi untuk membuka cabang di Bandung.

“Targetnya, perusahaan akan menambah 7 apotek baru di masing-masing kota, seperti Bekasi, Tangerang, dan Bogor,” sambung Natali.

Justin Hall, partner di Golden Gate Ventures mengungkapkan, bahwa Lifepack memiliki formula terbaik dengan kombinasi dari para pendiri hebat dengan visi yang kuat dan ide bisnis yang relevan dengan pasar. “Kami siap untuk mendukung pertumbuhan bisnis Lifepack melalui jaringan kami yang luas dan wawasan mendalam kami untuk berbagai kesempatan kolaborasi di wilayah segitiga emas start-up di Indonesia, Vietnam, dan Singapura,” ujarnya.

Sejak awal perusahaan ini berdiri, Golden Gate Ventures telah memberikan dukungan besar pada Lifepack sebagai salah satu start-up yang mengusahakan digitalisasi industri tradisional di Indonesia. Golden Gate Ventures merupakan salah satu pelopor ekosistem start-up di Asia Tenggara yang sudah lama berfokus di industri teknologi kesehatan, yang juga sudah turut mendukung pemain kuat di sektor yang sama seperti Medigo, Alodokter, dan Hanna Life Technologies.

Lifepack mulai beroperasi di masa awal pandemi. Ketika itu, PPKM masih ketat dan rumah sakit masih dipenuhi pasien Covid-19. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi penderita penyakit kronis seperti diabetes, jantung, stroke dan lainnya dalam mendapatkan obat. Hal ini yang kemudian menjadi fokus perusahaan dalam menyediakan layanan terpadu dan cepat.

Dari sisi bisnis, Natali mengaku bahwa hadirnya Covid-19 sempat memberi keuntungan bagi perusahaan. Namun, dampak signifikan dari pandemi ini adalah pembelajaran mengenai kesehatan. Covid-19 menjadi gerbang awal dari literasi kesehatan dan katalisator bagi para konsumen dalam hal kesadaran kesehatan.

Sebagai digital pharmacy, Natali mengungkapkan, perusahaan saat ini memiliki dua model bisnis. Pertama, model B2B2C yang melayani peresepan digital atau e-prescription oleh dokter. Lalu, layanan B2C produk OTC (over the counter). Apotek Lifepack memberikan pelayanan kefarmasian dengan menjamin kualitas obat, memberikan harga yang terjangkau, terlengkap, serta lebih hemat dengan program gratis ongkos kirim (ongkir) ke seluruh Indonesia.

Potensi pasar apotek di Indonesia sendiri terbilang masih sangat besar.Di tahun 2025, industri farmasi di Indonesia diprediksi akan tumbuh dua kali lipat dengan estimasi nilai pasar mendekati US$ 20 milyar. Farmasi online sendiri baru mencakup 3.5% dari total pangsa pasar farmasi yang besar ini. Populasi masyarakat Indonesia yang mencapai lebih dari 245 juta jiwa dan tersebar di 34 provinsi menjadikan Indonesia sebagai pasar yang potensial untuk pasar apotek.

Selain Lifepack, pemain lain yang juga memiliki model bisnis serupa adalah perusahaan farmasi asal Singapura SwipeRx, yang sebelumnya bernama mClinica Pharmacy Solutions. Perusahaan belum lama ini berhasil mengumpulkan pendanaan seri B dan siap mengakselerasi bisnis di Indonesia.

Pertumbuhan bisnis dan target ke depan

Lifepack bukanlah satu-satunya produk di bawah bendera ITMI yang bergerak dalam industri kesehatan. Sebelumnya ada Jovee, sebuah layanan yang fokus menyediakan kebutuhan suplemen bagi masyarakat. Perusahaan ini mengandalkan “data science” dalam memberikan rekomendasi suplemen sesuai kebutuhan.

Natali mengakui, ketika didirikan pada tahun 2019, perusahaan masih dalam tahap discovery. Lifepack menemukan model bisnisnya di tahun 2021. Setelah dirasa scalable, maka timnya mulai menggalang dana dan akhirnya memasuki growth stage di tahun 2022 ini.

Hingga saat ini, apotek Lifepack menyediakan lebih dari 5.000 produk dari mulai obat-obatan, vitamin, hingga alat kesehatan yang dapat dipastikan orisinal. Lifepack juga menawarkan pengiriman secara instan dengan durasi maksimal 2 jam, sedangkan untuk seluruh pulau Jawa, pengiriman dalam waktu 24 jam. Melalui aplikasi ini, pihaknya mengaku ingin mengimplementasi Good Pharmacy Practice dalam memberikan pelayanan kefarmasian.

Natali juga memaparkan dari sisi pertumbuhan bisnis MoM perusahaan yang mencapai 30%, dengan total 60 ribu pengguna per bulannya. Selain itu, jumlah dokter yang mendaftar di ekosistem Lifepack sudah menginjak lebih dari 1000. Ini membuktikan bahwa Lifepack sudah berada di jalur yang berkelanjutan.

Dalam diskusi bersama DailySocial, Natali turut mengangkat salah satu inisiatif pemerintah untuk Uji Coba Platform Indonesia Health Service yang akan mengintegrasikan data kesehatan dari berbagai pelaku di industri ini. Menurutnya, hal ini penting, mengingat industri kesehatan yang sangat terfragmentasi, padahal layanan kesehatannya sudah sangat baik.

Dari sisi kolaborasi, perusahaan mengaku selalu menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang terlibat di industri. Menurutnya, regulasi pemerintah untuk industri ini juga sudah terbilang baik.

“Kita sangat terbuka untuk kolaborasi. Kita sendiri sudah melakukan kolaborasi dengan banyak pihak terkait seperti asosiasi di bidang farmasi dan kedokteran. Karena kita hadir untuk membangun industri farmasi yang lebih baik.”

Menurut Natali, permasalahan fundamental dari farmasi di Indonesia adalah apoteker yang seringkali dinilai sebatas tukang obat. Padahal, apoteker mempelajari farmakologi (interaksi obat) jauh lebih lama daripada dokter. Tidak banyak orang-orang yang menganggap serius hal ini. Call center Lifepack dilayani langsung oleh apoteker handal dan terbuka untuk konsultasi.

“Saat ini Indonesia sudah berada di awal revolusi layanan kesehatan berbasis teknologi. Kurang dari dua tahun, masyarakat sudah merubah kebiasaannya hingga 180 derajat, di mana semua hal terkait kesehatan dapat diakses melalui ponsel. Lifepack akan memimpin revolusi apotek tersebut dan menciptakan layanan omnichannel – sebagai satu destinasi kesehatan untuk pasien dan tenaga medis profesional agar mendapatkan layanan kesehatan yang prima,” ungkap Natali.

Application Information Will Show Up Here

Menerka Kebutuhan Transformasi Digital Bisnis saat Pandemi

Dalam menghadapi masa pandemi, bisnis harus terus beradaptasi agar dapat bertahan. Salah satu adaptasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan transformasi digital. Melalui transformasi digital, sebuah bisnis tetap dapat melakukan pengembangan produk serta melayani permintaan konsumen dengan baik seiring dengan adaptasi digital yang juga terus meningkat di masa pandemi ini.

