Tag Archives: Nicko Widjaja

BRI Ventures Akan Bagi Dividen ke Investor Sembrani Nusantara

BRI Ventures (BVI) mengumumkan akan membagikan dividen kepada para investor Dana Ventura Sembrani Nusantara menyusul kinerja laba bersih yang diperoleh beberapa portofolio investasinya. Dividen akan dibagikan dengan yield berkisar 12%-14%.

Co-Founder dan CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengatakan bahwa portofolio Sembrani Nusantara menunjukkan kinerja positif terlepas dari situasi pasar yang tidak menentu pada beberapa tahun terakhir. Industri startup sempat mengalami kenaikan valuasi fantastis di 2021, tetapi sejak tahun lalu investor mulai fokus terhadap profitabilitas.

“Memang challenging, tetapi message kami jelas bahwa kami ingin membangun industri ventura di Indonesia. Kita tidak mungkin fundraising untuk menghidupi perusahaan, melainkan memberikan funding untuk ekspansi perusahaan. Kami ingin mengembalikan kepercayaan di industri startup sehingga [portofolio] harus profit,” ujar Nicko saat Media Luncheon BVI, Rabu (24/5),

Sembrani Nusantara merupakan dana kelolaan yang menghimpun dana dari investor di luar BRI Group. Target investasinya adalah startup tahap awal di sektor non-fintech, termasuk consumer (new retail).

Diketahui, Sembrani Nusantara baru berjalan efektif pada 2021. Putaran dana pertamanya ditutup dengan nilai sebesar Rp150 miliar pada akhir 2020. Beberapa portofolionya adalah Haus! dan Broom.

Fokus di new retail

Chief Investment Officer BRI Ventures Markus Liman menambahkan, Dana Ventura Sembrani Nusantara terus mengeksplorasi peluang investasi di sektor consumer (new retail) karena telah membuktikan profitabilitas dan keberlanjutan pada model bisnisnya.

Saat ini, ada tiga sub sektor yang menjadi fokus utama Sembrani Nusantara di industri new retail, yakni F&B, beauty, dan fashion. Pelaku startup di sektor ini memanfaatkan model D2C untuk menjangkau pasar. “Beberapa tahun terakhir, penerimaan pasar terhadap brand-brand lokal di Indonesia semakin membaik,” tambah Markus.

Mengacu laporan White Paper BRI Ventures bertajuk “The Birth of New Retail”, sektor D2C di Indonesia berkembang pesat. Pertumbuhannya digerakkan oleh kenaikan penetrasi smartphone dan luasnya penggunaan media sosial, memungkinkan masyarakat untuk belanja online produk milik startup D2C.

Selain itu, keberadaan platform e-commerce juga turut membawa dampak terhadap berkembangnya komunitas pengguna. Maka itu, pelaku D2C di Indonesia diprediksi akan meningkatkan skalabilitas dengan cepat dalam beberapa tahun ke depan.

Sektor F&B terbilang menjadi sektor D2C paling produktif di Tanah Air. Sejumlah pemain F&B tak sedikit yang mengamankan investasi dari pemodal ventura, dari Kopi Kenangan (unicorn F&B pertama di Indonesia), Lemonilo, hingga Fore Coffee.

BRI Ventures Bidik Penggalangan Putaran Akhir “Sembrani Kiqani” Sebesar 784 Miliar Rupiah

BRI Ventures (BVI) membidik penggalangan putaran akhir dana kelolaan Sembrani Kiqani dengan target sebesar $50 juta atau sekitar 784 miliar Rupiah. Dilansir dari DealStreetAsia, BVI sebelumnya telah menutup putaran pertama Sembrani Kiqani pada Juni 2022.

Melalui unggahan di laman LinkedInFounding CEO BVI Nicko Widjaja bercerita perjalanan dana kelolaan Sembrani Nusantara yang dibentuk pada Juni 2020 di puncak ketidakpastian situasi global, dan dimulai dengan ekspektasi rendah. Sembrani Nusantara merupakan dana kelolaan ventura pertama di Indonesia yang berizin dan diawasi OJK. Dana kelolaan yang diperoleh melampaui target awal yang sebesar Rp300 miliar pada awal 2021. 

Kemudian, Kiqani juga dibentuk pada tahun berikutnya, serupa dengan situasi global saat ini. Namun, pihaknya mampu mengamankan dana putaran pertama dari berbagai LP dengan pencapaian lebih tinggi dari target.

“Mengelola dua dana kelolaan di Indonesia bukanlah hal yang mudah, terutama ketika dana kelolaan ini adalah pionir—dan diluncurkan pada situasi yang penuh ketidakpastian. Meski banyak rintangan, hambatan, (dan hal-hal negatif), Sembrani dan Kiqani dapat bertahan menghadapi segala rintangan,” tulis Nicko.

Fokus BVI

BVI dibentuk pada tahun 2019 dengan debut dana kelolaan senilai $250 juta atau setara dengan Rp3,5 triliun. Nicko Widjaja ditunjuk sebagai CEO BVI pada Juli 2019, meninggalkan posisinya sebagai CEO MDI Ventures yang telah dijalani selama lebih dari 4 tahun.

Dengan dana awal disokong oleh induk perusahaan, BVI telah menyalurkan investasi ke perusahaan-perusahaan yang fokus di industri fintech seperti Investree, Modalku, Payfazz, Tanihub, dan juga Nium.

Sembrani Nusantara diluncurkan sebagai medium perusahaan untuk mengecap pendanaan eksternal. Strukturnya sendiri terbilang baru karena berbentuk Kontrak Investasi Bersama (KIB), yang mengambil konsep mirip Kontrak Investasi Kolektif (KIK) di reksa dana. Dana kelolaan ini menyalurkan investasi pada startup tahap awal di sektor seperti pendidikan, agro-maritim, retail, logistik, dan kesehatan.

Belum lama ini, Sembrani Nusantara juga disinyalir telah menyuntikkan investasi putaran seed pada pemain e-commerce B2B, Belanjaparts, dengan ticket size senilai $2 juta-$3 juta. Hal ini telah dikonfirmasi oleh Nicko Widjaja seperti yang diberitakan oleh DealStreetAsia.

