Tag Archives: online-to-offline

Wellio dan gerai konsep ekslusif JD.ID lainnya akan hadir di berbagai pusat perbelanjaan strategis Jakarta dan Surabaya sepanjang tahun 2021 ini

Dorong Pertumbuhan Konsep O2O, JD.ID Luncurkan Gerai Offline “Wellio”

Layanan e-commerce asal Tiongkok, JD.ID, kembali membuka gerai offline di Jakarta. Bernama Wellio, gerai ini mencoba konsep baru dengan menawarkan multi category yang menjual berbagai kategori produk, mulai dari elektronik rumah tangga, gadget, hingga berbagai produk pelengkap gaya hidup (lifestyle).

“Saat kita bergerak maju menuju era kenormalan baru yang sarat akan perubahan, adalah tugas kami untuk menyambut perubahan-perubahan itu dengan tangan terbuka serta membantu transisi tren belanja para pelanggan kami, itulah dasar kami untuk membuka Wellio by JD.ID,” kata Head of Offline Business JD.ID Eyvette Tung.

Dengan dibuka-nya Wellio, JD.ID juga memperkenalkan kembali fitur “Nearby Shop”. Diluncurkan pada bulan November 2020 lalu, fitur ini bisa memperlihatkan gerai-gerai offline di manapun konsumen berada, dengan durasi kirim yang lebih singkat.

Ekspansi Wellio akan menjadi fokus divisi offline JD.ID tahun ini. Wellio dan gerai konsep ekslusif lainnya akan hadir di berbagai pusat perbelanjaan strategis Jakarta dan Surabaya.

Mendorong kembali Online-to-Offline (O2O)

Berdasarkan riset yang dilakukan secara internal oleh JD.ID, pandemi telah mengubah gaya hidup dan kebiasaan dari masyarakat ketika mengkonsumsi produk. Perusahaan berupaya menggabungkan dua saluran bisnis yang berbeda (online & offline) menjadi satu, sehingga diharapkan bisa melengkapi satu sama lain.

“Harapannya adalah dengan ekspansi dari Wellio by JD.ID, kami dapat melakukan penetrasi market secara agresif dengan mengedepankan ‘Joyful Shopping Experience’ sebagai modal utama. Dan menjadi platform ecommerce pertama dengan integrasi offline-online terluas di Indonesia.”

Sebelumnya JD.ID telah memiliki toko offline yang telah diluncurkan pada tahun 2018 lalu dengan nama JD.ID X. JD.ID X merupakan gerai produk serba ada yang berbasiskan teknologi AI (artificial intelligence) pertama di Indonesia, dengan fitur pemindai wajah, radio-frequency identification (RFID), dan metode pembayaran non-tunai.

JD.ID juga telah membangun JD HUB. Gerai ini menjual berbagai produk kebutuhan sehari-hari dengan kombinasi pengalaman belanja online dan offline, yang terletak di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan.

Selain mengedepankan konsep O2O, JD.ID akhir tahun 2020 lalu juga mulai fokus ke rantai pasokan, penambahan gudang dan logistik.

Application Information Will Show Up Here

Entering Its First Year, Blibli Mitra Focuses on Strengthening the Omnichannel Ecosystem

Blibli has the ambition to increase the number of grocery store owners to go digital by utilizing the Blibli Mitra application. It is targeted that partners can increase by two times higher from the current position of 16 thousand stores spread across Indonesia.

Since the launching last year, the concept of Blibli Mitra is not much different from similar services made by competitors, such as Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, or Mitra Shopee. Blibli Mitra opens access to digital products, such as balance, data packages, game vouchers, electricity tokens, BPJS, and train tickets that partners can sell to their customers.

In addition, there is a wholesale feature that partners can use to replenish the merchandise stock of Blibli’s partner brand principal, one of which is Unilever. With competitive prices, allowing partners to get more benefits.

Blibli’s VP O2O, David Michum explained, Blibli Mitra is part of Blibli’s omnichannel, so that it is integrated with the e-commerce ecosystem that has been established by the company, be it payment systems, procurement & logistics, to online platforms. This strength is what distinguishes Blibli Mitra from other similar players.

In delivering wholesale products purchased by partners, Blibli Mitra utilizes the company’s warehouse and logistics fleet, Fulfillment by Blibli (FBB) which is supported by 20 warehouses and 32 hubs in 15 cities. As a result, partners can enjoy free shipping facilities.

In fact, he is preparing the Blibli B2C application, which is usually used by end consumers, to connect the products sold in it, including MSME products, to the Blibli Mitra application so that it can be sold to its customers. “Because this [Blibli Mitra] is part of the omnichannel,” he explained in a virtual press conference, Thursday (19/11).

The Blibli Mitra application is designed to be very light, only taking up a 1.6MB capacity. So that wherever the partners are located, even though the internet network is bad, they can still make transactions.

Blibli’s interest is in this segment because according to data from the Ministry of Cooperatives and UKM, it is stated that MSMEs have contributed more than 60% of the National GDP. The government is also targeting the modernization of 15 thousand traditional go digital stalls. Moreover, the pandemic has further boosted grocery store businesses as customers limit visits to shopping centers and choose to shop for daily necessities at stores near their homes.

David continued, this trend was also reflected in the performance of Blibli Mitra, where orders from partners grew by four times compared to before the pandemic. The most purchased digital products are pulses and electricity tokens. While wholesale products are ground coffee, instant noodles, and ready-to-drink milk.

In the past year, Blibli Mitra has had 16 thousand partners joining. All of these partners, if accumulated, serve 1 million consumers spread across 333 cities in Indonesia. He targets that by the end of this year, Blibli Mitra partners can increase to double the current number.

In order for the target to be realized, Blibli has a field team that is tasked with acquiring new partners and routinely providing assistance so that partners’ digital capabilities increase. The application is also equipped with business management features, including cash flow management, financial monitoring, loyalty gamification and brand promos.

“In the future, we want to increase the financial inclusion of micro entrepreneurs by establishing partnerships with financial institutions, in addition to developing payment options, including COD,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Blibli Mitra, solusi omnichannel dari Blibli, memiliki 16 ribu mitra warung kelontong dan melayani 1 juta konsumen tepat setahun beroperasi

Masuki Tahun Pertama, Blibli Mitra Fokus Perkuat Ekosistem Omnichannel

Blibli berambisi perbanyak pemilik toko kelontong go digital dengan memanfaatkan aplikasi Blibli Mitra. Ditargetkan mitra dapat bertambah hingga dua kali lipat dari posisi saat ini 16 ribu toko yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sejak dirilis pada tepat pada tahun lalu, sebenarnya konsep Blibli Mitra tidak jauh berbeda dengan layanan sejenis besutan kompetitor, seperti Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, atau Mitra Shopee. Blibli Mitra membuka akses produk digital, seperti pulsa, paket data, voucher game, token listrik, BPJS, dan tiket kereta yang dapat dijual mitra kepada pelanggannya.

Di samping itu, ada fitur grosir yang dapat digunakan mitra untuk mengisi kembali stok dagangan dari brand principal rekanan Blibli, salah satunya Unilever. Dengan harga yang bersaing, memungkinkan mitra dapat mendapatkan keuntungan lebih.