Namun, hal yang juga harus diperhatikan oleh bisnis adalah bagaimana transformasi digital yang dilakukan tidak hanya dapat membantu mereka bertahan, tetapi juga dapat membantu mereka meningkatkan skala bisnisnya melalui peluang-peluang baru dari transformasi tersebut.

Dalam #DSTalk yang diadakan Kamis (30/7) lalu, Natali Ardianto (Co-founder & CEO of Lifepack.id & Jovee.id) dan Ginandjar Alibasjah (IT Services Director of Lintasarta), membahas tentang kebutuhan untuk melakukan transformasi digital pada setiap skala bisnis di masa pandemi ini, mulai dari adaptasi dengan keadaan baru hingga mencari berbagai peluang baru.

Bagian dari Adaptasi Terhadap Kondisi Baru

Transformasi digital yang dilakukan oleh suatu bisnis dapat dikatakan sebagai bagian dari adaptasi terhadap kondisi serba baru yang dihadapi saat ini. Menurut Natali Ardianto, startup dapat melihat kondisi sebagai tiga kategori yaitu survival, pivot, dan emerge.

Startup harus dapat survive dengan mempertahankan runaway perusahaannya setidaknya hingga dua tahun ke depan. Efisiensi operasional perusahaan serta melakukan PHK juga bisa menjadi opsi bagi startup untuk mempertahankan keberlangsungan bisnisnya. Selain itu, startup juga harus mulai berpikir secara strategis untuk melakukan pivot untuk mengubah business model agar sesuai dengan situasi pandemi ini. Terakhir adalah emerging dengan melakukan digitalisasi dan mulai menyasar strategi hyperlocal untuk menyesuaikan dengan kebutuhan baru konsumen.

“Untuk teman-teman yang melihat potensi dan baru mau memulai sekarang, I think it’s a good time, yang penting sesuai kebutuhan konsumen.” tambah Natali

Transformasi Digital Dibutuhkan Semua Skala Bisnis

Kebutuhan transformasi bisnis ini juga sebenarnya merupakan suatu hal yang tak terelakkan lagi bagi semua skala bisnis, baik bisnis kecil maupun korporasi besar. Menurut Ginandjar Alibasjah, kebutuhan ini juga sebenarnya bukan hadir karena adanya pandemi, melainkan karena hal ini memang merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan untuk beradaptasi.

“Kalau kita bicara transformasi digital, itu sebenarnya bukan pandemi triggernya, pandemi ini trigger untuk percepatannya.” tambah Ginandjar.

Selain itu, menurut Ginandjar transformasi ini juga dapat membawa banyak keuntungan bagi korporasi. Mulai dari memanfaatkan data yang dikelola dengan baik menjadi business intelligence baru hingga  simplifikasi proses yang membuat operasional menjadi lebih efisien.

Salah satu hal transformasi digital yang harus diperhatikan adalah semua bisnis adalah bagaimana mereka dapat membangun infrastruktur digital yang tepat. Bagi bisnis yang baru mulai merintis, dapat memanfaatkan bantuan provider seperti Lintasarta untuk membangun infrastruktur digital seperti data center dan cloud. Hal ini dapat menyiasati kekurangan sumber daya yang mungkin menjadi concern di awal bisnis.

Selain infrastruktur, hal penting lainnya dalam melakukan transformasi digital adalah membangun mindset keamanan data. Menurut Natali, hal seperti ini harus sudah diperhatikan sejak awal, karena bila perusahaan sudah terlanjur besar, akan lebih kompleks permasalahan keamanan datanya. Untuk itu, perusahaan juga perlu menyiapkan sistem keamanan yang baik untuk mencegah kebocoran data yang tidak diinginkan.

Mencari Peluang Meski Terkena Dampak Pandemi

Disisi lain, para pebisnis juga harus dapat meningkatkan sensitivitas untuk mencari peluang-peluang baru dalam bisnisnya, salah satunya dengan cara melakukan transformasi digital. Selain itu, Natali juga menyebutkan bahwa setiap pebisnis harus open minded dalam menghadapi pandemi ini. Pertama, mereka harus bisa aware terhadap masalah apa yang saat ini sedang dialami consumer. Selanjutnya, mereka juga harus dapat menerima keadaan pandemi yang berdampak pada bisnis, untuk itu mereka juga perlu membuat skenario bisnis yang disesuaikan dengan perkembangan pemulihan kondisi pandemi ini. Terakhir, setiap pebisnis juga mau tidak mau perlu beradaptasi. Contohnya melakukan pivot ataupun PHK.

“Sebagai entrepreneur, you have to do a lot of hard choices, tapi harus logis, nggak boleh pakai perasaan.” tambah Natali.

Peluang ini juga bisa diwujudkan melalui kolaborasi dengan berbagai pihak. Bagi Lintasarta sendiri, kolaborasi dengan startup sudah dilakukan beberapa kali. Misalnya melalui program Gerakan 1000 Startup Digital, Lintasarta Digischool, dan Appcelerate. Kolaborasi ini tidak hanya dilakukan untuk melahirkan startup-startup baru, tetapi juga turut mengembangkannya dengan cara membantu sampai go to market, serta mempertemukan solusi-solusi tersebut dengan kebutuhan client-client Lintasarta lainnya.

“Komitmen Lintasarta untuk membangun startup sangat besar dan tidak menutup kemungkinan ke depannya bersama teman-teman startup bisa kerja sama dengan Lintasarta.” tambah Ginandjar.

Dengan melakukan transformasi digital, bisnis dapat lebih beradaptasi dengan lebih cepat dengan kebutuhan-kebutuhan baru yang hadir karena masa pandemi ini. Selain itu,  setiap pebisnis juga harus dapat peka terhadap peluang yang dapat dimanfaatkan dari transformasi tersebut.

Perjalanan Natali Ardianto Menjadi Seorang Pakar Industri: Memiliki Tujuan yang Konkret

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Enterpreneurship memang bukan untuk semua orang. Hal ini membutuhkan kerja keras bertahun-tahun, tanggung jawab yang tidak sedikit, resiko tinggi serta banyak pengorbanan lainnya. Namun, semua itu tidaklah menjadi isu ketika Anda memiliki tujuan yang konkret. Setidaknya, prinsip ini yang dipegang Natali Ardianto, yang pernah memimpin sebuah tim teknologi di salah satu layanan OTA ternama, Tiket.com, sepanjang perjalanannya mengarungi bahtera industri teknologi.

Saat ini, Natali menjabat sebagai Co-founder dan CEO PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia, sebuah perusahaan yang ia dirikan bersama beberapa rekan setelah menjajal beberapa sektor industri. Mulai dari tata kota, bisnis OTA, fintech, lalu healthtech, masing-masing mengajarkan hal beragam yang telah membentuk pribadinya sebagai seorang pakar industri .

Sebagai seorang penggiat teknologi serta maniak komputer, ia sempat berjibaku dengan isu introvert kronis sampai pada akhirnya bisa bangkit lalu berhasil menguasai kemampuan berkomunikasi. Salah satu kuncinya adalah memiliki tujuan yang jelas, konkret, sesuatu yang bisa dipegang teguh dan terukur.

