Tag Archives: okr

Fajrin Rasyid: Telkom Pertimbangkan “Spin-off” Unit Bisnis Digital di 2023

Sosok M. Fajrin Rasyid telah lama dikenal sebagai Co-founder Bukalapak, salah satu marketplace terbesar dan perusahaan teknologi yang telah melantai di bursa saham Indonesia. Pada 2020, ia diangkat menjadi Direktur Digital Business Telkom untuk memperkuat posisi perusahaan sebagai digital-telco (digico).

Telkom Group telah mencetak jejak cukup panjang dalam melahirkan berbagai inisiatif digital, seperti Blanja.com (marketplace hasil kemitraan dengan eBay) dan LinkAja. Telkom juga memiliki kendaraan investasi MDI Ventures dan incubator Indigo agar dapat berkontribusi terhadap industri kreatif digital.

Dalam perbincangan dengan DailySocial.id, Fajrin bilang unit Digital Business yang dipimpinnya sejauh ini membawa pencapaian pesat. Bahkan, tak menutup kemungkinan unit bisnis digital di dalamnya akan dieskpos ke jaringan investor atau mitra strategis yang lebih luas.

Apa agenda transformasi yang Anda bawa ke Telkom?

Jawab: Semakin ke depan, industri telekomunikasi semakin mendapat tekanan, semakin commoditized, capex semakin tinggi. Sama seperti perusahaan telekomunikasi di dunia, mereka ingin go digital.

Ada banyak yang perlu dipelajari karena telekomunikasi sedikit berbeda meski beririsan dengan digital. Saya pelajari dan beri masukan, lalu saya usulkan untuk ubah atau improve apabila kurang bagus. Ini termasuk kapabilitas hingga kultur [organisasi].

Ada dua agenda Digital Business, yakni menciptakan model bisnis baru yang dapat memberikan pendapatan dan valuasi, termasuk pada bisnis existing. Agenda kedua, kami bantu di sisi internal. Contohnya, kami membuat aplikasi myIndiHome untuk dorong business process dan customer experience. IndiHome sendiri berada di Direktorat Consumer. 

Apa saja yang perlu ditransformasi?

J: Ada dua sisi ekstrem di sini, yakni ekstrem rigid dan ekstrem agile. Startup sangat agile, sedangkan perusahaan BUMN atau publik sangat rigid dan birokratik. Bukan berarti keduanya punya sisi lebih baik dari yang lain.

Startup yang awalnya agile, pasti akan butuh good corporate governance. Di perusahaan saya sebelumnya, [laporan] tidak diaudit di tahun pertama dan kedua karena saat itu masih kecil. Namun, lama-lama investor meminta audit.

Sebaliknya, perusahaan telekomunikasi yang ingin go digital harus ke arah yang lebih agile. Saat hiring orang, startup biasanya lebih cepat. Di [Telkom] harus buat proposal dulu untuk justifikasi kebutuhan. Langkah ini sebetulnya masuk akal bagi perusahaan besar [untuk hindari risiko] seperti KKN.

Buat proposal bisa lama, begitu jadi, baru mulai hiring. Realitanya, mencari orang butuh waktu. Saya usul lakukan secara paralel. Jangan tunggu proposal jadi, kita bisa sambil cari orangnya. Ini salah satu aspek yang kami tingkatkan.

Lalu, saya memperkenalkan metode Objective Key Result (OKR) ke organisasi daripada memakai metrik pencapaian (achievement). Di e-commerce, OKR-nya berbasis Gross Merchandise Value (GMV), atau daily active user untuk video.

Ketika bikin aplikasi, lalu undang acara launching. Apakah bulan depan masih ada yang pakai aplikasinya? Kalau belum ada, berarti belum sesuai target. Bagi saya oke saja tidak buat acara [peluncuran] selama GMV naik terus.

Apa ada pertentangan dengan metrik yang Anda perkenalkan?

J: Pasti ada dinamika di dalamnya, banyak yang bertanya. Jika bicara digital, yang terpenting adalah customer. OKR itu merupakan terjemahan dari [kebutuhan] customer.

Saya memberi contoh ini ke diri sendiri. Saya jarang minta tim untuk mengembangkan fitur di aplikasi A, misalnya. Belum tentu fitur itu dibutuhkan customer atau sama dengan saya. Dengan mengacu pada data, kita tahu apa yang dibutuhkan. Ini saya coba tularkan ke organisasi, baik direktorat maupun grup.

