Tag Archives: openspace ventures

Broom menawarkan fasilitas pembiayaan bagi pemilik showroom UMKM / Broom

Broom Peroleh Dana Segar Pra-Seri A Senilai 154 Miliar Rupiah [UPDATED]

*update 10 Maret 2023: kami memperbarui informasi dengan menyesuaikan nilai dan seri pendanaan

Platform digital untuk ekosistem mobil bekas Broom dikabarkan mendapat pendanaan pra-seri A senilai $10 juta atau sekitar 154 miliar Rupiah yang dipimpin Openspace Ventures. Berita ini pertama kali dikabarkan oleh DealStreetAsia.

Berdasarkan data yang dilaporkan ke regulator, AC Ventures dan Quona Capital (keduanya adalah investor terdahulu), serta MUFG Innovation Partners dan BRI Ventures turut berpartisipasi pada putaran ini. 

Sebelumnya, Broom mengantongi pendanaan pra-awal senilai $3 juta (Rp43 miliar) yang dipimpin oleh AC Ventures, serta partisipasi dari Quona Capital dan beberapa angel investor, termasuk pendiri Kopi Kenangan dan Lummo.

DailySocial.id telah menghubungi manajemen Broom untuk mengonfirmasi berita ini, namun belum ada respons hingga berita ini diturunkan. 

Broom dirintis oleh Pandu Adi Laras (CEO), Pungky Wibawa (CBO), dan Andreas Sutanto (CFO) di 2021. Awalnya mereka mengembangkan solusi bagi pelaku UKM di bidang otomotif untuk memudahkan digitalisasi proses bisnis showroom dan memberikan fasilitas pembiayaan produktif. Kini Broom lebih fokus sebagai platform marketplace di sektor ini.

Digitalisasi proses kerja diler

Proses kerja diler kendaraan dinilai masih tradisional. Stok barang dicatat secara manual. Ketika mencoba go online, pemilik diler mengaku kesulitan menemukan pembeli yang tepat di lokasi mereka. Maka itu, solusi ini diharapkan dapat mengatasi masalah deadstock (stok yang belum terjual lebih dari satu bulan).

Dalam wawancara dengan DailySocial saat itu, Co-Founder dan CEO Broom Pandu Adi Laras mengatakan bahwa platform Broom memungkinkan pemilik diler untuk mengelola inventaris, pembukuan keuangan, hingga mengelola berbagai instrumen penjualan mereka.

“Startup ini bertujuan untuk menjadi pusat bagi digitalisasi jaringan diler di Indonesia,” tuturnya. Per Maret 2022, Broom memiliki lebih dari 2.000 diler mobil bekas di wilayah Jabodetabek.

Upaya digitalisasi di sektor otomotif terus berkembang. Awalnya, sektor ini banyak diisi oleh pemain car marketplace, seperti Carro, Carsome, dan LX Autos. Bahkan Moladin yang awalnya bermain di pembelian motor, sudah pivot ke jual-beli mobil bekas. 

Namun, pelaku startup mulai mengeksplorasi pain point lain di sektor otomotif yang dapat didukung dengan teknologi seiring tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Misalnya, solusi bengkel yang dikembangkan oleh Bengkel Mania, dan pembiayaan showroom Broom yang juga sama-sama membidik pelaku UMKM.

Adapun, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan mobil retail di mencapai 89.651 unit per Oktober 2022.

Application Information Will Show Up Here
Startup pengembang POS iSeller mengumumkan telah merampungkan pendanaan Seri B senilai $12 juta dipimpin oleh Intudo Ventures.

iSeller Tutup Pendanaan Seri B 179 Miliar Rupiah Dipimpin Intudo Ventures

Startup pengembang layanan point of sale “iSeller” mengumumkan telah merampungkan pendanaan seri B senilai $12 juta (lebih dari 179 miliar Rupiah) dipimpin oleh Intudo Ventures. Beacon Venture Capital, turut serta dalam putaran ini bersama dengan investor terdahulu, yakni Mandiri Capital Indonesia dan Openspace Ventures.

iSeller akan memanfaatkan dana segar untuk merilis versi baru dari produk andalannya yang berfokus pada peningkatan pengalaman pengguna, kinerja, dan keandalan yang lebih cepat.

Sebelumnya, putaran pra-seri B telah diumumkan pada Oktober 2021 sebesar Rp120 miliar dari AppWorks dan Openspace Ventures.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (26/1), Founder & CEO iSeller Jimmy Petrus menyampaikan, perusahaan telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa selama beberapa tahun terakhir karena didorong oleh permintaan yang besar dari UMKM dan bisnis online. Mereka membutuhkan solusi omnichannel, mulai dari manajemen stok dan pemasaran, hingga pembayaran dan akuntansi demi meningkatkan efisiensi operasi dan memfasilitasi pertumbuhan bisnis.

“Dengan demikian, solusi kami tidak hanya membantu bisnis merampingkan operasi sehari-hari, tetapi memberikan pertumbuhan bisnis yang terbalik untuk kesuksesan jangka panjang. Kami berterima kasih atas dukungan dari investor baru dan yang sudah ada, dan berharap dapat membangun produk dan layanan baru untuk membantu mendorong transformasi digital perekonomian Indonesia,” ucapnya.

Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip menambahkan, ekosistem pedagang Indonesia secara historis mengalami fragmentasi dan proses yang tidak efisien. Dengan memanfaatkan transformasi digital merchant, iSeller telah mengalami pertumbuhan luar biasa selama beberapa tahun terakhir, memanfaatkan keahlian tim dalam SaaS, teknologi omnichannel, dan pembayaran terintegrasi untuk pasar Indonesia.

Di pasar layanan POS, iSeller saat ini berhadapan dengan sejumlah kompetitor, seperti majoo, Moka, Qasir, Youtap, dan beberapa lainnya. majoo sendiri baru mengumumkan pendanaan seri A 149 miliar Rupiah di Agustus 2022 lalu.