Seperti tertulis di profil profesionalnya, “Life is a journey, not a destination”(Hidup adalah sebuah perjalanan, bukan hanya soal tujuan), DailySocial berkesempatan untuk menggali lebih dalam tentang perjalanan karir seorang Natali Ardiante, berikut rangkumannya.

Dimulai dari posisi saat ini sebagai Co-founder & CEO di Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan terakhir.

tim ITMI
tim ITMI

Ini merupakan startup ke-5 saya, sebuah perusahaan teknologi kesehatan bernama PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Kami menawarkan solusi digital yang berfokus pada produk suplemen. Mengunakan teknologi achine learning yang sepenuhnya mempersonalisasikan data untuk memberikan rekomendasi suplemen terbaik untuk kesehatan Anda. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa healthtech?

Sederhananya, apakah Anda menganggap kesehatan sebagai kebutuhan primer atau sekunder? Sejujurnya, kebanyakan orang akan menempatkan kesehatan di atas segalanya, kesehatan akan selalu diposisikan pertama. Padahal, itu [kesehatan] adalah kebutuhan pokok yang membuat orang rela merogoh kocek. Sementara industri hiburan serta yang lainnya memerlukan perhitungan menyeluruh karena itu bukan kebutuhan utama. Dari segi keuntungan, memang lebih bagus. Karena pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) dapat meningkat beberapa kali lebih tinggi daripada industri hiburan lainnya. Dengan kata lain, suatu tujuan yang sama dapat dicapai dengan usaha lebih sedikit.

Duabelas tahun yang lalu, ketika pertama kali terjun ke dunia startup, apa yang ada dalam pikiran Anda? Bagaimana anda memulai perjalanan bisnis ini?

Pada tahun 2008, ketika startup belum hype, kami hanya berpikir untuk membangun perusahaan digital. Adapun, memiliki perusahaan telah menjadi impian saya sejak saya masih kecil. Pengalaman pertama saya terpapar teknologi dan jatuh cinta pada komputer ada di kelas 5 SD, saya juga mulai coding sekitar usia tersebut. Saya lalu menetapkan fokus pada teknologi sampai saya berhasil masuk ke Ilmu Komputer di Universitas Indonesia.

Pada tahun 2003, saya sudah memulai beberapa proyek freelance lintas wilayah. Saat startup mulai populer pada tahun 2010, saya mengalami kesulitan dengan Urbanesia, perusahaan pertama di mana saya belajar banyak setelah 13 bulan pengembangan. Saya memiliki pola pikir bahwa hidup adalah tentang menyelesaikan masalah. Ketika kita memecahkan masalah berulang-ulang, kita akan menguasai ilmu tersebut. Kemudian, yang terjadi selanjutnya pada perusahaan kedua saya hanya membutuhkan 8 bulan pengembangan, lalu kami membangun Tiket.com dalam waktu 3 bulan.

Apa yang ingin saya lakukan sangat jelas dari awal. Saya melabeli diri saya sebagai hardcore engineer. Namun, saya sadar bahwa insinyur tanpa pengetahuan dasar komunikasi tidak akan bisa melangkah lebih jauh. Apalagi jika Anda ingin menjadi pemimpin. Kepemimpinan adalah segala hal tentang mengarahkan dan mendelegasikan, itu membuat komunikasi sangat penting.

Sebagai seorang maniak teknologi, apakah Anda pernah merasa kesulitan dalam berkomunikasi? Apa yang bisa Anda bagikan pada para engineer di luar sana?

Ini sebenarnya sangat sederhana, hanya dengan berbicara dengan orang. Di sini bukan cuma perkara literatur, namun sebuah proses belajar sambil bekerja. Setelah dua tahun mengajar, saya menjadi lebih baik dalam pemasaran. Masalah yang ada pada kebanyakan teknisi adalah mereka tidak bisa melakukan pemasaran. Saya beruntung memiliki mitra untuk membantu saya belajar cara menghadapi orang dan berbagi wawasan penting.

Natali Ardianto bersama tim Semut Api Colony
Natali Ardianto bersama tim Semut Api Colony

Dengan latar belakang pendidikan di bidang teknologi informasi, ditambah pengalaman di berbagai sektor industri, mulai dari tata kota, OTA, fintech dan sekarang healthtech. Bagaimana anda mendeskripsikan masing-masing perusahaan?

Saya seorang penganut industri agnostik, startup pertama saya berfokus pada direktori kota tanpa latar belakang terkait. Perusahaan kedua saya bernama Golfnesia, padahal faktanya, saya belum pernah bermain golf dalam hidup saya. Selanjutnya, di perusahaan ketiga saya, Tiket, tidak ada dewan direksi yang memiliki latar belakang terkait layanan OTA. Sebelum ini, adalah perusahaan fintech bernama Pluang [dulu EmasDigi], dan sekarang kapal saya berlabuh di industri healthtech.

Di antara semua ini, ada hikmah yang dirasakan, sebuah pencapaian sebagai seorang pakar industri. Hal ini bukan hanya tentang latar belakang pendidikan, kepribadian, atau keluarga. Untuk mencapai tahap itu, seseorang harus melalui hampir semua hal.

Saya sendiri percaya pada rahasia ilahi. Ada sesuatu yang disebut RAS (Reticular Activating System) di otak kita yang dapat menyaring pikiran hal-hal penting. Ketika Anda memiliki sesuatu yang benar-benar Anda inginkan dan tanam di kepala Anda sejernih dan sejelas mungkin. Pada akhirnya, Anda bisa mendapatkannya.

Dalam empat perusahaan terakhir, Anda memimpin tim teknisi, sementara saat ini Anda menjabat sebagai CEO. Bagaimana Anda melihat gap dalam transisi ini? Apakah hal ini membutuhkan kemampuan khusus?

Dalam gambaran besar ketika kami memulai Tiket, saya membuat dek lapangan dan rencana keuangan. Saya selalu bekerja bagian bisnis untuk CEO kadang-kadang. Juga, saya memiliki latar belakang sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan. Jika harus saya katakan, saya selalu menjadi CTO yang berorientasi bisnis. Saya sangat sadar akan anggaran dan angka.

Natali dalam acara pemberian pernghargaan iCIO
Natali dalam acara pemberian pernghargaan iCIO

Kebanyakan CTO sangat high maintenance dalam hal teknologi. Mereka hanya ingin menggunakan teknologi terbaru dan paling keren, tetapi berbiaya tinggi, Sementara itu, Anda masih bisa menciptakan sesuatu yang berdampak dengan teknologi sederhana yang ada. Saya membuat sistem Tiket dengan sistem yang sangat korporat dengan detail finansial. Setiap transaksi tercatat, menghindari penipuan dan korupsi. Saya adalah tipe orang yang suka belajar sesuatu, oleh karena itu saya tidak bisa hanya fokus pada teknologi, tetapi juga bisnis.

Namun, beberapa orang salah kaprah hanya karena mereka belajar sepotong demi sepotong, bukan ujung ke ujung. Sistem agile cukup menarik tetapi tanpa visi hal itu tidak akan menjadi efektif.

