Esports tidak hanya berkembang sebagai industri, competitive gaming juga kini menjadi semakin diakui sebagai olahraga. Pada tahun lalu, Indonesia sebagai tuan rumah Asia Games menggelar eksibisi pertandingan esports. Sementara pada tahun ini, esports menjadi salah satu cabang olahraga bermedali. Esports bahkan menyumbangkan dua medali perak untuk Indonesia. Pada tahun depan, pertandingan esports dari Street Fighter dan Rocket League akan menjadi acara pembuka Olimpiade 2020. Karena itu, tidak heran jika sebagian orang percaya, hanya masalah waktu sebelum esports menjadi bagian dari Olimpiade.
Terkait hal ini, International Olympic Committee (IOC) mengatakan, mereka siap untuk memasukkan game-game yang merupakan simulasi dari olahraga di dunia nyata, seperti sepak bola atau basket. Itu berarti, pertandingan dari game-game FIFA, MLB The Show, dan NBA 2K memiliki potensi untuk menjadi bagian dari Olimpiade, mengingat ketiga game itu merupakan game yang didasarkan pada olahraga asli, yaitu sepak bola, baseball, dan bola basket. Sayangnya, game-game olahraga biasanya tak terlalu populer di kalangan penggemar esports.
Salah satu game esports paling populer adalah Dota 2. Selain itu, Counter-Strike: Global Offensive juga cukup populer. Meskipun keduanya memiliki genre yang berbeda, dua game itu memiliki satu kesamaan. Dalam dua game tersebut, tim yang ingin menang harus bisa membunuh tim lawan. Dan inilah yang membuat IOC enggan untuk memasukkan Dota 2, CS:GO, atau game serupa ke Olimpiade. Karena game yang memiliki unsur pembunuhan dianggap bertentangan dengan nilai dalam Olimpiade itu sendiri.
International Cycling Union (UCI) President, David Lappartient, yang juga merupakan chairman dari grup esports IOC berkata, “Tentang game elektronik yang didasarkan pada olahraga, Summit melihat potensi besar untuk bekerja sama dan mengintegrasikan game itu pada kegiatan olahraga.” Sayangnya, game esports yang tidak memiliki nilai olahraga di dunia nyata tampaknya tidak akan menjadi bagian dari Olimpiade dalam waktu dekat.
IOC mengatakan, saat ini, mereka harusnya fokus pada para pemain juga gamer dan bukannya pada game esports tertentu. “Dengan fokus pada atlet, ini akan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam olahraga sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan dari gaya hidup yang sehat,” ujar Lappartient, menurut laporan Talk Esports. Memang, menjadi atlet esportstidak semudah kelihatannya. Karena itu, organisasi esports biasanya cukup memerhatikan kesehatan fisik dan mental para pemainnya.
Setelah mengadakan Olympic Summit ke-8, International Olympics Committee (IOC) mengungkap pandangan mereka tetang esports. Sebelum ini, IOC menganggap bahwa esports bisa dianggap sebagai kegiatan olahraga. Ketika itu, mereka juga meyebutkan bahwa keberadaan esports bisa membuat generasi muda lebih tertarik dengan Olimpade. Memang, sebagian besar penonton esports adalah generasi milenial dan gen Z.
Meskipun begitu, sekarang, IOC mengatakan, mereka ingin fokus pada game yang didasarkan pada olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket. Memang, sebelum ini, IOC pernah menyatakan kekhawatiran mereka tentang game esports yang menampilkan kekerasan secara eksplisit atau mengandung konten yang melanggar nilai Olimpiade. Mengingat anggota IOC berasal dari berbagai negara, game shooting yang bertema militer bisa menjadi masalah sensitif bagi sebagian anggotanya.
“Tentang game elektronik yang didasarkan pada olahraga, Summit melihat potensi besar untuk bekerja sama dan mengintegrasikan game itu pada kegiatan olahraga,” kata IOC dalam pernyataan resmi, dikutip dari Business Insider. “Banyak simulasi olahraga yang membuat para pemainnya bergerak berkat teknologi Virtual dan Augmented Reality, membuatnya semakin menyerupai olahraga tradisional. Sementara game elektronik yang lain, Summit memutuskan, sekarang, acara olahraga harusnya fokus pada pemain dan gamer daripada pada game tertentu.”
