Tag Archives: Onny Widjanarko

TokoCash Menjadi OVO

TokoCash Kini Jadi OVO, Tokopedia Tidak Buru Lisensi Uang Elektronik Sendiri

Melalui pemberitahuan email ke pelanggannya, Tokopedia meresmikan penggantian layanan e-wallet miliknya TokoCash dengan layanan OVO milik anak usaha Lippo Group. Inisiatif ini menyusul rilis sebelumnya bahwa OVO dan Tokopedia telah menandatangani kerja sama strategis untuk menambahkan opsi pembayaran.

Sekarang layanan OVO sudah otomatis terintegrasi dengan Tokopedia. Jika pengguna sebelumnya memiliki saldo TokoCash, juga otomatis akan masuk ke akun OVO – terdaftar tanpa harus registrasi secara manual.

Di Tokopedia, pengguna juga dapat mengisi (top up) saldo e-money OVO antara 50 ribu hingga 5 juta. Sebagai informasi, regulasi mengatur batasan maksimal nilai yang disimpan di uang elektronik maksimal 10 juta Rupiah, dengan transaksi per bulan maksimal 20 juta Rupiah.

Berbagai layanan pembayaran di Tokopedia kini dapat dibayar langsung dengan saldo OVO yang dimiliki. Beberapa layanan harus tetap diakses melalui aplikasi Tokopedia, karena opsinya sebagian belum dimiliki di aplikasi OVO.

Tidak lagi memburu lisensi sendiri

Sekitar Oktober 2017, layanan dompet digital milik Tokopedia dihentikan operasionalnya oleh Bank Indonesia (BI). Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) 20/2018 tentang uang elektronik tersurat jelas dalam pasal 4 bahwa setiap penyelenggara (baik bank atau non-bank) yang mengoperasikan uang elektronik dengan jumlah dana float 1 miliar Rupiah atau lebih harus memperoleh izin dari BI.

Sementara OVO melalui PT Visionet Internasional sudah mendapatkan lisensi sejak Agustus 2017.

Dalam sebuah kesempatan di Bali, DailySocial bertanya ke Direktur Eksekutif Bank Indonesia Onny Widjanarko, mengapa lisensi uang elektronik Tokopedia tidak kunjung dirilis. Secara singkat ia menjawab ada komponen regulasi yang belum berhasil dilengkapi pihak pemohon. Onny juga memastikan bahwa tidak ada proses yang dipersulit, karena semuanya sudah tertuang dalam PBI secara jelas.

Pasal 5 yang tertera dalam PBI tersebut mengelompokkan penyelenggara berdasarkan jenis jasa pembayaran yang diberikan. Dalam hal ini Tokopedia jelas bisa masuk dalam kelompok penyelenggara front end, lebih spesifiknya sebagai penyelenggara dompet elektronik. Artinya dari sisi sistem, tidak ada isu.

Selanjutnya dalam Pasal 7, dituliskan penyelenggara non-bank harus memiliki mayoritas direksi yang berdomisili di Indonesia. Tampaknya ini juga bukan hal yang sulit dilakukan oleh Tokopedia.

Kemudian di pasal 9, menerangkan tentang modal disetor paling sedikit adalah 3 miliar Rupiah. Jelas tidak ada isu, karena Tokopedia adalah salah satu unicorn Indonesia dengan kepemilikan modal investasi >$1 miliar.

Bagian ini dilanjutkan dalam pasal 10 yang menyaratkan soal komposisi kepemilikan saham. Untuk mendapatkan lisensi uang elektronik, perusahaan harus memiliki paling sedikit 51% saham yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Kepemilikan yang dinilai oleh BI termasuk kepemilikan langsung dan/atau kepemilikan secara tidak langsung, dinilai subyektif oleh otoritas BI. Perusahaan yang telah mendapatkan lisensi juga diwajibkan untuk memelihara pemenuhan komposisi kepemilikan tersebut.

Tampaknya soal kepemilikan saham tersebut yang menjadi perkara fundamental di Tokopedia. Setidaknya saat ini ada 8 investor yang membawa Tokopedia hingga putaran pendanaan Seri F. Beberapa nama investornya ialah East Ventures, CyberAgent Ventures, Beenos Partners, Softbank Ventures Korea, SoftBank Telecom Corp, Sequoia Capital India, dan Alibaba Group.