Memiliki pemikiran strategis. Sebagai CEO, kata kuncinya adalah Anda tahu apa yang akan Anda capai dalam 5 hingga 10 tahun. Beberapa CTO masih bertahan dengan rencana selama 6 bulan hingga 2 tahun karena industri yang dinamis. Adapun, yayasan seperti hukum, keuangan, bisnis merupakan target yang terpenting. Saya beruntung memiliki mentor yang baik dan pengalaman selama sebelas tahun. Jujur, hari ini saya agak merasa lega, karena mengambil keputusan sudah menjadi proses yang berulang. Ketika Anda sudah tahu strateginya, selanjutnya adalah untuk mengulangi proses yang sama.

Dalam hal bisnis dan kehidupan pribadi, siapakah yang menjadi role model anda? Mungkin sebagai mentor, pendamping, seseorang yang menemani anda samapai pada tahap seperti ini.

Dalam hal pendamping, tentunya adalah istri saya. Saya bertemu dengannya pada tahun 2002 pada saat masih mengalami introvert kronis. Sebenarnya, dia turut membantu saya berubah, dan mengajarkan banyak hal tentang cara berkomunikasi, berpakaian bagus, serta yang lainnya. Saat ini ia sudah meraih gelar master dalam psikologi konseling. Istri adalah mitra belajar saya, terutama dalam memahami orang.

natali nuniek 2003 - Natali and Nuniek

Kata kunci dalam hal kepemimpinan adalah kemampuan memahami pribadi orang. Anda harus bisa menemukan cara untuk membuat mereka tetap tinggal, meskipun apa yang Anda tawarkan tidak sebesar perusahaan raksasa di luar sana. Saya mencoba memahami dan memenuhi celah emosional tidak hanya secara finansial. Karena kami berusaha membuat yayasan tidak hanya berdasarkan uang. Masalahnya, ketika orang punya uang, mereka mencoba menyelesaikan semuanya dengan membayar. Untuk bisa memecahkan masalah adalah dengan belajar menjadi orang yang efektif. Ketika Anda menjadi orang yang efektif, secara tidak langsung Anda menjadi orang yang efisien.

Secara pribadi, dalam hal menjalankan perusahaan, Jonggi Manalu dari Tiket menjadi salah satu inspirasi saya. Secara umum, Larry Page & Sergey Brin akan selalu menjadi contoh terbaik, walaupun pada 11 tahun pertama, Eric Schmidt yang menjadi eksekutif berpengalaman dan membuat google sangat korporat. Saya menyebutnya dengan corporate agility, korporasi adalah dasar dari sebuah perusahaan sedangkan agile adalah bagaimana kita menjalankan perusahaan. Mengapa sebuah perusahaan harus korporat? Karena saya sering menemukan perusahaan yang mengalami kesulitan dengan keborosan, korupsi, kelemahan finansial, masalah hukum, dan kekurangan manajemen.

Menjalankan startup berarti menjalankan perusahaan, bukan hanya produk. Anda bisa saja membuat produk, namun ketika Anda tidak tahu apa-apa tentang pemasaran, pengembangan bisnis, serta hal-hal yang berkaitan dengan korporasi, semua itu tidak akan berhasil. Saya menemukan dua hal yang dapat membuat perusahaan gagal, yaitu ketika pendiri menyerah dan kehabisan uang.

Natali Ardianto at Tiket grand launching
Grand launching Tiket.com

Diantara beberapa industri yang telah dijelajahi, manakah yang paling menantang? Apa pelajaran terbesar yang ada dapatkan dari berbagai pengalaman ini?

Dalam entrepreneurship, kuncinya adalah waktu. Menjalankan perusahaan yang tidak berbasis jual-beli benar-benar sulit. Untuk mendapatkan satu transaksi, margin yang besar atau kecil membutuhkan usaha yang sama besar.

Dalam menjalankan sebuah perusahaan, saya lebih suka menyebutnya sebagai hardship. Ketika menjalankan sesuatu untuk mendapatkan profit, semuanya akan terbatas oleh anggaran. Sebagai contoh, ketika saya berada di industri OTA, dengan tim kecil saat ini bersaing melawan raksasa pesaing kami adalah satu perjuangan yang sangat berat. Dalam kasus ini, bukanlah sebuah titik terendah, tetapi sebuah kesulitan. Ketangguhan dalam mencoba menjalankan perusahaan yang profitable.

Apa yang menjadi target Anda selanjutnya? Apakah ada mimpi yang belum terwujud ataukah sesuatu yang diidam-idamkan selama ini?

Startup Montage

Setelah “lulus”dari Tiket.com, saya ingin menikmati masa “pensiun” selama satu tahun. Saya dan istri bepergian keliling 5 benua, lebih dari 30 kota. Namun, saya tidak menikmati pensiun seperti itu sama sekali. Akhirnya, pada bulan ke-7, saya membantu teman membangun startup baru. Membangun sesuatu dari awal dan mengubahnya menjadi hal besar selalu menjadi hasrat saya. Sepertinya, saya tidak mau menukarnya dengan apa pun. Bahkan jika harus melakukan hal ini sampai berusia 70 tahun, saya masih akan melakukan hal yang sama. Menciptakan produk hebat yang digunakan dan dicintai semua orang. Juga, suatu hari saya ingin mengejar gelar Ph.D. dalam kewirausahaan atau e-commerce.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Aplikasi apotek digital Lifepack fokus pada penyediaan obat untuk penderita penyakit kronis dan dengan resep. Skema yang ditawarkan secara berlangganan

Mengenal Lifepack, Apotek Digital untuk Permudah Akses ke Obat-obatan

Di situasi sosial saat ini yang mengharuskan individu mengurangi interaksi langsung terutama di tempat umum, beberapa alternatif telah disiapkan, terutama di sektor healthtech. Salah satunya adalah Lifepack, sebuah apotek digital yang baru diluncurkan guna mempermudah akses terhadap obat-obatan, terutama pasien dengan riwayat penyakit kronis, dengan skema berlangganan.

Lifepack merupakan produk kedua PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia (ITMI) yang bergerak dalam industri kesehatan. Sebelumnya ada Jovee, sebuah layanan yang fokus menyediakan kebutuhan suplemen bagi masyarakat.

Natali Ardianto, CEO ITMI dan Lifepack, menyatakan bahwa saat ini fokus mereka adalah membantu pasien penderita penyakit kronis seperti diabetes, jantung, stroke dan lainnya untuk mendapatkan obat tanpa harus mengantre apalagi sampai kehabisan.

Dalam situasi pandemik seperti sekarang, aplikasi seperti ini bisa menjadi solusi di tengah isolasi.

Saat ini, semua produk yang tersedia di aplikasi berbasis resep. Pasien akan diminta menyiapkan resep asli. Pihaknya menjamin keaslian obat karena berasal dari distributor langsung tanpa melibatkan pihak ketiga.

Lifepack juga menyediakan fitur konsultasi dengan dokter secara online untuk pengguna yang tidak disertai resep dokter. Dokter yang terdaftar adalah mereka yang memiliki Surat Izin Praktek (SIP) dan tergabung di Ikatan Dokter Indonesia.