Bagaimana struktur organisasi hingga pengembangan Digital Business ke depan?

J: Mengubah unit bisnis di Telkom butuh prosedur. Namun, kami kelola secara agile. Kami bentuk tribe yang dedicated membuat suatu produk. Chapter itu functional, semacam horizontalnya, terdapat manager, engineer, atau designer. Masing-masing punya tribe. Saat ini, ada 20 tribe, mulai dari logistik, agrikultur, health, dan education.

Pengembangan produknya dibagi dalam dua kategori, yakni internal dan eksternal. Di internal, tujuannya untuk dorong customer experience atau business process. Di eksternal, pengembangan produk bertujuan pada growth sehingga tribe bisa capai pendapatan dan valuasi. Ini menjadi justifikasi investasi yang telah dikelarkan. Perusahaan besar umumnya menghitung pendapatan per karyawan, EBITDA per karyawan.

Bagi tribe yang belum menghasilkan pendapatan karena masih di growth stage atau EBITDA masih negatif, kami ukur valuasi per karyawan. Jadi, kami tahu valuasi untuk tribe dengan 100 orang sekian atau tribe 50 orang sekian. Telkom punya Digital Investment Committee (DIC) untuk mengevaluasi kinerja dan metrik ini. Kalau tidak bagus, opsinya bisa tutup atau garap peluang baru. Jadi, tidak perlu ubah organisasi, geraknya lebih cepat.

Untuk mengukur keberhasilan bisnis digital, kami pakai metrik RBV atau revenue, benefit, dan valuation. Hasilnya bisa berupa pendapatan, efisiensi, atau peningkatan customer experience. Biasanya, produk startup-based belum ada pendapatan, tetapi baru GMV. Ini menghasilkan valuasi. Nah, untuk mencapai OKR, parameter ini tidak harus terpenuhi ketiganya.

Sejak tahun lalu, Digital Business mengalami pertumbuhan pesat. Kami telah mengembangkan Logee (logistik), Agree (Agrikultur), dan Pasar Digital (UMKM). GMV Logee dan PaDi sudah capai triliunan Rupiah per tahun, sedangkan Agree sudah ratusan miliar Rupiah per tahun. Agree kini tak hanya bermain di pertanian saja, tetapi juga ke perikanan.

Saya melihat ketiga sektor di atas punya potensi besar ke depannya. Secara umum, biaya logistik Indonesia masih tinggi, banyak ruang untuk digitalisasi. Industrinya juga sangat besar, mulai dari first mile, middle, dan last mile. Ada pandemi atau tidak, orang tetap butuh logistik. Sejumlah riset juga menyebut logistik sebagai sektor dengan pertumbuhan tercepat beberapa tahun terakhir.

Di agrikultur, setiap orang butuh makan, itu kebutuhan dasar meski ada pandemi atau resesi. Potensi UMKM juga masih besar. Untuk jump start, PaDi masuk ke segmen BUMN, tetapi kami perluas juga nanti untuk enterprise.

Bagaimana strategi eksekusinya?

J: Essentially, kami menerapkan strategi buy, build, and borrow. Kami bangun kapabilitas internal, misalnya melalui training. Namun, bangun kapabilitas itu butuh waktu, apalagi untuk level senior. Dalam hal ini, kami coba model borrow dan buy. Bisa lewat kerja sama atau membeli perusahaan yang punya keahlian. SDM juga dikombinasikan antara internal dan prohire.

Strategi ini untuk mengkomplemen kapabilitas sebagaimana yang saya jelaskan di awal. Bagaimana ke depannya? Ketiga cara tersebut akan terus kami lakukan untuk memastikan kapabilitas tercapai. Tentu ini tergantung pada justifikasi investasi, karena tidak bisa bakar uang terus kalau tidak menghasilkan.

Apakah ada rencana untuk spin off unit bisnis digital?

J: Sebagai bagian dari BUMN, membentuk anak usaha harus melalui justifikasi menyeluruh. Kami sedang menganalisis karena ada kemungkinan ke sana. Opsi ini makes sense karena spin-off dapat membuka kolaborasi dengan partner, baik melalui investasi maupun kerja sama mendalam.