Perkembangan iSeller

Perusahaan yang melabelkan posisinya sebagai “Shopify of Indonesia” ini menawarkan solusi all-in-one buat bisnis dalam mendigitalkan penjualan dan operasi, termasuk POS, penerimaan pembayaran digital, manajemen inventaris, toko online instan, integrasi pasar, dan pengiriman makanan integrasi.

Diklaim selama dua tahun terakhir, iSeller mengalami peningkatan akuisisi dan pendapatan merchant lebih dari empat kali lipat, sementara volume transaksi bruto (GTV) meningkat lima kali lipat menjadi lebih dari $600 juta. Perusahaan melihat hampir 15 kali lipat peningkatan dalam penggunaan fitur integrasi pasar di ekosistem iSeller, dan peningkatan 4 kali lipat dalam adopsi saluran toko online.

Untuk mendukung pertumbuhan dramatis ini, iSeller telah memperkuat tim customer experience dengan lebih dari 100 karyawan baru selama 10 bulan terakhir. Saat ini, iSeller merupakan satu-satunya platform penjualan berbasis omnichannel yang terintegrasi penuh dengan empat marketplace terbesar di Indonesia—yaitu Tokopedia, Shopee, Lazada, dan Blibli.

Kemudian, selama satu tahun terakhir, perusahaan tumbuh pesat karena mendapat daya tarik yang signifikan dalam adopsi pedagang dan pemrosesan pembayaran. Solusinya telah dimanfaatkan oleh merchant yang tersebar 30 kota di seluruh Indonesia dan dipercaya oleh lebih dari 100.000 bisnis, termasuk perusahaan seperti SOGO, OMNILUXE, Jiwa Group, GK Hebat Group, Agung Sedayu Group, Damn! I Love Indonesia, Sinarmas, IT Gallery, Es Teler 77, HopHop, Lemonilo, dan Peripera, di antara banyak lainnya.

Petrus melanjutkan, untuk melayani pedagang dengan lebih baik, iSeller telah menjalin kemitraan tingkat nasional dengan Bank Mandiri Indonesia. Dalam kesepakatan tersebut, Bank Mandiri mengadopsi iSeller sebagai platform POS resmi untuk semua pedagang pada program Mandiri Merchant Livin, yang mencakup lebih dari tiga juta bisnis.

Sebagai bagian dari pembiayaan, iSeller juga menyelesaikan akuisisi YUKK—gerbang pembayaran berlisensi PJSP, untuk lebih memperluas layanan pembayaran perusahaan demi inklusivitas keuangan yang lebih besar.

Chief Investment Officer Mandiri Capital Indonesia Dennis Pratisha menuturkan, iSeller berada di garis depan platform POS berbasis omnichannel di Indonesia untuk pedagang online dan offline. Menurutnya, sektor ritel telah menghadapi banyak tantangan dalam beberapa tahun terakhir, makanya dibutuhkan sistem seperti iSeller untuk tidak hanya membantu bisnis meningkatkan efisiensi operasional, tetapi juga memberikan pertumbuhan untuk kesuksesan jangka panjang.

“Kami sangat senang dengan dampak iSeller terutama dengan Program Merchant Livin Mandiri yang mencakup tiga juta bisnis dan memiliki kepercayaan penuh pada kepemimpinan iSeller, serta lintasan mereka di masa depan,” ucap Dennis.

Jimmy menutup, target perusahaan ke depannya, ia membidik pencapaian titik profitabilitas dalam tiga tahun ke depan dengan berfokus pada perluasan jangkauan melalui mitra strategis, efisiensi akuisisi, dan peningkatan nilai seumur hidup pelanggan (CLTV) melalui layanan nilai tambah merchant yang lebih komprehensif dan terintegrasi.

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Seri D Kredivo

Induk Kredivo Dikabarkan Galang Pendanaan Seri D Lebih dari 2,5 Triliun Rupiah

Induk pengembang layanan paylater Kredivo, FinAccel, dikabarkan tengah menggalang pendanaan seri D. Menurut sumber, saat ini total dana sekitar $140 juta atau setara 2,5 triliun Rupiah telah terkumpul dari sejumlah investor termasuk Mirae Asset, Square Peg, Jungle Ventures, Openspace Ventures, dan beberapa nama lainnya.

Dengan pendanaan ini, diperkirakan valuasi FinAccel telah menyentuh $1,6 miliar. Pendanaan ekuitas terakhir yang diumumkan FinAccel adalah seri C pada akhir 2019, membukukan dana $90 juta dari MDI Ventures, Square Peg, Telkomsel Mitra Inovasi, dan investor lainnya.

Setelah itu mereka lebih banyak menerima pendanaan debt dan loan channeling untuk meningkatkan kemampuan layanan lending yang dimiliki. Salah satu yang terbesar adalah pinjaman 1,4 triliun Rupiah dari Victory Park Capital. Mereka juga mendapat komitmen joint financing dari DBS Indonesia senilai 2 triliun Rupiah pada tahun 2021 lalu.

Di Indonesia, FinAccel mengoperasikan dua unit bisnis utama, yakni paylater lewat Kredivo dan fintech cashloan lewat Kredifazz. Berdasarkan keterbukaan yang diinformasikan, per Agustus 2022 Kredifazz telah menyalurkan pinjaman 31,51 triliun Rupiah dengan pemberi peminjam di kisaran 4,23 juta akun dan peminjam aktif 1,6 juta akun.

Adapun aplikasi Kredivo saat ini sudah diunduh puluhan juta kali di Google Playstore. Layanannya juga telah terintegrasi di lebih dari 50 layanan marketplace dan e-commerce populer di Indonesia.

Potensi paylater masih besar

Menurut data yang dihimpun DSInnovate dalam “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021“, adopsi layanan paylater di Indonesia terus meningkat dari 2021-2028 dengan CAGR 27,4%. Di tahun 2021, kapitalisasi pasar yang berhasil dibukukan bisnis ini telah mencapai $1,5 miliar. Tingkat awareness layanan paylater juga sudah sangat baik, dari survei yang dilakukan 95% responden mengatakan telah memahami bagaimana mekanisme kerjanya.