“Khusus untuk kejadian luar biasa ini, kami memang melakukan stok yang lebih banyak dari sewajarnya, mengikuti tren penjualan yang juga semakin meningkat,” tambah Natali.

Melalui aplikasi ini, pihaknya mengaku ingin mengimplementasi Good Pharmacy Practice dalam memberikan pelayanan kefarmasian. Layanan ini turut dilengkapi dengan kemasan khusus untuk konsumsi yang lebih praktis dan terjadwal.

Rencana ke depan

Dari sisi teknologi, layanan ini telah bekerja sama dengan payment gateway yang menyediakan 15 metode pembayaran untuk mempermudah proses transaksi, termasuk kartu kredit, akun bank virtual, dan GoPay.

Sedangkan dari sisi logistik, perusahaan bekerja sama langsung secara API dengan beberapa perusahaan logistik agar bisa dipantau langsung oleh pengguna via aplikasi. Fokus logistik saat ini adalah penyediaan obat secara langsung dan cepat dalam waktu maksimal 4 jam.

Meskipun Halodoc memiliki fitur pembelian obat dengan resep yang serupa, pihak Lifepack mengklaim belum ada konsep aplikasi yang fokus pada penyediaan obat-obatan khusus penderita penyakit kronis secara berlangganan di Indonesia.

“Potensinya ada. Saat ini kami akan mengikuti perkembangan dan adopsi pasar lebih dulu,” tutup Natali.

Application Information Will Show Up Here
Natali Ardianto talks about his clear vision to become an industry expert as he is now

Natali Ardianto’s Journey on Becoming an Industry Expert: Set Up a Vivid Goal

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Entrepreneurship is not for everyone. It takes years of hard work, loads of responsibilities, high risk, and other important sacrifices. However, all those will not be an issue when you have a clear set of goals to achieve. At least, it’s what Natali Ardianto, the former tech leader in one of the leading OTA services, Tiket.com, has been doing through these years of paving ways into the tech industry.

Ardianto is now the Co-Founder & CEO at Indopasifik Teknologi Medika Indonesia, the company he built after sailing through several industry sectors. From city directory, OTA, fintech, and now healthtech, each venture has taught him different lessons and shaped him as the industry expert he is now.

As a tech enthusiast and computer geek, he was struggling with chronic introvert but eventually managed to overcome the issue and master the communication skill. One of the key points he suggested is to have a clear vision, a vivid goal, one that you can cling on to, and be precise about it.

As stated on his profile “Life is a journey, not a destination”, DailySocial has an opportunity to dig deeper into his journey and here’s what we discover.

Let’s start from your current position, Co-founder & CEO at Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Tell me a bit about the latest venture.

ITMI Team member
ITMI Team member

This is my 5th startup, a healthtech company under the name PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. We provide a digital solution focused on supplement products. It’s a machine learning that fully personalized your data to give recommendations of the best supplement for your health. People may have question, why healthtech?

Simply put, do you think health as primary or secondary? Actually, most people will put health above anything, health will always be positioned first. In fact, it [health] becomes a basic need that people willing to spend money. While other leisure industries require thorough calculation as it is not the primary need. In terms of profit, it surely be a good thing. As the average revenue per user (ARPU) can get few times higher than other leisure industries. In other words, a goal can be achieved with less effort.

Twelve years ago, when you first jumped into the startup life, what were you thinking? How did you start the whole tech-business journey?

In 2008, when startup hype is yet to penetrates the region, we only thought to build a digital company. Also, own a company has been my dream since I was a child. I had my first encounter and fall in love with the computer in the 5th grade, I also started coding around that age. I keep my eyes and mind focused on tech until I make it into Computer Science in Universitas Indonesia.

In 2003, I already started some freelance projects, and it crosses the region. While startups are getting popular in 2010, I had my struggle with Urbanesia, the first company where I learned a lot after 13 months of development. I have mindset that life is about solving problems. When we solve the problem over and over again, we master the skill. It is what happened to my second company that took 8 months of development, and then we make it only 3 months for Tiket.com.

What I want to do is very clear from the very beginning. I labeled myself as a hardcore engineer. However, I’m aware that engineers without basic knowledge of communication will not get any further. Especially if you want to be a leader. Leadership is all about directing and delegating, it makes communication very important.

As a tech geek, do you have any issues regarding communication? You have something to say to other engineers out there?

It’s actually simple, just talk to people. This is not only about literature yet a learning-by-doing process. After two years of teaching, I get better at marketing myself. The problem with engineer is they can’t do marketing. I’m lucky to have a partner to help me learn on how to manage people and share essential insights.

The very first book that’s important to read is “How to win friends and influence people” written by Dale Carnegie. It’s the foundation of communicating with people. And then “7 Habits of Highly effective people” by Stephen Covey, on how we make the right decisions for ourselves and the other. The rest is usually biography and books about different kinds  of leaders, such as Elon Musk, Steve Jobs, or even “Bad Blood” Elizabeth Holmes.

Natali Ardianto with Semut Api Colony team
Natali Ardianto with Semut Api Colony team

You have an educational background in technology information, experienced in several industry sectors, from city directory, OTA, fintech, and now healthtech. How would you describe each venture?

I am an industry-agnostic, I had my first startup focused on city directory without any related background. My second company is named Golfnesia, with a fact that I’ve never been playing golf in my life. Next, in my third company, Tiket, none of the board of directors have background in the OTA service. The previous one is a fintech company named Pluang [used to be EmasDigi], and now my ship anchored in healthtech.

Among all these, there’s a silver lining that one must have, a value named industry expert. It’s not only about the educational background, personality traits, or family pictures. In order to reach that stage, one must get through almost everything.

I am, myself, believe in the secret. There’s something called RAS (Reticular Activating System) in our brain that can filter the mind of significant things. When you have something you really want and plant it in your head as clear and vivid as possible. Eventually, you’ll get it.

In the last four companies, you’ve been serving as a tech leader for the last four companies, now you’re a CEO. How do you see the gap in the transition? Is there any specific skill for that?

In a big picturem when we started Tiket, I created the pitch deck and financial plan. I was always been working a business part for the CEO sometimes. Also, I have background as a project manager in the consulting company. If I must say, I’m always be the business-oriented CTO. I’m very aware of budgets and numbers.

Natali as the iCIO awards
Natali as the iCIO awards

Most of the CTOs are very high maintenance in terms of technology. They only want to use the latest and coolest technology, but high costing, In fact, you can still create something impactful with the simple technology you already have. I create Tiket’s system in a very corporate way and financial detaill. Every transaction is recorded, avoiding fraud and corruption. I’m the type of person who likes to learn things, therefore I can’t just focus on tech, but also business.

However, some people get misled just because they’re learning piece by piece, not end-to-end. The agile thing is quite interesting but without vision it’s no longer effective.

Strategic thinking. As a CEO the keyword is you know what you’re going to achieve in 5 to 10 years. Some CTOs still on to 6 to 2 years plam due to the dynamic industry. In fact, foundations such as legal, finance, businessm is what really matter. I’m lucky to have a good mentor and eleven years of experience. Honestly, today I kinda feel relieved, because decision is a repeating process. When you already know the strategy it’s only time to repeat the previous overcomes.