VP O2O Blibli David Michum menjelaskan, Blibli Mitra adalah bagian dari omnichannel Blibli, sehingga ia sudah terintegrasi dengan ekosistem e-commerce yang sudah dibentuk perusahaan, baik itu sistem pembayaran, pengadaan & logistik, hingga platform online. Kekuatan inilah yang membedakan Blibli Mitra dengan pemain sejenisnya.

Dalam pengiriman produk grosir yang dibeli mitra, Blibli Mitra memanfaatkan gudang dan armada logistik yang dimiliki perusahaan, yakni Fulfillment by Blibli (FBB) yang didukung oleh 20 gudang dan 32 hub di 15 kota. Alhasil, mitra yang berbelanja dapat menikmati fasilitas gratis ongkos kirim.

Bahkan, ia sedang mempersiapkan aplikasi B2C Blibli yang biasa dipakai konsumen akhir dapat terhubung dengan produk-produk yang dijual di dalamnya, termasuk produk UMKM, ke aplikasi Blibli Mitra agar dapat dijual kepada pelanggannya. “Karena ini [Blibli Mitra] adalah bagian dari omnichannel,” terangnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (19/11).

Aplikasi Blibli Mitra didesain sangat ringan, hanya memakan kapasitas 1,6MB. Sehingga di manapun lokasi mitra meski jaringan internet buruk sekalipun, mereka tetap dapat bertransaksi.

Ketertarikan Blibli masuk ke segmen ini karena menurut data Kemenkop dan UKM menyatakan bahwa UMKM telah menyumbang lebih dari 60% PDB Nasional. Pemerintah pun menargetkan modernisasi pada 15 ribu warung tradisional go digital. Terlebih itu, pandemi semakin mendorong bisnis toko kelontong karena pelanggan membatasi kunjungan ke pusat perbelanjaan dan memilih untuk belanja kebutuhan sehari-hari di toko dekat rumah mereka.

David melanjutkan, tren tersebut juga tercermin dari kinerja Blibli Mitra, pertumbuhan pemesanan dari mitra naik hingga empat kali lipat jika dibandingkan sebelum pandemi. Produk digital yang paling banyak dibeli adalah pulsa dan token listrik. Sedangkan produk grosir adalah kopi bubuk, mie instan, dan susu siap minum.

Dalam satu tahun belakangan, Blibli Mitra telah memiliki 16 ribu mitra yang bergabung. Seluruh mitra ini bila diakumulasi melayani 1 juta konsumen yang tersebar di 333 kota di Indonesia. Ia menargetkan sampai akhir tahun ini mitra Blibli Mitra dapat naik hingga dua kali lipat dari jumlah saat ini.

Agar target terealisasi, Blibli memiliki tim lapangan yang bertugas untuk akuisisi mitra baru dan secara rutin melakukan pendampingan agar kemampuan digital mitra meningkat. Aplikasinya juga dilengkapi dengan fitur pengaturan bisnis, antara lain cash flow management, pemantau keuangan, loyalty gamification dan promo dari brand.

“Ke depannya, kami ingin meningkatkan inklusi finansial pengusaha mikro dengan menjalin kemitraan bersama lembaga keuangan, selain mengembangkan opsi pembayaran, termasuk COD,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here
Warung Mitra Bukalapak

Melihat Hubungan Erat Bukalapak, Warung, dan Jawa Barat

Roda ekonomi Indonesia digawangi oleh 99,97% pelaku UKM dengan kontribusi lebih dari 60% terhadap ekonomi negara. Pemilik warung tradisional masuk ke dalam salah satu komponennya, karena punya andil penting sebagai denyut nadi ekonomi di kehidupan sehari-hari.

Menurut data Eurominitor International 2018, mayoritas masyarakat Indonesia, India dan Filipina berbelanja di toko kelontong. Dari total nilai pasar ritel sebesar $521 miliar, sebanyak $479,3 miliar atau 92% di antaranya merupakan transaksi toko kelontong.

Dibalik potensi yang besar, ekonomi kelas bawah ini menyimpan tantangan yang besar bagaimana kehadiran teknologi bisa membantu mereka bisa “naik kelas” lewat go digital. Isu yang perlu dijawab, tidak hanya bagaimana mereka dapat lebih mudah memasarkan produknya lewat platform digital.

Aspek lainnya yang perlu diselesaikan, mulai dari sistem pembayaran, logistik, hingga rantai pasokan yang harus efisien. Kesadaran ini akhirnya dicoba dijawab oleh berbagai startup digital, baik yang sudah menyandang status unicorn maupun yang masih berstatus startup.

Solusi yang ditawarkan sangat beragam dan bisa mewakili apa yang menjadi isu selama ini buat pemilik warung. Bukalapak bisa menjadi contoh bagaimana proyek awal khusus pemberdayaan warung tradisional “Mitra Bukalapak” bisa menjadi bisnis yang serius hingga pencetak cuan yang nyata.

Sebagai prolog, pada 2016 Bukalapak membuat sebuah inisiatif bernama Juragan Pulsa Bukalapak yang merupakan cikal bakal dari Mitra Bukalapak. Layanan yang ditawarkan adalah penjualan produk virtual seperti pulsa telepon, paket data, voucher game dan token listrik prabayar.

Dari situ berkembang menjadi Agen Bukalapak untuk menciptakan bisnis O2O pasca memperoleh antusiasme yang positif dari masyarakat. Setahun berikutnya, agen diguyur dengan tambahan layanan agar lebih banyak yang bisa mereka jual, seperti tiket transportasi dan Grosir Agen Bukalapak untuk menciptakan saluran distribusi perdagangan.

Pada tahun berikutnya, memilih untuk rebranding menjadi Mitra Bukalapak sekaligus merilis aplikasinya. Penambahan fitur terus dilakukan pada 2019, dengan merilis fitur investasi emas, pemanfaatan QRIS untuk metode pembayaran dan kolaborasi dengan Google Bisnisku agar lebih mudah menemukan warung melalui Google Maps.

“Kontribusi sudah lumayan meski saya tidak bisa sebut persisnya. Tapi sudah double digit percentage dari total kontribusi bisnis di Bukalapak. Dulu pas awal-awal, masih di bawah 10%, sekarang [Mitra Bukalapak] sudah menjadi bisnis yang menjanjikan,” ujar Co-Founder & Presiden Bukalapak M. Fajrin Rasyid saat ditemui DailySocial di Bandung, pekan lalu (8/3).

Kini Mitra Bukalapak disebutkan sudah berjumlah lebih dari 3,3 juta mitra, terdiri dari 1,5 juta mitra warung tersebar di 189 daerah dan sisanya berbentuk agen individu. Menariknya, sekitar 30% atau setara 500 ribu mitra berada di Provinsi Jawa Barat.

Peta persaingan sebagai bisnis baru

Pada saat yang bersamaan, Bukalapak mengumumkan tambahan fitur baru yang disematkan untuk Mitra Bukalapak. Di antaranya fitur Kirim Uang (bersama Bank Mandiri), Tabungan Emas (bersama Pegadaian), pembayaran E-Samsat dan Samolnas (Samsat Online Nasional), tagihan Telkom/Indihome, dan voucher game.