Kredivo berhasil menjadi unicorn pertama dari segmen paylater di Indonesia. Kendati demikian, kini ia tengah bersaing dengan sejumlah platform lain mulai dari Akulaku, Gopaylater, Indodana, SPaylater, dan lain sebagainya.

Di tengah persaingan pasar ini, masing-masing mencoba menghadirkan proposisi nilai yang kuat. Beberapa pemain mengandalkan basis pengguna di platformnya — misalnya SPaylater untuk pengguna Shopee dan Gopaylater untuk pengguna Tokopedia/Gojek.

Adapun Atome memilih konsep O2O, mereka mengoptimalkan kehadiran untuk melayani pembayaran di ritel offline. Saat ini 60%+ total transaksi Atome berasal dari ritel offline. Meskipun demikian, Kredivo pun juga mulai melakukan penetrasi di ranah offline. Terbaru Kredivo menggandeng jaringan ritel Ramayana.

Application Information Will Show Up Here
OCTOPUS Aplikasi Daur Ulang

Mendalami Fokus Bisnis OCTOPUS, Platform Agregator Daur Ulang

Menerapkan ekosistem ekonomi sirkular berbasis teknologi, OCTOPUS hadir sebagai platform agregator yang bisa dimanfaatkan oleh industri terkait untuk mendapatkan sampah daur ulang dari pemulung dan pengepul. Layanan ini telah memulai operasionalnya di kota lapis 2 dan 3.

Tercatat layanan mereka telah menjangkau hampir 200 ribu pengguna yang tersebar di lima kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Bali, dan Makassar. OCTOPUS juga telah bekerja sama dengan lebih dari 1.700 bank sampah dan 14.600 pemulung terlatih dan terverifikasi (mereka menyebutnya dengan “pelestari”).

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO OCTOPUS Moehammad Ichsan mengungkapkan, persoalan daur ulang di tanah air memiliki potensi besar. Namun demikian besarnya permintaan dari kalangan industri tidak bisa dibarengi dengan persediaan yang ada. Meskipun saat ini jumlah pemulung hingga pengepul banyak di berbagai lokasi, namun banyaknya lapisan atau proses penjualan yang harus dilalui oleh para pengepul, menyulitkan bagi mereka untuk bisa menjual langsung.

“Dari sisi para pelestari dan pengepul, kami juga melihat masih adanya trust issue di antara mereka. Dengan alasan itulah OCTOPUS ingin menjadi platform yang bisa memberikan standardisasi untuk harga penjualan hingga volume yang sesuai antara pengepul dan pelestari,” kata Ichsan.

Untuk memangkas lapisan yang diklaim sudah terlalu berlapis hingga menyulitkan industri mendapatkan barang secara langsung, OCTOPUS memberikan kesempatan bagi para pengepul untuk bisa menjual semua barang daur ulang yang telah mereka dapatkan dari para pelestari langsung kepada industri.

OCTOPUS juga bisa memberikan rekomendasi kepada para pengepul menyesuaikan skala usaha mereka. Untuk pengepul yang masih dalam skala kecil disarankan bisa fokus kepada barang seperti plastik. Sementara mereka yang sudah dalam kategori menengah bisa fokus kepada barang kardus. Dan untuk usaha pengepul yang masuk dalam kategori besar bisa fokus kepada barang tertentu seperti sampah daur ulang elektronik.

“Konsepnya kita mempertemukan sektor informal, yaitu pelestari dan juga pengepul yang melakukan jual-beli barang, tujuannya untuk meningkatkan keuntungan mereka. Dengan menjembatani langsung antara industri dan sektor informal tersebut, kita menciptakan solusi sebagai agregator yang memiliki impact ke lingkungan hingga ekonomi sosial dengan menyelesaikan persoalan di supply chain,” kata Ichsan.

Kembangkan aplikasi dan dasbor

Agar tujuan bisa mencapai target yang sesuai sekaligus mendapatkan profit yang berkelanjutan, OCTOPUS kemudian mengembangkan 3 aplikasi yang bisa digunakan oleh pelestari, pengepul, dan konsumen. Sementara untuk brand hingga perusahaan FMCG yang ingin memanfaatkan data yang diperoleh dari para pelestari di berbagai lokasi konsumen, mereka juga menyediakan pengolahan data.

Untuk saat ini strategi monetisasi yang dijalankan adalah B2B. OCTOPUS masih fokus memenuhi permintaan industri lewat dasbor pengolahan data.

Namun untuk membantu pelestari mendapatkan kesempatan langsung penjemputan sampah daur ulang dari konsumen, disiapkan juga aplikasi yang bisa digunakan oleh pelestari dan konsumen secara on-demand. Reward yang diterima oleh konsumen nantinya berupa poin yang bisa ditukar untuk pembelian pulsa, token listrik, hingga pembelian produk F&B.

Sebagai lulusan Grab Velocity Ventures (GVV) Batch 4, OCTOPUS juga menawarkan penukaran poin untuk layanan yang ada di Grab seperti GrabBike, GrabMart, dan lainnya.

Selain itu bagi pelestari yang berhasil melakukan penjemputan sampah daur ulang langsung ke rumah konsumen, nantinya akan diberikan rekomendasi tempat penjualan barang atau pengepul yang relevan. Sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan lebih dengan melakukan penjualan kepada lebih dari satu pengepul.

“Untuk pengepul juga kami berikan kesempatan untuk mengembangkan bisnis mereka dengan mendapatkan modal dari Bank BJB hingga KemenkopUKM. Dengan [interest] rate yang jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan perbankan, para pengepul nantinya bisa melakukan scale-up melalui bantuan modal tersebut,” kata Ichsan.

Bersama dengan Pemprov. DKI, OCTOPUS juga telah melakukan kerja sama strategis untuk bisa memanfaatkan bank sampah yang dikelola oleh pemerintah setempat. Termasuk lewat pendirian OCTOPOINT sebagai bagian dari ekosistem OCTOPUS di M Bloc Space Jakarta Selatan. Kini warga Jakarta dapat mengakses layanan tanpa biaya ini untuk memilah, mengumpulkan dan mengelola sampah rumah tangga mereka.