Itu artinya, IOC ingin mendorong para pemain dan gamer untuk ikut serta dalam olahraga tradisional dan mengubah gaya hidup mereka agar menjadi lebih sehat. Memang, pemain profesional bisa menghabiskan waktu setidaknya delapan jam untuk berlatih setiap harinya. Mereka juga menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tidak diketahui oleh masyarakat umum. Para gamer profesional juga mendapatkan tekanan mental layaknya atlet olahraga tradisional. Karena itu, organisasi esports biasanya menyediakan psikolog dan tak melulu mendorong pemainnya untuk bermain game untuk berlatih. Mereka juga berusaha mendorong para pemainnya untuk hidup dengan lebih sehat. Organisasi esports Gen.G bahkan memulai kampanye hidup sehat yang disebut Player Wellness Campaign.
Street Fighter V, di antara sekian banyak judul fighting game yang beredar di generasi console PS4, mungkin adalah yang paling banyak mengalami naik-turun dalam perjalanannya. Ketika pertama dirilis pada tahun 2016, banyak pihak yang kecewa dengan game ini karena berbagai hal, mulai dari roster yang kurang padat, netcode bermasalah, hingga minimnya konten dan fitur. Namun Capcom terus memberikan update dan konten baru dalam wujud DLC (gratis maupun berbayar), hingga kini Street Fighter V sudah jadi game “gemuk” yang layak bersanding dengan judul-judul populer lainnya.
Yoshinori Ono, Executive Produser seri Street Fighter, belum lama ini menceritakan beberapa hal menarik dari perjalanan seri tersebut di era Street Fighter IV dan Street Fighter V dalam wawancara bersama Eurogamer. Ia juga mengungkap kendala yang sedang dihadapi Capcom saat ini, rencana untuk Street Fighter V ke depannya, serta bagaimana ekosistem esports mempengaruhi roadmap pengembangan game tersebut. Terutama ajang Intel World Open yang merupakan acara pembuka Olimpiade Tokyo 2020. Berikut ini beberapa poin yang ia sampaikan.
Capcom sempat menolak pengembangan Street Fighter IV
Hal yang satu ini mungkin sudah jadi pengetahuan umum di kalangan penggemar berat Street Fighter. Yoshinori Ono adalah tokoh yang sudah lama sekali berkecimpung di Capcom, bahkan ia mendapat julukan “Mr. Street Fighter” di perusahaan itu. Ia sempat merasakan masa jaya fighting game di era 90an, tapi kemudian fighting game mengalami masa penurunan di era tahun 2000an.
Ketika dunia fighting game sedang “gersang” itu, Capcom sama sekali tidak berminat merilis Street Fighter IV. Karena itulah ada rentang waktu yang sangat panjang antara perilisan Street Fighter III: 3rd Strike ke Street Fighter IV, hampir 10 tahun. Ono bahkan berkata, “Sebagai sebuah perusahaan, Capcom secara umum sudah tidak membuat fighting game lagi. Sudah 99,9% diputuskan bahwa era fighting game telah tamat dan kami pun bergerak ke hal-hal lain.”
Tapi kemudian Ono melihat fenomena yang aneh. Ketika ia sedang mengerjakan game Onimusha, ia menemukan bahwa ke mana pun ia pergi, orang-orang selalu bertanya tentang Street Fighter baru. Ono pun berusaha meyakinkan petinggi-petinggi Capcom pada masa itu (termasuk salah satunya Keiji Inafune) untuk membuat Street Fighter lagi. Ono punya ide bagaimana cara menghadirkan Street Fighter dan membuatnya populer.
“Andai hasilnya tidak sebagus itu, mungkin saya sudah dipecat… Saya bersyukur Street Fighter IV bisa sedemikian laris,” ujar Ono.
NetherRealm Studios ingin karakter Street Fighter masuk Mortal Kombat
Ed Boon, Creative Director di NetherRealm Studios, ternyata sempat meminta izin kepada Capcom untuk memasukkan salah satu karakter Street Fighter ke Mortal Kombat. Ia juga pernah bertemu dengan Yoshinori Ono di Brasil dan membicarakan hal tersebut. Tapi sayang, akhirnya Capcom memutuskan untuk menolaknya. Menurut Ono, alasan utamanya adalah karena dunia Street Fighter kurang cocok untuk digabungkan ke dalam dunia Mortal Kombat.