Untuk sementara, pembayaran samsat ini baru tersedia untuk konsumen dan Mitra Bukalapak yang berdomisili di Jawa Barat. Disebutkan pembayaran e-samsat yang disalurkan lewat Mitra Bukalapak mencapai Rp30 miliar untuk membayar pajak 40 ribu kendaraan.

Dengan Kirim Uang, masyarakat dapat memanfaatkan keberadaan 1,5 juta warung Mitra Bukalapak sebagai ATM untuk mengirim uang tanpa harus memiliki rekening. Sementara untuk Tabungan Emas, masyarakat dapat berinvestasi emas dari harga Rp10 ribu di warung.

Fajrin menyebut perusahaan akan perluas ke provinsi lainnya agar semua orang bisa memiliki kemudahan. Seluruh fitur teranyar ini adalah pengembangan dari kebutuhan mitra di lapangan. Juga hasil kolaborasi internal bersama dengan mitra.

“Pembayaran Samsat online sebenarnya sudah di aplikasi [konsumen] sudah bekerja sama dengan banyak provinsi. Kita akan segera tambahkan [provinsi lainnya] ke aplikasi Mitra Bukalapak.”

Inspirasi fitur berikutnya yang akan dibawa ke Mitra Bukalapak, menurut Fajrin, bakal ada yang berasal dari aplikasi konsumer. Sebab pada dasarnya, semua fitur tersebut memungkinkan untuk disediakan. Kendala tetap ada, sambungnya, meski sebatas ke hal-hal teknis.

Misalnya, Bukalapak punya fitur investasi reksa dana bernama BukaReksa. Untuk membeli reksa dana pertama kali, butuh proses KYC yang secara teknis ini akan lebih rumit. Beda halnya dengan pembelian tabungan emas yang terbilang lebih simpel.

“Semua fitur di aplikasi Bukalapak kita usahakan juga hadir di aplikasi Mitra, jadi mudah-mudahan bisa ada tambahan [fitur] berikutnya.”

Gencarnya Bukalapak merupakan dalam rangka menciptakan masyarakat inklusif yang tidak hanya terjadi di kota besar, tapi juga di 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Hal ini dapat dilakukan melalui warung sebagai salah satu caranya, melalui Mitra Bukalapak.

Produk ini akan menjadi fokus perusahaan hingga lima tahun ke depan karena dianggap sebagai platform penggerak utama yang dapat meningkatkan adopsi digital dan inklusi keuangan. Menurut laporan “E-warung: Indonesia’s New Digital Battleground” yang dirilis CSLA di 2019 menunjukkan warung tradisional di Indonesia berjumlah sekitar 6 juta.

Fajrin menyebut, pencapaian Mitra Bukalapak hingga saat ini membuat perusahaan cukup berbangga diri karena secara kuantitas dan fitur bisa dikatakan lebih unggul ketimbang pemain lain.

“Awalnya kita bergerak di online dan kita sadar bahwa UKM offline juga perlu diberdayakan. Mungkin kita jadi perusahaan yang bergerak di keduanya secara serius dan [skalanya sudah] besar, ini bisa menjadi kunci diferensiasi yang mungkin belum dijumpai perusahaan lain. Ada perusahaan yang besar
di online, tapi offline-nya enggak terlalu, atau sebaliknya.”

Produk sejenis yang dibuat Tokopedia, bernama Mitra Tokopedia mencatatkan per akhir tahun lalu telah menjaring sekitar 400 ribu pengusaha mikro baik pemilik warung, toko kelontong, dan usaha sejenis lainnya. Sejak dirilis pada November 2018, mitra dapat berjualan produk digital seperti PPOB hingga membeli stok barang.

Shopee juga tidak mau kalah. Sejak aplikasinya dirilis di Play Store pada September 2019, fiturnya pun tidak jauh berbeda. Hingga kini, Shopee belum bersedia merilis produk ini secara resmi ke publik.

Menurut CSLA, model B2B yang diambil para pemain marketplace ini berpeluang mendorong laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perusahaan ke arah positif.

Dari vertikal bisnis lain, ranah ini juga diramaikan oleh pemain lain seperti GrabKios by Kudo, Warung Pintar, Wahyoo, Payfazz, Netzme dan masih banyak lagi. Konsep yang ditawarkan saling beririsan dengan isu yang selama ini dihadapi agen dan warung tradisional.

Payfazz misalnya menempatkan diri sebagai agen keuangan di desa. Sementara, Wahyoo memosisikan diri sebagai pembentuk ekosistem warung makan dengan memberikan kemudahan stok barang.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder & CEO PayFazz Hendra Kwik mengklaim model bisnis yang dianut perusahaan yakni B2B2C dianggap mampu memberikan kontribusi bisnis yang positif. Bahkan dia menyebut perusahaan sudah mencetak laba tapi belum positif.

“Tahun ini harusnya positif kalau misalnya hiring stop, tapi kita investasi terus di situ, spent-nya besar,” katanya.

Kontributor terbesar Payfazz berasal dari penjualan produk PPOB karena layanan pembayaran yang disediakan cukup komprehensif. Selain dijual oleh para agennya, PPOB juga didistribusikan secara API (host-to-host/H2H) melalui anak usahanya Billfazz. Lewat Billfazz, API dari PPOB Payfazz dapat digunakan mitra perusahaan yang ingin menjual PPOB.

Hubungan spesial Jawa Barat dengan Bukalapak

Secara historis dan geografis, Jawa Barat punya hubungan yang spesial dengan Bukalapak. Tak heran kalau disebutkan ada lebih dari 500 ribu mitra berada di provinsi ini dari total 3,3 juta di seluruh Indonesia.

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin menjelaskan, Bandung dipilih sebagai tuan rumah peluncuran juga merupakan bagian dari inisiatif perusahaan tahun ini untuk roadshow ke daerah lainnya untuk mengidentifikasi potensi UKM lokal yang dapat dikolaborasikan dengan berbagai pemangku kepentingan.

“Memasuki dekade kedua, Bukalapak memang berfokus untuk mengoptimalkan potensi UKM yang ada di tiap daerah Indonesia. Warung sebagai salah satu tempat masyarakat dalam beraktivitas ekonomi, memiliki potensi besar untuk jadi kekuatan ekonomi daerah dan mendorong pertumbuhan nasional,” terang Rachmat.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang turut hadir pada acara peresmian, menyebutkan pemanfaatan teknologi di warung dapat menjadi basis kekuatan ekonomi daerah. Menurutnya, semakin banyak warung yang menjual produk virtual, maka semakin menguntungkan bagi pemilik warung dan masyarakat sekitar yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian daerah.

Di provinsi ini, lanjutnya, 80% perekonomiannya didukung oleh sektor UKM dengan porsi terbanyak berada di sektor kuliner. Diklaim pula, penetrasi digital telah mencapai angka yang sama. Kondisi ini membuat Pemerintah Provinsi optimis dalam tiga sampai lima tahun mendatang semua jenis perdagangan bisa dilakukan secara digital.