“Setelah memulai dari kota di lapis 2 dan 3, tahun ini OCTOPUS akan mulai fokus mengembangkan layanan di kota lapis 1 yaitu Jakarta dan sekitarnya. Harapannya kami juga akan memperluas layanan ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat,” kata Ichsan.

Pendanaan awal dari Openspace Ventures

Sejak awal, misi OCTOPUS membantu para produsen melacak, memilah, dan mengumpulkan produk pasca-konsumen. Sejalan dengan slogan ‘Solusi Daur Ulangmu’, aplikasi OCTOPUS memberikan kemudahan bagi pengguna dalam mengelola sampah, sehingga menjadi salah satu solusi untuk mendorong masyarakat membuang sampah atau barang bekas pakai dengan tepat.

Hingga saat ini OCTOPUS masih menjadi pemain pertama yang menyediakan layanan ini. Dengan alasan itulah akhirnya Openspace Ventures bersedia untuk memberikan pendanaan awal.

Meskipun mengaku masih memiliki runway yang cukup dan telah mendapatkan profit, perusahaan masih memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahapan selanjutnya.

“Setelah mendapatkan dana segar dari Openspace Ventures, kami memiliki rencana untuk menambah jumlah tim dan fokus kepada pengembangan produk, terutama pengembangan 3 aplikasi dan data dashboard yang kami miliki,” kata Ichsan.

Application Information Will Show Up Here

Zenius Receives Follow on Funding from MDI Ventures

Zenius edtech startup today (7/3) announced follow on funding from MDI Ventures with an undisclosed amount. In total, Zenius is said to have raised over $40 million (more than 576 billion Rupiah) from its investors. Past investors (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) and new investor (Beacon Venture Capital as a venture capital company owned by Kasikorn Bank Thailand) also joined the round.

It is not clear whether this fresh money will classified into a new round or continue the Pre-Series B round last year.

In an official statement, Zenius’ CEO, Rohan Monga said this funding will support the company’s further development and expansion of the learning ecosystem Zenius will be focused on improving personalized learning experiences by increasing students’ learning motivation.

“Through our latest acquisition network, Primagama, we will expand reach to increase the impact we have in education. We strongly believe that a hybrid learning model, which is a combination of offline and online, will provide the best results for students,” Monga said.

He said, backed by strategic investors such as MDI Ventures, the company is capable to expand its network of partnerships and service distribution to have a bigger and deeper impact on Indonesian education.

“Zenius has a proven track record of making an educational impact in Indonesia. Was founded in 2004, Zenius has now developed a comprehensive learning ecosystem,” MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja said.

Since 2004, Zenius has helped more than 1.5 million alumni to get into their state/dream university. Last year, seven out of 10 Zenius’ premium users passed the Computer-Based Written Examination (UTBK), while Zenius’ income increased fourfold, one of which was due to “Live Class” feature.

Following the Primagama acquisition, Zenius completed its learning ecosystem by collaborating with Disney for the elementary school segment, as well as developing ZenPro, a platform for the professional or lifelong learning segment.

“Zenius is a collaborative player. We are confident to realize our mission in creating a smarter, brighter, and cooler Indonesia’s young generation through collaboration, partnership, and synergy with various stakeholders, such as MDI, with the same vision, advancing education in Indonesia,” Rohan said.

Market competition and value proposition

Indonesia’s edtech sector is rapidly growing, especially since the pandemic. There are two players currently dominating the market, Ruangguru and Zenius, with nearly similar sub-product variants.

Zenius always highlight one thing, it is on the material side. Instead of inviting students to just memorize, Zenius emphasized on understanding fundamental concepts and critical thinking through various case studies.

Apart from Zenius and Ruangguru, several edtech platforms also creating maneuvers. Most recently, CoLearn has just secured 244 billion Series A funding. The app focuses on math and science subjects, helping students solve their homework independently. Also, there are Pahamify, Squline, and others.

Primagama’s presence in Zenius’ line of business has the potential to strengthen its value proposition if it truly succeeds in wrapping up a hybrid learning experience – this could also be the first in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Manajemen Zenius: Sabda PS dan Rohan Monga / Zenius

Zenius Terima Pendanaan Lanjutan dari MDI Ventures

Startup edtech Zenius hari ini (7/3) mengumumkan perolehan pendanaan dari MDI Ventures dengan nominal dirahasiakan. Secara total Zenius disebutkan telah mengumpulkan lebih dari $40 juta (lebih dari 576 miliar Rupiah) dari jajaran investornya. Investor terdahulu (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) dan investor baru (Beacon Venture Capital sebagai perusahaan modal ventura milik  Kasikorn Bank Thailand) turut bergabung dalam putaran tersebut.

Tidak dijelaskan pendanaan segar ini masuk ke dalam putaran baru atau melanjutkan putaran Pra-Seri B yang sudah diumumkan pada tahun lalu.

Dalam keterangan resmi, CEO Zenius Rohan Monga mengatakan, pendanaan ini akan mendukung pengembangan lebih lanjut dan perluasan ekosistem pembelajaran di Zenius. Pihaknya akan terus fokus pada peningkatan pengalaman belajar yang dipersonalisasi dengan meningkatan motivasi belajar siswa.

“Melalui jaringan baru yang kami peroleh dari Primagama, kami akan memperluas jangkauan kami untuk meningkatkan dampak yang kami miliki dalam dunia pendidikan. Kami sangat percaya bahwa model pembelajaran hybrid, yaitu gabungan antara offline dan online, akan memberikan hasil terbaik bagi siswa,” kata Monga.

Menurutnya, dengan dukungan investor strategis seperti MDI Ventures, perusahaan mampu memperluas jaringan kemitraan dan distribusi layanan untuk memberikan dampak yang lebih besar dan lebih dalam bagi pendidikan Indonesia.

“Zenius memiliki rekam jejak yang telah terbukti dalam memberikan dampak bagi pendidikan di Indonesia. Sejak didirikan pada 2004, Zenius kini telah mengembangkan ekosistem pembelajaran yang komprehensif,” kata CEO MDI Ventures Donald Wihardja.