In terms of Business and Life, do you have someone or something that you really look up to? Either a mentor, companion, things that shaped you into the current position?

In terms of companion, I’d say my wife. I met her in 2002 in time of my chronic introvert issue. Actually, she helped me changed too, on how to communicate, dress well and many others. She’s now a master in psychology counseling. she’s my learning partner, especially in understanding people.

 

The keyword to the leadership position is to manage people. You have to find a way to make them stay, even though what you offer is not as big as the giant company out there. I try to understand and fulfill the emotional part not only financially.  Because we try to create a foundation not only based on money. The problem when people have money, they try to solve everything using it. A way to solve a problem is to become an effective person. When you become an effective person, you also become an efficient person.

Personally, in terms of running a company, Jonggi Manalu of Tiket is my inspiration. In general, Larry Page & Sergey Brin are always the best example, but the first 11 years, Eric Schmidt becomes the seasoned executive and makes google very corporate. I called it corporate agility, corporate is the foundation of a company while agility is how we run the company. Why the foundation must be corporate? Because I often find a company struggling with cash leak, corruption, financial weakness, legal issue, and under management.

Running a startup means running a company, not just a product. You can make a product but if you don’t know anything about marketing, business development, things related to a corporation it won’t work.  I found out two things that can make a company going down, it’s when the founder gives up and the cash runs out.

Natali Ardianto at Tiket grand launching
Natali Ardianto at Tiket’s grand launching

Among the several industries you’ve been managed, which one is the most challenging? What is your biggest lesson for these past experiences?

In terms of entrepreneurship, the key point is timing. Running a company that is not commerce-based is really tough. In order to gain one transaction, either big or small margin need practically the same effort.

In running a company, I’d rather called it a hardship. When running something to be profitable, everything is restricted by budget. As an example, when I’m in the OTA industry, with the current small team competing against the horsepower of our competitor is one hell of a struggle. If I were to say it, not the lowest point, but hardship. The toughness of trying to run a profitable company.

What do you aim next? Is there any unfulfilled dream or something you really want to do after all these?

Startup Montage

After exiting from Tiket.com, I wanted to take a year of “retirement”. My wife and I travel around 5 continents, over 30 cities. But I didn’t enjoy that kind of retirement at all. Eventually, in the 7th month, I help co-found another startup. Building something from scratch and turn it into a big thing has always been my passion. I guess I wouldn’t trade it for anything. Even if I will do this until I am 70 years old, I would still do the same thing. Creating a great product that everyone uses and loves. Also, one day I would like to pursue a Ph.D. in entrepreneurship or e-commerce.

Jovee mengandalkan "data science" dalam memberikan rekomendasi suplemen sesuai kebutuhan

Aplikasi Penyedia Kebutuhan Suplemen Jovee Hadir Ramaikan Pasar Healthtech

Pasar health tech Indonesia kembali kedatangan pemain baru Jovee. Melalui PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia (ITMI), Jovee hadir sebagai platform penyedia kebutuhan suplemen untuk pengguna milenial.

Co-Founder dan CEO Jovee Natali Ardianto menyebutkan, pihaknya memiliki misi untuk membangun literasi kesehatan pengguna milenial yang berada di rentang usia 23-38 tahun. Untuk memahami kebutuhan kesehatan mereka, Jovee mengedepankan personalisasi produk.

Menurutnya, seluruh dunia hingga saat ini belum mencapai standar konsumsi yang baik. Di samping itu, masih banyak yang belum sadar bahwa kebutuhan nutrisinya belum tercukupi. Mengutip Global Burden of Disease Study 2017, Natali menyebut konsumsi tidak sehat berkontribusi terhadap 22 persen kematian di dunia.

“Untuk itu, kami mengandalkan data science dalam memberikan rekomendasi suplemen ke pengguna. Ke depannya, kami ingin bergantung pada data science karena goal kami ingin menjadi top of mind penyedia suplemen di masa mendatang,” tuturnya ditemui di peluncuran aplikasi Jovee, Kamis (14/11/19).

Untuk pengguna Android, aplikasi Jovee sudah bisa diunduh di Google Play, sedangkan versi iOS akan tersedia dalam waktu dekat.

Dalam mendapatkan rekomendasi sesuai kebutuhan, pengguna di awal masuk ke aplikasi akan diminta untuk 20-30 pertanyaan berkaitan dengan concern kesehatan dan rekam penyakit yang dimiliki.

Setelah itu, algoritma akan mengolah data tersebut untuk mengetahui suplemen yang dibutuhkan. Tak hanya berbasis data, personalisasi kebutuhan suplemen ini juga diperkuat oleh rekomendasi lima apoteker yang saat ini dimiliki Jovee.

“Kami mau cari traction dulu. Kalau [penggunanya] banyak, kami akan tambah jumlah apotekernya,” ungkap Natali yang juga eks Co-founder dan CTO Tiket.com ini.

Berbeda dengan pemain healthtech lain yang fokus sebagai agregator, Co-founder dan CCO Jovee Abi Dwiaji Wicahyo mengungkap bahwa Jovee memiliki posisi berbeda. Menurutnya, Jovee memiliki apotek sendiri untuk menjaga kualitas dan keamanan, serta mitra penyuplai produknya sendiri.

ITMI merupakan anak usaha PT Indopasifik Medika Investama. Induk usaha ini memiliki beberapa unit bisnis yang dapat memperkuat bisnis Jovee ke depan, yaitu jaringan apotek Pharmaplus, klinik Primecare, dan aplikasi penghubung perawat dan lansia Homecare24.

Lebih lanjut, saat ini pihaknya bermitra dengan perusahaan logistik untuk mendukung pengiriman ke seluruh Indonesia. Soal metode pembayaran, Jovee belum didukung oleh pembayaran digital seperti, OVO, GoPay, LinkAja, dan DANA.

“Namun, kami terbuka untuk kerja sama dengan mereka [penyedia pembayaran digital],” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here
Travelingyuk, Lapaktrip, DeRegent

Tiga Startup Bidang Pariwisata Umumkan Merger dan Bentuk Holding Baru

Industri pariwisata Indonesia dipercaya masih memiliki potensi yang begitu luas, banyak irisan di dalamnya yang belum tergarap maksimal meski sudah banyak pemain OTA hadir. Dari semangat tersebut, memutuskan para petinggi Travelingyuk, Lapaktrip, dan DeRegent untuk memilih langkah merger dan membentuk holding baru agar layanan semakin terintegrasi dengan fokus yang jelas dan terarah.

Ketiga perusahaan di atas beroperasi di bawah holding bernama PT Turisme Global Diginet (TGD Holding) secara resmi per Juli 2019. Natali Ardianto dan Khrisna Mokoginta menjadi komisaris untuk TGD holding. Mereka adalah beberapa nama dibalik dirintisnya Tiket.com.

Sebagai informasi, baik Travelingyuk, Lapaktrip, dan DeRegent ini lahir dari kalangan orang-orang Tiket.com. Natali dan Khrisna juga terlibat sebagai investor untuk pendirian Travelingyuk dan DeRegent.