“Tiga basis inilah yang sudah go digital. Saya yakin dalam hitungan tiga sampai lima tahun semua jenis perdagangan di Jawa Barat, baik skala besar atau kecil dan riil seperti warung, bisa menggunakan platform digital,” ujar Kang Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil.

Dia menyebut untuk merealisasikan ambisi tersebut Pemprov tengah menggenjot pengembangan ekonomi berbasis digital untuk UMKM, warung, dan pesantren dengan model kolaborasi Pentahelix.

Konsep ini memperkenalkan bahwa kekuatan pembangunan di suatu negara atau wilayah perlu didukung oleh semua elemen, tidak bisa satu pihak saja. Lima elemen tersebut, mulai dari pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha dan media.

Mendukung pernyataan Kang Emil, menurut hasil laporan EV-DCI 2020 memaparkan Jawa Barat memiliki skor indeks 55.0 (skala 100) menempati posisi kedua, setelah Jakarta berdasarkan skor berkaitan kesiapan daya saing digital.

Faktor pendukungnya, antara lain SDM yang didukung dengan jumlah program studi dan dosen bidang digital tertinggi di Indonesia. Alhasil, jumlah tenaga kerja di sektor TIK tergolong tinggi. Infrastruktur digital sudah memadai dan berada di posisi ketiga, setelah DKI Jakarta dan Bali.

Kendati begitu, laporan ini juga menitikberatkan pada tergolong rendahnya kontribusi ICT terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Lantaran, kepemilikan komputer masih rendah, masuk urutan tiga terendah di antara provinsi lain di Pulau Jawa.

Akses internet melalui laptop di provinsi terendah di Pulau Jawa dan tiga terbawah di level nasional. Fasilitas keuangan seperti ATM belum terbesar merata karena perekonomian di provinsi ini terpusat di beberapa kota saja. Dengan kata lain, Jawa Barat masih punya peluang besar untuk terus berkembang karena tingkat pertumbuhan PDRB sektor ICT adalah tertinggi di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Produk Kacamata Online Saturdays

Saturdays Garap Fitur “Seamless Experience”, Optimalkan Penjualan Kacamata Lewat Skema O2O

Tahun lalu, merek lifestyle Saturdays belum bicara bagaimana teknologi canggih yang berkembang dapat segera dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan bisnis utamanya saat ini, yakni produk kacamata.

Saat itu diwawancarai DailySocial, CEO dan Co-founder Saturdays Rama Suparta mengaku masih mencermati berbagai perkembangan teknologi yang lagi happening di Indonesia, misalnya Artificial Intelligence (AI) atau Augmented Reality (AR).

Di tahun ini, Rama mengungkap rencana besarnya untuk memperkuat konsep Online-to-Offline (O2O) yang sejak awal diusung Saturdays. Strateginya adalah menghadirkan konsep seamless experience. 

Belum banyak informasi yang dapat dibagikan mengenai rencana ini. Yang pasti, bentuk pengembangan dari konsep tersebut adalah aplikasi mobile, memungkinkan konsumen tak perlu merasakan pengalaman berbelanja yang berbeda, baik melalui online maupun offline.

Kemudian, aplikasi ini rencananya akan memberikan pengalaman yang optimal bagi konsumen untuk menjajal kacamata melalui aplikasi, tanpa harus datang ke toko.

Basically, idenya adalah konsumen akan merasakan experience dan value yang sama saat berbelanja di online atau offline. I can’t tell you now, tapi kami lagi development,” ungkap Rama kepada DailySocial.

Sebetulnya saat ini, Saturdays sudah melakukan pemasaran digital dengan memanfaatkan channel media sosial dan penjualan O2O. Artinya, pembeli dapat bertransaksi online melalui website atau datang ke toko offline miliknya.

Akan tetapi, Rama mengaku masih banyak konsumennya yang lebih nyaman untuk datang ke toko offline, baik untuk membeli kacamata atau sekadar mencoba.

“Yang belanja di online biasanya retain customer atau mereka yang sudah pernah berbelanja. Kami harap [pertumbuhan transaksi] online terus bertumbuh, tidak hanya dari toko offline saja,” tuturnya.

Tantangan pengembangan teknologi hingga rencana ekspansi

Untuk menghadirkan seamless experience ini, Rama mengaku masih melakukan riset terkait teknologi yang tepat. Apalagi, bicara pengembangan O2O, konsepnya dapat memanfaatkan teknologi canggih, seperti AR dan AI.

Namun, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, ekosistem perangkat yang mendukung AR dinilai masih sangat minim.

Sedangkan, menurutnya, smartphone yang betul-betul sudah mendukung pengalaman AR yang optimal baru iPhone X dan seri di atasnya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah orang-orang yang akan akan mengembangkannya. Untuk saat ini, ia mengungkap tengah membangun tim yang akan melakukan riset untuk teknologi yang tepat.

“Kita sudah get some channel to help support our technology dan sudah ada core team juga. Tapi tidak mudah build teknologi, apalagi di Indonesia lack of talent juga. Untuk sekarang, kami masih mencari talent untuk mengembangkan konsep ini,” ujar Rama.

Di luar pengembangan besar Saturdays di atas, Rama menuturkan sejumlah rencana strategis lainnya tahun ini yang tetap berfokus pada peningkatan customer experience.

Untuk ekspansi toko, ia menyebut ada penambahan toko, baik flagship ataupun shop-in-shop. Saturdays saat ini sudah memiliki dua toko flagship dan tiga shop-in-shop di Jakarta.

Kemudian, pengembangan baru fitur Personal Stylist di website. Fitur ini sebetulnya sudah ada sejak awal Saturdays berbisnis, konsumen dapat memperoleh rekomendasi frame kacamata dari referensi data pengguna.

“Fitur ini belum optimal berjalan. Nah, kami punya ide lain tentang bagaimana memberikan rekomendasi kacamata ke konsumen. Kami bakal packaging fitur ini dengan cara yang lain nanti. Tunggu saja,” ungkapnya.

Sebagai informasi, Saturdays menawarkan produk eyewear berkualitas dengan harga terjangkau. Produksi lensa dan frame dilakukan sendiri mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen.

Potensi O2O di pasar retail

Pertumbuhan ekonomi digital menjadi wajah baru perekonomian Indonesia. Sebagaimana disebutkan Asisten Deputi Humas Kemensetneg Eddy Cahyono Sugiarto, ekonomi digital mampu mentransformasikan perekonomian yang diprediksi menjadi prime mover ekonomi Indonesia.

Disampaikan Eddy, mengutip riset McKinsey, posisi ekonomi digital Indonesia saat ini sudah hampir sama dengan Tiongkok di 2010. Hal ini berdasarkan sejumlah indikator, seperti penetrasi e-retail, GDP per kapita, penetrasi internet, dan pengeluaran ritel.

Menyoal tren O2O, konsep ini diprediksi menjadi masa depan industri ritel di Indonesia. Riset Statistita 2018 mengestimasi penjualan ritel e-commerce di Indonesia pada 2020 mencapai $12,3 miliar dan bakal naik menjadi $16,5 miliar pada 2022.