Technically, saat ini sulit kalau ada yang mau berinvestasi [ke unit bisnis] karena berarti investasinya masuk ke Telkom dong. Jika di-spin off, investor bisa menjadi pemegang saham di perusahaan. Unit mana yang akan dilepas duluan? Tentu saja yang paling siap. Namun, jika lihat skala atau ukuran [bisnisnya], yang sudah triliunan itu Logee dan PaDi UMKM. Apalagi, PaDi sedang dipersiapkan untuk ekspansi ke luar segmen BUMN saja.

Sebagai perusahaan digital-telco, kami tak hanya menawarkan produk digital saja, tetapi juga platform dan infrastruktur. Ini menjadi kelebihan kami jika bicara kebutuhan yang sifatnya terintegrasi. Satu hal yang kami lakukan di Digital Business dan Direktorat Strategic Portfolio adalah mengorkestrasi portofolio digital di Telkom Group untuk memastikan terciptanya kolaborasi.

Bagaimana rencana spin-off IndiHome ke  Telkomsel?

J: IndiHome sebetulnya berada di Direktorat Consumer, tetapi the digital strategy  will follow the business. Kami belum tahu rencana detail pengembangan dari sisi digital [setelah bergabung dengan Telkomsel].

Bisa saja namanya nanti bukan IndiHome lagi. Ini belum diputuskan, masih didiskusikan. Yang pasti, salah satu premisnya adalah kolaborasi produk IndiHome dan Telkomsel akan lebih baik dengan penggabungan ini.

Apa sektor lain yang ingin Anda eksplorasi selanjutnya?

J: Telkom banyak terekspos dengan tren di green economy. Personally, saya memang tertarik untuk mengeksplorasi. Ini sesuatu yang sedang kami pelajari. How can we play, apa yang dapat Telkom bantu untuk digitalisasi.

Kami mulai ngobrol dengan Gesists, anak usaha BUMN di bidang motor listrik. Mereka memproduksi motor listrik, tapi barangkali ada kebutuhan aplikasi untuk enhance layanannya. Kami sedang analisis posisi Telkom dengan melihat tren-tren besar ini. Kami tak mau masuk ke bisnis kalau tidak punya kapabilitas.

Who knows ke depannya Telkom akan menyasar bisnis lain yang adjacent atau berdampingan.

Talenta Engineer Kredivo

Mengatasi Krisis Talenta “Engineering” dan Manajemen Tim di Kredivo

Sebagai tindak lanjut dari artikel DailySocial sebelumnya, Indonesia mengalami krisis talenta digital karena lulusan yang tersedia tidak sepadan dengan permintaan yang ada di industri. Kali ini kami berkesempatan untuk menggali lebih jauh dari sisi praktisnya, bersama Co-Founder & CTO Kredivo Alie Tan.

Kesehariannya, Alie bertugas menentukan teknologi apa saja yang dipakai Kredivo mengikuti kebutuhannya. Memastikan ketika perusahaan berencana ekspansi dan akuisisi pengguna dalam jumlah besar; apakah teknologi yang ada sudah mumpuni untuk melakukan hal tersebut.

Begitu pula dari sisi inovasi produk, bagaimana eksekusinya apakah benar-benar berasal dari masalah di lapangan. Di samping itu, Alie juga bertanggung jawab untuk perekrutan talenta khususnya di engineer, sebagai backbone dari startup fintech.

“Karena cari talenta engineer itu susah-susah gampang, untuk itu saya terjun ke sana. Cari mana yang cocok dengan culture kita,” terangnya.

Bagaimana cerita lebih detailnya? Berikut rangkumannya.

Memadukan teknik rekomendasi dan rekrut eksternal

Alie menceritakan saat ini tim engineer di Kredivo berjumlah 40 orang, dari keseluruhan karyawan mencapai 400 orang. Sebanyak 99% tim engineer di Kredivo berasal dari dalam negeri.

Dalam merekrut timnya, dia sangat mengandalkan rekomendasi dari lingkungan karyawan dan komunitas. Rasio diterimanya talenta lewat cara ini lebih tinggi daripada metode yang lain, meski semuanya tetap melalui proses seleksi lebih lanjut.

Alasannya karena secara psikologis orang yang merekomendasikan calon talenta itu cenderung punya kemiripan satu sama lain, entah dalam cara bekerja dan sebagainya. Kecil kemungkinan rekomendasi tersebut menghasilkan talenta yang suka bermalas-malasan.