Masih dengan misi yang sama, Sembrani Kiqani menargetkan startup tahap awal, hanya saja difokuskan untuk consumer brands menyasar sektor direct-to-consumer (D2C) dan inisiatif di bidang web3. Melalui medium ini, perusahaan telah mengucurkan dana untuk perusahaan game berbasis blockchain Yield Guild Games SEA dan startup pengembang kemasan ramah lingkungan, Plepah.

Pada Maret 2022, CVC yang terlibat dalam Merah Putih Fund (MPF) ini juga telah menandatangani kesepakatan untuk membentuk dana kelolaan baru, yakni Fundnel Secondaries Fund yang menargetkan investasi sebesar $50 juta atau lebih dari Rp780 miliar di awal tahun 2023.

Pendanaan semester I 2022

DailySocial.id kembali merekap transaksi pendanaan startup digital sepanjang paruh pertama 2022. Terdapat beberapa tren menarik yang dapat dicermati, di tengah isu miring yang tengah menjadi sorotan di ekosistem—salah satunya tentang koreksi pasar akibat krisis ekonomi global—yang berdampak langsung dengan cara investor menilai sebuah startup.

Memasuki kuartal II 2022 sejumlah gejolak muncul, turut berdampak langsung pada iklim investasi startup. Di permukaan, kabar seperti startup melakukan layoff, pivot bisnis, sampai dengan penutupan usaha santer terdengar. Namun kondisi goncangan tersebut ternyata tidak menyurutkan kucuran pendanaan ke startup Indonesia.

Tren pendanaan sepanjang H1 2022

Dari grafik di atas, ada pertumbuhan nilai pada pendanaan lanjutan di sepanjang kuartal II 2022, khususnya seri B ke atas. Jumlah transaksi pendanaan awal dan pra-awal masih mendominasi. Hal ini menunjukkan kehadiran beberapa model bisnis baru yang mencuri perhatian investor.

Salah satu sektor yang juga cukup dilirik adalah D2C. Sektor ini dilihat sebagai peluang untuk menurunkan biaya dan memaksimalkan keuntungan dengan menghilangkan jalur rantai pasokan.

Menurut McKinsey, D2C mengacu pada praktik penjualan produk langsung ke konsumen melalui situs milik perusahaan sendiri, tanpa melalui pengecer atau grosir pihak ketiga. Konsep ini akan menghilangkan penghalang antara produsen dan konsumen, memberikan produsen lebih besar kendali atas merek, reputasi, pemasaran, dan taktik penjualannya.

Startup D2C di Indonesia / Sumber: Startup Report 2021 & Q1 2022 oleh DSInnovate

Konsep D2C juga disebut bisa membantu merek membangun hubungan mereka dengan pelanggan mereka, dengan memberi mereka pengalaman unik dan proposisi nilai sebagai pembeda.

BRI Ventures, melalui Dana Ventura Sembrani Kiqani, melakukan investasi tahap awal dengan nominal dirahasikan untuk startup produsen kemasan ramah lingkungan Plepah

Startup Pengembang Kemasan Ramah Lingkungan “Plepah” Terima Pendanaan dari BRI Ventures

BRI Ventures, melalui Dana Ventura Sembrani Kiqani, melakukan investasi tahap awal untuk startup produsen kemasan ramah lingkungan “Plepah” dengan nominal dirahasiakan. Perusahaan akan memanfaatkan dana segar untuk memvalidasi konsep sustainable business yang mampu bertumbuh, dengan cara meningkatkan kapasitas demi mengurangi harga, penguatan tim, dan mempersiapkan ekosistem bisnis yang menerapkan ESG (Environmental, Social, and Governance) mengacu pada SDG (Sustainable Development Goals).

Plepah didirikan pada 2018 oleh Rengkuh Banyu Mahandaru bersama rekan-rekannya yang berfokus sebagai produsen kemasan alat makan ramah lingkungan berbasis organik nonkayu hutan (NTFP) yang menggunakan bahan mentah limbah komoditas pohon pinang. Startup ini juga mengedepankan konsep komunitas yang memberdayakan desa dan masyarakat di Sumatera Selatan dan Jambi dengan memanfaatkan tenaga kerjanya untuk mengolah limbah sebagai pendapatan ekonomi alternatif.

Sembrani Kiqani merupakan kendaraan investasi yang dirintis BRI Ventures pada November 2021 ditugaskan untuk menyutikkan pendanaan tahap awal kepada startup yang bergerak di sektor D2C dan consumer platform. Salah satu portofolionya adalah Yield Guild Games Southeast Asia (YGG SEA), perusahaan game berbasis blockchain.

Dalam keterangan resmi, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengungkapkan, selama dua tahun belakangan sektor D2C menunjukkan pertumbuhan yang sangat masif. Negara ini membutuhkan inisiatif pendanaan yang ditujukan pada merek lokal di bidang fesyen, kuliner, dan kecantikan yang berkembang pesat saat ini.

“Ini dapat menjadi awal Indonesia sebagai creative economy powerhouse. Brand yang berasal dari Indonesia kita harapkan bisa menjadi pemenang di negara ini, sehingga mampu berkompetisi dengan brand global yang semakin banyak masuk ke tanah air. Hal ini menjadi semangat kami dalam menjalankan inisiatif Sembrani Kiqani,” ujar Nicko dalam keterangan resmi, Senin (30/5).

Direktur Investasi BRI Ventures Markus Liman Rahardja menambahkan, investasi yang diberikan BRI Ventures ini diharapkan dapat mendorong Plepah untuk tetap mengembangkan bisnis dan produknya. Serta, berkontribusi pada percepatan adopsi produk ramah lingkungan di Indonesia.

“Investasi kepada perusahaan ramah lingkungan ini sekaligus menegaskan posisi BRI Ventures sebagai salah satu venture capital yang melihat sebuah startup tidak hanya financially healthy but also environmentally friendly,” kata Markus.

Plepah

Bicara potensi Plepah, sepanjang pandemi membuat layanan pesan-antar di Jabodetabek meningkat sebesar 47%. kondisi tersebut membuat jumlah sampah plastik sekali pakai melambung tinggi. Dengan potensi industri ini terbesar di Asia Tenggara, Indonesia turut menyumbang sampah kemasan plastik sekali pakai sebanyak 561 juta unit setiap bulannya.