Ono berkata bahwa keputusan itu bukan datang dari dirinya, namun dari Capcom secara keseluruhan. Tapi bukan berarti Capcom tertutup sama sekali pada kemungkinan kolaborasi. Lagipula mereka sudah sering melakukan kolaborasi dengan pihak lain, seperti di franchise Marvel vs. Capcom, atau Tatsunoko vs. Capcom. “(Usulan) itu tidak berhasil saat ini, tapi Capcom tertarik melakukan hal sejenis. Jika kami bisa mendapatkan sesuatu yang kami rasa bagus, kami bisa bergerak cukup cepat untuk mewujudkannya,” cerita Ono.
Persiapan menyambut Intel World Open (IWO)
Street Fighter V jelas bukan pendatang baru di dunia esports, akan tetapi ajang Intel World Open tahun 2020 nanti punya peran yang lebih signifikan daripada turnamen esports biasanya. Ono mengaku bahwa saat ini mereka sedang sibuk mempersiapkan berbagai hal untuk menyambut ajang tersebut, dan belum mau berpikir tentang console next gen (PS5) yang kabarnya juga akan dirilis di tahun 2020.
Seperti apa persiapan yang dimaksud? Hal pertama yang diinginkan Ono adalah stabilitas Street Fighter V di versi yang sekarang. Ia ingin semuanya bisa berjalan dengan baik. Ono juga ingin bisa memfasilitasi Intel World Open yang babak kualifikasinya digelar secara online. Oleh karena itu Street Fighter V telah mendapat fitur baru yaitu mode turnamen online yang saat ini masih sedang berada dalam status beta.
“Sekarang kita sudah punya turnamen grup, kira-kira 8 orang bisa diundang masuk ke lobby. Mode baru ini nanti akan punya skala yang jauh lebih besar. Kami masih mengerjakan detailnya di fase beta, tapi yang jelas nantinya lusinan, bahkan ratusan orang akan bisa berpartisipasi di sebuah turnamen dalam waktu yang sama. Kami sedang melakukan penyetelan akhir dan mode ini akan siap dalam beberapa bulan ke depan,” papar Ono.
Selain mode baru di atas, Ono tidak memberikan detail lebih lanjut. Tapi rumor yang beredar, Capcom akan menghentikan perubahan balance dan perilisan karakter baru sampai Intel World Open berakhir. Update akhir 2019 akan menjadi update besar terakhir untuk sementara, dan setelahnya Street Fighter V akan berubah judul dari Street Fighter V: Arcade Edition menjadi Street Fighter V: Tournament Edition. Namun semua ini masih rumor, kita tunggu saja konfirmasinya setelah Capcom Cup 2019 nanti.
Harapan Yoshinori Ono untuk Intel
Hal unik lain dari Street Fighter V adalah kemauan Capcom untuk memupuk ekosistem esports di dalamnya hingga terus tumbuh subur. Meskipun ada judul-judul fighting game lain yang booming seperti Dragon Ball FighterZ atau Mortal Kombat 11, Yoshinori Ono tak ambil pusing. Ono sadar bahwa pemain fighting game biasanya tidak hanya memainkan satu judul, tapi mereka akan mencoba-coba hal baru termasuk di luar genre fighting juga.
Saat ini Street Fighter V masuk peringkat 13 dalam “Platinum Titles” (peringkat game terlaris) di Capcom, dengan total penjualan 3,9 juta unit. Angka tersebut berada di bawah Dragon Ball FighterZ dan Tekken 7 yang sama-sama sudah melebihi angka 4 juta unit, apalagi bila dibandingkan dengan Super Smash Bros. Ultimate (15,38 juta unit). Akan tetapi Ono sadar bahwa Street Fighter punya sejarah yang panjang, dan masih akan terus menciptakan sejarah di masa depan. Ia merasa tidak perlu mengekor judul-judul lain, dan lebih baik fokus pada visi Street Fighter itu sendiri.
