Tag Archives: otoritas jasa keuangan

Mengenal Skema Ponzi: Definisi, Ciri, dan Contoh, agar Terhindar Investasi Bodong

Beberapa waktu lalu jagat media sosial dihebohkan dengan beberapa aplikasi berkedok investasi yang ternyata memiliki modus penipuan. Investasi sebenarnya merupakan hal yang sangat penting, terlebih untuk tabungan masa depan kita. Walaupun begitu, kesalahan dalam memilih jenis investasi dapat menjadi suatu malapetaka. Seperti kata peribahasa, bukannya untung malah jadi buntung.

Oleh karena itu, kita sebagai investor harus waspada dengan modus investasi palsu. Dewasa ini, oknum penipu memiliki beragam cara untuk menjalankan rencananya. Salah satu jenis penipuan yang saat ini banyak beredar adalah skema ponzi. Aplikasi Binomo, salah satu aplikasi layanan yang kemarin mungkin sering nangkring di iklan YouTube kamu, ternyata sangat disayangkan terlibat dalam skema ponzi ini, lho.

Apa itu skema ponzi? Apakah kira-kira skema ponzi mirip dengan bisnis MLM? Berikut adalah pengertian, ciri-ciri, contoh skema ponzi, perbedaannya dengan MLM, beserta pandangan hukum pada skema ponzi. 

Pengertian Skema Ponzi

Ilustrasi kerugian akibat skema ponzi | Pexels

Menurut Bartoletti, M., Carta, S., Cimoli, T., dan Saia, R. (2020), skema ponzi adalah penipuan dalam bidang keuangan yang memikat penggunanya dengan janji return atau keuntungan yang tinggi. Padahal, pengguna hanya diberikan janji keuntungan dari uang yang didapatkan oleh penipu dari pengguna baru yang bergabung program yang ia jalankan. Oleh karena itu, skema ponzi biasanya akan bertahan dan terbongkar sampai tidak ada lagi pengguna baru yang bergabung.

Dengan tidak adanya anggota baru, tentunya tidak ada lagi modal yang dapat ditawarkan untuk menjanjikan keuntungan pada calon korban lain. Lama kelamaan, uang yang sudah tersimpan oleh penipu dapat dibawa kabur dan akhirnya terbukalah rahasia skema ponzi ini. Skema ponzi sudah ada sejak sekitar 150 tahun yang lalu melalui pertemuan tatap muka, kemudian modus penipuan berkedok investasi ini merambah hingga ke dunia digital.

Skema ponzi awalnya memanfaatkan platform berbasis internet seperti website, hingga saat ini menuju platform berbasis crypto currency seperti Bitcoin hingga disebut sebagai ponzi kripto. Platform pintar Ethereum banyak memberi peluang baru terhadap penipu ulung di bidang skema ponzi untuk mengembangkan skema jahatnya. Banyak dari penipu yang mampu menjerat banyak korban walaupun korban mengira bahwa ‘investasi’ yang mereka lakukan itu nampak terpercaya.

Sejarah Skema Ponzi

Ilustrasi skema ponzi salah satu investasi ilegal | Pexels

Dilansir menurut buku dari Kiyosaki, R. T. (2015), nama skema ponzi berasal dari Charles Ponzi, seseorang kebangsaan Italia dan juga merupakan seorang penipu ulung di tahun 1920-an. Charles Ponzi menawarkan skema bisnis dengan keuntungan hampir 50% dalam waktu 45 hari atau 100% hanya dalam 90 hari. Suatu hal yang sangat tidak mungkin dalam investasi yang aman pada umumnya.

Walaupun begitu, dengan mulut manisnya Charles mampu menggaet korban dengan jumlah cukup besar hingga ia mengantongi dana hasil tipuan sekitar 7 juta dollar AS. Bahkan, Charles meminta korbannya untuk memberikan testimoni positif sehingga banyak anggota baru yang tertarik bergabung dalam investasi abal-abalnya. Sampai akhirnya tidak ada lagi dana yang dapat ia putar sehingga korbannya pun curiga dan menuntut Charles.

Ciri-ciri Skema Ponzi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang mengatur seluruh aktivitas keuangan di Indonesia menghimbau masyarakat untuk waspada dengan modus penipuan yang sedang marak ini. OJK memberitahukan berbagai ciri dari skema ponzi yaitu sebagai berikut.

  1. Menawarkan return yang tinggi dalam waktu singkat dan seolah tidak memiliki risiko. 
  2. Proses bisnis dan investasi tidak jelas. Ketika kamu ditawari mungkin kamu akan bertanya-tanya dari mana bisnis ini mendapatkan uangnya untuk memberikan kamu return
  3. Produk investasi biasanya milik luar negeri
  4. Staf penjualan biasa mendapat komisi ketika dapat merekrut anggota baru
  5. Ketika investor ingin melakukan penarikan, investor akan diiming-imingi investasi lagi dengan bunga yang lebih tinggi
  6. Seringkali mengundang calon investor dengan tokoh masyarakat atau tokoh pemuka agama
  7. Pengembalian dana suka macet di tengah

Contoh Skema Ponzi di Indonesia

Ilustrasi skema ponzi sebagai salah satu investasi bodong | Pexels

Kasus investasi ilegal yang menimbulkan kerugian pada korbannya akhir-akhir ini makin marak terjadi. Hal yang semakin mengejutkan, ternyata bisnis ini secara terang-terangan mempromosikan ‘usaha’-nya supaya terlihat meyakinkan akan tetapi palsu itu. Berikut adalah contoh skema ponzi yang ada pada Binomo.

Contoh Skema Ponzi pada Binomo

Binomo merupakan salah satu aplikasi trading yang iklannya sempat sering sekali muncul di layar device kita. Investasi ilegal yang ditawarkan oleh Binomo dilakukan dengan menawarkan keuntungan besar dalam waktu singkat. Layanan trading ini memberikan iming-iming kepada masyarakat melalui afiliasinya yaitu Indra Kenz.

Indra Kenz mengajak khalayak publik untuk mengikuti jalannya dalam berinvestasi di Binomo. Ia melakukan klaim bahwa setelah berinvestasi di Binomo ia memperoleh berbagai barang mewah seperti mobil dan barang mahal lainnya. Hingga pada akhirnya, Binomo dilaporkan oleh salah satu investor yang merasa dirugikan senilai ratusan juta pada transaksinya di Binomo. Bareskrim Mabes Polri akhirnya membongkar modus penipuan Binomo dan menyatakan bahwa trading di aplikasi ini tidak terdaftar dan termasuk pada  layanan ilegal.

Skema Ponzi Vs MLM

Perbedaan utama yang dimiliki oleh skema ponzi dan bisnis MLM (multi-level marketing) adalah adanya produk nyata dari suatu usaha. Investasi ilegal skema ponzi memiliki proses bisnis atau produk yang tidak jelas. Sementara itu, bisnis MLM yang baik biasanya memiliki produk atau layanan yang benar-benar ada.

Skema ponzi tidak mewajibkan anggotanya untuk mengajak anggota baru. Di sisi lain, bisnis MLM kegiatan utamanya adalah untuk mengajak orang lain untuk menggunakan produk layanan yang perusahaan tawarkan. Jika kamu ditawari pekerjaan dengan basis MLM, kamu perlu memastikan bahwa perusahaan tersebut terdaftar secara legal ya!

Skema Ponzi Menurut Hukum di Indonesia

Praktik skema ponzi dan teman-teman penipuan finansial lainnya seperti skema piramida tentunya dilarang dan haram di manapun itu, karena merugikan korban secara material. Hanya saja, belum terdapat hukum khusus yang mengatur mengenai tindak investasi bodong seperti ini di Indonesia. Indonesia memiliki UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang membahas larangan Skema Piramida dalam dunia usaha.

Skema piramida hampir mirip sebenarnya dengan skema ponzi akan tetapi fokus keduanya berbeda.  Skema ponzi dan skema piramida sama-sama memberikan keuntungan kepada anggota lama ketika terdapat anggota baru. Akan tetapi, skema piramida fokus dalam memberikan bonus dan komisinya berdasarkan pada mitra yang dapat anggotanya ajak. Untuk itu, skema piramida akan membuat anggotanya mencari korban baru. Sementara itu, skema ponzi tidak mewajibkan anggotanya mengajak anggota baru. Skema ponzi lebih fokus terhadap investasi anggota, tingkatan return yang dijanjikan akan semakin besar ketika uang investasi yang disetorkan lebih besar juga.

Kasus skema ponzi oleh Binomo dengan Indra Kenz sebagai afiliasi sendiri dijerat dengan pasal tindak pencucian uang dan pelanggaran transaksi elektronik. Sayang sekali belum ada aturan hukum yang jelas terkait dengan praktik investasi nonlegal skema ponzi. Oleh karena itu, masyarakat perlu untuk selalu waspada apabila terlibat dengan investasi yang belum jelas asal-usulnya.

skema ponzi
Himbauan melaporkan tindak skema ponzi | Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Jangan ragu untuk melaporkan kasus layanan investasi yang mencurigakan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan selalu perkaya diri dengan literasi keuangan. Jangan mudah tergiur dengan keuntungan yang besar dalam waktu yang singkat. Semoga artikel ini dapat menambah pengetahuan kamu akan kasus investasi bodong yang sedang marak ini ya!

Referensi: 

Bartoletti, M., Carta, S., Cimoli, T., & Saia, R. (2020). Dissecting Ponzi schemes on Ethereum: identification, analysis, and impact. Future Generation Computer Systems, 102, 259-277.

Kiyosaki, R. T. (2015). Unfair Advantage Edisi Bahasa Melayu. PTS Professional.

CEO Modalku Reynold Wijaya dan CEO Investree Adrian A Gunadi yang merupakan pengurus Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) / DailySocial

Asosiasi Fintech Merasa “Diasingkan” OJK

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) merasa “diasingkan” oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika dibandingkan perlakuannya terhadap lembaga jasa keuangan lainnya. Hal itu dipicu pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pekan lalu (3/3), yang menuturkan penggunaan logo OJK tidak diperkenankan sebagai bentuk validasi kegiatan p2p lending.

Aftech menilai pernyataan Wimboh tersebut kontradiktif dengan POJK Nomor 77 Tahun 2016. Di dalam aturan tersebut, tepatnya pasal 35 ayat B, disebutkan bahwa perusahaan yang terdaftar harus mencantumkan logo OJK dalam kegiatan bisnisnya.

“Logo itu sejalan dengan POJK 77. Semua pemain yang terdaftar harus menampilkan logo. Bila melarang pencantuman logo, berarti bertolak belakang dengan landasan hukum yang diterbitkan oleh OJK sendiri,” ucap Wakil Ketua Aftech Adrian A. Gunadi, Selasa (6/3).

OJK berpendapat pelarangan pencantuman logo ini karena perusahaan fintech tidak dikategorikan sebagai lembaga keuangan. OJK tidak akan tanggung jawab jika nantinya ada perusahaan fintech yang bangkrut atau terjadi fraud.

Terkait hal tersebut, Adrian sepakat bahwa perusahaan p2p lending lebih tepat disebut sebagai penyedia layanan keuangan. OJK memang tidak menanggung risiko yang ditimbulkan kegiatan usahanya, namun pemain tetap memenuhi syarat dan ketentuan yang sama seperti lembaga keuangan formal yang telah beroperasi.

Contohnya perusahaan p2p lending diminta memenuhi standar setara ISO 27001 yang menjadi acuan perbankan.

“Saat susun POJK, perusahaan p2p lending jadi bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga keuangan formal, sebab dalam praktik bisnisnya kami tetap menstandarkan diri dengan lembaga keuangan yang sudah ada.”

Adrian melanjutkan, OJK sebaiknya memperketat pengawasannya daripada lepas tangan. Caranya dengan menguatkan aturan apa saja yang bisa didetailkan lewat aturan turunan untuk menentukan kesungguhan operasi dan kinerja sebuah usaha p2p lending.

Aturan turunan yang bisa ditelaah OJK adalah yang terkait dengan pembuatan tata kelola yang baik, transparansi transaksi, dan pelaporan yang melibatkan auditor independen.

Ada pula aturan tentang manajemen risiko yang tertata rapi untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha, juga untuk menekan angka NPL. Kontrol yang baik dari regulator, sambungnya, akan otomatis menyeleksi pelaku usaha yang tidak sungguh-sungguh.

“Kegiatan usaha yang diatur dan dilindungi oleh regulasi OJK justru menjaga pelaku tekfin dari kemungkinan menyalahgunakan dana masyarakat. Mengingat penyaluran dananya dipantau melalui mekanisme perbankan. Potensi kolaborasi fintech dan institusi keuangan lainnya bahkan terus meningkat dalam waktu dekat.”

Sentil bunga tinggi

Selain menyinggung soal pencabutan logo OJK, Wimboh juga menyentil pemberian bunga yang relatif lebih tinggi daripada perbankan, sehingga menjulukinya dengan sebutan rentenir. Sebutan inu ditolak mentah-mentah oleh Aftech.

Adrian bilang p2p lending tidak beroperasi seperti rentenir yang memberikan pay day loan (bunga harian) kepada nasabahnya. P2p lending hadir karena didasari semangat inklusi keuangan dan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap akses pinjaman dana.

Menurut Adrian, OJK perlu memahami lebih baik bahwa terdapat berbagai model bisnis fintech lending dengan segmentasi nasabah yang berbeda-beda. Dalam pemberian bunga, biasanya pemain merujuk pada tingkat bunga pinjaman bank atau lembaga keuangan lainnya.

Untuk fintech lending yang bergerak di usaha mikro seperti Amartha, benchmark-nya menggunakan BPR dengan standar bunga di kisaran 27%-28%. Sedangkan untuk lending di usaha menengah, seperti Investree, menggunakan benchmark di bank BUKU I dan II dengan kisaran bunga di kisaran 14%-15%.

“Sayang banget kalau OJK menggeneralisir. Bunga di p2p lending memang susah untuk ditentukan langsung oleh OJK karena segmen bisnis kami itu beda-beda.”

Bunga yang diberikan kepada penerima pinjaman, tidak masuk ke kantong perusahaan, melainkan langsung diterima pemberi pinjaman. Perusahaan lending itu sendiri hanya menerima pemasukan dari komisi yang berasal dari proyek yang berhasil didanai. Umumnya kisaran komisi yang diterima perusahaan sebesar 3%-5%.

“Kita dapat fee dari borrower untuk setiap proyek yang berhasil didanai, itu hak kita sebagai platform. Bunga kredit itu masuk langsung ke pemberi pinjaman.”

Aturan pembatasan bunga

Pasca disinggung OJK, Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech Reynold Wijaya menuturkan saat ini asosiasi sedang menyusun “Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab”. Rencananya pedoman ini akan dikeluarkan paling lambat April 2018 mendatang.

Dalam pedoman ini nantinya asosiasi akan menyepakati batas bunga pinjaman maksimal. Ada beberapa acuan yang dipakai untuk menentukan batas atas suku bunga kredit p2p lending, seperti bunga KTA di bank, multifinance, BPR, hingga bunga di bank BUKU I dan II.

“Kami akan buat cap pricing (batas bunga) berdasarkan subsektor. Misalnya batas (bunga) untuk kredit UMKM itu berapa persen dan untuk ke individu atau konsumen berapa persen,” ucap Reynold.

Dia melanjutkan, “Aftech terus berkomitmen dan bekerja secara intensif untuk mendukung terbentuknya regulasi yang bijak, baik dari sisi advokasi penyusunannya maupun dari sisi implementasi operasional, serta melakukan edukasi kepada publik agar mereka dapat bertransaksi dengan aman dan nyaman.”

OJK Siapkan Beleid Baru untuk Industri Fintech

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal kembali merilis beleid baru terkait industri fintech, rencananya aturan ini akan diumumkan pada 18 Januari 2018. Bersamaan dengan itu, OJK juga akan menerbitkan aturan untuk sektor keuangan lainnya seperti pasar modal untuk pendanaannya dan persoalan produk lindung nilai mata uang (hedging currency).

Terkait aturan baru soal fintech, sayangnya OJK masih tutup mulut hal apa yang akan diatur. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisioner OJK Wimboh Santoso.

[Baca juga: Rangkuman Perkembangan Lanskap Fintech Indonesia Sepanjang Tahun 2017]

“Kami concern masalah fintech, bagaimana pendalaman pasar keuangan dan pasar modal supaya lebih aktif lagi. Detailnya nanti [saat diumumkan],” kata Wimboh seperti dikutip dari Tempo.

Sejauh ini, OJK baru merilis satu aturan terkait fintech pada akhir 2016 untuk pemain p2p lending dengan model bisnis on balance sheet lending. Aturan turunan dari beleid tersebut baru membuahkan tiga surat edaran OJK. Satu di antaranya sudah disahkan mengenai Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada LPMUBTI.

Sementara, ada dua aturan lainnya masih berstatus rancangan mengenai Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan Penyelenggaraan LPMUBTI dan Penyelenggaraan LPMUBTI. Padahal, sebelumnya pihak OJK menuturkan bakal ada sekitar 14 aturan turunan dari POJK No 77/2016.

Kinerja industri p2p lending

Di samping itu, semenjak diberlakukannya POJK Fintech, OJK masih merampungkan proses pendaftaran pemain p2p lending untuk mendapatkan surat tanda terdaftar. Tercatat ada 27 perusahaan yang sudah mengantongi surat tanda terdaftar.

Mengutip dari Kompas, satu perusahaan berkantor pusat di Surabaya dan sisanya di Jakarta. Dilihat dari status badan hukumnya, sebanyak 19 perusahaan adalah perusahaan lokal dan 8 perusahaan asing.

OJK juga mencatat ada 87 perusahaan p2p lending yang sudah berkomunikasi dengan regulator terkait perolehan surat tanda terdaftar ini. Namun, dari yang sudah mengantongi surat tersebut, sekitar 32 perusahaan masih dalam proses mendaftar dan 8 perusahaan baru menunjukkan minat.

Secara industri industri, OJK mencatat jumlah pembiayaan yang telah disalurkan mencapai Rp2,26 triliun hingga November 2017. Dari angka tersebut disalurkan kepada 290.335 debitur.

Untuk mendorong pengembangan, pengaturan, dan pengawasan fintech di Indonesia, OJK sedang menyusun roadmap fintech untuk lima tahun ke depan. Tak hanya itu, OJK juga telah berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk membentuk Fintech Center di level nasional.

Fintech Center bertugas melakukan koordinasi agar penyelenggaraan kegiatan fintech tetap dapat tumbuh dan berkembang, namun dengan tidak melupakan aspek keamanan dan perlindungan konsumen.

Rangkuman Perkembangan Lanskap Fintech Indonesia Sepanjang Tahun 2017

Fintech tetap menjadi sektor primadona sepanjang tahun ini. Dalam pemberitaan DailySocial, tercatat ada 91 investasi yang diumumkan dengan rincian 32 startup mendapat investasi tahap awal (seed), 29 startup dapat seri A, dan 9 startup dapat seri B. Sektor startup yang paling banyak menerima investasi adalah fintech sebanyak 29 startup, 14 startup e-commerce, dan 9 startup media, sisanya adalah sektor lainnya.

Karena menjadi primadona, pergerakan isu seputar fintech pun sangat dinamis membuat pemahaman inovasi membelakangi regulasi sering terjadi. Mau tak mau, dua otoritas yang mengurusi sektor ini, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan banyak gebrakan untuk mengawal perkembangan fintech dengan meluncurkan kebijakan baru.

Ditambah setidaknya dalam seminggu selalu ada pemberitaan seputar fintech entah itu mengenai peluncuran startup fintech baru, penambahan fitur, kerja sama bisnis, akuisisi perusahaan, bahkan ada juga yang gulung tikar.

DailySocial mengompilasi rangkuman pemberitaan menarik seputar fintech yang terjadi sepanjang tahun ini. Berikut tulisannya:

Regulasi

Kendati teknologi berjalan sangat dinamis, akan tetapi selalu ada payung hukum di atasnya. Sepanjang tahun ini BI masih disibukkan dengan regulasi seputar sistem pembayaran, sementara OJK masih fokus membuat aturan turunan dari POJK No 77/2016 tentang p2p lending.

BI kian ketat dalam memberi izin lisensi uang elektronik, lantaran kini pengajuan tidak hanya dari perusahaan berbasis keuangan saja, tapi bisa dari perusahaan non keuangan seperti layanan e-commerce. Hal ini terjadi pada BukaDompet (Bukalapak), Tokopedia (TokoCash), ShopeePay (Shopee), dan PayTren yang sampai berita ini diturunkan belum menerima restu dari bank sentral sejak September 2017.

GrabPay (Grab) pun sempat terkena penangguhan, sampai akhirnya sembari menunggu izin keluar, mereka memanfaatkan lisensi yang sudah dimiliki OVO untuk melakukan kerja sama (Desember 2017).

Tidak hanya soal pemberian izin lisensi, BI juga mengeluarkan kebijakan baru bahwa seluruh pemain fintech yang bermain di ranah sistem pembayaran kini harus terdaftar di BI. Setidaknya ada empat kriteria jenis usaha yang wajib mendaftar, yakni uang elektronik, alat pembayaran menggunakan kartu (kartu ATM, debet, dan kredit), penyelenggara transfer dana, dan penyelenggara pemrosesan transaksi pembayaran (di dalamnya terdapat payment gateway, dompet elektronik, dan penyelenggara switching).