Sejak didirikan pada tahun 2004, Zenius telah membantu lebih dari 1,5 juta alumni untuk masuk ke universitas negeri/impian mereka. Tahun lalu, tujuh dari 10 pengguna premium Zenius berhasil lolos Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK), sementara pendapatan Zenius meningkat empat kali lipat, salah satunya ditopang oleh “Live Class”.

Setelah akuisisi Primagama, Zenius juga melengkapi ekosistem pembelajarannya dengan berkolaborasi dengan Disney untuk segmen sekolah dasar, serta mengembangkan ZenPro, sebuah platform untuk segmen pembelajaran profesional atau seumur hidup.

“Zenius adalah pemain yang kolaboratif. Kami yakin dapat mewujudkan misi kami untuk merangkai Indonesia yang lebih cerdas, cerah, dan asik melalui kolaborasi, kemitraan, dan sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti MDI yang memiliki visi yang sama, yaitu memajukan pendidikan di Indonesia,” kata Rohan.

Kompetisi pasar dan proposisi nilai

Sektor edtech di Indonesia cukup berkembang pesat, apalagi sejak pandemi. Dua pemain yang saat ini mendominasi adalah Ruangguru dan Zenius, dengan varian sub-produk yang dimiliki keduanya juga nyaris memiliki kesamaan.

Satu hal yang selalu digaungkan Zenius adalah di sisi materi. Alih-alih mengajak peserta didik hanya menghafal, materi di Zenius mengedepankan pada pemahaman konsep fundamental dan cara berpikir kritis melalui berbagai studi kasus.

Di luar Zenius dan Ruangguru, sejumlah platform edtech juga terus bermanuver. Yang terbaru CoLearn baru saja membukukan pendanaan Seri A senilai 244 miliar Rupiah. Aplikasinya fokus pada pembelajaran matematika dan sains, membantu para siswa menyelesaikan berbagai PR secara mandiri. Di luar itu masih ada Pahamify, Squline, dan lain-lain.

Hadirnya Primagama di jajaran lini bisnis Zenius berpotensi menguatkan proposisi nilai jika benar-benar berhasil membungkus pengalaman belajar hibrida – ini juga bisa menjadi yang pertama di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

JIWA Group Obtains Funding, Changing the Local Coffee Industry Landscapet with Grab & Go Concept

Coffee chain startup “JIWA Group” or known as one of its products, Kopi Janji Jiwa, announced funding from Openspace and Capsquare Asia Partners. The nominal investment is undisclosed, however, the fresh funds would be focused on increasing business expansion. Moreover, the two investors are considered to have the best practices in the local and regional value-chain markets.

Was founded in 2018, the company has overshadowed 3 product brands. Aside from coffee, it also offers Jiwa Toast and Jiwa Tea. In total, there are around 1000 outlets operated in 100 cities in Indonesia. Throughout 2021, it is said that the company has sold 40 million products, increased by two times compared to the same period the previous year.

“We believe JIWA’s strong brand, unique product offerings, 1000 strong offline locations, equipped with the increasing use of technology across all business elements will continue to solidify its position as a market leader,” Openspace’s Executive Director Jessica Huang Pouleur said.

Technology development and omnichannel strategy

Based on the explanation of JIWA Group’s Founder, Billy Kurniawan, the impressive growth obtained also influenced by the digital channels. Including the use of social media for engagement with customers, and integration with online marketplace and food delivery platforms.

They also launched the JIWA+ application to support the “grab & go” model as a signature of Kopi Janji Jiwa since day one. Users can order menus and pay through the application, they also offer options to pick up at the nearest outlet or have it delivered to the location. In the application, a loyalty system is also created to increase customer retention.

Aside from improving operations by adding outlets, products, warehouses, and logistics, with the investors support, JIWA intends to accelerate the use of technology. They’re focus on several areas, such as improving customer experience, supply chain, and reducing carbon footprint. The founders also have a mission to become the industry leader for the technology-enabled F&B segment, to further enter the Asian market.

“Innovation and customer satisfaction have always been part of Jiwa Group’s DNA, ensuring we remain relevant and sustainable in the dynamic F&B industry,” Billy added.

F&B level up through digital

According to research (MIX, 2020), 40% of Indonesian coffee consumers are switching to grab & go outlets. This is supported by a shifting demand from instant coffee, as consumers want a higher quality drink — pairing it with complementary snacks. According to a report compiled by Statista, revenue from the coffee business (roast coffee) will reach $9.5 billion this year. It is estimated to experience a CAGR growth of 9.76% until 2025.

In maintaining the growth trend, industry players have started to take advantage of digital channels. This strategy was performed along with the increase in several outlets. The grab & go concept alone is very dependent on the outlets, although not a few are only used as production sites (without dine-in).

Apps are designed to connect consumers with outlets, shifting them from online to offline – or vice versa. This model is quite efficient, because companies can use the data obtained from consumer habits recorded in the application, therefore, they can offer products and services in line with the market share. On the consumer side, the convenience and value added make them willing to use the application.

Coffee chain brand owners continue to invest in developing technology. In addition to utilizing the existing platforms, they also create their own applications. Some applications even rank quite significantly. Based on our observations of Google Play statistics as of November 5, 2021, we got this data from the Food and Drink category:

Rank App Download Rating
6 Kopi Kenangan 1 million+ 4,6
13 Boba Ceria 100 thousand+ 4,3
17 Chatime Indonesia 500 thousand+ 4,5
21 JIWA+ 100 thousand+ 4,7
22 ISMAYA 100 thousand+ 4,4
24 Fore Coffee 100 thousand+ 4,6
61 Flash Coffee 50 thousand+ 4,6
92 KULO 10 thousand+ 1,7

Backed by tech startup investors

The technology adoption in the coffee chain business model is a special concern for investors. With the existing roadmap, players are able to provide impressive evidence and business projections – not just the coffee business, but F&B in general. Many food tech-based services are born from innovators. The opportunity to use the technology is comprehensive, starting from the supply chain of raw materials, for operational and transaction efficiency, and distribution.