Di saat yang bersamaan, kesadaran masyarakat kalangan muda terhadap perubahan iklim diklaim kian meningkat. Hal ini ditandai dengan statistik sebanyak 13,48 juta masyarakat kelompok tersebut yang lebih memilih merek ramah lingkungan. Oleh karenanya, Plepah berkomitmen untuk mengurangi jumlah sampah plastik sekali pakai hingga 15 juta unit mulai tahun depan.

Co-founder & CEO Plepah Rengkuh Banyu Mahandaru menuturkan, startupnya menggunakan operasional berbasis komunitas, dengan memberdayakan masyarakat sekitar kawasan perkebunan, khususnya di pulau Sumatera dengan memberikan mereka pendapatan alternatif dalam proses pengolahan bahan mentah pelepah pinang. Hal ini dilakukan dengan mengedepankan tiga SDG dari PBB sebagai acuannya.

“Sepanjang proses, Plepah menyatukan dan berkolaborasi dengan berbagai pihak di Indonesia, serta bersama-sama menjalankan berbagai kegiatan untuk merancang dan menghasilkan sistem yang berkelanjutan dan menyeluruh demi menjawab tantangan masalah lingkungan dan sosial di Indonesia,” kata Rengkuh.

CMO Plepah Almira turut menambahkan, penyebab tingginya sampah plastik di Indonesia juga diakibatkan oleh pengelolaan sampah plastik yang kurang baik. Jumlah sampai plastik mencapai angka total 68,5 juta ton pada 2021. “Tren ini juga diprediksi akan terus naik hingga 5% setiap tahunnya, jika pengelolaan sampah dan produk alternatif seperti kemasan ramah lingkungan tidak digiatkan dari sekarang,” ujarnya.

Saat ini, perusahaan bekerja sama dengan beberapa merek kosmetik, fesyen, dan makanan, baik dari lokal maupun global untuk menggunakan produk sustainable packaging Plepah sebagai produk substitusi yang lebih ramah lingkungan dan eco-friendly.

Solusi serupa juga ditawarkan oleh Evo & Co yang menawarkan produk substitusi alat makan dan kantong plastik yang terbuat dari bahan ramah lingkungan, seperti rumput laut, singkong, tebu, dan sebagainya. Startup ini juga memperoleh pendanaan tahap awal dari ANGO Ventures pada Agustus 2021.

BRI Ventures and Fundnel to Form a 727 Billion Rupiah Fund

BRI Ventures (BVI) and Fundnel Group (Fundnel) signed an agreement to establish a new fund named the Fundnel Secondaries Fund. This managed fund will support the acceleration of startup growth in Southeast Asia, especially Indonesia.

In an official statement, BVI and Fundnel are to collect $50 million or equivalent to Rp727 billion in this managed fund. Meanwhile, the MoU signing between both entities took place on Monday (09/5).

BRI Ventures’ CEO, Nicko Widjaja revealed that the “exit” trend is very difficult to follow these days due to various macro factors. Therefore, BRI Ventures is very enthusiastic about investing in late-stage startups by helping to provide liquidity in the market. “This collaboration will be a refreshing entry point for foreign investors who want to invest heavily in Indonesia’s developing startups,” he said.

Meanwhile, Fundnel’s Co-Founder and CEO, Kelvin Lee said, this collaboration can create access to a global network of investors to invest in high-growth startups in Indonesia. With BVI and Fundnel track records, he believes to be able to form a strong investment deal.

“We are optimistic that we can achieve the desired growth potential, this also marks our commitment to provide access and liquidity to the startup ecosystem in Indonesia,” Kevin said.

In the e-Conomy SEA report by Google, Temasek, and Bain & Company, the value of the digital economy in Indonesia is projected to grow by 18.9% from $44 billion in 2020 to $124 billion in 2025. This growth is also driven by increased penetration of the internet, smartphones, and internet. and telecommunications infrastructure in rural areas.

In fact, the Fund targets a portfolio with high growth through non-traditional investment channels that are considered to be able to support shareholders, both early backers, founders, and employees.

This strategy is also considered to increase the enthusiasm of investors to develop startups. Meanwhile, existing investors can reinvest their capital into new business opportunities.

Expanding liquidity

On a general note, Fundnel Group is the largest alternative asset marketplace in Southeast Asia. In the last three years, the company has managed more than $12 billion in secondary deals (conditions in which an investor buys stock from an seed investor, founder, or employee in a company).

With Fundnel’s license and involvement in the fundraising ecosystem in Southeast Asia, they are in a strong position to open access and exert greater price influence in regionally acquiring unicorn shares.

Along with its mission, Fundnel is exploring tokenization options for Funds on the Hg Exchange (HGX) to provide liquidity for investors. This option can allow new investors to take advantage of the liquidity in HGX as well as invest in high growth companies with a ticket size of at least $10,000.

Through HGX, Fundnel Group can also support tokenization and digital ownership of alternative assets, such as private security, managed funds, and asset-backed security (ABS) as an end-to-end solution to trade them in small quantities at lower prices so that they can accommodate liquidity needs in the private market.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fundnel Secondaries Fund BRI Ventures

BRI Ventures dan Fundnel Bentuk Dana Kelolaan Bernilai 727 Miliar Rupiah

BRI Ventures (BVI) dan Fundnel Group (Fundnel) menandatangani kesepakatan untuk membentuk dana kelolaan baru, yakni Fundnel Secondaries Fund. Dana kelolaan ini akan mendukung akselerasi pertumbuhan startup di Asia Tenggara, terutama Indonesia.

Dalam keterangan resminya, BVI dan Fundnel menargetkan dapat mengumpulkan investasi sebesar $50 juta atau setara Rp727 miliar pada dana kelolaan ini. Adapun, penandatanganan MoU keduanya dilakukan pada Senin (09/5).

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengungkap bahwa tren “exit sangat sulit dilakukan akhir-akhir ini dikarenakan berbagai faktor makro. Maka itu, BRI Ventures sangat antusias untuk berinvestasi di startup tahap akhir dengan membantu menyediakan likuiditas di pasar. “Kolaborasi ini akan menjadi entry point yang menarik bagi pemodal asing yang ingin berinvestasi besar ke startup yang tengah berkembang di Indonesia,” tuturnya.