Tokopedia Alibaba
William Tanuwajaya saat mengumumkan perolehan babak baru pendanaan senilai 1,1 miliar Dolar yang dipimpin Alibaba / DailySocial

Pendanaan seri F yang didapatkan Agustus 2017 lalu bernilai 1,1 miliar Dolar dipimpin oleh Alibaba. Pendanaan tahap tersebut menyumbangkan jumlah valuasi yang cukup dominan, kendati disebutkan Alibaba menjadi pemilik saham minoritas.

Ada kemungkinan bahwa secara mayoritas (>50%) kepemilikan saham Tokopedia dimiliki oleh pihak asing.

Persyaratan PBI yang tertuang ke pasal selanjutnya cukup normatif, seperti aspek kelayakan, tata cara pengajuan, sertifikasi sistem, pelaporan, pengawasan hingga sanksi.

Kemitraan strategis OVO-Tokopedia juga diregulasi

Sesuai pasal 16 ayat (b) disampaikan bahwa kerja sama dengan pihak lain untuk penyelenggaraan uang elektronik wajib memperoleh persetujuan BI. Detailnya dilanjutkan dalam pasal berikutnya. Persetujuan meliputi pengembangan produk dan aktivitas, termasuk terkait dengan fitur, jenis, layanan atau fasilitas yang telah berjalan.

Hal-hal yang disyaratkan cenderung lebih kepada aspek penyelenggaraan, seperti kesiapan operasional, keamanan dan keandalan sistem, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen. Aspek lain juga mengatur legalitas, kompetensi, kinerja, dan keamanan antara kedua platform yang bekerja sama.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
BI is to set the restricted implementation of QR code for electronic payment

Bank Indonesia to Issue Standardization for QR Code-Based Electronic Payment

BI (Bank Indonesia) will issue the standardization of QR (Quick Response) code for electronic payment system this month. The implementation will be restricted to 12 licensed companies. The issuance has been delayed since April 2018.

Onny Wijanarko, Head of Payment System Policy and Oversight Department, said that BI will choose ASPI (Payment System Association of Indonesia) as the standard institution. They will be in charge to create the standardization.

“The restricted implementation may be going until September or October this year,” he said, as quoted in Katadata.

Some of the licensed companies are Go-Pay, TCash, OVO, BNI Yap!, and BRI. While finishing the implementation, other companies that already filed for QR code license have to re-register and complete the requirements.

“To issue the specifications [QR Code] is risky.”

ASPI is an institution created by BI involving all representations of Indonesia’s payment system industry players. It has given the authority in technical and micro extent for the standardization in payment system industry according to the terms and conditions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BI Tetapkan QR Code Bakal Diimplementasi Terbatas

Bank Indonesia Segera Terbitkan Standarisasi Pembayaran Elektronik Menggunakan QR Code Bulan Ini

Bank Indonesia (BI) akan menerbitkan standarisasi kode respon cepat (Quick Response/QR Code) untuk sistem pembayaran uang elektronik pada bulan ini. Hanya saja, implementasinya akan dilakukan secara terbatas diikuti 12 perusahaan yang sudah mendapat izin menggunakan QR Code. Penerbitan standarisasi ini molor dari target semula BI, pada awal April 2018.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Wijanarko mengatakan BI akan menunjuk Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) sebagai lembaga standar. ASPI akan menjadi lembaga yang membuat standarisasi ini.

“Implementasi terbatas itu mungkin sampai September sampai Oktober tahun ini,” kata Onny seperti dikutip dari Katadata.

Di antara perusahaan yang sudah mendapat izin menggunakan QR Code adalah Go-Pay, TCash, OVO, BNI Yap!, dan BRI. Sembari menyelesaikan implementasi terbatas, perusahaan yang sudah mengajukan izin pakai QR Code juga wajib mendaftar kembali dan memenuhi standar.

“Kalau menerbitkan spesifikasi [QR Code] sendiri, itu malah bahaya.”

ASPI adalah lembaga yang dibentuk BI dengan melibatkan representasi seluruh pelaku industri sistem pembayaran di Indonesia. Lembaga tersebut diberi kewenangan dalam lingkup mikro dan teknis untuk membuat aturan main dalam industri sistem pembayaran dengan tetap memperhatikan ketentuan dan kebijakan.

