Tag Archives: online survey

Kuesio dikembangkan oleh perusahaan konsultan riset CX-Go / Pexels

Platform “TapFeedback” Pivot Jadi “Kuesio”, Bidik Mahasiswa dan Peneliti

Meningkatnya penetrasi digital mendorong pemilik bisnis atau perusahaan untuk ingin memahami perilaku konsumennya, salah satunya melalui survei. Kini kemunculan platform survei online lokal mulai banyak mengisi pasar yang selama ini banyak mengandalkan platform sejenis dari luar. Beberapa di antaranya adalah Jakpat, Populix, dan tSurvey.

Beberapa tahun terakhir, perusahaan konsultan untuk market research CX-Go tengah meracik produk digital yang dapat menjawab kebutuhan di atas. Pada akhir 2019, CX-Go sempat mengembangkan platform umpan balik customer bernama TapFeedback yang membidik industri hospitality, khususnya F&B.

Namun, project ini gagal berlanjut karena terdampak pandemi Covid-19. Banyak tempat makan tutup karena kebijakan pembatasan sosial. Tak mau berlama, CX-Go segera pivot untuk menggarap Kuesio dengan menduplikasi konsep dasar TapFeedback, yakni kuesioner online.

Dalam bincang singkat dengan DailySocial, Founder dan Managing Director CX-Go Ditto Priyawardhana menyadari bahwa platform kuesioner online dikuasai oleh produk turunan Google, yakni Google Form. Banyak yang memakainya karena alasan gratis. Jika melihat peta persaingannya, ada pula platform sejenis, seperti Typeform dan SurveyMonkey.

“Kami melihat ada peluang di sini karena hampir 80% orang memakai Google Form. Di sini, kami mencoba hadirkan alternatif lain dengan membidik target pengguna mahasiswa akhir yang menggarap skripsi, tesis, atau penelitian akademis,” ujar Ditto.

Sumber: Kuesio

Di awal pengembangannya, Kuesio masih bersifat gratis. Namun, pihaknya berupaya menghadirkan produk yang selama ini belum dapat dipenuhi oleh platform existing. Salah satunya adalah fitur pengolahan data yang dirancang sebagai fitur premium. Dengan fitur ini, pengguna tidak perlu lagi berpindah-pindah ke platform/aplikasi lain.

“Kami lihat platform kebanyakan belum punya kemampuan untuk analisis. Biasanya, data mentah dibersihkan di platform lain. Kuesio bisa menjadi platform end-to-end, mulai dari kuesioner, pengumpulan data, pembersihan, sampai statistik. Kami build fiturnya,” tuturnya.

Beberapa fitur premium yang ditawarkan Kuesio antara lain Statistika Deskriptif, Filter Data, Data Tabulasi, Data Cleaning, dan Coding Pilihan Jawaban.

Eksplorasi lanjutan

Sejauh ini, platform Kuesio diklaim menunjukkan pertumbuhan dari sisi pengguna. Namun, ungkap Ditto, pengembangannya belum optimal karena CX-Go masih bootstrapping atau memakai modal sendiri.

“Selama ini, pendapatan yang kami terima dari CX-Go, diputar lagi untuk pengembangan Kuesio. Angkanya mungkin belum signifikan. Namun, Kuesio sudah product market-fit. Kami juga meminta feedback perbaikan dari user. Saat ini, kami buka peluang untuk cari investor supaya [Kuesio] bisa naik level,” jelasnya.

Pihaknya juga mengeksplorasi berbagai kemungkinan lain, misalnya mencari kemitraan untuk mengembangkan Kuesio lebih lanjut. Saat ini, Ditto mengaku ingin melihat perkembangan ke depan untuk memastikan sumber pemasukan dan monetisasinya jelas. Salah satunya melalui fitur premium.

Ditto menambahkan, pihaknya juga tengah mengeksplorasi produk sejenis Kuesio yang bakal ditujukan bagi perusahaan/pemilik bisnis/brand. Platform ini nantinya bakal menggunakan nama berbeda.

