Tag Archives: otomatisasi

Layanan Otomatisasi Microsoft Flow Kini Tersedia di Android

Bulan April kemarin, Microsoft meluncurkan sebuah layanan yang cukup menarik bernama Flow. Microsoft Flow pada dasarnya ingin menawarkan otomatisasi antara layanan atau aplikasi berbasis cloud, seperti misalnya Dropbox dengan Instagram, atau email dengan Google Drive.

Ya, Flow sebenarnya tidak terdengar asing di telinga kita. Pasalnya konsep yang ditawarkan sama persis seperti layanan bernama IFTTT (If This Then That), dimana pengguna bisa memilih atau membuat ‘resep’ aksi berdasarkan pemicu tertentu. Contohnya itu tadi, setiap kali Anda mengunggah foto ke Instagram, foto yang sama akan diunggah ke Dropbox secara otomatis.

Yang sedikit berbeda dari Microsoft Flow adalah integrasi sejumlah layanan seperti Office 365, MailChimp, GitHub dan sebagainya. Hal ini menjadikannya lebih ideal untuk kalangan enterprise, tapi pengguna rumahan pun juga bisa mengambil manfaat darinya, apalagi mengingat Microsoft baru-baru ini meluncurkan versi beta dari aplikasi Android-nya setelah sebelumnya merilis Flow untuk iOS.

Microsoft Flow di Android berfungsi untuk memonitor resep-resep (flow) yang Anda pakai, mengaktifkan atau mematikan masing-masing flow beserta melihat detail dari setiap flow yang dijalankan. Untuk membuat resepnya, Anda masih perlu mengakses Flow lewat web dan menyambungkan sejumlah layanan seperti akun email, Slack, Twitter, Google Drive dan lain sebagainya.

Microsoft Flow saat ini sudah bisa digunakan secara cuma-cuma dengan mendaftar di situsnya terlebih dulu sebagai beta tester. Aplikasinya sudah tersedia di Google Play, namun sejauh ini masih dalam status beta sehingga kemungkinan ada sejumlah bug.

Sumber: Android Authority.

Otomatisasi di Industri Teknologi, Sebuah Ancaman atau Peluang?

Foxconn dikabarkan telah memecat 60.000 pekerja di salah satu pabriknya dan menggantikannya dengan robot guna mempercepat laju pertumbuhan dan mengurangi biaya tenaga kerja. Menurut survei pemerintah, 600 perusahaan di pusat manufaktur Tiongkok, Kunshan, kemungkinan besar mengikuti jejak Foxconn dan menerapkan otomatisasi dan robotika dalam pabrik mereka.

Juru bicara Foxconn Xu Yulian mengatakan:

“Foxconn dapat menekan angka tenaga kerja dari 110 ribu orang menjadi 50 ribu orang saja berkat adanya robot. Dengan ini, Foxconn berhasil mengurangi pengeluaran untuk biaya tenaga kerja.” Yulian pun menambahkan, “Akan ada banyak perusahaan lain yang mengikuti langkah ini.”

Dorongan untuk menggantikan manusia dengan robot ini merupakan usaha untuk mempertahankan bisnis seiring dengan meningkatnya upah minimum buruh di Tiongkok. Meskipun Kunshan sendiri termasuk ke dalam kota dengan PDB (Produk Domestik Bruto) yang tinggi, tapi pada 2013-2014 PDB mengalami penurunan. Tampaknya, penurunan PDB dan kasus pabrik yang meledak pada tahun 2014 yang menyebabkan peningkatan investasi pada otomasi dan robotika dalam industri.

Tidak hanya soal penghematan biaya tenaga kerja saja, perubahan ini juga dilakukan sebagai respon terhadap ledakan yang terjadi di sebuah pabrik di Kunshan pada tahun 2014. Kabarnya, ledakan di pabrik manufaktur produk logam milik Taiwan itu disebabkan oleh kondisi kerja yang tidak aman.

Setelah ledakan yang menewaskan 146 jiwa tersebut, pemerintah setempat berjanji untuk mengurangi populasi penduduk dan menghentikan pengembangan lahan di Kunshan yang 46% bagiannya sudah dipenuhi oleh bangunan dan pabrik. Pemerintah pun berjanji untuk memberikan subsidi sebesar 2 miliar Yuan (setara Rp 4.1 triliun) per tahun untuk mendukung perusahaan yang akan menerapkan otomatisasi industri dan robotik pada lini produksi mereka.