Sementara itu, Co-Founder and CEO Fundnel Kelvin Lee mengatakan, kolaborasi ini dapat membuka akses ke jaringan investor global untuk berinvestasi ke startup yang memiliki pertumbuhan tinggi di Indonesia. Dengan rekam jejak BVI dan Fundnel, pihaknya meyakini dapat mendapatkan kesepakatan investasi yang kuat.

“Kami optimistis dapat mencapai potensi pertumbuhan yang diinginkan, sekaligus ini menandai komitmen kami untuk menyediakan akses dan likuiditas ke ekosistem startup di Indonesia,” ujar Kevin.

Dalam laporan e-Conomy SEA oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, nilai ekonomi digital di Indonesia diproyeksi tumbuh sebesar 18,9% dari $44 miliar di 2020 menjadi $124 miliar di 2025. Pertumbuhan ini turut dipicu oleh meningkatnya penetrasi internet, smartphone, dan infrastruktur telekomunikasi di area rural.

Adapun, Fund membidik portofolio dengan pertumbuhan tinggi melalui jalur investasi non-tradisional yang dinilai dapat mendukung pemegang saham, baik investor awal (early backer), founder, maupun karyawan.

Strategi ini juga dinilai dapat meningkatkan antusiasme para investor untuk mengembangkan startup. Sementara, investor existing dapat menginvestasikan kembali modalnya ke peluang bisnis baru.

Upaya perluas likuiditas

Sebagai informasi, Fundnel Group merupakan marketplace untuk aset alternatif terbesar di Asia Tenggara. Dalam tiga tahun terakhir, Fundnel telah mengelola lebih dari $12 miliar secondary deal (kondisi di mana investor membeli kepemilikan saham dari investor awal, founder, atau karyawan di sebuah perusahaan).

Dengan lisensi yang dimiliki Fundnel dan keterlibatannya terhadap ekosistem penggalangan dana di Asia Tenggara, mereka punya posisi kuat dalam membuka akses dan memberikan pengaruh harga yang lebih besar dalam mengakuisisi saham unicorn secara regional.

Sejalan dengan misinya, Fundnel tengah mengeksplorasi opsi tokenisasi untuk Fund di Hg Exchange (HGX) demi menyediakan likuiditas bagi investor. Opsi ini dapat memungkinkan investor baru untuk memanfaatkan likuiditas di HGX serta berinvestasi di perusahaan dengan pertumbuhan tinggi dengan ticket size minimal $10.000.

Melalui HGX, Fundnel Group juga dapat mendukung tokenisasi dan kepemilikan digital dari aset alternatif, seperti private security, dana kelolaan, dan asset-backed security (ABS) sebagai solusi end-to-end untuk memperdagangkannya dalam jumlah kecil dengan harga lebih murah sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan likuiditas di pasar swasta.

penandatanganan MoU antara CEO Tokocrypto Pang Xue Kai dengan CEO BRI Ventures Nicko Widjaja di T-Hub Batubelig, Bali

Tokocrypto dan BRI Ventures Resmikan Program Akselerator Blockchain

Setelah peluncuran TokoLaunchpad versi 2.0 di akhir 2021 lalu, Tokocrypto kini berkolaborasi dengan BRI Ventures melalui inisiatif Sembrani Wira Akselerator mengembangkan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). Program ini bertujuan untuk memberdayakan proyek startup dengan teknologi blockchain dan tokenisasi di Indonesia.

CEO Tokocrypto Pang Xue Kai menyebut kolaborasi ini sebagai pencapaian karena berhasil mendapatkan kepercayaan dari salah satu CVC di bawah naungan bank pelat merah Indonesia, BRI Ventures. Harapannya untuk program akselerator ini dapat mengembangkan ekosistem dan memberi dampak bagi industri startup dan blockchain di Indonesia.

“Kami berharap, kolaborasi ini dapat menjadi akselerator dari berbagai inisiatif Web3 dan perkembangan ekosistem metaverse. Terlebih kami memiliki dua dana ventura yang tengah berkembang yaitu Sembrani Nusantara dan Sembrani Kiqani yang berfokus pada pendanaan di sektor-sektor non-fintech,” ungkap CEO BRI Ventures Nicko Widjadja dalam pernyataan resmi.

Program akselerator dan kriteria pesertanya

Melalui TSBA, kedua perusahaan membentuk program akselerator yang menyediakan modul ekstensif khusus dirancang demi membawa proyek dan startup blockchain untuk muncul ke panggung dunia. Program ini meliputi berbagai aspek seperti pengembangan teknologi blockchain itu sendiri, nilai ekonomi atau tokenomics, pembentukan budaya tim, pendampingan untuk listing, serta fundraising.

Adapun kriteria proyek blockchain untuk program ini adalah startup yang sudah memiliki validasi dari sisi kapital atau pendanaan tahap awal. Lalu, perusahaan juga diwajibkan untuk memiliki teknologi blockchain sendiri serta rencana pengembangan secara smart contract. Lalu, perusahaan harus sudah memiliki working products atau white paper secara tokenomics. 

Markus Liman Rahardja, VP of Investment dan Business Development BRI Ventures yang turut hadir dalam acara penandatanganan MoU di Seminyak, Bali (20/1) menyoroti bahwa dua sisi aspek penggalangan dana yaitu crypto fundraising dan venture fundraising akan menjadi fokus dari partisipasi BRI Ventures.

BRI Ventures sendiri telah melakukan investasi ke lebih dari 18 startup baik fintech maupun non-fintech dan meluncurkan dua dana ventura yang diikuti oleh Grab Ventures, Celebes Capital, Mahanusa Capital, Buana Investment, Pulau Intan, dan beberapa bisnis keluarga.

Dana Ventura Sembrani Nusantara yang diluncurkan pada awal 2021 telah melakukan investasi di bidang agritech seperti Sayurbox, sektor new retail seperti Haus!, Brodo, Yummy Corp, dan sektor logistik seperti Andalin. Sedangkan, Dana Ventura Sembrani Kiqani yang baru diluncurkan awal tahun 2022 dengan fokus di sektor D2C atau consumer brands serta metaverse.