Bank Indonesia's Building / Cermati

Bank Indonesia Selects a Company to be Part of Regulatory Sandbox

Bank Indonesia has selected PT Toko Pandai Nusantara to enter regulatory Sandbox. It is decided after considering the 8 criteria to be fulfilled by financial technology (fintech) players in accordance with Governor Board Regulation Number 19/14/PADG/2017 on Financial Technology’s Preliminary Space (Regulatory Sandbox).

Currently, there are 15 fintech players already registered in BI. They are Cashlez Mpos, Pay by QR, Bayarind Payment Gateway, Toko Pandai, YoOk Pay, Halomoney, Saldomu, Disitu, PajakPay, Wallezz, Lead Generation, Netzme, Mareco Pay, and iPaymu.

Toko Pandai has a B2B business model for merchants and distributors providing store, customer, and cash management feature, provides access to products, digital service, and financial products.

Onny Widjanarko, BI’s Department Head of Payment System Policy explained the regulatory sandbox is a safe trial space to test the fintech players along with its products, services, technology, and/or other business model.

“There are 25 [companies] already registered, which filtered into 15. Of those 15, a select company to enter regulatory sandbox is Toko Pandai,” he said on Monday (4/2).

In addition, after registered in BI, a fintech company (to be reviewed) should include the elements of the payment system, innovation, and fully equipped with risk identification and mitigation.

Regulatory sandbox mechanism

Companies entering the regulatory sandbox are required to apply the consumer’s safety, risk management, and prudential principles. They have to report to BI and follow the regulations.

The responsibilities are to provide facts and accurate data, information, and documents. Safety and reliability systems are used to run the preliminary products, services, technology, and/or business model in the regulatory sandbox.

During the regulatory sandbox implementation, BI will be assisting and reviewing. It will last for six months, but, if required, it’s open for one-time extension up to six months. The preliminary status set by BI.

Successful preliminary will be followed by licensing, otherwise, the product will be prohibited.

Widjanarko confirms other registered company that has conformed with the criteria will be next in the pipeline.

The regulation is to create a healthy fintech ecosystem to support continuous and inclusive national economy growth by keeping monetary and financial stability, safer, easier, efficient, and reliable payment system.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gedung Bank Indonesia / Cermati

Bank Indonesia Tetapkan Satu Perusahaan Masuk Regulatory Sandbox

Bank Indonesia menetapkan startup fintech PT Toko Pandai Nusantara masuk ke dalam uji coba regulatory Sandbox. Perusahaan perdana ini dipilih BI setelah mempertimbangkan terpenuhinya 8 kriteria yang harus dipenuhi penyelenggara tekfin (teknologi finansial) sesuai dengan Peraturan Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial.

Terhitung saat ini terdapat 15 penyelenggara tekfin yang telah terdaftar di BI. Perusahaan yang telah terdaftar adalah Cashlez Mpos, Pay by QR, Bayarind Payment Gateway, Toko Pandai, YoOk Pay, Halomoney, Saldomu, Disitu, PajakPay, Wallezz, Lead Generation, Netzme, Mareco Pay, dan iPaymu.

Toko Pandai memiliki model bisnis B2B bagi toko dan distributor yang menyediakan fitur manajemen kas, pelanggan, dan toko, membuka akses ke produk, jasa digital, serta produk keuangan.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko menerangkan regulatory sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang aman untuk menguji penyelenggara tekfin beserta produk, layanan, teknologi dan/atau model bisnis lainnya telah memenuhi kriteria tekfin.

“Yang daftar kurang lebih sampai hari ini 25 [perusahaan], yang sudah dicek terdaftar ada 15. Dari 15 itu yang sementara masuk regulatory sandbox adalah Toko Pandai,” kata Onny, Senin (2/4).

Dia melanjutkan agar dapat masuk ke dalam uji coba regulatory sandbox, selain harus terdaftar di BI, tekfin yang dapat diuji dalam regulatory sandbox merupakan tekfin yang mengandung unsur yang dapat dikategorikan ke dalam sistem pembayaran. Selain itu, mengandung unsur inovasi, dapat digunakan secara massal, telah dilengkapi dengan identifikasi dan mitigasi risiko serta hal lain yang dianggap penting oleh BI.