Konsep O2O memberikan prospek cerah bagi industri yang sejalan dengan semakin berkembangnya ekosistem digital dan pergeseran perilaku konsumen. Di sisi lain, inovasi di bidang O2O juga dapat mendongkrak sektor UKM yang selama ini menjadi penopang ekonomi di Tanah Air.

A total 92 Million Potential Users to Acquire Through Partnership Program

Shopee’s marketplace platform eventually become a part of the Online-to-Offline (O2O) business model by launching Mitra Shopee in Indonesia. Prior to this, two of its competitors have run a similar program, Mitra Bukalapak, and Mitra Tokopedia. The point is, Shopee has developed its own digital wallet, ShopeePay.

In terms of features, the three platforms have quite similar coverage. They developed the app to acquire micro-business players – targeting kiosk – to sell various digital products, such as PPOB vouchers and integrated e-commerce will be responsible for the supply chain.

The well-received digital payment service (digital wallet) is to encourage partnership penetration. It allows transactions – such as electricity tokens – made faster, therefore, to provide a better experience for partners’ business customers.

As the first to debut, Bukalapak claims to have around 1 million partners located all over the country, even in the third-tier areas. Meanwhile, Tokopedia’s AVP of New Retail, Adi Putra shared Mitra Tokopedia has acquired around 400 thousand micro businesses at the end of 2019. Shopee is yet to have data due to its new initiative.

Mitra Bukalapak's map throughout Indonesia / Bukalapak
Mitra Bukalapak’s map throughout Indonesia / Bukalapak

What to explore in the partnership program?

Based on the research titled The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services performed by Google, Temasek and Bain & Company, at least 92 million people in the productive age in Indonesia are still unbankable. It’s quite a large number, more than the total population in other countries in Southeast Asia, excluding the Philippines.

The unbankable is mostly assumed as people who are yet to have access to online services due to incapable to create a bank account to make transactions. The partnership program is basically to distribute offline agents in various cities to become aggregators, facilitating the unbankable to gain access to e-commerce products.

Another scenario, agents will be the distribution point for shipping goods. Some areas, especially remote areas, are difficult to reach by logistic services. A variety of payment services enable micro-businesses managed by agents to offer complete product variants with relatively cheaper prices.

Furthermore, there are three things e-commerce can obtain from this program. First, it helps product distribution by expanding coverage to the unbankable populations. Second, it supports product or brand expansion by having representation in certain areas. The third is, it creates opportunities for more effective distribution chains.

Market competition with other digital players

Obviously, 92 million is not a small number, in fact, it is a huge market potential considering the people are in the productive age. Unfortunately, this is not the competition of only three unicorn e-commerce companies, there are many other digital businesses currently focusing on the O2O market in Indonesia.

Payfazz currently has 450 thousand agents. The financial application makes it easy for SME owners to offer various financial products, including PPOB, bill payments, fund transfers, cash withdrawals, and credit payments. PPOB’s contribution every month nearly reached Rp1 trillion. The Co-Founder & CEO Hendra Kwik said PPOB is a service that contributes a large amount, each month nearly reached Rp1 trillion transaction value.

One of Payfazz agents, also kiosk owners / Payfazz
One of Payfazz agents, also kiosk owners / Payfazz

In addition, there are GrabKios by Kudo, Netzme, Paytren and many other platforms outside the e-commerce ecosystem that offer similar concepts. Not to mention how the popular digital wallet for consumers has also provided a complete feature of full payment – although some are integrated with e-commerce, such as Dana in Bukalapak and Ovo in Tokopedia.

Competition over agents has already begun, with digital business competition strategies that currently exist: price wars. Therefore, the stronger is the winner?

With the development of technology and the expansion of connectivity, the success of O2O is likely to depend on the consumer experience. Discomfort, delays or technical issues may cause a decrease in interest in related services amid strong competition between platforms.

The O2O concept is actually broader than just a partnership. World brands have adopted this approach. Despite the statistics stated 91% of brands failed to bring a digital experience to their retail stores.

Based on the successful case studies such as Amazon or Alibaba in applying O2O, there are several key points. First, make sure the O2O initiative is to facilitate online activities to happen offline. Second, it prioritizes personalized customer experience. Third, always run the business along with technological developments. Some brands are now using AR / VR to help improve product visualization.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tiga platform e-commerce besar di Indonesia, Bukalapak, Tokopedia, dan Shopee, telah miliki program kemitraan untuk menjangkau potensi pasar secara offline.

Potensi 92 Juta Pelanggan yang Ingin Dijaring Lewat Program Kemitraan

Platform marketplace Shopee akhirnya turut terjun meramaikan model bisnis online-to-offline (O2O) di Indonesia dengan merilis Mitra Shopee. Program serupa sebelumnya sudah dijalankan terlebih dulu oleh dua kompetitornya, melalui Mitra Bukalapak dan Mitra Tokopedia. Kelebihannya, Shopee telah miliki platform digital wallet-nya sendiri, ShopeePay.

Ditinjau dari fitur, ketiganya miliki cakupan yang nyaris serupa. Aplikasi dikembangkan untuk mengajak pemilik bisnis mikro –dengan warung sebagai sasaran utamanya—menjualkan beragam produk digital seperti voucher PPOB dan menjadikan e-commerce terkait sebagai kanal pemasok barang dagangan.

Layanan pembayaran digital (digital wallet) yang diterima baik oleh pengguna turut memacu penetrasi program kemitraan tersebut. Karena memungkinkan setiap transaksi –misalnya pembelian token PLN—dilakukan secara lebih cepat, sehingga memberikan pengalaman yang cukup baik bagi pelanggan bisnis mitra-mitranya.

Meluncur paling di antara platform marketplace lain, Bukalapak mengklaim telah miliki sekitar 1 juta mitra yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, sampai di daerah tier-3. Sementara menurut AVP of New Retail Tokopedia Adi Putra, menutup tahun 2019 program Mitra Tokopedia sudah diikuti sekitar 400 ribu pebisnis mikro. Belum ada data untuk inisiatif milik Shopee karena masih tergolong baru.

Mitra Bukalapak
Sebaran Mitra Bukalapak di berbagai penjuru Indonesia / Bukalapak

Apa yang dicari dari program kemitraan?

Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services yang dilakukan Google, Temasek dan Bain & Company, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial atau perbankan (unbankable). Jumlah tersebut tentu sangat besar, lebih besar dari total penduduk negara-negara lain di Asia Tenggara kecuali Filipina.

Kalangan unbankable tersebut sebagian besar diasumsikan sebagai orang-orang yang tidak pernah mengakses platform jual beli online, karena pada dasarnya minimal pengguna harus memiliki akun bank untuk bisa bertransaksi di sana. Tujuan program kemitraan adalah mendistribusikan agen-agen penjualan offline yang tersebar di berbagai wilayah untuk menjadi perantara, memberikan kemudahan kepada unbankable agar mudah mendapatkan produk-produk e-commerce.

