Tag Archives: Netflix Indonesia

Riuhnya Sambutan Kehadiran Netflix di Indonesia

Keputusan ekspansi layanan streaming video global Netflix di 130 negara pada 7 Januari silam telah menimbulkan beragam reaksi, terutama di Indonesia. Meski sempat mendapat sambutan positif, nyatanya Netflix tak dapat begitu saja melenggang mulus di sini. Sudah ada banyak batu sandungan yang mulai menyambut, mulai dari sisi legalitas, sensor konten hingga ketentuan pembentukan Badan Usaha Tetap (BUT).

Masuknya Netflix di Indonesia sebenarnya cukup mengejutkan, mengingat Netflix pernah menyebutkan bahwa kehadirannya di Asia Tenggara akan fokus di Singapura saja. Di Indonesia, Netflix hadir dengan tiga paket yang dapat dibayar hanya melalui kartu kredit. Untuk konten, meski belum selengkap versi Amerika, konsumen sudah dapat berlangganan melalui tiga kanal, yakni di situs resmi Netflix, iTunes dan GooglePlay.

Suara bising legalitas dari industri terkait

Isu pertama datang berkaitan dengan urusan sensor film. Dilansir oleh Detik, Kepala Humas dan Pusat Informasi Kemenkominfo Ismail Cawidu menyebutkan bahwa perangkat hukum dan pelaksana Lembaga Sensor Film (LSF) masih belum siap untuk menyortir serbuan film di Internet.  Pun begitu LSF sendiri telah menyuarakan untuk meminta Netflix memenuhi aturan sensor di Indonesia.

Isu kedua datang dari pemerintah. Menkominfo Rudiantara yang awalnya terkesan terbuka dengan kehadiran Netflix, belakangan juga mulai terlihat berubah haluan. Dikutip dari Kompas, Rudiantara mengatakan:

“Netflix akan diwadahi dari sisi regulasi, karena ada kepentingan masyarakat yang harus diproteksi, terutama dari sisi konten.”

Meski tidak sampai pada keputusan untuk memblokir layanan, namun Rudiantara berharap Netflix dapat membuka BUT bila ingin beroperasi di Indonesia. Ini adalah keputusan sama yang dijatuhkan pada layanan OTT asing lain seperti Google, Facebook dan Uber. Dengan menjadi BUT artinya Netflix harus tunduk dengan UU yang berlaku dan setiap transaksi akan dikenakan pajak.

Terakhir datang dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel). Sandungan ini cukup keras, karena Mastel dengan tegas menyatakan bahwa Netflix layak dihentikan operasinya di Indonesia. Alasannya, Netflix dianggap telah melanggar sejumlah aturan penyiaran dan perfilman di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Perpres No. 39 tahun 2014, Mastel beranggapan bahwa Netflix seharusnya juga dikenakan ketentuan yang sama dengan penyelenggara jasa perfilman dan TV berbayar lainnya. Sementara itu pasal 25 ayat (1) & (2) UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran mengindikasikan keinginan Mastel agar Netflix membentuk badan hukum terlebih dahulu.

Sedangkan pada UU 33 tahun 2009 tentang perfilman, pada pasal 29 dan 30 juga mengindikasikan tentang kewajiban memiliki badan hukum untuk pelaku usaha pertunjukkan film. Pada pasal 41 dijelaskan bahwa pemerintah seharusnya melarang masuk film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan.

Ketua Umum Mastel Kristiono menyebutkan, “Netflix menjadi salah satu contoh pelaku perdagangan global yang turut memperpanjang daftar OTT asing yang menyingkat berbagai aspek ketaatan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.”

“Padahal selama ini pemerintah sangat tegas menegakkan aturan-aturan tersebut kepada pelaku industri perfilman, telekomunikasi, penyelenggara penyiran ataupun TV berbayar,” lanjutnya.

Angin segar untuk melawan aktivitas pembajakan

Inilah Indonesia. Ketika datang suatu layanan yang dinilai “mengganggu” industri yang sudah mapan, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi kebisingan, selain sambutan meriah dari pengguna akhir. Netflix hanya salah satu contohnya.

Sebenarnya kalau mau dilihat lebih jauh, Netflix dapat menjadi salah satu senjata edukasi melawan aktivitas pembajakan yang sudah mendarah-daging di Indonesia. Seperti yang diketahui, pembajakan di Indonesia sudah sampai pada titik tidak bisa lagi dihapus langsung. Solusi yang tersisa adalah memperluas alternatif untuk akses konten secara legal.

Teknologi yang melaju cepat dengan inovasinya saat ini memang telah menipiskan batas aturan konvensional yang tertata. Indonesia sebagai negara berkembang adalah salah satu yang terkena imbasnya akibat aturan yang belum siap.