“Di CX-Go, kami banyak menggarap riset kualitatif. Ini adalah strength kami. Sementara, Kuesio lebih ke kuantitatif di mana fiturnya belum kompleks. Kami sedang belajar bagaimana masuk ke pasar B2B. Ada peluang yang dapat dieksplorasi dengan masuk ke B2B atau berbayar,” tutupnya.

Survei Populix berjudul “Insights and Future Trends of Investments in Indonesia,” menunjukkan mayoritas (72%) responden mengatakan bahwa mereka mulai berinvestasi

Survei Populix: Di Tahun 2022, Masyarakat Semakin Melek Investasi

Masyarakat Indonesia dinilai telah memiliki kesadaran yang lebih baik dalam berinvestasi semenjak pandemi. Mereka mulai memiliki perencanaan keuangan, termasuk dana darurat, asuransi kesehatan, hingga investasi.

Berdasarkan hasil survei yang diselenggarakan Populix berjudul “Insights and Future Trends of Investments in Indonesia” menunjukkan mayoritas (72%) responden mengatakan bahwa mereka mulai berinvestasi, terutama di kalangan generasi milenial. Angka tersebut meningkat dibandingkan survei sebelumnya yang digelar pada Januari 2021 yang mengungkap bahwa hanya kurang dari setengah responden (44%) yang telah mulai berinvestasi.

Co-founder & CEO Populix Timothy Astandu menyampaikan survei termutakhir ini memperlihatkan bahwa semakin banyak generasi muda yang melek investasi. Kehadiran berbagai aplikasi investasi tentunya mendorong inklusivitas kepada anak muda untuk mulai berinvestasi, terlihat dari mayoritas responden yang memilih untuk menjalankan investasi melalui aplikasi.

Dalam survei, sambungnya, juga menunjukkan bahwa responden telah mempertimbangkan aspek-aspek kondisi keuangan mereka, kejelasan informasi, serta profil risiko dari masing-masing instrumen investasi. Artinya, saat ini mereka sudah memiliki kesadaran dan literasi keuangan yang lebih baik sebelum memulai untuk berinvestasi.

“Tentunya hal ini menjadi catatan positif untuk Indonesia. Namun fenomena ini juga menjadi alarm pengingat bahwa diperlukan kolaborasi antara berbagai pihak untuk terus mengimbangi minat anak muda Indonesia pada tren investasi dengan literasi keuangan yang lebih baik lagi,” ucapnya dalam keterangan resmi, Rabu (30/11).

Survei Populix

Lebih lanjut, dalam survei memperlihatkan mayoritas responden (64%) dari segala rentang usia memiliki tujuan utama berinvestasi untuk mengumpulkan dana darurat. Secara khusus jika melihat perilaku berinvestasi dari setiap generasi, survei menunjukkan bahwa selain mengumpulkan dana darurat, generasi Z dan milenial cenderung berinvestasi untuk mendapatkan penghasilan tambahan, sementara generasi X bertujuan untuk mengumpulkan dana pensiun.

Sumber: Populix

Reksa dana (47%) masih menjadi instrumen investasi yang paling banyak dipilih responden. Selanjutnya disusul perhiasan emas (46%), saham (32%), logam mulia (30%), deposito (29%), properti (21%), dan aset kripto (20%). Responden yang datang dari generasi Z cenderung memilih investasi reksa dana, sementara milenial dan generasi X tertarik untuk investasi pada perhiasan emas. Dua alasan utama responden memilih instrumen yang dituju karena terdaftar di OJK dan punya profil risiko rendah.

Untuk mencari informasi seputar instrumen investasi, sebagian besar (68%) responden memanfaatkan platform media sosial, khususnya YouTube dan Instagram. Selain itu, mereka juga mencari informasi resmi dari OJK (42%), teman atau rekan kerja (40%), situs resmi institusi keuangan (34%), dan influencer (32%).