Menyediakan hub bagi para penggiat kripto

Selama tahun 2021, Tokocrypto dengan gerilya meluncurkan berbagai inisiatif untuk mengembangkan ekosistem aset kripto di Indonesia. Mulai dari meluncurkan token sendiri (TKO) di bulan April lalu, meresmikan platform marketplace NFT (TokoMall) di bulan Agustus, hingga menggandeng Bekind untuk mengembangkan berbagai CSR program melalui TokoCare.

Bersamaan dengan peluncuran TSBA, Tokocrypto resmi mengenalkan T-Hub yang berlokasi di Batubelig, Bali. Ini diharapkan bisa menjadi sarana edukasi dan berkumpulnya komunitas untuk berdiskusi dan mengembangkan berbagai ide guna mendorong perkembangan investasi kripto di Bali. Sebelumnya, Tokocrypto telah lebih dulu mengoperasikan T-hub yang berlokasi di Senayan, Jakarta.

Sebagai marketplace aset kripto yang legitimate, Tokocrypto merasa adalah sebuah keharusan untuk bisa mewadahi setiap kegiatan yang berpotensi untuk mengembangkan ekosistem aset kripto, “Karena salah satu cara agar blockchain dan aset kripto bisa mengakar dan bertumbuh dalam industri ini adalah dengan koneksi. Maka dari itu, Tokocrypto ingin menjembatani semua kebutuhan terkait pengembangan aset kripto di tengah sistem finansial tradisional yang ada,” tutup Kai.

Di luar TSBA, hingga saat ini, sudah ada berbagai startup maupun proyek yang berpartisipasi program inkubator TokoLaunchpad yang sudah berjalan. Beberapa di antaranya termasuk Play it Forward DAO, Avarik Saga dan Nanovest. Kai juga menyebutkan terdapat lebih dari 15 startup maupun proyek yang masih dalam tahap penjajakan.

Sebagai informasi, proses registrasi program akselerator TSBA akan ditutup pada 10 Februari 2022, lalu peserta yang lolos seleksi akan diumumkan pada 14 Februari 2022, sementara kick-off akselerator akan dimulai pada 21 Februari 2022.

Application Information Will Show Up Here
Grab akan resmi IPO pada tanggal 2 Desember ini. Apakah IPO-nya akan sukses?

Hal-hal Menarik yang Perlu Diperhatikan Menjelang IPO Grab

Pada masanya, desas desus mengenai debut Grab di Nasdaq diproyeksi akan berjalan lancar bagi investor. Di bulan April 2021, Grab mengumumkan rencananya untuk go public melalui merger SPAC dengan Altimeter Growth Corp dalam kesepakatan yang bernilai hampir $40 miliar.

Bagi yang mengikuti perkembangan isu IPO Grab yang akan datang — bahkan mungkin siap untuk membeli saham saat pasar dibuka. Ada beberapa hal yang perlu dipahami terkait situasi perusahaan saat ini.

Meskipun Grab memulai bisnis sebagai aplikasi transportasi online pada tahun 2012, perusahaan telah berkembang menjadi super-app yang bonafide, serta memiliki berbagai diversifikasi penawaran di dalam aplikasi untuk menargetkan sektor ekonomi digital yang tengah berkembang, seperti logistik, pengiriman makanan, dan layanan keuangan.

Inisiatif ini sepertinya berhasil, melihat model super-app yang terbukti solid. Coba bayangkan, seorang pekerja independen (gig worker) hanya membutuhkan modal tubuh yang lengkap serta moda transportasi untuk menjalankan tugas dan mendapatkan penghasilan.

Pengemudi ojek Grab di Indonesia, misalnya, bisa mengantar orang (ride-hailing), mengantarkan makanan (GrabFood), mengantarkan sembako (GrabMart), mengambil titipan dari pengguna aplikasi (GrabJastip), bahkan membantu pelanggan melakukan top-up (GrabKios), semua dalam satu hari.

Ketika pengemudi lebih produktif, unit ekonomi dalam platform akan jadi lebih baik. Sebanyak 59 persen armada pengemudi roda dua Grab melayani pengantaran penumpang dan pengiriman di seluruh Asia Tenggara.

Waktu kerja yang optimal serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi menjadi keuntungan tersendiri bagi para pengemudi, maka dari itu, akan lebih mudah untuk mempertahankan mereka dalam jaringan Grab.

Status sebagai super-app

Lain halnya di belahan bumi bagian Barat, model super-app berjalan relatif lancar di Asia Tenggara. Para pengguna di kawasan ini sebagian besar sudah terpapar digital, dan kebanyakan dari mereka menggunakan ponsel Android dengan kapasitas rendah, bukan iPhone. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk memiliki satu aplikasi yang bisa melakukan semuanya daripada banyak aplikasi dengan manfaat masing-masing.

Hal ini juga terjadi di China, meskipun hanya memiliki satu perbedaan fungsi mendasar, menunjukkan kekurangan sistem pengiriman pesan dalam super-app di Asia Tenggara. Penggunaan WhatsApp milik Facebook di Indonesia sudah terlalu kuat, dibandingkan dengan WeChat sebagai super-app di China.

Mungkin ada alasan lain mengapa satu super-app bisa cocok dengan pasar yang terfragmentasi ini, salah satunya adalah industri teknologi yang masih relatif dini. Bukanlah perkara mudah untuk memperbaiki dan menyempurnakan satu layanan, apalagi enam atau tujuh.

Perusahaan dengan keunggulan pasar di satu vertikal (misalnya, ride-hailing) dapat kembali berinvestasi dengan pendapatan mereka untuk menembus vertikal lain (pengiriman makanan dan pembayaran digital) serta membuka skala ekonomi bergulir.

Menariknya, hal itu membuat pengguna jauh lebih nyaman. Dengan menautkan akun kartu kredit ke Grab atau aplikasi dompet digital untuk membayar perjalanan pulang, detail secara otomatis akan terisi ketika Anda ingin memesan makan malam.

Selain itu, Anda juga dapat menggunakan dompet digital yang sudah ada, tidak perlu lagi membawa dompet fisik kemana pun. Dengan integrasi yang sukses seperti ini, pengalaman bagi konsumen yang paham digital (bukan sebuah masalah di Asia Tenggara) akan nyaris sempurna.