Meskipun meratanya pekerjaan manufaktur turut menopang perekonomian Tiongkok dan membuat masyarakatnya bisa keluar dari garis kemiskinan, pada saat ini sebagian pekerjaan ini justru cenderung dialihkan ke India dan negara-negara lain yang menawarkan upah buruh yang lebih rendah. Indonesia pun sempat ramai dikabarkan menjadi tujuan tempat pengalihan pekerjaan ini. Foxconn sempat dikabarkan berniat untuk membangun pabriknya di Indonesia, meskipun sampai saat ini tampaknya rencana tersebut belum juga jadi dilakukan karena adanya masalah lahan.

Otomatisasi Industri di Dunia

Masa depan otomasi industri dan robotika kini sudah begitu dekat bagi berbagai perusahaan terbesar di dunia, yang kini lebih tertarik untuk menggunakan robot daripada mempekerjakan tenaga manusia. Di AS, mantan CEO McDonald USA Ed Rensi pernah mengatakan:

“Lebih murah membeli lengan robot seharga $35 ribu (setara Rp 475 juta) daripada membayar $15 (setara Rp 203 ribu) per jam untuk seorang karyawan yang tidak efisien dalam membungkus french fries.”

Para pendukung otomatisasi mengatakan bahwa pekerjaan yang akan dihilangkan adalah pekerjaan yang membuat tenaga kerja manusia sengsara. Dengan begitu dalam jangka panjang akan banyak posisi lain yang terbuka bagi tenaga kerja manusia.

Bagi Foxconn -yang banyak mengundang kontroversi karena kondisi pabriknya dan tingginya tingkat bunuh diri pada pekerjanya, robot merupakan solusi untuk memperbaiki persepsi buruk publik pada perusahaan tanpa harus meningkatkan kualitas hidup karyawan.

Dampak otomatisasi industri sendiri digambarkan dengan jelas pada rencana Foxconn yang diumumkan tahun 2014 lalu: Jika di Tiongkok pabriknya harus mempekerjakan ribuan karyawan, di Pennsylvania mereka hanya memerlukan beberapa lusin orang saja.

Menanggapi hal ini, sebagian orang berpendapat, jika memang pihak Foxconn berencana menerapkan teknologi otomatisasi secara besar-besaran, mengapa mereka tidak melakukannya juga di AS? Biaya produksinya dijamin akan bisa bersaing mengingat mereka bisa menekan berbagai pengeluaran biaya seperti biaya kirim dan penanganan.

Menanggapi pendapat ini, Terry Gou, CEO Foxconn berkomentar:

“Saya bisa saja mengotomatisasi pabrik di AS lalu mengirimkan [hasil produksinya] ke Tiongkok. Biaya produksinya pun masih bisa bersaing … Namun saya khawatir AS memiliki terlalu banyak pengacara. Saya tidak ingin menghabiskan waktu untuk orang-orang yang ingin menuntut saya setiap harinya.”

Rupanya, upah buruh bukanlah satu-satunya permasalahan. Hukum dan peraturan ketat di AS menjadi penghalang bagi Foxconn untuk menjalankan rencana mereka itu. Belum lagi banyaknya tekanan dari berbagai aktivis.

Namun, para ekonom sebenarnya lebih mengkhawatirkan bahwa otomatisasi industri ini bisa menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan secara drastis dan terjadinya ketidakstabilan ekonomi. Berdasarkan laporan dari Deloitte dan Oxford University, sebanyak 35 persen pekerjaan diprediksi akan diotomasi selama dua dekade ke depan. Selain itu, berdasarkan penelitian Carl Benedikt Frey dan Michael Osborne di tahun 2013, diperkirakan sekitar 50 persen dari pekerjaan akan lenyap dalam empat hingga lima dekade berikutnya.

Otomasi industri di Indonesia

Kini yang menjadi pertanyaan, apakah mungkin di Indonesia terjadi pemecatan massal dan otomatisasi industri seperti yang terjadi seperti di pabrik Foxconn, Tiongkok? Menurut saya, hal ini sangat mungkin terjadi, meskipun mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini. Apalagi akhir-akhir ini buruh semakin gencar menggelar demo untuk menuntut kenaikan UMR. Khawatirnya, hal ini bisa menjadi bom waktu yang berimbas pada pemecatan buruh secara besar-besaran untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi produksi. Selain itu, memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini, perusahaan lokal dituntut untuk meningkatkan produksi dan kualitasnya agar bisa bersaing di pasar terbuka ini. Dari segi investasi, menggunakan teknologi otomatisasi dan robotika dalam industri merupakan pilihan yang lebih menguntungkan, apalagi melihat harga robot yang semakin menurun.