Skenario lainnya, agen tersebut dijadikan poin distribusi untuk pengiriman barang. Beberapa wilayah, khususnya di daerah pelosok, sulit dijangkau oleh layanan logistik. Beragam layanan pembayaran memungkinkan bisnis mikro yang dikelola agen menawarkan varian produk yang lebih lengkap dengan harga kulak yang relatif lebih murah.

Jadi ada tiga hal yang sebenarnya didapat oleh bisnis e-commerce dari program ini. Pertama, membantu distribusi produk dengan menjangkau populasi unbankable. Kedua, membantu perluasan pemasaran produk atau brand dengan menghadirkan representasi di daerah. Dan yang ketiga, membuka peluang rantai distribusi yang lebih efektif.

Berebut pasar dengan pebisnis digital lain?

Jelas 92 juta bukan angka yang kecil, bahkan itu adalah potensi pasar yang sangat besar mengingat jumlah tersebut datang dari kalangan usia produktif. Sayangnya peluang itu tidak hanya dipersaingkan oleh tiga unicorn e-commerce saja, ada banyak pebisnis digital lain yang kini serius garap basar O2O di Indonesia.

Payfazz saat ini sudah miliki 450 ribu orang agen. Aplikasi keuangan tersebut memudahkan pemilik UKM menawarkan berbagai produk keuangan, termasuk untuk PPOB, pembayaran tagihan, transfer dana, tarik tunai, hingga pembayaran kredit. Kontribusi PPOB saja setiap bulannya hampir menyentuh Rp1 triliun. Menurut Co-Founder & CEO Hendra Kwik, PPOB jadi layanan yang berkontribusi besar, setiap bulannya hampir sentuh nilai transaksi Rp1 triliun.

Agen Payfazz
Salah satu agen Payfazz yang juga merupakan pemilik warung / Payfazz

Selain itu masih ada GrabKios by Kudo, Netzme, Paytren dan banyak platform lain di luar ekosistem e-commerce yang tawarkan konsep serupa. Belum lagi kini aplikasi digital wallet populer untuk kalangan konsumer juga sudah sajikan fitur lengkap pembayaran lengkap – kendati beberapa terintegrasi dengan e-commerce, seperti Dana di Bukalapak dan Ovo di Tokopedia.

Persaingan memperebutkan agen pun sudah mulai terasa, dengan strategi kompetisi bisnis digital yang sering ada: perang harga. Jadi, siapa kuat dia akan menang?

Dengan perkembangan teknologi dan perluasan konektivitas, bisa dibilang keberhasilan O2O sangat bergantung pada pengalaman konsumen yang dijajakan. Ketidaknyamanan, keterlambatan atau isu-isu teknis bisa jadi menyebabkan penurunan minat terhadap layanan terkait di tengah persaingan kuat antarplatform.

Konsep O2O sebenarnya lebih luas dari sekadar kemitraan. Brand produk dunia juga banyak yang mengadaptasi pendekatan ini. Kendati pada faktanya menurut statistik, 91% brand sempat gagal menghadirkan menghadirkan pengalaman digital di toko ritel mereka.

Dari studi kasus kesuksesan para retailer seperti Amazon atau Alibaba dalam mengaplikasikan O2O, ada beberapa poin yang menjadi kunci bisnis. Pertama, pastikan inisiatif O2O memudahkan akitvasi online terjadi secara offline. Kedua, mengedepankan personalisasi pengalaman pelanggan. Dan ketiga, selalu manfaatkan perkembangan teknologi. Beberapa brand kini manfaatkan AR/VR untuk membantu meningkatkan visualisasi produk.

Validating “New Retail” Startups in Indonesia

New retail has been trying to connect traders with technology. The objective is to facilitate business in leveraging benefits and consumer coverage. In terms of concept, the approach is to empower some previous features with mature implementation in the e-commerce platform to conventional retail. It’s not digitizing the whole business process, but aiming for certain aspects that weren’t optimized.

Concept Details
Payment Integrating payment applications, such as digital wallets or pay later feature, for payment options to customers.
Supply Chain Providing digital access to traders to connect with FMCG product distributors for more variant products at affordable prices.
Customer Experience Improving customer experience by providing purchasing apps. Some in the form of loyalty programs giving point credits for every transaction
Digital Product Allowing traders to serve purchasing or payment activities of various digital products, such as PPOB tax payment, train ticket, e-money top-up, and many more.

Those four models are getting adopted by local startups with various lines of products or retail segments. The public, either traders or buyers, are adjusting to the transformation. It was proven by the well-developed new retail startups.

The beginning of new retail in Indonesia

In 2014, Kudo (an acronym for Kios untuk Dagang) or kiosk for trading was launched. The service is to allow everyone, especially kiosk owners, to be able to sell any kinds of e-commerce products. The buyers allowed to choose any kinds of products and make payments through the kiosk. The concept was proven successful, as Kudo has been used by 2.6 million partners and become the biggest agent-based service in Indonesia.

Post Grab acquisition in 2019, they rebranded into GrabKios. The business model gets adjusted, from an e-commerce digital arm to focus more on the partner’s side to facilitate various kinds of payments, such as electricity bills, PDAM, and many more.

“Through technology, GrabKios expands the types of services offered by stalls such as credit and various bill payments, reduces the cost of stalls by providing convenience for traditional stalls to order merchandise (wholesale), and provides access to additional business capital and financial services through money transfer services (domestic remittance) and micro insurance and cash loans will be provided,” Head of GrabKios, Agung Nugroho said.

Furthermore, some e-commerce platforms are following the trend, such as Mitra Tokopedia and Bukalapak. It’s the same concept, allowing partners to become a digital arm to facilitate consumers for purchasing goods. The online-to-offline approach becoming the best extension among broadband expansion and digital literacy in the community.

Mitra Tokopedia program is targeting kiosk in several areas to market their products
Mitra Tokopedia program is targeting kiosk in several areas to market their products

Entering the year 2018, Kopi Kenangan has debuted with 121 billion Rupiah funding from Alpha JWC Ventures. The investment is said to be focused on business development through technology, one is to launch an app for store locator, ordering, payment support and loyalty program.

The well-received business model in the market providing a well-poured investment. After a few months, Kopi Kenangan announced follow-on funding worth of 282 billion Rupiah from Sequoia. In late 2019, they had secured Series A funding from several investors, including Arrive, Serena Ventures, Caris LeVert, and Jonathan Neman. They have managed to sell 3 million cups of coffee per month.

There is also Fore Coffee, a startup founded by East Ventures with similar products and approaches. The latest news, they’ve announced follow-on funding worth of 118 billion Rupiah from East Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Venture Capital, Insignia Ventures Partners, and several angel investors.

“We also use various technologies, from our own mobile app to the existing technologies, such as Moka to monitor payments, Member.id for loyalty platforms, and Go-Food, GrabFood, and TravelokaEats as distribution platforms,” Fore Coffee’s Co-Founder & CEO Robin Boe explained the technology role in his startup.

Wahyoo also offers a new retail approach, targeting warteg (small restaurants) by providing digital access to the supply chain. The Founder & CEO, Peter Shearer said they have partnered with at least 7000 merchants from various regions. They’ve also received seed funding from Agaeti Ventures, Kinesys Group, Chapter 1 Ventures, SMDV, East Ventures, and Rentracks.