Travelingyuk adalah portal berita khusus pariwisata yang dipimpin oleh Sa’atul Ihsan. Sementara Lapaktrip adalah marketplace khusus penjualan paket tour and activities. CEO-nya adalah Hendry Prianto, sebelumnya bekerja di Tiket sebagai Head of Product – Hotel Division.

Terakhir, DeRegent adalah pengelola tourist information center (TIC), memasarkan iklan offline di bandara internasional dalam bentuk videotron. DeRegent dipimpin oleh Jonggi Manalu, sebelumnya dia memimpin Tiket sejak 2014-2017 sampai akhirnya diakuisisi penuh oleh Blibli.

Bila dilihat, ketiga perusahaan ini bidangnya saling beririsan satu sama lain dan dipercaya bisa memberikan sinergi untuk kemajuan industri pariwisata.

“Sinergi antara Travelingyuk, DeRegent, dan Lapaktrip saling berkaitan. Lapaktrip butuh promosi secara online lewat Travelingyuk, lalu DeRegent untuk offline-nya. Karena kita semua bermain di industri pariwisata, akhirnya memutuskan untuk bentuk perusahaan holding, ketiganya akan beroperasi di bawah holding,” terang Komisaris TGD Holding Khrisna Mokoginta kepada DailySocial.

Natali turut menambahkan, kondisi industri tour and activities ini tak jauh bedanya seperti industri OTA dimulai yang ditandai dengan kelahiran Tiket. Penyedia jasa tour and activities masih belum tersentuh dengan dunia digital, makanya proses booking masih sangat manual. Namun semua masalah tersebut seperti tidak terlihat.

“Kita percaya tour and activities ini akan sangat besar karena sekarang orang beli kamar hotel dan perjalanan dengan sangat murah. Yang kita offer adalah value added, bisa dapat makan malam gratis atau pick up dari airport. Makanya dari pengalaman kita ini, transaksi average ke depannya akan jauh lebih besar dari OTA karena value-nya lebih besar.”

Dari keputusan bisnis ini, Lapaktrip akan menjadi platform utama sebelum mengarahkan kebutuhan konsumen yang ingin beriklan lewat DeRegent atau mencari informasi pariwisata melalui artikel yang dipublikasi oleh Travelingyuk. Database paket wisata dari agen tour and activities pun akan diperbanyak di Lapaktrip agar konsumen punya banyak pilihan.

Oleh karena itu, Khrisna menjelaskan secara bertahap akan perkuat sistem internal agar pelayanan ke konsumen makin baik dan sistem pembayaran agar opsi konsumen bisa lebih banyak untuk bertransaksi di Lapaktrip.

Rencana bisnis berikutnya

CEO Lapaktrip Hendry Prianto menjelaskan ke depannya Lapaktrip akan menyediakan paket tour and activities untuk kegiatan di luar negeri, tidak hanya di dalam negeri saja. Perusahaan melihat peluang yang belum disentuh meski Traveloka lewat Traveloka Xperience dan Klook, bahkan Tiket sendiri sudah merambahnya.

Perusahaan besar tersebut belum merambah hingga paket wisata yang menyeluruh dan tiket atraksi wisata yang disediakan oleh UKM. Kebanyakan pemain OTA baru menyentuh penyedia yang banyak dikenal wisatawan.

“Misi kita cukup beda, kami ingin bantu agen tur konvensional untuk go digital dengan Lapaktrip agar mereka bisa berkompetisi dengan yang lainnya. Lapaktrip bisa menjadi channel penjualan mereka yang baru,” kata Hendry.

Dari segi transaksi, Hendry menyebut perusahaannya telah menghasilkan transaksi, namun dianggap belum begitu besar. Lantaran belum melakukan kegiatan promosi apapun sejak awal berdiri.

Dia menyebut Lapaktrip telah bermitra dengan 80 operator tur dan 1200 paket wisata yang ditawarkan. Pasca bergabungnya perusahaan ke dalam holding, Hendry akan perbanyak kemitraan dengan 1000 operator tur sampai akhir tahun ini.

Agen tur yang ingin bergabung harus memenuhi beberapa persyaratan umum, mereka harus sudah berbadan hukum dan punya alamat kantor yang jelas demi meminimalisir potensi penipuan.

Seluruh produk yang dipajang di Lapaktrip kemungkinan besar juga akan tersedia di videotron DeRegent yang delapan bandara internasional. Seperti di Bandara Soetta (Cengkareng), Sultan Mahmud Badaruddin (Palembang), Silangit (Medan), dan Minangkau (Padang).

Tak hanya itu, videotron ini bisa jadi ajang promosi untuk para UKM agar semakin dikenal para wisatawan. Juga memasarkan informasi yang dipublikasi lewat Travelingyuk. Secara pencapaian, situs media online ini diklaim telah dikunjungi oleh 195 juta kali sejak Januari 2018-April 2019. Dari angka itu, pembaca loyalnya mencapai 33 juta orang.

Agar ketiga startup ini makin tumbuh pesat, Natali menyebut pihaknya sedang melakukan penggalangan dana untuk Seri A. Prosesnya masih berlangsung dan diharapkan akan segera selesai pada akhir Agustus 2019.

Tips untuk Founder Startup

Tips Dasar untuk Founder Ketika Memulai Startup

Startupfest 2019 di Medan minggu lalu menghadirkan banyak pembicara dari berbagai latar belakang. Kebanyakan berbagi tentang pengalamannya dalam mengembangkan startup. Dari proses merencanakan, menjalankan, dan mempertahankan bisnis. DailySocial mencoba merangkum beberapa tips yang disampaikan narasumber.

Sesi Natali Adrianto

Natali Ardianto berkesempatan membagikan pengalamannya berkecimpung di dunia startup di panggung utama Startupfest 2019. Mantan CTO Tiket dan EmasDigi ini menyampaikan beberapa hal yang penting dimiliki founder.

Pertama adalah membekali diri dengan pengetahuan dan pengalaman. Menurutnya, kesalahan pertama para entrepenuer adalah memulai berbisnis dasar ilmu yang mumpuni. Jadi jangan mulai berbisnis sebelum mempunyai bekal cukup. Minimal carilah mentor untuk membimbing pada saat merancang bisnis. Cari yang terikat secara profesional, opsi menawarkan saham juga patut dipertimbangkan.

alidasi ide penting dilakukan. Jangan langsung memulai bisnis dari ide, mulailah dengan menjalankan business model canvas untuk mengidentifikasi banyak hal, termasuk visi bisnis yang akan dijalankan. Validasi ini termasuk mengukur seberapa besar pangsa pasar yang disasar, plus mendengar masukan-masukan dari pengguna.

Jika ingin membangun sebuah bisnis yang terencana dan memiliki tujuan pasti, kembangkan rencana bisnis (business plan). Rencana bisnis yang terdokumentasi dengan baik juga akan memudahkan pada saat pitch atau bertemu dengan investor.

Lalu, jalankan analisis SWOT. Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) merupakan analisis paling dasar yang bisa digunakan untuk “memetakan” bisnis. Natali dalam presentasinya menyarankan agar lebih fokus pada poin W, karena dengan demikian kita bisa fokus memperbaiki diri agar lebih baik lagi. Tentunya tanpa mengabaikan yang bagian lainnya.