Sumber dana dan platform investasi yang digunakan

Lebih lanjut, dalam berinvestasi sebanyak 5 dari 10 responden mengatakan mereka menyisihkan sebagian dana dari pendapatan rutin, serta tabungan mereka. Di antara 54% responden yang mengalokasi anggaran dari pendapatan rutin, mayoritas menyisihkan sekitar Rp100 ribu-Rp250 ribu pendapatan mereka.

Di sisi lain, responden juga mengalokasikan 5%-10% untuk sumber dana investasi dari pendapatan lainnya, seperti tabungan, bonus atau penghasilan tambahan, THR, dana dari keluarga, dana darurat, dan hasil penjualan aset.

Berikutnya, responden juga cenderung berinvestasi melalui platform aplikasi, bank, atau keduanya. Sebanyak 71% responden memilih aplikasi karena kemudahan dalam satu aplikasi, persyaratan yang tidak rumit, dan membutuhkan modal yang relatif kecil. Aplikasi Bibit paling banyak dipilih responden (56%), diikuti dengan DANAeMAS (33%), Ajaib (28%), Tokopedia (25%), dan OVO Invest (20%).

Sumber: Populix

Di sisi lain, sebanyak 44% responden yang memilih berinvestasi melalui bank menyebutkan bahwa mereka menganggap bank lebih dipercaya untuk keperluan investasi, punya kemudahan, dan ketentuan yang tidak rumit. Beberapa bank utama yang dipercaya responden adalah BRI (31%), BCA (31%), Bank Mandiri (30%), dan BNI (27%).

Survei ini juga menemukan kendati minat investasi meningkat, masih ada 28% responden yang belum mau berinvestasi karena kondisi keuangan yang belum mencukupi untuk memulai investasi (78%). Selain itu, masih ada pemahaman bahwa investasi membutuhkan dana yang besar (36%), takut mengambil risiko (32%), sulit memahami informasi seputar investasi (20%), trauma penipuan investasi di masa lalu (14%), dan bertentangan dengan kepercayaan atau berisiko mengandung riba (8%).

Namun demikian, sebanyak 95% responden mengaku sudah memiliki rencana untuk berinvestasi di masa depan, terutama pada instrumen logam mulia (49%), perhiasan emas (42%), saham (42%), properti (37%), reksa dana (35%), dan deposito (32%).

Sebagai catatan, survei ini dilakukan pada 24-28 November 2022 dilakukan secara online melalui aplikasi Populix. Ada 1.038 responden laki-laki dan perempuan berusia 18-55 tahun yang berpartisipasi dalam tersebut. Survei kuantitatif ini dilakukan dalam bentuk kuesioner tertutup dengan format pilihan ganda tunggal dan pilihan ganda kompleks.

Sumber: Populix
Startup web3 Vin Protocol adalah perusahaan patungan antara dua perusahaan riset data Indonesia, Survego dan Survein, memanfaatkan blockchain untuk survei online

Startup Web3 “Vin Protocol” Tawarkan Solusi Survei dengan Pendekatan Blockchain

Bisnis pengolahan data selama ini dirundung isu keamanan yang dikomersialisasi untuk kebutuhan riset dan pemasaran. Vin Protocol mengambil pendekatan yang berbeda dengan memanfaatkan blockchain untuk merevolusi bisnis ini, sekaligus memperkenalkan teknologi tersebut ke use case yang lebih luas.

Startup ini memosisikan diri sebagai platform data marketplace berbasis blockchain yang berfungsi menghubungkan jaringan komputer secara terdesentralisasi dan terdistribusi. Serta memungkinkan proses transaksi peer-to-peer (P2P) tanpa bergantung pada satu server. Secara sederhana, Vin Protocol seperti Jakpat atau Populix, yang menggunakan teknologi blockchain untuk pengumpulan data survei dari responden.

