Tag Archives: Online Content

Konsumsi konten digital, antara pembajakan dan konten berbayar. Saat ini pendekatan freemium dan dukungan dilakukan untuk tingkatkan konten berbayar

Konsumsi Digital, Antara Pembajakan dan Konten Berbayar

Pembajakan karya masih terus menghantui kreator di Indonesia. Meski teknologi digital mulai berkembang, pertempuran dengan pembajak masih terus berlanjut hingga sekarang. Beberapa platform mulai muncul dengan beragam solusi mengatasi hal ini. Tidak menghabiskan tenaga melawan pembajakan, tetapi memudahkan mekanisme agar kreator bisa dihargai lebih layak.

Penyelesaian kasus pembajakan di Indonesia layaknya benang kusut yang tak ada ujungnya. Kasus terbaru yang ramai jadi perbincangan adalah kasus penutupan situs ilegal streaming film. Kejadian ini membagi masyarakat internet menjadi dua kubu, mereka yang menyayangkan dan mereka yang menyambut positif. Saya pribadi cukup yakin situs streaming film ilegal menjadi salah satu penyebab berdarah-darahnya kelangsungan platform video on demand (legal) di Indonesia.

Internet berkembang di Indonesia bersama dengan pemikiran bahwa semua yang ada di dalamnya adalah gratis, termasuk foto, video, gambar, teks, dan lainnya. Masih banyak orang beranggapan bahwa semua yang diletakkan di internet adalah menjadi milik umum. Dengan kata lain bisa dimanfaatkan siapa saja dan untuk apa saja.

Pandangan keliru ini sayangnya masih dipercaya banyak orang, bahkan para pengguna internet baru. Hal ini mengakibatkan tugas mengedukasi perihal lisensi dan hak cipta semakin berat.

Pokok permasalahannya adalah keengganan membayar konten digital. Tembok penghalang bernama sistem pembayaran sudah mulai runtuh berkat adanya platform uang elektronik dan integrasi dengan banyak sistem. Permasalahan “malas ke ATM untuk transfer” atau “tidak punya kartu kredit” perlahan-lahan menghilang.

Akhirnya kita kembali ke pertanyaan klasik “kalau ada yang gratis ngapain bayar”. Padahal di dalam sebuah konten digital terdapat usaha keras sang pembuat karya yang harus tetap hidup dan menghidupi keluarganya.

Founder Karyakarsa Ario Tamat mengungkapkan, kecenderungan masyarakat membajak atau enggan membayar untuk sebuah karya disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap dampak.

“Menurut saya, kesadaran soal hak cipta itu belum ada seiring dengan persepsi dampak. Misalnya, mungkin kebanyakan dari kita ringan saja men-torrent sebuah film seri yang memang tidak tersedia di Indonesia, karena tidak terlihat dampaknya untuk pembuat konten. Malah ‘Ah, kan Disney udah kaya, salah sendiri nggak rilis di Indonesia’ misalnya atau ‘nggak papalah Taylor Swift duitnya udah banyak’. Konsekuensi untuk pembajak pun tidak jelas,” terang Ario.

Membayar untuk konten digital sebenarnya sudah berjalan jika konteks yang dibahas adalah game. Mobile Legends, PUBG Mobile, dan game mobile populer lainnya telah menjadi pengalaman pertama bagi banyak pemain game untuk membayar item pertama mereka. Bentuk pembayaran Google Play yang semakin luwes membuat para pemain game tak ragu menukarkan uang miliknya dengan diamonds atau coins dalam permainan.

Pendekatan yang berbeda

Saat ini, untuk menjangkau pengguna, kebanyakan platform mengusung pendekatan freemium dengan konsep berlangganan. Pengguna ditawari banyak konten gratis, namun beberapa konten dikunci dan hanya bisa diakses bila pengguna membayar.

Strategi ini cukup banyak digunakan berbagai jenis konten digital. Tak hanya platform streaming musik atau film, Berlangganan seperti ini juga bisa dijumpai untuk konten komik, foto, dan lainnya.

Pada dasarnya cara ini menarik minat pengguna terlebih dahulu dengan koleksi konten yang ada. Selanjutnya, ketika keterikatan dengan pengguna sudah terjalin, akan ada konten-konten khusus atau konten lanjutan yang dijajakan secara berbayar. Jika pengguna menikmati pengalamannya dalam menggunakan konten secara gratis, biasanya tidak susah mengubahnya menjadi pengguna berbayar. Sebaliknya, jika pengalaman yang dihadirkan buruk, mereka akan lari.

Platform Storial.co yang menyediakan konten fiksi dalam bentuk buku digital sudah menerapkan strategi ini. Dengan total 50.000 judul buku dan 15.000 penulis, Storial mengkaim menggaet jutaan pembaca. Konten fiksi di dalamnya banyak yang naik cetak bahkan diadaptasi dalam bentuk lain, seperti film dan web series.

CEO StorialSteve Wirawan kepada DailySocial menceritakan bahwa sebelum pandemi ini ada pengguna mereka bisa membaca sekitar 30 bab per minggu. Angka ini naik dua kali lipat di masa pandemi seperti sekarang. Waktu luang disinyalir menjadi salah satu penyebabnya.

“Menurut saya, kaum milenial di Indonesia ini kebanyakan bucin [budak/butuh cinta -Red], pasti banyak kan yang nonton drama korea di masa pandemi ini. Begitu juga dengan konten fiksi yang sukses bikin pembaca baper itu sangat digemari oleh pengguna kami yang kebanyakan perempuan berusia di bawah 20 tahun,” terang Steve.