Mekanisme regulatory sandbox

Perusahaan yang masuk ke dalam regulatory sandbox, mereka berkewajiban untuk memastikan dilakukannya prinsip perlindungan konsumen, manajemen risiko dan kehati-hatian yang memadai. Mereka wajib menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba, baik secara reguler maupun insentil sesuai dengan permintaan BI, serta menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun tanggung jawabnya kepada BI, perusahaan tersebut harus memberikan kebenaran dan keakuratan data, informasi, dan dokumen yang disampaikan. Keamanan dan keandalan sistem yang digunakan untuk menjalankan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba dalam regulatory sandbox.

Selama pelaksanaan uji coba dalam regulatory sandbox, BI melakukan pendampingan dan review sebagai dasar untuk menetapkan status hasil uji coba penyelenggara tekfin. Jangka waktu uji coba ditetapkan paling lama enam bulan namun bila diperlukan dapat diperpanjang 1x paling lama enam bulan.

Setelah jangka waktu uji coba habis selama enam bulan, BI akan menetapkan status hasil uji coba berdasarkan penilaian atas seluruh rangkaian kegiatan. Status hasil uji coba tersebut terdiri dari tiga, yaitu berhasil, tidak berhasil, dan status lain yang ditetapkan BI.

Apabila berhasil, dapat dilanjutkan dengan proses perizinan. Namun bila tidak berhasil, dilarang untuk memasarkan produknya.

Onny meyakinkan apabila ada perusahaan lainnya yang sudah terdaftar di BI dan bisa memenuhi kriteria untuk masuk ke regulatory sandbox, maka akan masuk dalam radar BI berikutnya.

Diharapkan ketentuan tersebut dapat mendorong ekosistem tekfin yang sehat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan inklusif, dengan tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal.

Bank Indonesia Butuh Dua Tahun Kaji Penerbitan Uang Digital

Bank Indonesia mengungkapkan butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan proses kajian penerbitan uang digital, kurang lebih akan selesai pada 2020 mendatang. Kendati demikian, bank sentral belum bisa menjamin apakah uang digital benar-benar dapat diimplementasikan atau tidak.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko menerangkan sudah melakukan riset sejak tahun lalu lewat BI Fintech Office (FTO). Sekarang pihaknya tengah merampungkan kajian mata uang digital tersebut.

“Di pipeline kita akan coba dua tahun dari sekarang. Kalau lebih cepat [selesai kajian] itu lebih bagus, yang penting kita harus teliti bagaimana kompleksitasnya. Mau pelajari dulu dari sisi legal, pakai teknologi apa, belum lagi dari sisi operasionalnya akan seperti apa. Itu harus diteliti secara jelas,” kata Onny, Rabu (31/1).

Menurutnya, apa yang dilakukan bank sentral ini telah berkaca pada apa yang sudah dilakukan oleh bank sentral dari berbagai negara. Namun langkah ini bukan dikarenakan maraknya peredaran mata uang virtual seperti bitcoin.

Berdasarkan hasil riset sementara yang diperoleh bank sentral, pemanfaatan uang digital punya banyak kelebihan. Di antaranya tidak memiliki tingkat volatilitas yang tinggi, lebih efisien karena tidak harus mencetak uang, dapat disimpan di berbagai platform digital, dan sebagainya.

Bila dicontohkan, untuk membayar tol, kini konsumen perlu membayarnya dengan kartu e-money yang diterbitkan masing-masing bank. Tapi untuk kasus uang digital, penerbitnya adalah Bank Indonesia.

“Secara kekuatan hukumnya akan sama dengan uang cetak karena legal tendernya adalah Bank Indonesia yang sudah dijamin oleh Undang Undang sehingga tidak bisa tolak.”

Sejauh ini, lanjutnya, belum ada bank sentral di dunia yang menerbitkan mata uang digital. Akan tetapi ada beberapa bank sentral yang sudah melakukan uji coba penerbitan uang digital ini. Misalnya, Kanada dengan proyek Jasper dan Singapura dengan proyek Ubin.

Inggris pun saat ini diungkapkan Onny masih melakukan kajian yang dilakukan sejak 2016. Hanya Ekuador yang menjadi satu-satunya negara yang resmi menerbitkan mata uang digital.

Bank Indonesia Tetapkan Aturan Gerbang Pembayaran Nasional

Kemarin (7/7), Bank Indonesia menetapkan aturan terbaru mengenai Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau lebih dikenal National Payment Gateway (NPG) termuat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017 yang diberlakukan mulai 22 Juni 2017 lalu.