There are also some other startups offering new retail concepts with various business approaches.

The momentum

Kopi kenangan product, beverage at affordable price
Kopi kenangan product, beverage at affordable price

Numbers of partners, transaction value and capital flows received imply that new retail has been quite successful to validate the concept for the past few years. On further observation, they are prudent in placing their products to the most suitable customer segment.

Take the example of previously mentioned coffee products startup, they see a trend of “daily coffee” among millennials. To the existing coffee shop, as well-known Starbucks, the standard price is quite high. They offer beverages at relatively cheaper prices, but with improved customer experience.

It is very likely what startups like Kudo did, that is targeting partners from the countryside.

The large investment stream will allow players to perform the “growth hacking” strategy which has been successfully applied by startups in other verticals, such as ride-hailing or fintech. They could increase traction with a series of promo or massive expansion at many locations – and indeed, all the players are heading that way.

With a broader market share, more mature players and enthusiast investors; will new retail be the next big thing in the following years?


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Francisca Krisantia Nugraha

Optimisme Blibli Masuk Ranah Offline Melalui BlibliMart

Pekan lalu (28/1) Blibli meresmikan toko offline BlibliMart, sebuah upaya untuk mengukuhkan posisinya sebagai online superstore dengan memperkuat strategi omnichannel. Alasan kuat perusahaan untuk terjun ke ranah ini, tak lain untuk memenangkan kompetisi pasar di industri ritel.

Kepada DailySocial, SVP of Trade Partnership Blibli Francisca Krisantia Nugraha menerangkan, konsumen di pasar ritel didominasi oleh kaum milenial yang sudah terbiasa berbelanja dan bertransaksi online secara cashless.

Studi Nielsen menunjukkan, jumlah konsumen yang berbelanja online meningkat 29% pada tahun 2018 dibandingkan dua tahun sebelumnya. Mayoritas konsumen ini didominasi oleh milenial. Menyisakan segmen minoritas yang memilih untuk tidak belanja online.

Kekosongan ini diterjemahkan oleh Blibli dengan merilis toko offline BlibliMart, agar dapat menjangkau semua tipe konsumen. Sekaligus melengkapi strategi omnichannel  Blibli agar lebih komprehensif secara end-to-end, memastikan diri sebagai online superstore bisa memenangkan kompetisi pasar di industri ritel.

“Penerapan strategi omnichannel yang menyinergikan kanal online dan offline menjadi semakin penting untuk diterapkan oleh perusahaan ritel di masa depan, penting untuk menjawab perubahan perilaku konsumen,” tutur Francisca.

“Memiliki kanal penjualan online dan offline penting untuk menyediakan segala keperluan mereka kapan pun dan di mana pun,” sambung dia.

Sebelum terjun ke toko offline, Blibli sejauh ini memperluas kehadiran omnichannel melalui konsep ritel baru, seperti fitur Click & Collect yang sudah dirilis resmi pada tahun lalu.

Toko perdana BlibliMart berlokasi di Jakarta, tepatnya di Gedung Sarana Jaya, Jakarta Pusat dengan jam operasional dari pukul 8 pagi sampai 6 sore. Di sini tidak menerima pembayaran tunai alias cashless dan cashierless.

Didukung sepenuhnya oleh GoPay sebagai metode pembayarannya. Cukup Scan & Go dengan menggunakan aplikasi Blibli untuk memindai barcode harga di kemasan produk. Lalu membayar seluruh keranjang belanjanya dengan GoPay.

BlibliMart sendiri adalah kategori groceries di Blibli yang hadir sejak tahun 2018. Kategori ini terkuat kedua, setelah produk elektronik, dari segi tingkat pesanan dan GMV.

Ada delapan sub kategori yang dijual di dalam aplikasi, mulai dari minuman, makanan ringan, perawatan rumah tangga, perawatan kulit tubuh, kebutuhan ibu dan anak, makanan beku dan makanan segar.

Namun pada toko offline-nya, ada penambahan produk yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan seperti produk kesehatan dan kecantikan, Galeri Indonesia, mainan anak, otomotif, aksesoris elektronik, dan gadget. Artinya lebih dari separuh kategori di aplikasi Blibli, masuk ke toko offline.

Francisca menegaskan perusahaan tidak akan merilis aplikasi terpisah. Dikarenakan BlibliMart adalah layanan yang terintegrasi ke dalam ekosistem Blibli. Ia memanfaatkan seluruh infrastruktur fisik, sistem TI dan fitur-fitur yang ada di aplikasi, termasuk gudang, fleet Blibli Express Service untuk mendukung pengiriman cepat di hari yang sama.

“Keseluruhan ekosistem ini penting dalam mendukung pengoperasian dan perkembangan BlibliMart.”

Dia belum bersedia memberikan penjelasan lebih jauh lokasi berikutnya yang akan dipilih untuk toko offline-nya tersebut.

Diyakini tingkat pesanan di BlibliMart dapat tumbuh tiga kali lipat dan GMV naik 2,5 kali lipat pada tahun ini. Target ini juga didukung dengan perluasan jumlah produk senilai dua kali lipat. Tahun lalu, BlibliMart mencatat pertumbuhan order sebesar 313% dan GMV 227%. Pertumbuhan didukung oleh kenaikan volume produk senilai 300%.

Pengembangan berikutnya untuk BlibliMart

Toko offline BlibliMart adalah bagian dari strategi BlibliMart untuk tahun ini yang menyinergikan tiga pendekatan utama. Ketiganya yakni memperkuat manajemen rantai pasokan, menyediakan layanan inovatif sesuai kebutuhan pelanggan dan memperluas kehadiran omnichannel dengan konsep ritel baru.

Bila diterjemahkan lebih dalam, ketiganya dijawab dengan tiga langkah bisnis. Pertama, memperkuat manajemen rantai pasokan dengan mempererat hubungan dengan perusahaan FMCG dan mendekatkan produk kepada pelanggan. Francisca menyebut tahun ini Blibli akan menambah gudang menjadi 21 unit, serta hub dan mobile hub menjadi 43 unit untuk mempercepat pengiriman.

Kedua, menghadirkan fitur inovatif yang sesuai kebutuhan pelanggan, misalnya merilis fitur pengiriman otomatis untuk pelanggan. Rencananya pada kuartal pertama ini, seluruh gudang Blibli di Jabodetabek akan menawarkan layanan tersebut. Kemudian, fitur berlangganan produk yang bakal di rilis pada periode yang bersamaan.

Terakhir, memperluas kehadiran omnichannel melalui konsep ritel baru yang sudah dijawab dengan merilis Click & Collect dan toko offline BlibliMart.

Application Information Will Show Up Here
Capaian jumlah mitra, nilai transaksi, dan arus modal yang masuk menyiratkan startup "new retail" cukup berhasil memvalidasi konsepnya sejauh ini

Memvalidasi Startup “New Retail” di Indonesia (UPDATED)

New retail mencoba menghubungkan pedagang dengan teknologi. Tujuannya memudahkan bisnis meningkatkan keuntungan dan menjangkau konsumen yang lebih luas. Secara konsep, pendekatan ini mencoba memberdayakan beberapa fitur yang sebelumnya telah matang diaplikasikan pada sistem e-commerce ke ritel konvensional. Tidak mendigitalkan seluruh proses bisnis, namun menyasar aspek-aspek tertentu yang dinilai belum optimal.