Team is making preparation for NA Regional Finals and new announcements to make there! I look forward to seeing there and enjoy exciting new things for #SFV and fans.#cpt2019#SFVAE
Satu hal saja yang menurut Ono masih jadi kendala besar adalah soal penyimpanan data. Street Fighter V memiliki fitur untuk menyimpan berbagai data, termasuk replay setiap pertandingan yang dilakukan pemain. Replay ini bisa diakses secara online lewat jaringan yang disebut Capcom Fighters Network. Kemudian Capcom bisa menganalisis data tersebut untuk riset, lalu menentukan karakter mana yang butuh buff atau nerf.
Masalahnya, saat ini dalam sehari bisa ada lebih dari 500.000 pertandingan di Street Fighter V. Capcom menyimpan backup data tersebut di server Amazon Web Service dan Google, tapi penggunaan layanan-layanan ini butuh banyak biaya. Ono berkata, “Itu hal yang ingin saya coba perbaiki di masa depan. Jadi misal ajang IWO ini berhasil, saya bisa mendatangi Intel dan berkata, tolong beri kami server space untuk menyimpan backup.”
Ketika publisher Jepang seperti Bandai Namco dan Capcom tengah sibuk dengan game-gameblockbuster-nya, arahan berbeda diambil Konami dalam merawat franchise serta komunitas pemain. Mereka sekarang tampak sedang fokus pada esports. Di bulan ini, Konami meresmikan kolaborasinya bersama Liga Sepak Bola Jepang untuk meluncurkan turnamen Winning Eleven, setelah sebelumnya melepas versi gratis Pro Evolution Soccer 2019 demi merangkul lebih banyak pemain.
Dan demi memegang komitmen mereka terhadap ranah gaming kelas profesional, perusahaan asal Tokyo itu membangun pusat esports di ibu kota. Saat ini status esports center milik Konami masih berada dalam tahap pembangunan, dan rencananya akan rampung pada bulan November 2019. Jika semuanya berjalan lancar, fasilitas tersebut akan siap digunakan ketika Olimpiade Tokyo dilaksanakan di tahun 2020 nanti.
Pusat esports Konami sengaja dirancang agar lebih lengkap dan megah dibanding fasilitas sejenis yang pernah didirikan. Bangunan didesain untuk berdiri setinggi 12 lantai serta dilengkapi area bawah tanah, berlokasi di distrik Ginza. Di dalamnya akan ada arena turnamen berskala raksasa, gerai penjualan hardware, serta ruang-ruang khusus pendidikan esports. Sesi pelatihan akan dipandu oleh staf ahli, dimaksudkan buat menyaring talenta esports sedini mungkin.
Proyek tersebut diharapkan bisa mendorong pengembangan ranah esports di Jepang. Proses pembangunan gedung mulai dilakukan beberapa bulan sesudah pembentukan Japan Esports Union (JESU) pada akhir tahun lalu. Badan ini rencananya akan memiliki kantor cabang di 11 prefektur di Jepang, disiapkan sebagai sarana latihan dan dilangsungkannya kompetisi. Di esports center, kegiatan itu dapat dilakukan secara lebih masif.
Dalam acara seremoni peletakan batu pertama, presiden Konami Kimihiko Higashio berharap bahwa di masa depan nanti, mereka yang berpartisipasi di esports akan berdiri berdampingan dengan para atlet olahraga ‘sesungguhnya’ atau bahkan melampaui pencapaian mereka. Meski demikian, Higashio juga mengakui, Jepang masih tertinggal jauh di belakang wilayah-wilayah pionir esports seperti Amerika dan Eropa. Tapi melihat dari sudut pandang ini, menurutnya Jepang masih memiliki potensi besar untuk berkembang.
“Saya ingin menunjukkan pada dunia bahwa dari Ginza ini, daya tarik esports tidak akan kalah dari olahraga fisik,” tutur Higashio.
Sejauh ini, belum diketahui apakah pengunjung diperkenankan untuk melakukan tur di dalam esports center Konami setelah pengerjaannya rampung dan gedung mulai beroperasi nanti. Selain itu, belum dikonfirmasi pula status esports di perhelatan olahraga terbesar di dunia tersebut…