Terbitnya aturan ini menjadi penyangga strategis bank sentral dalam melayani dan memfasilitasi gerakan nasional non-tunai, bansos pemerintah secara non-tunai, keuangan inklusi keuangan, e-commerce nasional, yang sejalan dengan prinsip kehati-hatian. Sekaligus merealisasikan integrasi sistem pembayaran nasional yang efisien.

Perlu diketahui, NPG adalah sebuah sistem yang terdiri dari tiga penyelenggara yakni lembaga standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional.

Sebelum NPG diberlakukan, ketiga penyelenggara tersebut melakukan tugasnya secara sendiri-sendiri dengan masing-masing lembaga keuangan, belum ada interkoneksi apalagi interoperabilitas.

Adapun tugas lembaga standar yakni menetapkan spesifikasi teknis dan operasional yang dibakukan dalam GPN. Lembaga switching bertugas sebagai pusat dan/atau penghubung penerusan data transaksi pembayaran melalui jaringan yang menggunakan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), uang elektronik, dan transfer dana. Sementara, lembaga services bertugas untuk memenuhi kebutuhan industri sistem pembayaran ritel.

Tiga penyelenggara NPG, dalam praktiknya akan terhubung dengan empat pihak yang terikat dengan aturan pula, meliputi penerbit kartu, acquirer, penyelenggara payment gateway, dan pihak lainnya yang ditetapkan bank sentral.

Seluruh pihak di atas, akan mewujudkan interkoneksi dan interoperabilitas ekosistem pembayaran. Bahasa sederhananya, jaringan kanal pembayaran serta infrastrukturnya antara satu institusi dengan lainnya akan saling terhubung dan bisa dipakai oleh seluruh pihak.

Menekankan efisiensi, beban konsumen lebih ringan

Bagi pelaku industri keuangan, hadirnya NPG membawa dampak efisiensi utilitas perangkat ATM, EDC, atau lainnya. Ibaratnya bila pemegang kartu sedang berada di mal dan ingin melakukan transaksi keuangan, mereka tidak harus mengantre di ATM sesuai bank masing-masing.

Pihak penerbit kartu atau lainnya, kini tidak harus investasi masing-masing saat ingin menyediakan perangkatnya.

“Jadi jangan ada seperti di Mal Taman Anggek yang memiliki 10 mesin ATM berjejeran tetapi utilitasnya rendah. Lebih baik taruh beberapa saja tapi dipakai bersama dan sisanya bisa di relokasi,” terang Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko dalam konferensi pers.

Ditambah, hadirnya aturan ini membuat proses transaksi pembayaran ritel dengan menggunakan kartu tidak lagi bergantung pada prinsipal asing seperti Mastercard dan Visa. Bagi konsumen, dampak langsung yang bisa dirasakan dari hal ini terlihat dari turunnya biaya transaksi yang dibebankan.

Salah satu contoh nyata dari penurunan biaya transaksi terlihat dari kehadiran jaringan Link dari PT Jalin Pembayaran Nusantara (JPN) yang merupakan inisiasi gabungan dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Tadinya, biaya transfer antar bank BUMN bisa mencapai Rp7 ribu, kini menjadi Rp4 ribu.

Efek belum segera terasa

Meski aturan ini sudah diterbitkan, namun konsep interkoneksi dan interoperabilitas belum bisa terasa dalam waktu dekat. Pasalnya, sebelum pihak terhubung bisa bergabung ke NPG wajib memenuhi ketentuan dari BI.

Mereka, dalam hal ini adalah bank umum dan bank umum syariah, untuk instrumen ATM dan kartu debet, wajib terhubung dengan minimal dua lembaga switching paling lambat 30 Juni 2018. Kondisi saat ini, masih banyak perbankan yang belum memenuhi kewajiban tersebut.

“Sebelum masa tenggat itu tiba, konsep efisiensi belum bisa terwujud. Makanya kami suruh bank untuk bersiap-siap sebelum Juni 2018.”

Segera atur biaya transaksi

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean menambahkan, BI akan menerbitkan aturan turunan untuk mengatur skema harga NPG, salah satunya merchant discount rate (MDR).