Identifikasi tim pendiri. Memperjelas status tim dari awal jadi hal penting. Pastikan dia sebagai co-founder atau sebagai karyawan biasa. Semua harus ditentukan dari awal. Sebagai founder carilah kelemahan diri untuk mencari co-founder yang melengkapi tim. Setelahnya jelaskan pembagian ekuitas/saham agar tidak terjadi permasalahan ke depannya.

Bangun MVP (Minimum Viable Product). Setelah ide divalidasi dan model bisnis ditemukan segera bangun MVP. Segera keluarkan produk untuk secepatnya bisa dicoba oleh pengguna dan mendapatkan masukan. MVP tersebut kaitannya juga dengan kehadiran online produk startup. Untuk bisa dikenal banyak orang, manfaatkan jejaring online untuk mempromosikan produk.

Setelah matang, siapkan pengacara. Ini adalah bagian persiapan jika nantinya ketika tumbuh besar bisnis sudah memiliki pengacara untuk menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Jangan lupa juga untuk belajar keuangan. Menurut Natali permasalahan perusahaan mati karena dua hal, yakni founder yang menyerah dan kehabisan dana. Untuk itu kemampuan perencanaan dan pengelolaan keuangan harus dimiliki founder.

Pemilihan teknologi harus diperhitungkan. Ini berkaitan dengan investasi dari segi infrastruktur. Untuk membangun sebuah platform yang menyesuaikan dengan pertumbuhkan, platform cloud untuk mendapatkan fleksibilitas dan pengelolaan yang mudah. Gunakan juga platform analisis untuk mengukur capaian-capaian dari produk.

Setelah produk diluncurkan cobalah membangun komunikasi dengan investor. Mulailah dengan menceritakan perkembangan bisnis ke investor, sehingga ketika suatu saat membutuhkan pendanaan investor sudah mengetahui perjalanan startup.

Sesi Jourdan Kamal

Startupfest 2019 juga menghadirkan Jourdan Kamal selaku Founder MauBelajarApa, platform marketplace pembelian tiket untuk belajar. Di panggung utama ia membagikan pengalamannya menjalankan MaubelajarApas selama lima tahun.

Untuk mulai menjalankan bisnis bagian pengembangan produk adalah satu yang krusial. Hanya saja sebagai sebuah startup prinsip “segera memulai” perlu dilakukan. Pastikan MVP segera meluncur ke publik. Tidak perlu langsung mewah dengan segala fitur yang keren dan teknologi yang mutakhir. Cukup menemui calon pelanggan dengan solusi. Itu cukup untuk sebagai awal perjalanan.

Operasional ada dalam poin penting yang disampaikan Jourdan. Pengelolaan di sini termasuk anggota tim, ruangan, dan kebutuhan-kebutuhan pengembangan bisnis. Jika mulai kewalahan mengantisipasi pertumbuhan bisnis segera mencari tambahan bisa freelance atau outsource. Sehingga bisnis bisa menyesuaikan. Kantor mewah memang dambaan semua startup, tapi jika untuk mengawali carilah tempat yang sederhana namun nyaman untuk bekerja.

Semua bentuk bisnis butuh upaya pemasaran untuk mengenalkan produknya. Salah satu kanal efektif yang bisa dimanfaatkan oleh startup adalah media sosial. Bangun brand dan interaksi dengan pengguna di media sosial. Sesekali lakukan kolaborasi dan temu komunitas untuk menguatkan hubungan dengan pengguna. Jangan lupa minta komunitas untuk berbagi cerita di media sosial. Semua respons positif di media sosial juga berperan dalam meningkatkan kepercayaan pelanggan.

Natali Ardianto Optimism Into Healthtech Segment

In late 2019, Catcha Group has released three predictions of the startup industry’s future in Indonesia to the next 2020. One of them is the next potential unicorn startup from fintech and healthtech segment.

The prediction might be true. Healthcare market in Indonesia is projected to reach $363 billion by 2025, 18 times up from $20 billion in 2010. It was due to the high demand for health services.

Beyond the big potential, there’s a challenge shadowing the health service industry, such as the lack of medical examiners in the suburban area and uneven health facilities. Lots of people think that only riches can go to the doctor because of the expensive cost.

Tiket‘s Co-Founder, Natali Ardianto decided to enter the healthtech sector to be released in late 2019. He was involved in EmasDigi fintech startup, then exit to fully develop his new startup.

“I personally like to start from a small thing until it grows bigger. TAM [total addressable market] in healthcare is big, but it’s yet to have a success story in Indonesia. It’s the same with OTA when Tiket was founded in 2011 because the TAM was big with no competitor,” he said to DailySocial.

He said the healthtech industry in Indonesia is still at infancy stage, where lots of players are starting to aware of the potential and compete to become the biggest one. He didn’t worry because there are opportunities to work with the new startup.

Ardianto is now a Co-Founder and CEO of Indopasifik Teknologi Medika Indonesia (ITMI) and Advisor for Indopasifik Medika Investama (IMI). IMI is a holding company of some health services, such as PharmaPlus (pharmacy), Homecare24 (an app of home care services and nurses), and PrimeCare Clinic (specialist and general clinic).

IMI is affiliated with Kwari family business who have been in the health industry for 40 years.

ITMI will be the healthtech startup under IMI with two services to offer by the end of this year. Consider many things, Ardianto is yet to spill the details about the name and segment to target.

“What’s this about, is still undisclosed. Yet we’ll make two digital products to launch by late 2019.”

ITMI become the fifth startup Ardianto’s been working on. The first is Urbanesia (city directory) acquired by Kompas. Next, Golfnesia (golf booking website), Tiket (OTA) acquired by Djarum through Blibli, and EmasDigi (online gold trading website).

ITMI optimism

Without any details, he has high optimism for ITMI. He projected, by two years, the company should be profitable and cover 0,07% healthcare market in Indonesia.

He believes because the developing product had proven successful overseas. ITMI only replicates and modifies it according to conditions in Indonesia. This service is said to available offline, but now it’s already digitized.

“Similar to Gojek, digitizing two-wheeler drivers. But the two-wheeler itself has been there for a long time. That is what we’re doing now. The point is, to digitize a product, you have to know how to make it online. That’s our job [engineer], but when it comes to the industry, we need an expert.”

The ITMI product is currently in development and should be capable to complete each product from sister companies in the IMI ecosystem.

The official team has been working since June 17th consist of 11 people. Ardianto becomes the co-founder with four others, which also previously worked at Tiket.

Ardianto expects to recruit many engineers to accelerate ITMI development, as much as 52 people by the end of the year. In terms of company status, ITMI has been sponsored by Pre Series A funding from holding.

“[As the CEO] now I get to be able to run the company the way I really want. The key is execution, I haven’t got many stories. I hope my experience [from previous companies] can help us make the right execution,” he added.

Ardianto’s involvement in this segment helped to fire up healthtech’s startup competition in Indonesia. The previous players involved include Alodokter, Halodoc, Medigo, HubSehat, Ayomed, Cek.id, SehatQ, Medi-Call, and many more.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian