Tag Archives: Nium

Wabah Covid-19 tak menghalangi pemain remitansi tetap bersinar. Kabar pendanaan, perluasan layanan, serta kehadiran pemain baru jadi indikator positif.

Pandemi Tidak Halangi Sinar Bisnis Remitansi di Indonesia

Wabah Covid-19 menjadi alasan utama banyak sektor ekonomi melesu di seluruh dunia. Momen-momen seperti ini selalu memunculkan suatu sektor atau pemain industri yang justru bersinar. Bisnis remitansi adalah salah satunya. Pandemi ternyata tidak menghalangi sinar potensi pasar pengiriman uang khususnya di Indonesia.

Selama masa pandemi ini, kami mencatat ada sejumlah sinyal positif dari pasar yang menunjukkan performa bisnis remitansi tetap kinclong. Kemunculan pemain baru, kabar pendanaan, hingga ekspansi pasar menjadi catatan-catatan menggembirakan dari bisnis ini.

Mendulang momen di kala pandemi

Kami berbicara dengan dua pemain lokal remitansi untuk melihat catatan positif vertikal ini, Transfez dan Topremit. Transfez, yang awal tahun ini telah menjangkau 37 negara, kini jejaknya sudah ada di 47 negara di 5 benua berbeda. Hal ini menunjukkan komitmen mereka menjangkau total 80 negara tahun ini tidak goyah.

Di aspek kecepatan pun, Transfez berhasil meningkatkan kualitas layanannya. Beberapa negara tujuan populer, seperti Singapura, bahkan hanya butuh beberapa detik untuk memperoleh kiriman uang dari pengguna di Indonesia. Negara lain yang punya kecepatan serupa adalah Inggris, Australia, Hong Kong, Filipina, Vietnam, India, Nigeria, Meksiko, hingga Ghana.

“Penambahan negara jangkauan serta peningkatan kecepatan pengiriman tersebut berkontribusi terhadap penambahan jumlah pengguna Transfez. Sejak pandemi COVID-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%,” terang Head of Marketing & Communication Transfez Diandra Bernadin.

Performa baik juga dialami Topremit. Startup asal Medan ini memperluas jangkauan pasarnya selama pandemi menjadi 55 negara tujuan. Korea Selatan, Turki, dan negara-negara Eropa menjadi tambahan tujuan baru bagi pengguna mereka.

Kecepatan memang jadi faktor penting kualitas layanan remitansi. Topremit mengamini aspek tersebut. Hal ini terlihat dari durasi pengiriman uang dari pengguna di Indonesia ke Korea Selatan, Singapura, dan Inggris Raya yang hanya membutuhkan hitungan menit.

“Kemarin di akhir 2019, kami berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16.000 user yang mendaftar dan dalam 6 bulan terakhir ini. Transaksi [saat ini] sudah mencapai lebih dari Rp612 miliar dengan 35.000 user,” tukas CEO & Co-Founder Topremit Hermanto Wie.

Faktor pendorong pertumbuhan

Cerahnya perkembangan bisnis remitansi tidak hanya terjadi di Transfez dan Topremit. Beberapa kabar positif datang dari pemain lain. Misalnya pendanaan yang berhasil diperoleh Wallex Technologies awal bulan ini. Wallex, yang mengantongi izin transfer dana dari Bank Indonesia sejak 2018, sukses menggaet pendanaan Seri A dari BAce Capital, SMDV, dan Skystar Capital.

Suntikan dana juga diperoleh Nium, pemain remitansi asal Singapura yang beroperasi di Indonesia. BRI Ventures dan VISA menjadi dua nama yang berpartisipasi memberi pendanaan kepada Nium. Hingga kuartal pertama 2020, Nium dilaporkan sudah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Pemain baru yang ikut menjajaki peruntungan bisnis remitansi adalah OY! Indonesia. OY! Indonesia, yang notabene adalah platform wallet aggregator, meluncurkan layanan remitansi pada awal Maret. Saat ini layanan anyar mereka sudah menjangkau Singapura, Malaysia, India, Korea Selatan, dan Tiongkok.

Transfez menjelaskan, situasi pandemi yang menuntut segala hal serba praktis dan beraktivitas dari rumah saja justru mempertebal posisi pemain remitansi digital seperti mereka. Selama ini pasar remitansi Indonesia didominasi bank dan pemain konvensional yang memerlukan kehadiran fisik di kantor cabang atau agen terdekat untuk mengirim uang.

“Bagi kami, krisis menyimpan kesempatan. Dan ini adalah waktu dan kesempatan yang tepat bagi kami untuk memperkenalkan Transfez secara luas,” jelas Edo Windratno, CEO & Co-Founder Transfez.

Sementara Hermanto menjelaskan, kondisi wabah memang mewajibkan pemain remitansi untuk lebih cepat dan lebih luas memberikan layanannya. Situasi karantina wilayah di banyak negara banyak membuat pengguna jasa remitansi berpaling ke platform online seperti mereka.

“Selama pandemi ini, banyak sekali orang yang ingin mengirimkan uang kepada keluarga tercinta di luar negeri karena situasi yang prihatin saat ini. User dan transaksi kami justru meningkat karena tidak nyaman bagi mereka untuk keluar rumah dan melakukan transaksi offline seperti sebelumnya,” imbuh Hermanto.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, popularitas remitansi di tahun ini tak lepas dari potensinya yang memang besar. Potensi besar yang relatif belum lama terjamah oleh pemain digital menempatkan remitansi sebagai derivasi layanan fintech berikutnya yang paling menjanjikan.