“Buat kami, mayoritas talenta di sini masuk karena referensi dari karyawan kami, entah satu komunitas atau sekantor dulunya di sini,” kata Alie.

Namun karena referensi itu sifatnya terbatas, perusahaan juga mencari talenta dengan cara eksternal. Misalnya buka booth atau menjadi pembicara di kampus-kampus untuk menarik minat mereka.

Bicara kualitas lulusan, menurutnya justru tidak kalah dengan lulusan luar negeri. Hanya saja jumlah suplainya yang tidak banyak, menyebabkan ketimpangan yang tajam dari sisi permintaannya.

Merebaknya istilah startup di Indonesia sebenarnya baru dimulai beberapa tahun belakangan. Karenanya, tiba-tiba talenta di bidang engineer dibutuhkan dalam waktu cepat, sementara kondisi di lapangan belum bisa memenuhinya.

“Jadi bukan karena skill isunya, tapi lebih ke culture shock. Beda dengan di luar negeri, startup itu sudah ada lebih dulu daripada Indonesia.”

Tahun ini perusahaan berencana untuk melipatgandakan jumlah talenta engineer hingga 80 orang.

Kerja di startup bukan karena gaji, tapi karena ilmunya

Alie juga menekankan bahwa startup itu adalah fase awal sebuah perusahaan. Fase ini memang cukup menantang dan menjadi ajang untuk menggenjot kemampuan, karena di sinilah banyak ilmu yang bisa diambil.

Segala “kemewahan” yang disediakan manajemen untuk karyawan, seperti area bermain, kasur tidur, bean bag, dan sebagainya adalah cara untuk menekankan bahwa work life balance itu sangat penting dalam keseharian.

“Masih banyak orang salah paham startup itu apa, kerjanya senang-senang, gaji besar. Aslinya startup itu kerja mati-matian. Ada hiburan dalam kantor itu hanya tools di rekrutmen, agar mereka merasa dihargai oleh kantornya.”

Seseorang akan digenjot sampai tingkat maksimal, mengerjakan berbagai pekerjaan di luar tugas utamanya, sebenarnya punya maksud yang baik, yakni ingin menanamkan jiwa kewirausahaan dan mental yang kuat apabila punya ambisi ingin jadi CEO.

Begitupula ketika ingin jadi CTO, caranya bukan dengan menguasai di bidang engineer saja. CTO harus paham bisnis juga karena tidak bisa selalu mengandalkan orang lain.

“Tujuan gabung ke startup itu, sebaiknya bukan karena uang tapi ilmunya. Makanya masuk ke startup yang masih awal banget, harus dimanfaatin jangan disia-siain.”

OKR untuk manajemen kerja dan transparansi

Kredivo sudah menerapkan cara bekerja dengan OKR sejak dua tahun lalu, seiring semakin bertambahnya jumlah karyawannya. DailySocial pernah menuliskan apa itu OKR dan tujuannya untuk dukung startup berinovasi.

Alie menjelaskan seluruh divisi dalam Kredivo sudah menerapkan OKR dan merasakan dampaknya dalam percepatan jalannya inovasi. OKR juga mendukung semangat perusahaan untuk transparan kepada seluruh karyawannya.

Contoh singkatnya, setiap bulan selalu ada rapat besar seluruh divisi. Semua orang akan diperlihatkan target perusahaan (objective) dan cara-cara untuk menembusnya (key results).

Perusahaan juga memperlihatkan status pencapaian saat ini secara lengkap untuk memberikan gambaran besar, agar mereka bisa kerja lebih mudah. Tim engineer diberi akses seluruh data tersebut.

“Biar mereka tahu sebenarnya perusahaannya itu seperti apa, ada tujuan kerja buat apa. Akses data kami berikan, tapi berharap ada kedewasaan bahwa data ini rahasia tidak bisa disebar. Kalau kinerja perusahaan turun kami kasih tahu sebabnya, lalu mengajak tim untuk kejar lagi dan bahas bareng-bareng, dari situ mereka bisa dapat ilmu.”

Setiap kuartal perusahaan menyusun OKR, bila ada target yang cukup berat maka akan di-set untuk per enam bulan.