Konsep Keterangan
Pembayaran Membaurkan aplikasi pembayaran, misalnya digital wallet atau layanan pay later, untuk memberikan opsi pembayaran kepada pelanggan.
Rantai Pasokan Memberikan akses digital ke pedagang untuk terhubung dengan distributor produk FMCG, sehingga mendapatkan varian produk yang lebih beragam dan harga yang lebih terjangkau.
Pengalaman Pelanggan Meningkatkan pengalaman pelanggan dengan menyediakan aplikasi pemesanan. Beberapa dalam bentuk program loyalitas untuk memberikan kredit poin di tiap transaksi yang dilakukan.
Produk Digital Memungkinkan pedagang untuk melayani pembelian atau pembayaran berbagai jenis produk digital, misalnya pembayaran PPOB, pembelian tiket kereta, pengisian e-money dan lain sebagainya,

Empat model di atas kini banyak diadopsi startup lokal dengan lini produk atau menyasar segmen ritel yang cukup beragam. Masyarakat pun, baik dari sisi pedagang maupun pembeli, menerima pembaruan itu dengan cukup baik. Terbukti dengan pertumbuhan bisnis banyak startup new retail yang mengagumkan.

Awal perkembangan new retail di Indonesia

Tahun 2014 Kudo (akronim dari Kios untuk Dagang Online) diluncurkan. Layanannya saat itu memungkinkan siapa saja, terutama pemilik warung untuk menjadi agen Kudo dan dapat menjual berbagai produk yang ada di e-commerce. Pembeli bisa memilih produk yang diinginkan dan membayar pesanan ke agen tersebut.

Namun seiring perkembangan bisnisnya, Kudo berfokus untuk memajukan warung tradisional di Indonesia agar menjadi serba bisa melayani berbagai produk dan layanan. Konsep tersebut cukup berhasil diaplikasikan, menjadikan Kudo dimanfaatkan 2,8 juta mitra usaha dan menjadi layanan keagenan terbesar di Indonesia. Pasca diakuisisi Grab, tahun 2019 mereka berubah nama jadi GrabKios dan semakin mempertegas komitmen untuk memberdayakan warung tradisional.

“Melalui teknologi, GrabKios memperluas jenis layanan yang ditawarkan warung seperti pulsa dan berbagai pembayaran tagihan, mengurangi biaya usaha warung dengan memberikan kemudahan kepada warung tradisional untuk memesan barang dagangan (grosir), serta menyediakan akses terhadap tambahan modal usaha dan layanan keuangan melalui layanan pengiriman uang (domestic remittance) dan akan disediakannya asuransi mikro dan pinjaman tunai,” jelas Head of GrabKios Agung Nugroho.

Setelah itu beberapa e-commerce menyusul, misalnya Mitra Tokopedia dan Bukalapak. Pendekatan online-to-offline menjadi jembatan terbaik di tengah perluasan pitalebar dan peningkatan literasi digital masyarakat.

Mitra Tokopedia
Program Mitra Tokopedia yang menyasar warung-warung di berbagai daerah untuk menjualkan produknya

Memasuki tahun 2018, Kopi Kenangan debut umumkan pendanaan 121 miliar Rupiah dari Alpha JWC Ventures. Investasi tersebut akan difokuskan perusahaan untuk peningkatan bisnis melalui teknologi, salah satunya meluncurkan aplikasi untuk pencarian toko, pemesanan, dukungan pembayaran dan program loyalitas.

Model bisnis yang diterima baik oleh pasar melancarkan kucuran investasi. Selang beberapa bulan, Kopi Kenangan umumkan pendanaan lanjutan 282 miliar Rupiah dari Sequoia dan akhir tahun 2019 kemarin mereka bukukan pendanaan seri A dari sejumlah investor, termasuk Arrive, Serena Ventures, Caris LeVert dan Jonathan Neman. Mereka telah berhasil menjual 3 juta gelas kopi per bulan.

Dengan produk dan pendekatan yang hampir serupa ada juga Fore Coffee, startup binaan East Ventures. Terakhir mereka umumkan pendanaan lanjutan 118 miliar Rupiah dari East Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Venture Capital, Insignia Ventures Partners, dan beberapa angel investor.

“Kami menggunakan berbagai teknologi, mulai dari aplikasi mobile yang kami buat sendiri, serta teknologi yang telah ada, seperti Moka untuk memantau pembayaran, Member.id untuk loyalty platform, serta Go-Food, GrabFood dan TravelokaEats sebagai platform distribusi,” terang Co-Founder & CEO Fore Coffee Robin Boe menerangkan pemanfaatan teknologi dalam startupnya.

Wahyoo juga tawarkan pendekatan new retail, menyasar warteg dengan memberikan akses digital untuk rantai pasokan. Dari pernyataan Founder & CEO Peter Shearer, saat ini mereka telah merangkul sekurangnya 7000 mitra dari berbagai wilayah. Mereka juga telah membukukan pendanaan awal dari Agaeti Ventures, Kinesys Group, Chapter1 Ventures, SMDV, East Ventures dan Rentracks.

Masih ada beberapa startup yang tawarkan konsep new retail dengan berbagai pendekatan bisnis.

Berkesempatan dapat momentum

Kopi Kenangan
Produk Kopi Kenangan, minuman kopi dengan harga yang relatif terjangkau

Capaian jumlah mitra, nilai transaksi dan arus modal yang diterima menyiratkan bahwa new retail cukup berhasil memvalidasi konsepnya selama beberapa tahun terakhir. Jika dianalisis lebih mendalam, mereka cukup cermat dalam menempatkan produknya ke segmentasi pelanggan yang tepat.

Ambil contoh untuk startup dengan produk kopi di atas, mereka melihat adanya tren “ngopi kekinian” di kalangan milenial. Ke kedai kopi yang ada, sebut saja Starbucks, standar harganya cukup tinggi. Lantas mereka hadir dengan produk kopi dengan harga yang relatif lebih murah, namun dengan pengalaman pelanggan yang juga ditingkatkan.

Pun demikian yang dilakukan oleh startup seperti Kudo yang lebih fokus menyasar mitra dari pedesaan.

Kucuran investasi besar yang didapat juga memungkinkan para pemain melakukan strategi “growth hacking” yang selama ini sukses diterapkan startup di vertikal lain, seperti ride-hailing atau fintech. Bisa saja mereka meningkatkan traksi dengan rangkaian program promo atau ekspansi besar-besaran di banyak titik – dan memang kini semua pemain tengah menuju arah sana.

Dengan pangsa pasar yang luas, pemain yang semakin matang dan investor yang makin terpikat; apakah new retail akan menjadi the next big thing di tahun-tahun berikutnya?

Update : Tambahan informasi dan komentar dari Head of GrabKios Agung Nugroho.