Mempertemukan pemilik dan pembeli data secara langsung

Perusahaan mentransformasi bisnis data dengan cara memanfaatkan jaringan sistem pengambilan dan pengolahan data konsumen dan data industri. Data dan insights yang dihasilkan terhubung secara otomatis dalam sebuah marketplace yang mempertemukan pemilik dan pembeli data secara langsung.

Co-founder & CEO Vin Protocol Harryadin Mahardika menjelaskan, platformnya bisa menjembatani penggunaan blockchain, sekaligus langkah awal untuk mentransformasi proses komersialisasi data di berbagai sektor, seperti kesehatan, perbankan, ritel, consumer goods, pendidikan, tata kelola kota, dan manajemen aset.

Produk dari Vin Protocol adalah Vin Polls yang berbentuk aplikasi diperuntukkan buat para akademisi dan konsultan bisnis yang ingin mengomersialisasi data secara menyeluruh. Mereka juga dapat mengakses dasbor yang mudah digunakan, sehingga mereka dapat mengakses hasilnya dan progres secara real time.

“Vin Protocol dan Vin Polls yang kami luncurkan dapat digunakan oleh para akademisi dan konsultan bisnis untuk melakukan komersialisasi data secara end-to-end, seperti mengambil data, mengolahnya menjadi insights, dan menjual insights kepada pembeli dengan sangat mudah dan aman, dengan mengunduh Vin Polls di Google Play Store dan App Store atau mengunjungi website Vin Protocol,” terang Harryadin.

Menurutnya, teknologi yang ditawarkan mampu menjadi katalisator dalam mendorong penggunaan blockchain dalam bisnis data dan riset, sehingga mempermudah proses hulu ke hilir dari mulai pengumpulan data responden.

Di sisi lain, ada nilai tambah bagi para responden berupa poin (Vin Point) yang dapat ditukarkan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti pulsa, token listrik, dan voucher belanja setiap kali menyelesaikan task dan survei. Ke depannya Vin Point juga dapat dikonversi ke token digital.

Perusahaan memastikan karena layanan yang diberikan ini berhubungan erat dengan data dan harus memiliki tingkat keamanan yang tinggi, maka dari itu dibutuhkan teknologi keamanan data yang tinggi. “Seluruh pengguna kami tidak perlu cemas dan was-was saat menggunakan layanan dan bertransaksi di Vin Protocol dan Vin Polls,” tambah Co-founder & CTO Vin Protocol Oscar Karnalim.

Perusahaan patungan Survego dan Survein

Vin Protocol resmi baru beroperasi di Indonesia per kemarin (22/11). Startup ini adalah perusahaan patungan antara dua perusahaan riset data Indonesia, Survego dan Survein. Survego sendiri adalah online research marketplace yang mempertemukan periset dengan responden secara langsung dengan skema harga yang transparan. Sementara Survein adalah platform untuk membuat survei, form, mendapatkan saran, registrasi & pendataan secara online buat bisnis.

Keduanya menjadi penyuplai sumber survei yang disediakan Vin Protocol. Tak hanya itu, perusahaan juga didukung dengan komunitasnya yang disebut Vin Army berjumlah lebih dari 5 ribu responden. Menariknya, hasil jajak pendapat atau survei tidak hanya berasal dari responden, tetapi juga berdasarkan data AI yang ada di ekosistem blockchain.

Sebelum resmi beroperasi, Vin Protocol bergabung sebagai salah satu dari 13 startup terpilih program inkubator Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA) pada Februari 2022. TSBA adalah program yang diselenggarakan oleh Tokocrypto dan BRI Ventures. Menurut perwakilan perusahaan saat dihubungi DailySocial.id, Vin Protocol telah memperoleh pendanaan tahap pra-awal sebesar $100 ribu (Rp1,56 miliar) dari angel investor yang tidak disebutkan identitasnya.

Application Information Will Show Up Here