Berangkat dari OKR, perusahaan jadi lebih mendorong adanya komunikasi antar tim, tidak hanya membicarakan soal pekerjaan juga soal pribadi. Apabila ini dibatasi, tentunya akan berdampak tidak baik, yang terburuknya sampai karyawan tiba-tiba resign.

“Kami mendorong kemampuan berkomunikasi itu harus selalu ditingkatkan karena ini adalah salah satu kunci kesuksesan. Tanpa itu kita semua tidak bisa seperti sekarang, kalau ada masalah dan diam saja itu bisa jadi masalah. Karena ini juga kami berhasil menekan turn over di tim engineer.”

Alie menutup, “Lalu dari komunikasi ini, kami berharap mereka bisa bawa budaya ini ke luar ketika resign dari Kredivo. Kami tidak berharap mereka kerja selamanya di sini, kalau mau coba di tempat lain silakan. Kalau mau buka startup kita sangat dukung, ada beberapa dari sini yang buka startup.”

Application Information Will Show Up Here
Objective and Key Results

Mendalami Fungsi “Objective and Key Results” dan Dukungannya Buat Inovasi Startup

Biasanya dalam suatu organisasi butuh indikator untuk mengetahui efektivitas kinerja karyawannya. Ada ritual tahunan bernama performance appraisal (PA) untuk memberikan nilai dan rating kepada seluruh karyawan, yang berujung adanya reward atau punishment.

Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, ritual ini cukup memakan waktu administrasi dan birokrasi. Hingga pada akhirnya, menggantikan esensi utamanya untuk mengembangkan talenta dan mengelola karyawan untuk kesuksesan perusahaan.

Terlebih, metode PA ini sering diasosiasikan dengan KPI yang merupakan alat ukur performa kerja dan lumrah dipakai perusahaan. Akan tetapi, belakangan ini mulai tenar tools lain yang dianggap lebih adil buat semua pihak dan terbukti telah membawa perusahaan jauh lebih cepat berinovasi dalam waktu singkat.

Tools tersebut bernama OKR (Objective and Key Results). Ini bukan alat evaluasi, tapi alat bantu untuk mengukur sejauh apa yang dilakukan demi mencapai target perusahaan.

Meski bentuknya berbeda, namun OKR dan KPI sama-sama indikator penting untuk mengetahui kemajuan perusahaan. Keduanya juga berguna untuk memacu setiap pihak yang terlibat dalam perusahaan agar lebih produktif, sembari tetap mencapai target yang realistis.

Oleh karenanya, baik KPI dan OKR dapat menjadi komplementer satu sama lain, tanpa harus dibanding-bandingkan. Untuk mendalami OKR, DailySocial berbincang langsung dengan praktisinya Mulyadi Oey, Founder dari Product Narrative.

(dua dari kanan) Founder Product Narrative Mulyadi Oey / Product Narrative
(dua dari kanan) Founder Product Narrative Mulyadi Oey / Product Narrative

Startup lokal yang baru berumur setahun ini punya produk OKR Coaching, product management, dan narrative building. Ketiganya ini berujung pada keinginan misi perusahaan agar setiap karyawan paham seperti apa koneksi mereka dengan perusahaan.

Dari segi pengalaman, Mulyadi pernah bekerja di perusahaan teknologi di Silicon Valley, dalam proses kesehariannya menggunakan OKR dan terbukti sukses. Dia pun pernah merasakan kegagalan meski sudah menerapkan OKR.

1. Pengenalan OKR

OKR merupakan kerangka penetapan tujuan buat perusahaan yang sangat sederhana, dipopulerkan oleh venture capitalist legendaris John Doerr dalam buku berjudul “Measure What Matters”.

Ketika itu, awareness di tingkat global terhadap OKR cukup tinggi karena sudah diterapkan banyak perusahaan internet raksasa, sebut saja ada Google, Intel, Adobe, LinkedIn, Twitter, Airbnb, juga perusahaan ritel seperti Walmart. Namun konsep ini belum begitu dikenal di Indonesia.

OKR terbagi menjadi objective dan key results (KR). Mulyadi memberi contoh dengan mudah. Objektif itu singkatnya adalah gol yang kamu tetapkan, bagaimana direksi sebuah perusahaan atau tim mau ke arah mana. Sementara KR menandakan hasilnya.

“Untuk capai satu gol yang kamu pikirkan, ada tiga tanda-tanda atau hasil yang kamu buat agar gol tersebut tercapai.”