Soal bitcoin, BI makin matang melarangnya untuk digunakan sebagai alat transaksi di Indonesia. Tentunya, pelarangan ini belum berlaku untuk orang-orang yang memanfaatkan bitcoin sebagai produk investasi. Hanya saja, BI tidak ingin menanggung segala risikonya bila terjadi suatu masalah.

Meski terkesan melarang bitcoin, tapi BI mengaku tidak sepenuhnya anti terhadap teknologi bitcoin yang menjadi dasar beroperasinya cryptocurrency. BI malah sedang berencana untuk melakukan uji coba teknologi tersebut pada tahun depan (Oktober 2017).

Sementara itu, BI juga meresmikan gerbang pembayaran nasional (GPN) (Desember 2017). Sistem ini membuat semua transaksi dalam negeri harus di-routing dalam negeri, menggeser peranan perusahaan switching dari luar negeri seperti Visa dan Mastercard. GPN juga didorong untuk mengefisienkan beban transaksi yang dibebankan ke konsumen dan pelaku usaha.

Inovasi bisnis

Dari segi inovasi bisnis, karena semakin banyak pemain yang mulai melirik sektor ini maka kompetisinya pun makin sengit. Inovasi semakin dituntut dalam hal ini. Pemain e-commerce skala besar seperti Bukalapak dan Tokopedia berlomba-lomba menghadirkan produk berbasis fintech dalam platformnya.

Tokopedia, misalnya banyak melakukan kerja sama dengan pemain fintech untuk pinjaman modal, pinjaman online, kartu kredit hingga asuransi (Januari 2017). Bukalapak tak mau kalah, di bulan yang sama, perusahaan ini menghadirkan terobosan yang bisa dikatakan sangat menarik karena menghadirkan BukaReksa, untuk dorong penggunanya berinvestasi di reksa dana.

Tidak berhenti di situ, Bukalapak juga meluncurkan layanan BukaEmas untuk dorong investasi emas. Mereka bekerja sama dengan IndoGold sebagai mitra eksklusif (Juni 2017). Kehadiran BukaEmas, mendorong pemain lainnya seperti Orori menghadirkan layanan serupa e-mas (September 2017), dan aplikasi jual beli emas berbasis syariah Tamasia juga meluncur (Oktober 2017).

Pelaku usaha lainnya, Bank DBS meluncurkan aplikasi perbankan online Digibank yang dikhususkan menyasar kalangan millenial sebagai nasabahnya (Agustus 2017). Digibank hampir mirip dengan aplikasi perbankan yang dibuat BTPN (Jenius).

Bank Commonwealth meresmikan platform perbankan onboarding Tyme Digital (Agustus 2017) untuk pembukaan rekening dan kantor digital sebagai bentuk komitmen untuk bertransformasi ke digital (Oktober 2017).

Masih berkaitan dengan inovasi bisnis, Salim Group merealisasikan komitmen untuk membangun bank digital dengan mengakuisisi 55% saham Bank Ina Perdana (Mei 2017). Grup konglomerasi ini ingin memfokuskan Bank Ina ke layanan e-payment untuk bisnis online.

Masih di dunia perbankan, bank besar berlomba-lomba menggaet startup fintech salah satunya dengan mendirikan modal ventura. BCA mendirikan Central Capital Ventura dengan menyuntikkan modal awal Rp200 miliar (Januari 2017), BRI tak mau kalah. Bank pelat merah ini akuisisi Bahana Artha Ventura (Oktober 2017).

Sementara, BNI mengaku masih mengkaji apakah ingin akuisisi atau organik jadi kemungkinannya akan diumumkan pada tahun depan. Bank Mandiri dengan Mandiri Capital-nya sejauh ini telah menyuntikkan ke tujuh startup fintech, di antaranya Moka, Amartha, PrivyID, dan Cashlez.

Gejolak bisnis

Di tengah perebutan lisensi uang elektronik, Indosat Ooredoo justru memilih untuk mundur dari fintech dan mengalihkan lisensi Dompetku untuk dialihkan ke PayPro (April 2017). Dompetku jadi satu dari sekian banyak produk digital yang satu per satu ditutup Indosat sampai akhirnya menutup penuh dan memilih kembali ke titah sebagai operator telekomunikasi (Juni 2017).