With their respective hypotheses, several venture capitalists in Indonesia are entering the industry, including:

Venture Capital Portfolios
Alpha JWC Ventures Google, Hangry, Kopi Kenangan, Lemonilo, Mangkokku
East Ventures Fore Coffee, Greenly, Legit Group
AC Ventures Coffee Meets Bagel, Fore Coffee
Vertex Ventures Dailybox
Openspace Ventures JIWA Group
SALT Ventures Hangry, Shiru

However, the coffee business model are developing in Indonesia. In 2020, Jago Cofee introduced the mobile coffee chain. Instead of using outlets, they use partners to distribute products around with carts that have been provided and specially designed. Likewise, Jago uses the application to make it easier for its customers to find partners and place orders.

This industrial landscape is becoming interesting, especially Kopi Kenangan as one of the coffee chain market leaders has the potential to become the first unicorn in the near future. It is known that the company valuation has crossed nearly $900 million. This means that the market share is already that big and the business model adopted can be well received and scaled up even more.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan JIWA Group

JIWA Group Terima Pendanaan, Konsep “Grab & Go” Mengubah Lanskap Industri Kopi Lokal

Startup coffee chain “JIWA Group” atau dikenal dengan salah satu produknya Kopi Janji Jiwa, mengumumkan telah mendapatkan pendanaan dari Openspace dan Capsquare Asia Partners. Tidak disebutkan mengenai nominal investasi yang didapat, hanya saja disampaikan bahwa dana segar akan difokuskan untuk meningkatkan ekspansi bisnis. Terlebih kedua investor tersebut dinilai telah memiliki praktik terbaik di pasar value-chain lokal dan regional.

Sejak meluncur di tahun 2018, kini mereka telah menaungi 3 brand produk. Selain kopi, ada Jiwa Toast dan Jiwa Tea. Total ada sekitar 1000 outlet yang dioperasikan di 100 kota di Indonesia. Sepanjang 2021 ini, mereka mengatakan telah menjual 40 juta produk dengan peningkatan 2x lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Kami percaya brand JIWA yang kuat, penawaran produk yang unik, 1000 lokasi offline yang kuat, ditambah dengan meningkatnya penggunaan teknologi di semua elemen bisnis akan terus memantapkan posisinya sebagai pemimpin pasar,” ujar Executive Director Openspace Jessica Huang Pouleur.

Pengembangan teknologi dan strategi omnichannel

Menurut pemaparan Founder JIWA Group Billy Kurniawan, pertumbuhannya impresif yang didapat tak terlepas dari peran kanal digital. Termasuk penggunaan media sosial untuk engagement dengan pelanggan, hingga integrasi dengan platform online marketplace dan food delivery.

Mereka juga sudah meluncurkan aplikasi JIWA+, untuk mendukung model “grab & go” yang sejak awal menjadi khas Kopi Janji Jiwa. Pengguna bisa memesan menu dan membayar melalui aplikasi, kemudian bisa memilih opsi untuk ambil di outlet terdekat atau diantar ke lokasi. Di dalam aplikasi juga dibuat sistem loyalty untuk meningkatkan retensi pelanggan.

Selain meningkatkan operasi seperti menambah outlet, produk, warehouse, dan logistik, dengan dukungan dari para investor JIWA juga ingin mengakselerasi penggunaan teknologi. Fokusnya di beberapa area, seperti peningkatan pengalaman pelanggan, supply chain, dan mereduksi carbon footprint. Para founder juga memiliki misi untuk menjadi pemimpin industri untuk segmen F&B yang diberdayakan dengan teknologi, untuk selanjutnya masuk ke pasar Asia.

“Inovasi dan kepuasan pelanggan selalu menjadi bagian dari DNA Jiwa Group, memastikan kami tetap relevan dan berkelanjutan di industri F&B yang dinamis,” kata Billy.

Naik kelas bisnis F&B lewat digital

Menurut riset (MIX, 2020), 40% pelanggan kopi di Indonesia mulai beralih ke gerai grab & go. Permintaan ini didukung oleh pergeseran dari kopi instan, karena konsumen menginginkan minuman yang lebih berkualitas — serta memadukan dengan makanan ringan pelengkap. Menurut laporan yang dihimpun Statista, revenue dari bisnis kopi (roast coffee) akan mencapai $9,5 miliar di tahun ini. Diperkirakan akan mengalami pertumbuhan CAGR 9,76% sampai periode 2025.

Untuk menjaga tren pertumbuhan, para pemain industri memulai memanfaatkan kanal digital. Strategi tersebut dilakukan beriringan dengan peningkatan jumlah gerai. Konsep grab & go sendiri memang sangat bergantung dengan keberadaan gerai, kendati tidak sedikit yang hanya dijadikan tempat produksi (tanpa memiliki ruang untuk dine-in).

Aplikasi didesain untuk menghubungkan konsumen dengan outlet, membawa dari online menuju offline – atau sebaliknya. Model ini cukup efisien, karena perusahaan pun bisa memanfaatkan data yang didapat dari kebiasaan konsumen yang tercatat di aplikasi, sehingga dapat menyuguhkan produk dan layanan yang lebih sesuai dengan pangsa pasarnya. Dari sisi konsumen, adanya kemudahan dan value added menjadikan mereka mau untuk memanfaatkan aplikasi.

Para pemilik brand coffee chain terus berinvestasi mengembangkan teknologi. Selain memanfaatkan platform yang sudah ada, mereka juga membuat aplikasinya sendiri. Beberapa aplikasi bahkan menempati peringkat yang cukup signifikan. Berdasarkan pengamatan kami terhadap statistik Google Play per 05 November 2021, didapat data ini dari kategori Food and Drink:

Peringkat Aplikasi Unduhan Rating
6 Kopi Kenangan 1 juta+ 4,6
13 Boba Ceria 100 ribu+ 4,3
17 Chatime Indonesia 500 ribu+ 4,5
21 JIWA+ 100 ribu+ 4,7
22 ISMAYA 100 ribu+ 4,4
24 Fore Coffee 100 ribu+ 4,6
61 Flash Coffee 50 ribu+ 4,6
92 KULO 10 ribu+ 1,7

Didukung investor startup teknologi

Adopsi teknologi dalam model bisnis coffee chain menjadi perhatian tersendiri bagi investor. Dengan roadmap yang ada, para pemain mampu memberikan pembuktian dan proyeksi bisnis yang mengesankan – tidak hanya bisnis kopi saja, tapi F&B secara umum. Layanan berbasis food tech kemudian banyak terlahir dari inovator. Peluang pemanfaatan teknologinya sendiri memang menyeluruh, mulai dari supply chain bahan baku, untuk efisiensi operasional dan transaksi, hingga distribusi.