OKR bersifat open source, artinya semua orang bisa adopsi sesuai kebutuhan dan kultur perusahaan. Tidak lisensi apapun yang harus dibayar. Namun dengan catatan, disiplinnya sesuai dengan mindset yang mau dibangun OKR.

2. Menentukan objective dan key results

Contoh OKR / Product Narrative
Contoh OKR / Product Narrative

Dalam menetapkan objective, disarankan mengandung kata-kata yang menginspirasi karena menjadi sumber motivasi dan bisa menantang tim untuk melakukan yang terbaik agar tercapai.

Contohnya, bandingkan antara “Ingin turun berat badan 15 kilogram” dengan “Menurunkan berat badan 15 kilogram agar terlihat prima saat menikah.” Mana yang terdengar lebih menarik? Tentu yang kedua, bukan?

Walaupun hanya sekadar kata-kata, tapi bayangkan apa yang tim rasakan ketika pemimpinnya hanya mau bilang “target omzet naik 10%”. Dibandingkan dengan “target omzet naik 10% karena apa yang kita lakukan bantu 100 ribu orang di sekitar saya”.

“Nah nanti di KR bisa diukur dengan KPI. Banyak orang yang bilang KR itu adalah KPI-nya.”

Objective pun harus punya arahan, mau kurun waktunya sebelum diganti dengan yang baru. Ada yang tiap minggu punya satu objektif, ada yang dua minggu sekali. Bahkan ada yang satu kuartal sekali dengan lima KR. Semuanya melihat kembali kebutuhan masing-masing.

Tapi idealnya, satu objektif punya tiga KR. Bila lebih dari itu, menjadi tugas tim Mulyadi untuk menanyakan kembali. Bukan bilang benar atau salah karena timnya memosisikan diri sebagai coach.

“Kami bantu cara mereka berpikir agar mereka dengan sendirinya dapat jawaban, yang kami fasilitasi dalam bentuk pertanyaan dan dukungan supaya mereka menemukan kejelasan dalam berpikir.”

3. KPI jadi komplementer

Mulyadi menegaskan bahwa dia tidak mengunggulkan OKR dibandingkan KPI. Mengingat, dia secara pribadi pernah mengalami kegagalan meski menggunakan OKR. Banyak perusahaan yang selama ini nyaman memakai KPI dan terbukti sukses, demikian juga yang pakai OKR.

Ada yang selama ini menggunakan OKR tanpa sadar bahwa itu sebenarnya adalah OKR dan terbukti sukses juga. Bahkan ada perusahaan yang tidak menjalani keduanya, tapi tetap sukses. Semuanya kembali ke perusahaan itu sendiri, bergerak di industri mana, berapa jumlah timnya, dan banyak lagi faktornya.

“Sebagai pemimpin sebaiknya lihat mana yang cocok. Cari mindset yang cocok untuk tim, sebab yang cocok di perusahaan lain belum tentu cocok dengan perusahaan kita.”

Bila memakai analogi, KPI itu seperti indikator mobil yang memberitahu Anda jika mobil masih punya cukup oli, bahan bahar, dan sebagainya. Sementara OKR adalah GPS untuk navigasinya. Jika level KPI menunjukkan Anda kehabisan bensin, Anda perlu navigasi untuk mencari ke pompa bensin terdekat.

4. Disusun transparan dan mudah dimengerti

OKR disusun agar mudah dimengerti berbagai pihak karena OKR menjunjung tinggi transparansi. Ada guideline yang jelas dalam bekerja, sehingga memudahkan tim dalam memantau sejauh mana usaha yang telah dilakukan dengan target yang akan dicapai.

Secara rutin, tergantung target penetapan OKR, selalu ada evaluasi yang uniknya bukan atasan yang memberi nilai tapi diri sendiri. Diri Anda sendiri akan memberi nilai atas apa yang sudah dilakukan selama kurun waktu tersebut.

Nanti atasan yang akan bertanya dengan janji Anda yang tertulis lewat OKR di pekan sebelumnya, sekarang nilai berapa. Serta memberi masukan seharusnya nilai yang Anda terima, apabila dirasa benar-benar membawa manfaat.

Sementara bila tidak menggunakan konsep OKR, justru hanya akan jadi saling bercerita. Karena setelah atasan bertanya, apa saja yang sudah Anda dilakukan, jadi memancing Anda untuk bercerita. Sistem evaluasi di OKR, akan menjadi transparan karena sistemnya terbuka dan bisa dilihat orang lain.