Salah satu faktor pendorong besarnya potensi remitansi adalah jumlah tenaga kerja dan pelajar Indonesia di luar negeri. Terlebih, menurut Yusuf, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Pertumbuhan kelompok usia produktif masih akan meningkat — sesuatu yang ia anggap meyakinkan para investor akan prospek bisnis remitansi.

“Dengan fakta itu menurut saya jadi dorongan bagi para pemberi dana untuk menyuntikkan dana ke pemain remitansi,” jelas Yusuf.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah TKI di luar negeri berjumlah 276.553 orang. Taiwan, Malaysia, dan Hong Kong merupakan tiga tujuan favorit bagi pekerja kita. Sedangkan jumlah pelajar Indonesia yang menimba ilmu di negara lain 20.225 orang. Baik pelajar maupun tenaga kerja merupakan pondasi bisnis remitansi, namun pasar mereka berpotensi terus melebar.

Meskipun demikian, pemain remitansi lokal masih punya pekerjaan rumah besar, yakni memfasilitasi pengiriman uang dari luar negeri ke dalam negeri. Sesuatu yang belum bisa dilakukan pemain lokal hingga saat ini. Seperti yang dicatat World Bank (2018), uang remitansi yang masuk ke Indonesia mencapai $11 miliar atau sekitar Rp150 triliun, sedangkan remitansi keluar berkisar US$5 miliar atau Rp68,5 triliun.

Pendanaan Nium oleh BRI Ventures

BRI Ventures Terlibat dalam Pendanaan Nium, Startup Remitansi Asal Singapura

BRI Ventures mengumumkan keterlibatannya pada putaran pendanaan baru Nium, startup fintech asal Singapura. Selain BRI Ventures, VISA turut berpartisipasi pada putaran ini.

Sebagaimana diberitakan Business TimesCo-founder & CEO Nium Prajit Nanu mengungkapkan bahwa penggalangan dana ini bertujuan untuk merealisasikan rencana ekspansi pasar, baik segmen baru maupun existing, melalui pengembangan produk.

“Kami tertarik untuk berkolaborasi dengan penyedia platform pembayaran lokal yang dapat membantu penetrasi pasar kami lebih cepat. Kami akan tetap fokus untuk melayani pengguna kami, seperti di Eropa, India, Inggris, dan Amerika Serikat (AS),” tutur Nanu.

Selain itu, perusahaan juga berencana membangun infrastruktur pembayaran yang dapat menjangkau pasar ritel, UKM, dan korporasi berskala besar. Upaya ini dilakukan untuk mengejar profitabilitas yang ditargetkan dapat terealisasi di pertengahan 2021.

Nium sebelumnya bernama InstaRem, yang menyediakan  platform layanan remitansi yang menyediakan layanan pengiriman yang di 90 negara. Di Indonesia, Nium membuka operasional bisnisnya pada akhir 2019.

Sebelum berganti nama, Nium pernah mendapat suntikan dana dari MDI Ventures di 2014. Saat itu MDI Ventures masih dipimpin oleh Nicko Widjaja yang kini telah memimpin BRI Ventures. Pada kuartal pertama 2020, Nium telah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Sementara itu, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menyebutkan bahwa pihaknya menantikan pertumbuhan bisnis Nium ke depan sejalan dengan ekspansi layanannya yang mulai masuk ke segmen korporasi dan UKM.

“Potensi fintech itu tidak terbatas. Kami berharap dapat mendukung Nium sesuai jalur pertumbuhannya sejalan dengan ekspansinya ke pasar Indonesia dan sekitar,” ujar Nicko.

Tentang BRI Ventures, perusahaan baru berdiri di 2019 dengan suntikan perdana sebesar Rp1,5 triliun dari induk usahanya. Hingga akhir 2019, BRI Ventures baru menyuntik Rp278,11 miliar dalam bentuk penyertaan saham 17 persen ke platform e-money LinkAja.

Dihubungi secara terpisahVP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman mengungkap bahwa sinergi ini nantinya untuk memperkuat bisnis remitansi milik BRI.

“Tidak ada produk baru, tetap sama. Tapi, Nium akan memperkuat dari sisi payment network. Untuk kerja sama ini, kami sedang memasuki tahap uji coba dulu,” ungkap Markus kepada DailySocial.

Sementara, Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa kali ini MDI Ventures tidak turut terlibat dalam putaran pendanaan baru Nium. Perusahaan juga belum berencana untuk melakukan exit dalam waktu dekat.

“Untuk exit, Nium sepertinya butuh beberapa [funding] round lagi. Dari sejak pertama investasi sampai sekarang, pertumbuhan Nium sudah mencapai hampir 5 kali. Dari sisi valuasi, pertumbuhannya juga lumayan,” ujarnya kepada DailySocial.

Partisipasi BRI dalam pendanaan baru Nium tampaknya menjadi bagian dari strategi perusahaan untuk mewujudkan visi menjadi The Most Valuable Bank in Southeast Asia and Home to the Best Talent. BRI agresif untuk memperkuat posisinya di ekosistem keuangan, termasuk fintech dan non-fintech.

Application Information Will Show Up Here