Untuk saat ini, memang masih sedikit industri manufaktur di Indonesia yang menerapkan teknologi tersebut, mengingat besarnya biaya investasi awal yang diperlukan. Oleh karenanya, kebanyakan perusahaan yang sudah menerapkan teknologi ini adalah industri berskala besar. Namun untuk ke depannya, otomasi atau robotika di industri Indonesia merupakan hal yang tidak bisa terhindari lagi.

Peluang

Seperti diuraikan di atas, dengan semakin banyaknya otomatisasi yang dilakukan di industri teknologi, maka semakin banyak pula pekerjaan yang menghilang. Namun di satu sisi dampak dari hal ini adalah terciptanya peluang-peluang baru.

Agar otomatisasi ini semakin berkembang dan proses serta hasilnya bisa semakin baik, tentunya harus didukung oleh industri yang sejalan. Ini artinya akan banyak peluang untuk membuat bisnis di sekitar teknologi otomatisasi ini, yang otomatis berarti membuka lapangan pekerjaan baru.

Semoga saja di Indonesia ini juga berarti membuka peluang menjadi salah satu pemain di industri ini, tidak seperti yang sudah-sudah, yang kebanyakan hanya menjadi pasar saja.

Logo LabanaID

Microbot Push Ubah Hampir Semua Perangkat yang Dilengkapi Tombol Menjadi Perangkat Pintar

Waktu sudah menunjuk pukul 12 malam. Anda pun bergegas masuk ke dalam kamar untuk beristirahat karena besok pagi harus kembali bekerja. Sesampainya di kamar, Anda langsung rebahan di atas kasur. Eits, lampu lupa dimatikan. Rasanya malas sekali kalau harus beranjak dari kasur hanya untuk mematikan lampu.

Solusinya? Gunakan saklar pintar macam Belkin WeMo, atau sekalian saja beli bohlam pintar Philips Hue. Tentu saja ini bukan satu-satunya opsi, karena masih ada alternatif lain yang tak kalah menarik. Salah satunya adalah perangkat bernama Microbot Push ini.

Oleh tim pengembangnya yang bermarkas di Korea Selatan, Push dianggap sebagai sebuah jari robotik untuk menekan hampir seluruh tombol yang ada di dalam rumah Anda. Push memiliki misi untuk membawa hampir seluruh perangkat elektronik yang ada di dalam rumah masuk ke ekosistem smart home.

Microbot Push

Secara teori perangkat apapun yang dioperasikan via tombol bisa disulap menjadi perangkat pintar yang terhubung ke dalam jaringan oleh Push. Berkat konektivitas Bluetooth yang diusung Push, perangkat tersebut bisa Anda nyala-matikan menggunakan smartphone.

Jadi, dalam kasus di paragraf awal tadi, Anda bisa menempelkan dua buah Push di saklar lampu dengan isolasi bolak-balik – satu untuk mematikan, dan satu untuk menyalakan. Saat Anda sudah terlanjur rebahan, buka saja aplikasi pendamping Microbot Push di smartphone untuk mematikan lampu tersebut.

Microbot Push

Lalu bagaimana ketika Anda sedang tidak bersama smartphone kepercayaan? Apakah Anda harus melepas Push terlebih dulu lalu menekan tombol saklar secara manual? Tidak, karena permukaan atas Push juga dibekali panel sentuh kapasitif. Letakkan jari Anda di atasnya, maka Push akan langsung menekan tombol saklar, sama seperti ketika Anda menggunakan aplikasinya.

Menemani Microbot Push adalah sebuah hub bernama Prota Box. Hub ini sifatnya opsional, berfungsi untuk menghadirkan fitur otomatisasi pada Push berkat kemampuannya menyambung ke jaringan Wi-Fi. Fitur otomatisasi yang ditawarkan sejatinya mirip seperti yang ditawarkan platform IFTTT, dimana Anda bisa membuat berbagai ‘resep’ seperti “jika saya tiba di rumah, nyalakan lampu ruang tamu,” dan sebagainya.

Prota Box

Sejatinya Microbot Push bisa jadi langkah awal yang ideal untuk merasakan inovasi di era Internet of Things (IoT), apalagi mengingat baterainya bisa bertahan hingga sekitar 6 bulan dalam satu kali charge. Tidak ada salahnya memberikan kemampuan berkomunikasi pada perangkat-perangkat elektronik lawas kalau memang tujuannya baik dan bisa mempermudah aktivitas sehari-hari.

Kalau Anda tertarik, Anda masih harus bersabar sebelum Microbot Push siap untuk dipasarkan. Saat ini pihak pengembangnya baru menerima pesanan lewat laman crowdfunding di Indiegogo. Satu unit Microbot Push dihargai $39. Atau kalau mau yang satu paket, tersedia bundle 3 Microbot Push + 1 Prota Box seharga $199.