“Jarang ada budaya atasan yang mau bilang, ‘Saya mau kerjain ini’. Lalu dinilai sendiri kerjanya buruk atau baik. Nah OKR memfasilitasi itu karena konsepnya open source.”

Ketika seluruh fokus dan nilai karyawan tercatat dalam dokumen OKR yang bisa dilihat oleh siapapun, bisa permudah tim HR ketika performance appraisal digelar. Sehingga waktu yang mereka habiskan tidak terlalu banyak.

5. Menciptakan komunikasi

Umumnya, ketika tim sudah menentukan KPI untuk satu kurun waktu tertentu, fokus akan beralih sepenuhnya buat capai itu. Padahal sebetulnya, komunikasi tim itu penting dalam rangka membangun perusahaan, saling memberi info apa saja yang terjadi di kompetitor dan industri.

OKR memfasilitasi terjadinya percakapan tersebut, yakni lewat diskusi antara atasan dengan anggota tim, bahkan dengan lintas divisi lain ketika melakukan evaluasi rutin. Apalagi buat perusahaan teknologi, atau perusahaan yang memerlukan inovasi dari pemikiran para karyawan, sangat cocok untuk menerapkan OKR.

“Kadang kita pergi ke leadership training, dan dapat input bahwa sebagai leader yang baik harus bisa delegate, berkomunikasi yang jelas. Itu benar banget. Kadang kita tahu teorinya dan dikasih tahu caranya, tapi keadaan di lapangan belum menjanjikan kita untuk mempraktikkan. Nah OKR memfasilitasi itu.”

Saat komunikasi sudah lancar dan antar anggota saling memberi masukan, maka konsep berikutnya yang bisa diterapkan adalah CPM (Continous Performance Management). Dari tiga pilar yang dibangun dalam CPM, dua di antaranya ini hanya terjadi kalau karyawan sudah memberikan feedback yang kontinu.

“Ada perusahaan yang berbincang dengan kita mau mulai pakai CPM. Idenya baik, tapi pertanyaannya kondisi di lapangan apakah sudah disiapkan atau belum.”

6. Kapan saatnya memakai OKR?

Mulyadi berpendapat, OKR sebaiknya diterapkan saat staf perusahaan masih sedikit, bahkan bisa mulai dari diri sendiri, tapi dengan catatan ada orang lain untuk bantu penilaiannya. Dengan kehadiran OKR, proses meeting kantor akan jauh lebih efektif dan tidak bertele-tele karena sudah tahu apa yang akan dibahas dan mudah memantaunya.

Lalu, ketika ingin mulai baiknya mulai dari atas ke bawah. Artinya, dari atasan dulu yang menyamakan mindset-nya dengan OKR. Tools yang dipakai untuk mencatat OKR bisa sangat sederhana, pulpen dan kertas saja. Ada juga Spreadsheet dari berbagai platform asal mudah dipakai dan bisa dilihat semua orang.

“Kalau bisa jangan tentukan tools-nya dulu karena kalau di tengah ada hambatan, kita suka cenderung menyalahkan karena tools jelek jadinya susah untuk melakukan OKR. Arahan dari kami tentukan guidance-nya dulu, baru cari tools, jadi di balik.”

Hasil yang bisa dirasakan setelah mengadopsi OKR juga tidak bisa dikatakan instan. Ada yang butuh waktu enam sampai 12 minggu untuk lihat hasilnya. Ada juga yang butuh berbulan-bulan untuk benar-benar merasakannya.

“Kalau dari awal merasa gagal lebih baik tidak usah dilakukan. Lebih baik cari tahu dulu. Kalau sudah, baru dicoba, nanti ada fair chance untuk berhasil.”

Mulyadi pun menutup diskusi kami. Dia bilang, OKR itu sudah begitu membudaya di Google. Alhasil, ketika ada karyawan yang resign dari sana, pasti menjalani OKR di perusahaan barunya. Indonesia bisa memanfaatkan momentum tersebut dari pertumbuhan startup yang pesat, dengan menanamkan OKR dalam manajemen kerjanya.

“Ini jalannya lagi baik. Kalau berhasil, kita ini seperti sedang menanamkan suatu mindset baru untuk calon leader di masa depan,” tutupnya.