Menurut Steve, kunci untuk bisa membuat orang membayar untuk konten digital ada pada konten itu sendiri. Selama konten dekat dan diterima pengguna, tingkat konversi dari pembaca gratis ke pembaca berbayar cukup tinggi.

“Konten yang menarik adalah kuncinya. Saya kira selama kontennya engage dengan pembaca, karakter dalam ceritanya kuat dan nyata yang membuat orang bisa relate dengan diri mereka, jalan cerita yang membuat mereka baper dan penasaran untuk tahu kelanjutannya, pasti membuat mereka mau bayar,” lanjut Steve.

Ario menambahkan, setidaknya ada dua hal yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi atau menekan angka pembajakan karya. Dengan memanfaatkan teknologi atau memanfaatkan pendekatan yang baru, dukungan langsung penikmat karya ke pembuat karya.

“Pertama dengan menciptakan teknologi hiburan yang perlindungan HKI-nya sudah jadi satu, seperti Spotify atau Netflix yang kontennya tidak bisa dinikmati di luar aplikasi masing-masing. Yang kedua menawarkan konten dengan model bisnis yang tidak terlalu tergantung ke proteksi, tapi ke partisipasi penikmat karya, seperti KaryaKarsa,” jelas Ario.

Semua bisa berkarya, semua berhak didukung

Platform yang menjembatani konten kreator dengan para penikmat karyanya akan menjadi masa depan bagi pembuat  dan penikmat konten digital. Kehadiran platform ini selain memangkas jarak idola dengan para penggemarnya juga menghapus bias, mana penikmat karya dan mana yang orang penikmat konten gratis.

Kecanggihan teknologi dan perangkat lunak telah melahirkan banyak bentuk turunan konten digital yang baru. Tak hanya buku, film, dan musik tetapi juga streaming game, pelatihan olahraga online, webinar, stand up comedy, podcast, dan ragam bentuk lainnya. Kendati bukan barang yang berbentuk, karya digital sudah selayaknya dihargai.

Metode pembayaran kini semakin murah. Akses ke konten digital pun semakin mudah. Platform yang menjembatani sudah banyak bentuknya, tergantung konten seperti apa yang diminati, dan permasalahan kini tinggal pada kesadaran masing-masing. Yang paling ditunggu adalah regulasi dan sanksi pasti bagi setiap pelanggaran yang ada.

Go-Jek launches new business unit called Go-Play

Go-Jek Enters Content Business, Soon to Launch Go-Play

Go-Jek is entering video-based online content business on-demand, like Netflix or HOOQ. The expansion is triggered to secure Go-Jek position as all-in-one service for Indonesians, with Go-Pay as the primary e-wallet. The service will be named Go-Play with a subscription business model.

According to Go-Jek’s SVP of Acquisition and Development, Michy Gustavia, during Asia-Pacific Video Operators’ Summit, Go-Play will allow users to subscribe to digital content by daily, weekly, or monthly payment.

Go-Jek has made a special unit called “Go-Studio” to handle the content production, but also open for collaboration with other local creators and production house. Go-Jek will use the existing data to analyze users’ habit and produce content accordingly.

The 95% of contents are Indonesian films. Some of those are related to the activity inside Go-Jek’s ecosystem. For example, the first documentary film is about the high rate of canceled order for women’s drivers. The problem is to be analyzed through data and the study will be delivered through the film.

With a strong users’ penetration, company’s internal data shows there are 9.5 million active users per December, and the expanding payment system, Go-Jek aims to be a digital service accommodating various needs of the communities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
GO-JEK perkuat bisnis dengan luncurkan unit bisnis konten online GO-PLAY

Memasuki Bisnis Konten, GO-JEK akan Luncurkan GO-PLAY

GO-JEK segera memasuki bisnis konten online berbasis video on-demand, seperti layanan Netflix atau HOOQ. Perluasan bisnis ini didorong dengan makin kuatnya posisi GO-JEK sebagai layanan “all-in-one” untuk pengguna di Indonesia, didukung GO-PAY sebagai e-wallet andalannya. Secara khusus layanan tersebut akan diberi nama “GO-PLAY” dengan skema berlangganan.

Menurut pemaparan SVP of Acquisition and Development GO-JEK, Michy Gustavia, dalam acara Asia-Pacific Video Operators’ Summit, nantinya layanan GO-PLAY akan memungkinkan pengguna melakukan langganan konten digital dengan pembayaran harian, mingguan, atau bulanan.

Menariknya Michy menyampaikan bahwa GO-JEK membuat unit khusus bernama “GO-STUDIO” untuk terlibat dalam produksi konten, kendati tidak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan content creator lokal dan studio film. Dengan data yang dimiliki, GO-JEK akan melakukan analisis kebiasaan pengguna, sehingga menghasilkan konten-konten sesuai dengan kriteria yang digemari.

Konten yang dihasilkan 95% berupa film Indonesia. Beberapa juga berhubungan langsung dengan aktivitas dengan aplikasi GO-JEK. Dicontohkan Michy, proyek film dokumenter pertama yang disusun adalah soal tingkat pembatalan order tinggi untuk pengemudi perempuan. Masalah tersebut coba didalami melalui data, lalu disampaikan edukasinya melalui film tersebut.

Dengan penetrasi pengguna yang cukup kuat –data internal perusahaan mengatakan per Desember ada 9,5 juta pengguna aktif—serta alat pembayaran yang makin luas, GO-JEK berambisi untuk menjadi layanan yang mengakomodasi berbagai kebutuhan masyarakat yang dilayani secara digital. Dari sisi GO-JEK sebagai pengembang layanan e-money, ekosistem layanan dan konten yang luas tentu dapat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan bisnis.

Application Information Will Show Up Here