Meski masih merugi, Grab memiliki rekam jejak yang kuat dalam hal eksekusi. Seperti pada saat pertama kali masuk ke Indonesia di tahun 2014 sebagai underdog, perusahaan tertinggal jauh dengan rival lokalnya, Gojek, yang sudah unggul empat tahun. Nyatanya, saat ini Grab berhasil memimpin pasar perjalanan dan pengiriman makanan di negara ini. Aplikasi ini telah menyumbang $5,45 miliar untuk ekonomi lokal pada tahun 2019.

Fakta bahwa banyak konglomerat terkemuka di Indonesia memilih untuk berinvestasi di Grab merupakan bukti pengakuan mereka atas kemampuan Grab dalam navigasi lingkungan yang kompleks dengan kinerja yang lebih baik daripada pesaing.

Jejak regional startup ini menjadi pembeda utama di kawasan yang saling terhubung namun terfragmentasi seperti Asia Tenggara. Grab adalah satu-satunya pemain yang berhasil mengoperasikan model super-app sejati di berbagai pasar.

Hal ini menjadi penting. Model super-app Grab telah menunjukkan ketahanannya. Layanan ini tidak bergantung pada pasar tunggal atau vertikal mana pun, yang terbukti penting untuk melindungi perusahaan kendati periode krisis seperti pandemi. Hal ini mengantar perusahaan pada posisi yang solid untuk menjaring peluang pertumbuhan di seluruh wilayah.

Menurut laporan e-Conomy SEA 2021, pasar inti di Asia Tenggara diperkirakan akan mengalami pertumbuhan dua digit terhitung saat ini hingga 2025, dipimpin oleh Filipina dan Vietnam. Dengan sejarah keberhasilan lokalisasi Grab yang sudah terbukti, perusahaan juga diharapkan bisa memenangkan pasar Filipina dan Vietnam.

Kompleksitas Asia Tenggara juga menyebar ke dalam politik dan lingkungan bisnis yang lebih luas. Grab juga menunjukkan kemampuannya dalam menanggulangi hal ini dengan menjalin kemitraan yang kuat dengan pihak regulator, seperti Grab Tech Center di Jakarta.

Semua ini merupakan sinyal yang jelas dari Grab dengan kapasitasnya untuk memenangkan hati regulator dan memupuk hubungan kerja yang kuat dengan negara, sesuatu yang esensial di kawasan dengan politik beragam seperti Asia Tenggara.

Tidak ada bumbu rahasia untuk hidangan ini, jika Anda penasaran. Grab menggunakan formula sederhana dengan mencoba hadir di mana pun dan kapan pun untuk membantu pemerintah menyelesaikan masalah. Misalnya, perusahaan membantu mendirikan pusat vaksinasi di 54 kota di seluruh Indonesia, bahkan meluncurkan layanan vaksinasi drive-through untuk memberikan 5.000 suntikan per minggu.

Intisari dari setiap kisah sukses startup adalah kepemimpinan. Dari interaksi saya dengan anggota pendiri Grab, saya bisa mengatakan bahwa Anthony Tan memegang teguh keyakinannya dalam membangun tim lokal yang kuat dan intens. Para pemimpin Grab memiliki semangat yang nyata dan tulus untuk melayani komunitas tempat mereka berada.

Grab memiliki fundamental yang solid. Dengan misi penting, c-level yang mumpuni, dan rekam jejak yang terbukti, perusahaan siap untuk berkembang, terlebih dengan target pasar yang didominasi populasi muda dan kelas menengah yang masih bertumbuh.

Menjelang rencana Grab yang diperkirakan akan terdaftar pada 2 Desember, dengan kemungkinan menjadi perusahaan terbesar dari Asia Tenggara yang terdaftar di bursa AS hingga saat ini, semua mata akan tertuju pada kawasan ini. Di antara padatnya daftar perusahaan Asia Tenggara yang merencanakan IPO – ini akan menjadi kabar baik.

Di Indonesia, debut pasar Grab tidak diragukan lagi akan mendorong kepercayaan unicorn lokal dalam pemetaan rencana IPO mereka. Saya percaya era baru investasi teknologi akhirnya tiba, ketika raksasa lokal bersiap untuk go public di Bursa Efek Indonesia.

Teruntuk investor global yang ingin masuk pada tahap pra-IPO Grab, bentuk aliansi dengan perusahaan modal ventura lokal yang kuat, idealnya yang memiliki porsi di sektor publik dan swasta.


Disclosure: Artikel ini ditulis oleh CEO BRI Ventures Nicko Widjaja dan pertama kali dirilis oleh e27. Dirilis ulang dalam bahasa Indonesia sebagai bagian kerja sama dengan DailySocial

Para founder startup terpilih di acara Graduation Day / Grab

Grab Ventures Velocity x Sembrani Wira Loloskan 6 Startup, Fokus Digitalisasi UMKM

Pada bulan Juni 2021 lalu, Grab dan BRI Ventures mengumumkan peluncuran Grab Ventures Velocity (GVV) Batch 4 x Sembrani Wira, sebuah proyek yang menyatukan program akselerator Grab dan BRI Ventures untuk mendukung pengembangan startup di Indonesia.

Setelah kurang lebih 16 minggu mengikuti serangkaian pelatihan dan pendampingan yang melibatkan pakar dari berbagai industri, akhirnya terpilih 6 startup terbaik yaitu Cooklab, Crewdible, Dagangan, iSeller, majoo, dan Octopus. Masing-masing startup memiliki solusi representatif yang fokus untuk mendukung perkembangan sektor UMKM di Indonesia.

Selama menjalani program pelatihan, tiga di antaranya telah berhasil mendapatkan pendanaan. Startup pengembang POS iSeller berhasil mengumpulkan pendanaan pra-seri B senilai 120 miliar Rupiah, social commerce Dagangan mengantongi 163,7 miliar Rupiah di putaran seri A, dan layanan omnichannel untuk UMKM majoo dengan putaran pra-seri A senilai 56,6 miliar Rupiah .

Dalam program yang mengangkat tema ‘Scaling Up Together: Empowering Startup, Supporting Micro Entrepreneurs’ ini, para finalis telah melakukan uji coba produk dan ide bisnis melalui kolaborasi dalam ekosistem Grab, mulai dari GrabKitchen, GrabFood, GrabMart, hingga GrabExpress untuk menghadirkan solusi bagi UMKM.