Tapi seharusnya ini juga jangan dijadikan alasan untuk tidak menghormati tatanan yang sudah ada. Aturan yang nantinya diciptakan pun jangan sampai menjadi “rem” untuk inovasi sudah atau akan hadir.

Selain tekait dengan regulasi, ke depannya, Netflix yang sudah mampir ke Indonesia ini juga harus siap dengan hambatan-hambatan lain. Mulai dari belum meratanya adopsi Internet berkecepatan tinggi, belum tingginya penggunaan kartu kredit, dan rendahnya pemahaman untuk mengadopsi konten legal.

Bukan HOOQ dan iflix, Netflix Lebih Dulu Masuk Indonesia

Di luar dugaan, layanan streaming video global Netflix memasukkan Indonesia ke dalam ekspansinya ke 130 negara baru hari ini. Sebelumnya HOOQ dan iflix, dua layanan serupa yang fokus di pasar Asia Pasifik, juga membidik Indonesia tahun ini. Tahun 2016 ini Indonesia bakal dimanjakan oleh layanan streaming serial TV dan film secara legal. Pada akhirnya, yang menjadi pertanyaan apakah layanan seperti ini bakal membantu menekan angka pembajakan.

Kehadiran Netflix di Indonesia cukup mengejutkan karena sebelumnya Netflix menyebutkan kehadirannya di Asia Tenggara hanya akan fokus di Singapura. Netflix hadir dengan tiga paket berlangganan yang semuanya hanya bisa dibayar melalui kartu kredit. Selain mendaftar langsung ke situsnya, konsumen bisa berlangganan melalui iTunes dan Google Play.

Secara umum, konten Netflix di Indonesia, seperti halnya di negara-negara lain, belum selengkap konten Netflix versi Amerika Serikat. Cukup banyak serial TV dan film yang belum tersedia di sini, mungkin isu dengan distribusi dan hak cipta. Kami juga belum tahu apakah siarannya sudah menyesuaikan dengan standar sensor di Indonesia.

Layanan seperti Netflix bukan ditujukan untuk bersaing dengan bioskop, melainkan dengan layanan TV kabel, DVD, blu ray, dan layanan digital, seperti iTunes dan Google Play.

Apa arti kehadiran Netflix di Indonesia? Ada dua faktor yang kami lihat di sini. Pertama, sebagai layanan streaming video terbesar, Netflix bakal mendorong edukasi pemanfaatan konten legal dengan biaya yang relatif cukup terjangkau.

Dibandingkan konten di iTunes dan Google Play Movies, atau bahkan DVD dan blu ray sekalipun, biaya Rp 109 ribu sebulan (paket paling murah) akan dirasa ekonomis jika konsumen terbiasa mengkonsumsi lebih dari 5 judul film atau serial TV sebulannya. iflix dan HOOQ, jika nanti sudah tersedia, tidak perlu lagi menjelaskan model bisnisnya karena Netflix sebagai role model sudah tersedia di sini.

Kedua, di sisi kompetisi, kehadiran Netflix bakal membuat HOOQ dan iflix lebih kreatif untuk menarik pelanggan mengingat jangkauan layanan dua perusahaan ini tidak sebesar Netflix. Mereka harus dan bakal memanfaatkan dua keunggulan yang dimiliki, yaitu pemahaman terhadap selera lokal dan kerja sama dengan operator telekomunikasi lokal untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan menggunakan kartu kredit.

Secara umum, kehadiran layanan streaming seperti ini memberikan alternatif yang layak bagi konsumen. Setelah pasar musik yang sudah “diganggu” oleh berbagai layanan streaming berharga terjangkau, kini konsumen Indonesia memiliki pilihan legal untuk konten berbasis video.

Hambatan

Seperti halnya segmen musik, film dan serial TV memiliki musuh bersama, yaitu pembajakan. Berbeda dengan layanan streaming musik yang bisa mengakomodir layanan gratis dengan skema model bisnis berbasis iklan, agak susah memberikan perlakuan serupa untuk layanan streaming video. Model bisnis yang selama ini diadopsi siaran televisi tidak bisa dikopi mentah-mentah oleh layanan streaming.

Ada banyak hambatan yang menghadang layanan seperti ini. Belum luasnya adopsi Internet berkecepatan tinggi, belum tingginya penggunaan kartu kredit, dan rendahnya pemahaman untuk mengadopsi konten legal merupakan PR bagi Netflix, iflix, dan HOOQ supaya bisa bertahan lama di Indonesia, dan negara-negara berkembang lainnya. Pun masih menjadi pertanyaan apakah konten-konten yang dihadirkan oleh layanan seperti ini sudah sesuai dengan selera konsumen lokal.

Kita tunggu apakah masyarakat bakal menyambut baik layanan seperti ini dan mengurangi ketergantungan terhadap konten ilegal. Setidaknya, kini kita punya pilihan.