Dengan hipotesis masing-masing, saat ini beberapa pemodal ventura di Indonesia turut masuk ke industri tersebut, di antaranya:

Pemodal Ventura Portofolio
Alpha JWC Ventures Google, Hangry, Kopi Kenangan, Lemonilo, Mangkokku
East Ventures Fore Coffee, Greenly, Legit Group
AC Ventures Coffee Meets Bagel, Fore Coffee
Vertex Ventures Dailybox
Openspace Ventures JIWA Group
SALT Ventures Hangry, Shiru

Kendati demikian, model bisnis kopi juga terus berkembang di Indonesia. Tahun 2020 lalu, Jago Cofee memperkenalkan diri dengan mobile coffe chain. Alih-alih dengan outlet, mereka memanfaatkan mitra untuk mendistribusikan produk berkeliling dengan gerobak yang sudah disediakan dan didesain khusus. Sama, Jago juga turut memanfaatkan aplikasi untuk memudahkan pelanggannya menemukan mitra dan melakukan pemesanan.

Lanskap industri ini menjadi menarik, apalagi kini Kopi Kenangan sebagai salah satu pemimpin pasar coffee chain berpotensi akan menjadi unicorn pertama dalam waktu dekat. Diketahui valuasi mereka sudah menembus hampir $900 juta. Artinya pangsa pasarnya memang sudah sebesar itu dan model bisnis yang diadopsi bisa diterima dengan baik dan di-scale up lebih besar lagi.

Application Information Will Show Up Here

iSeller Secures 120 Billion Rupiah Funding, to Expand Business Coverage

POS developer startup iSeller announced a pre-series B funding worth of IDR 120 billion led by AppWorks and Openspace Ventures. Previous investors, Mandiri Capital Indonesia (MCI) and Indogen Capital, also participated in this round.

The fresh money will be used for business expansion to 50 cities in Indonesia, accelerate merchant acquisitions, and strengthen collaboration with important players, such as Grab. It is expected to boost the company’s performance up to 500% from the previous achievement.

iSeller‘s Founder and CEO, Jimmy Petrus said, compared to the Series A round last year, the company managed to achieve impressive growth this year, which is more than 300% year-on-year of merchant acquisitions and annual revenue.

“[..] Through the latest round, we are committed to continuously creating new innovations and updating products, technology, and infrastructure to be ready to reach millions of MSMEs in the process of accelerating digital transformation in Indonesia. We believe that the iSeller solution and ecosystem holistically will be able to take MSMEs to the next level,” Jimmy said in an official statement, Wednesday (13/10).

AppWorks’ Founder and Chairman, Jamie Lin said, “In just a few years, iSeller has been able to drastically improve MSME business efficiency and establish an excellent reputation. He assessed that iSeller has enormous potential to become the market leader for omnichannel-based business POS platforms.

Apart from iSeller, other AppWorks’ portfolios in Indonesia include HarukaEdu, Fabelio, and InfraDigital.

“[..] The dedication of iSeller’s founders make them incredibly powerful in the SaaS business, where continuous product innovation is required. We expect strong growth in the Point Of Sales sector and omnichannel-based business platform and this is already reflected in iSeller’s growth and performance,” Lin said.

Was founded in 2017, iSeller provides an easy-to-use and comprehensive POS system solution for merchants to sell on any platform – online, offline, marketplace. The company has ambitions to become a super app merchant in Indonesia, the same spirit with GoBiz, Gojek’s service unit.

“Using this funding, we are targeting 10x growth in 2022 by expanding our reach in Indonesia. As well as sharpening focus to provide solutions for retail, F&B, service, and lifestyle business lines, especially those that rely on the e-commerce market as their main source of income,” iSeller’s CCO, Kevin Ventura added.

The company recently launched a new product, iSeller Go for small-scale MSMEs to sell through online stores or combine offline sales through POS by utilizing existing technology like smartphones. Next, Marketplace Integration is a solution for business people who want to sell on various marketplace platforms without any hassle because sellers can manage all of their marketplace accounts through one iSeller web-admin.

It is said that there are hundreds of merchants have taken advantage of and implemented this feature in their business. Previously, the company was selected to be the official WhatsApp Business Partner in Indonesia to enter the social and chat commerce segment, the next generation of e-commerce services. “In the near future, iSeller will soon launch several new innovations in collaboration with Facebook,” Kevin said.

Currently, iSeller has been available in 10 cities outside Jabodetabek, such as Bandung, Bali, Medan, Surabaya, and Batam. The company claims to have proceed over a million transactions per month across all channels. The solution has been utilized by more than 60 thousand business players, including several premium businesses such as SOGO, OMNILUXE, MOI, Damn! I love Indonesia, IT Gallery, United Bike, Sinarmas Insurance, MOVI, HMNS, ASHTA, Lemonilo, and Peripera.

Omnichannel solution

This omnichannel-based solution is actually quite relevant. The research entitled “2020 Ecommerce Fulfillment Trends Report” revealed that 86% of the respondents, who are e-commerce merchants, sell their products on more than one channel. Some of them also sell through social media. In the future, 69% of merchants plan to continue to increase online sales channels.

In addition to iSeller, there have been several startups offered similar solutions, two of which are Clodeo and Jubelio.

According to a report by DSResearch with Mandiri Capital Indonesia, it was stated that there are three main problems often faced by SMEs in Indonesia related to Financial, Operational, and Expansion. SaaS service models like the one offered by iSeller have proven to contribute to business improvement, resolving these issues in an agile way.