MDR adalah potongan yang dikenakan bank kepada merchant ketika bertransaksi lewat mesin EDC, besaran MDR tergantung kesepakatan bank dengan merchant sekitar 1,6% sampai 2,2%.

Eni menilai persentase MDR di Indonesia adalah tertinggi di Asia, meski banyak konsumen yang tidak menyadari ini saat bertransaksi padahal mereka adalah pihak yang dibebankan akibat aturan tersebut.

“MDR itu seyogyanya bisa turun karena trennya ketika ada NPG, orang akan memilih lebih baik menurunkan profit atau harganya. Terlebih ada NPG itu, akan ada sharing infrastruktur, kalau invest sendiri kan mahal,” kata Eni.

Hanya saja, dia memastikan bahwa pengaturan ini tidak akan mematikan industri karena bank sentral juga bakal mempertimbangkan biaya operasional dan margin yang wajar. Maka dari itu, bank sentral akan melakukan pengkajian dan berkomunikasi dengan seluruh penyelenggara NPG.

“Kalau biaya penurunan bisa sampai 50% itu sudah bagus. Kami akan tetap terima masukan karena tujuan NPG adalah efisiensi, bukan mematikan industri.”

Kue bisnis untuk Mastercard dan Visa tetap ada

Terkait dampak kehadiran NPG bagi Mastercard dan Visa, menurut Onny, pada tahap awal mungkin bakal berpengaruh pada bisnis kedua perusahaan, terutama mengenai biaya routing domestic yang kini tidak bakal menggunakan jasa mereka. Hal tersebut membuat mereka harus menyesuaikan diri.

Akan tetapi, Onny memastikan, baik Mastercard maupun Visa masih tetap memiliki peluang yang besar bila ingin memroses transaksi pembayaran ritel di Indonesia. Mereka harus kerja sama dengan lembaga switching domestik di proses melalui NPG yang sebelumnya telah disetujui BI.

“Kita tetap butuh mereka untuk bangun kapabilitas keamanan data nasabah, ini jadi peluang tumbuh tapi dengan bentuk yang berbeda.”

Pada intinya, kartu berlogo Mastercard dan Visa akan tetap bisa digunakan ketika pemilik kartu NPG membawa kartunya ke luar negeri. Tetapi, ketika di bawa ke dalam negeri harus mengikuti alur sistem NPG.

National Payment Gateway Indonesia Siap Juli Mendatang

Rencana pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) untuk memiliki National Payment Gateway (NPG) memasuki babak baru. NPG sekarang sedang masuk dalam tahap konsultasi dengan publik. Ditargetkan NPG siapa digunakan secara berangsur-angsur mulai Juli mendatang.

NPG merupakan sistem untuk memproses transaksi pembayaran yang menggunakan kartu, baik ATM/debit, kartu kredit, dan uang elektronik di dalam negeri. Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko menjelaskan selama ini proses transaksi di EDC menggunakan teknologi internasional yang menempel di kartu tersebut, misalnya Visa dan Mastercard.

Dengan NPG, nantinya seluruh transaksi akan dilakukan di dalam negeri sehingga data transaksi pembayaran tidak perlu lagi diteruskan ke luar negeri. Onny menjelaskan Indonesia membutuhkan NPG untuk efisiensi dalam sistem pembayaran ritel. NPG juga diharapkan bisa meningkatkan ketahanan, kemandirian, dan meningkatkan daya saing sistem pembayaran dalam negeri.

Dengan NPG, satu jenis EDC yang berada di merchant diharapkan bisa memproses berbagai jenis kartu debit, sehingga bisa mengurangi jumlah mesin EDC yang berada di kasir.

Juga ada integrasi uang elektronik

Dikutip dari Kontan, Deputi Gubernur BI Sugeng menjelaskan pada akhir Juni 2017 setelah aturan dikeluarkan akan ada integrasi awal terkait ATM dan kartu debit. BI juga akan mengintegrasikan uang elektronik pada Oktober 2017.

NPG ini sendiri merupakan sebuah isu yang bergulir sejak tahun 2011 silam. Sebelumnya DailySocial pernah menuliskan bahwa merealisasikan NPG bukan sebuah perkara yang mudah. Banyak beberapa faktor yang harus dipertimbangkan seperti infrastruktur, regulasi, dan kultur. Direalisasikannya NPG diharapkan mendongkrak jumlah transaksi elektronik sehingga menyuburkan industri digital.