“Keenam lulusan batch 4 menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam kontribusinya untuk UMKM di Indonesia. Mereka telah melalui program uji coba di ekosistem Grab dan akan terus melanjutkan kolaborasi dengan kami. Grab juga berterima kasih kepada BRI Ventures yang senantiasa mendukung program ini,” ujar Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi.

Anthony Tan sebagai Group CEO & Co-Founder Grab turut terlibat dalam acara Impact Day, di mana para finalis melakukan presentasi dan perkenalan ide bisnis kepada jaringan venture capital, diikuti dengan sharing session. Setelah lulus, keenam startup tersebut memperoleh kesempatan untuk terus melanjutkan kolaborasi dengan layanan Grab, salah satunya adalah dengan menyediakan layanan di Solusi Mitra GrabMerchant.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menambahkan, “BRI Ventures sangat senang dapat menjadi bagian dalam program GVV Batch 4 X Sembrani Wira untuk memberikan dukungan dari segi jaringan, mentorship, dan juga akses terhadap pendanaan modal ventura bagi para finalis ini [..] dan hari ini kami melepas para finalis dengan harapan bahwa manfaat yang didapatkan selama mengikuti program akselerator dapat membantu mereka untuk berkembang semakin jauh lagi.”

Fokus digitalisasi UMKM

Dalam rilis yang dibagikan, Teten Masduki selaku Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia turut mengungkapkan antusiasme atas kelulusan 6 startup finalis GVV Batch 4 x Sembrani Wira. Ia turut menyampaikan bahwa pemerintah telah menargetkan adanya 30 juta UMKM digital hingga tahun 2024.

Melalui pidatonya, (16/8), Presiden RI juga menyebut pemerintah terus mendorong pengembangan ekosistem ekonomi digital untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Digitalisasi UMKM yang masuk ke aplikasi e-commerce dan marketplace jumlahnya terus bertambah. Sampai Agustus tahun ini, sudah lebih dari 14 juta UMKM atau 22% dari total UMKM yang sudah bergabung dengan aplikasi perdagangan elektronik.

Saat ini, semakin banyak inisiatif yang dilancarkan untuk mendorong pertumbuhan sektor UMKM di Indonesia. Mulai dari aplikasi Point of Sales (POS), layanan social commerce, pencatatan keuangan digital, serta banyak lagi perusahaan yang semakin menajamkan fokus untuk mendukung digitalisasi UMKM.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menambahkan, “Startup digital menjadi salah satu kunci percepatan transformasi digital di Indonesia. Diperlukan sinergi dan kolaborasi dari seluruh komponen bangsa untuk mendukung dan memperkuat tumbuh kembang ekosistem startup nasional.”

Dari sisi investor, BRI Ventures sebagai unit investasi bank BRI dengan UMKM sebagai strategi utama mereka, baru saja mengumumkan dana kelolaan baru ‘Sembrani Kiqani‘ yang fokus menyasar segmen D2C demi menyempurnakan ekosistem UMKM di Indonesia. Sebelumnya, melalui Sembrani Nusantara, BVI telah berinvestasi kepada pengembang brand minuman Haus! dan pengembang produk sepatu lokal Brodo.

Validari Produk Startup

Bagaimana Startup Memvalidasi Produk Menurut Perspektif Nicko Widjaja

Validasi produk adalah langkah awal yang penting bagi startup dan tidak boleh terlewatkan sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Perjalanan untuk menemukan product-market fit sebenarnya tidak berhenti titik tertentu, melainkan terus berlanjut dan berkala sesuai dengan perkembangan dinamika pasar.

Tiap startup memang punya kisahnya masing-masing saat memvalidasi produknya. Berkat bertemu dengan banyak startup, investor juga punya perspektif yang menarik untuk dikulik lebih jauh soal ini. Untuk membahasnya lebih jauh, dalam sesi ini mengundang CEO BRI Ventures Nicko Widjaja sebagai super mentor webinar DSLaunchpad 3.0 x AWS.

Validasi produk bukan proses singkat

Nicko menjelaskan, validasi produk itu artinya ingin menyelesaikan masalah dengan solusi yang diciptakan dan dipakai oleh orang yang tidak dikenal dan mau untuk membayarnya. Untuk mencapai titik tersebut, butuh waktu yang tidak sebentar karena perlu iterasi terus menerus agar terus sejalan dengan kebutuhan konsumen.

Kesalahan terbesar yang sering ia lihat adalah ambisi startup yang terlalu besar, misalnya sebagai solusi satu atap untuk satu ekosistem. Ia menyarankan sebaiknya dimulai dari hal terkecil terlebih dulu, namun berangkat dari masalah yang nyata dan punya dampak sosial yang besar.

Salah satu contoh terdekatnya adalah bagaimana bisnis ride hailing bisa tumbuh dari awalnya ingin meningkatkan produktivitas pengemudi ojek dapat menerima banyak penumpang, hingga kini dapat menjadi kurir makanan, paket barang, dan sebagainya.

Impact ini baru terasa ketika validasi produk itu berjalan dan ini enggak satu step saja tapi multiple steps. Setelah use case pertama selesai, muncul validasi ide kedua. Setelah berhasil mengoptimalkan idle time pengemudi, muncul isu pembayaran yang memicu validasi produk soal wallet, ternyata banyak pengemudi yang enggak punya uang kembalian. Tapi saat itu use case-nya masih sangat sedikit, ini yang akhirnya perlu dibuktikan.”

Hal yang sama juga terjadi buat startup healthtech untuk produk telemedisnya. Sebelum pandemi, fitur tersebut memiliki use case yang sangat sedikit karena orang masih awam dengan fungsinya. Namun hal tersebut terbalik saat pandemi dan menjadi validasi terbaik untuk telemedis. Ia pun juga melihat bahwa keberhasilan validasi produk itu juga bergantung pada faktor timing, keberuntungan, dan series of events.

“Akhirnya saat ini telemedis berkembang pesat, enggak hanya di situ tapi juga industri pendukungnya. Ada juga insurance, fintech, dan edutech yang berkembang pesat saat ini. Efeknya dari validasi produk yang berhasil itu akan begitu besar dampaknya ke depan.”