Indonesian SaaS startups for business


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan Pra-Seri B iSeller

iSeller Raih Pendanaan Pra-Seri B 120 Miliar Rupiah, Siap Ekspansif Perluas Bisnis

Startup pengembang POS iSeller mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri B sebesar 120 miliar Rupiah yang dipimpin oleh AppWorks dan Openspace Ventures. Investor sebelumnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan Indogen Capital, turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Suntikan dana ini akan dimanfaatkan untuk melancarkan ekspansi bisnis hingga ke 50 kota di Indonesia, akselerasi akuisisi merchant, serta perkuat kolaborasi dengan pemain penting, seperti Grab. Langkah ini diharapkan dapat mendongkrak kinerja perusahaan hingga 500% dari pencapaian sebelumnya.

Founder dan CEO iSeller Jimmy Petrus mengatakan, dibandingkan saat putaran Seri A di tahun lalu, pada tahun ini perusahaan berhasil mencapai pertumbuhan yang impresif, yakni lebih dari 300% secara year-on-year pada jumlah akuisisi merchant dan annual revenue.

“[..] Melalui seri pendanaan terbaru ini, kami berkomitmen untuk terus menciptakan inovasi baru dan memperbaharui produk, teknologi, serta infrastruktur untuk siap menjangkau jutaan UMKM dalam proses akselerasi transformasi digital di Indonesia. Kami percaya solusi dan ekosistem iSeller secara holistik akan mampu membawa UMKM naik ke level berikutnya,” ucap Jimmy dalam keterangan resmi, Rabu (13/10).

Founder dan Chairman AppWorks Jamie Lin mengatakan, hanya dalam beberapa tahun, iSeller bisa dengan drastis meningkatkan efisiensi bisnis UMKM serta membentuk reputasi yang sangat baik. Ia menilai iSeller memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pemimpin pasar untuk platform POS bisnis berbasis omnichannel.

Selain iSeller, portofolio AppWorks lainnya di Indonesia meliputi HarukaEdu, Fabelio, dan InfraDigital.

“[..] Dedikasi yang diberikan membuat founder iSeller ini sangat luar biasa hebat di dunia SaaS bisnis, di mana inovasi baru berkelanjutan dalam sebuah produk sangat dibutuhkan. Kami memperkirakan akan adanya pertumbuhan yang kuat dalam sektor Point Of Sales serta platform bisnis berbasis omnichannel dan hal ini sudah tercermin dalam pertumbuhan dan kinerja iSeller,” ujar Lin.

Didirikan sejak 2017, iSeller menghadirkan solusi sistem POS yang mudah digunakan dan komprehensif untuk para merchant dapat berjualan di platform mana saja –online, offline, marketplace. Perusahaan berambisi menjadi merchant super app di Indonesia, ambisi yang sama digaungkan oleh GoBiz, unit layanan dari Gojek.

“Dengan adanya pendanaan ini, kami menargetkan pertumbuhan 10x di tahun 2022 dengan memperluas jangkauan kami di Indonesia. Serta meningkatkan fokus solusi pada lini bisnis retail, F&B, service, dan lifestyle, terutama mereka yang mengandalkan pasar e-commerce sebagai sumber pendapatan utama,” tambah Kevin Ventura selaku CCO iSeller.

Perusahaan baru-baru ini meluncurkan produk baru, yaitu iSeller Go untuk UMKM berskala kecil dapat berjualan melalui toko online atau menggabungkan penjualan offline melalui POS dengan memanfaatkan teknologi yang ada seperti smartphone. Berikutnya, Integrasi Marketplace sebagai solusi untuk para pebisnis yang ingin berjualan di berbagai platform marketplace tanpa repot karena seller bisa mengelola semua akun marketplace mereka melalui satu web-admin iSeller saja.

Diklaim ada ratusan merchant yang telah memanfaatkan dan menerapkan fitur ini pada bisnisnya. Sebelumnya, perusahaan terpilih menjadi WhatsApp Business Partner resmi di Indonesia untuk masuk ke segmen social dan chat commerce, generasi berikutnya dari layanan e-commerce. “Dalam waktu dekat, iSeller juga akan segera meluncurkan beberapa inovasi baru yang berkolaborasi dengan Facebook,” tandas Kevin.

Saat ini iSeller telah hadir di 10 kota, di luar Jabodetabek, seperti Bandung, Bali, Medan, Surabaya, dan Batam. Perusahaan mengklaim telah memroses lebih dari satu juta transaksi per bulan di semua saluran. Solusinya telah dimanfaatkan oleh lebih dari 60 ribu pelaku usaha, termasuk di antaranya beberapa bisnis premium seperti SOGO, OMNILUXE, MOI, Damn! I love Indonesia, IT Gallery, United Bike, Asuransi Sinarmas, MOVI, HMNS, ASHTA, Lemonilo, dan Peripera.

Solusi omnichannel

Solusi berbasis omnichannel ini saat ini memang cukup relevan. Riset bertajuk “2020 Ecommerce Fulfillment Trends Report” mengemukakan sebanyak 86% respondennya, yang merupakan merchant e-commerce, menjual dagangannya di lebih dari satu kanal. Tidak sedikit juga yang menjual melalui media sosial. Di waktu mendatang, 69% merchant berencana terus meningkatkan kanal-kanal penjualan online.

Selain iSeller, di Indonesia sejauh ini sudah ada beberapa startup yang coba jajakan solusi serupa, dua di antaranya Clodeo dan Jubelio.

Menurut laporan yang dilakukan DSResearch bersama Mandiri Capital Indonesia, disampaikan ada tiga permasalahan utama yang kerap dihadapi UKM di Indonesia, yakni terkait Financial, Operational, dan Expansion. Model layanan SaaS seperti yang dirilis iSeller telah terbukti memberikan sumbangsih pada peningkatan bisnis, menyelesaikan isu-isu tersebut secara gesit.

Layanan SaaS Startup Indonesia untuk Bisnis