Dia melanjutkan, “Sebenarnya yang saya lihat dari validasi produk itu adalah tahapan di mana semua asumsi kita di tes dan apabila kita berhasil membuktikan ini valid, apa yang bisa dilakukan setelah ini. Sebab, jarang sekali startup bangun sesuatu yang benar-benar di luar dari apa yang dia bangun dari core product-nya.”

Asumsi musuh terbesar founder

Menurut Nicko, asumsi adalah musuh terbesar bagi seorang founder. Sebab, validasi produk adalah moment of truth yang membuktikan bahwa asumsi yang dituangkan founder dalam deck dan dipresentasikan ke investor itu benar atau salah. Pasang asumsi terlalu tinggi pun tidak baik karena dapat berdampak buruk, paling parah startup bubar. Oleh karenanya, ketika asumsi salah, founder harus menerima kenyataan tersebut dan perlu bergerak cepat untuk mengubah strateginya.

“Jelas sekali metriknya bukan lihat jumlah apalagi masih di tahap awal. Sebab bicara jumlah itu baru bisa dilakukan ketika masuk Seri B karena membicarakan skalabilitas. Jadi yang penting jumlah tidak perlu tinggi, tapi convertion rate-nya yang tinggi. Karena kalau enggak ada convertion, berarti validasinya salah. Convertion itu rasio, bukan jumlah, ini yang sering orang lupa,” kata dia.

Dalam mengukur validasi produk banyak metrik yang bisa dipakai, namun menurut Nicko, jangan sampai metrik tersebut membuat founder jadi fanatik. Misalnya, founder ingin memakai indikator MAU, itu diperbolehkan asalkan juga memakai take rate, untuk melihat bottom line-nya seperti apa. Atau memakai indikator GTV yang modelnya seperti website traffic, itu tidak apa-apa kalau pengunjung lihat-lihat dulu. Tapi yang penting harus ada convertion rate. “Intinya jangan sampai metrik itu membohongi diri sendiri,” tutup Nicko.

Pendanaan majoo

majoo Umumkan Pendanaan 56,6 Miliar Rupiah dari AC Ventures, BRI Ventures, dan Xendit

Startup pengembang layanan omnichannel untuk UMKM majoo mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A senilai $4 juta atau setara 56,6 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin AC Ventures, dengan keterlibatan BRI Ventures dan Xendit. Selanjutnya, majoo akan fokus memperkaya fitur, memperluas tim, dan melakukan ekspansi hingga mencapai 100 kita pada akhir 2022 mendatang.

“UMKM sangat bergantung pada kegiatan penjualan offline. Melihat situasi pandemi, kami mengembangkan fitur e-commerce dalam misi mendukung UMKM melewati masa yang penuh tantangan ini. Kami memberi mereka alat untuk membuat situs web mereka sendiri, melakukan pembayaran secara online, dan terintegrasi dengan Grabfood, Tokopedia, Shopee, dan layanan lain dari e-commerce,” ujar Co-Founder & CEO majoo Adi W. Rahadi.

Selain oleh Adi, startup tersebut turut didirikan oleh Audia R. Harahap. Sejak berdiri pada 2019, majoo mengaku telah memproses lebih dari 80 juta transaksi senilai $600 juta atau lebih dari 8,4 triliun Rupiah untuk UMKM di lebih dari 600 kota/kabupaten di Indonesia dari berbagai jenis bisnis, mulai dari F&B hingga laundry.

“AC Ventures telah lama menyadari potensi luar biasa untuk digitalisasi ekonomi UMKM di Indonesia, dan pandemi telah mempercepat adopsi teknologi di sektor ini selama 3-5 tahun. Latar belakang dan pengalaman Adi dan Audia sangat cocok dengan misi mereka untuk menghadirkan teknologi yang memberdayakan pertumbuhan dan produktivitas bagi jutaan pemilik usaha kecil di Indonesia,” ujar Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Menjadi SaaS menyeluruh untuk UMKM

Layanan majoo dimulai dari sebuah point of sales (POS) alias aplikasi kasir. Saat ini terus diperluas mencakup pengelolaan karyawan, inventori, aplikasi CRM, hingga pemesanan online. Secara statistik, majoo mengklaim telah tumbuh 85% YoY dan telah mengakuisisi lebih dari 20 ribu pengguna aktif dengan tingkat retensi yang dinilai baik.

“Kami melihat banyak potensi sinergi yang dapat dilakukan antara majoo dan ekosistem BRI Group. Misalnya, sinergi dalam pemberian akses kepada UMKM untuk tabungan digital, pinjaman digital dan layanan buy now pay later dari Bank Raya (sebelumnya BRI Agro). Ketika masalah akses permodalan UMKM dapat terselesaikan dengan bantuan majoo, kami yakin mereka dapat lebih berfokus dalam mengembangkan bisnisnya dan mampu naik kelas dengan lebih cepat,” imbuh CEO BRI Ventures Nicko Widjaja.

Untuk layanan POS sendiri, majoo berhadapan dengan beberapa pendahulunya seperti Moka yang saat ini menjadi bagian dari ekosistem merchant di GoTo Group. Selain itu ada Qasir yang sudah mulai menyasar pasar regional, Pawoon dengan 25 ribu merchant aktif, Youtap yang membungkus layanannya dengan program loyalitas, dan masih banyak lagi. Namun demikian potensi layanan untuk UMKM di Indonesia memang masih sangat besar. Tak heran para inovator berlomba-lomba menghadirkan produk aplikasi untuk membantu pelaku UMKM berkembang.

Menurut data di laporan MSME Empowerment Report 2021 yang diterbitkan DSInnovate, terdapat beberapa permasalahan mendasar yang saat ini dialami oleh pelaku UMKM di Indonesia, di antaranya:

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, 83% dari pelaku UMKM mengaku menggunakan layanan dari startup digital. Dari hipotesis tersebut, para founder pun bergairah untuk menghadirkan ragam produk dengan proposisi nilai yang berbeda-beda. Saat ini ada puluhan startup yang menghadirkan berbagai jenis SaaS di segmen tersebut.

Application Information Will Show Up Here