Operator lainnya memilih langkah yang sama, XL Axiata memilih untuk menjual Elevenia ke Salim Group. Sementara XL Tunai hingga kini masih tetap beroperasi. Telkomsel sedikit berbeda, tetap menjalankan produk digital dan layanan e-money T-Cash.

Malah hingga kini, T-Cash terus unjuk gigi sampai akhirnya Telkomsel memilih untuk memisahkan divisi T-Cash jadi perusahaan tersendiri. Serta, bakal memilih untuk jadi platform agnostik yang bisa dimanfaatkan di luar pengguna Telkomsel (Desember 2017).

Masih soal lisensi e-money, saking pentingnya lisensi ini membuat Emtek Group mengakuisisi dua perusahaan e-money Doku dan Espay (Mei 2017). Sambil mengembangkan bisnis fintech, Emtek juga mengakuisisi sebagian saham Bareksa lewat pemegang saham dari Doku (April 2017).

Di bulan yang sama, Emtek juga bekerja sama dengan Ant Financial mendirikan perusahaan patungan untuk mengerjakan produk DANA hasil implementasi dari Alipay di Indonesia. DANA sudah hadir secara eksklusif di platform messaging BBM.

Setelah drama ditangguhkannya GrabPay oleh BI, Grab pun tidak mau diam begitu saja. Dengan memanfaatkan lisensi yang dimiliki sister company, OVO, akhirnya GrabPay kembali berfungsi.

Komitmen Grab yang ingin mengembangkan GrabPay, terlihat dengan mengakuisisi penuh Kudo, rumor ini sudah beredar sejak Februari 2017, hingga akhirnya resmi diumumkan pada April 2017. Kudo menjadi kendaraan Grab untuk memperoleh lisensi uang elektronik, lantaran secara teknologinya sudah comply dengan persyaratan dari BI.

Di sisi lain, Go-Jek dengan mengakuisisi MV Commerce berhasil melenggang dan ‘asyik’ mengembangkan fungsionalitas uang elektroniknya tersebut dengan menghadirkan banyak fitur dalam aplikasi Go-Jek. Misalnya, menghadirkan Go-Points (Februari 2017) dan Go-Bills (November 2017).

Dengan Go-Pay, Go-Jek ingin membawa layanannya ini lebih jauh, keluar dari ekosistemnya sendiri dan bisa dimanfaatkan untuk semua orang. Inisiasi ini melahirkan tiga akuisisi penuh Go-Jek untuk tiga perusahaan fintech, Midtrans, Kartuku, dan Mapan. Kendati akuisisi ini belum dapat restu dari BI, lantaran Go-Jek belum mengajukan izin akuisisi (Desember 2017).

Baik Grab maupun Go-Jek jadi perusahaan yang cukup sengit dalam hal inovasi. Dengan bantuan modal dari investor dan jaringan dari sister company-nya, membuat keduanya bergerak cepat dalam berinovasi. Padahal, awalnya kedua perusahaan tersebut berbasis aplikasi ride hailing, kini menjelma jadi perusahaan yang bersinggungan dengan dunia keuangan.

Dari sisi startup fintech, UangTeman mengaku akan pivot sepenuhnya menjadi perusahaan p2p lending pasca mengantongi surat tanda terdaftar sebagai pemain p2p lending dari OJK. Pengalihan bisnis ini dimulai pada tahun depan (Desember 2017).

Kinerja industri

P2p lending menjadi salah satu sektor fintech yang paling banyak bermunculan pemain barunya sepanjang tahun ini. Menurut data OJK, hingga Agustus 2017 telah menyalurkan Rp1,44 triliun tumbuh 496,51% secara year-to-date (ytd). Angka ini didapat hasil akumulasi 22 perusahaan p2p lending yang telah mengantongi surat tanda terdaftar.

Penyaluran terbesar masih berasal dari Pulau Jawa dengan porsi 83,2% dan sisanya dari luar Pulau Jawa. Total peminjamnya mencapai 120.174 peminjam, sementara total pemberi pinjamannya mencapai 48.034 pemberi.

Berdasarkan data BI, transaksi uang elektronik volumenya mencapai 600,5 juta transaksi senilai Rp8,76 triliun. Angka ini didapat dari hasil akumulasi 26 perusahaan yang sudah memperoleh lisensi e-money dari BI.

Unduh juga laporan perkembangan layanan fintech di Indonesia tahun 2017: klik di sini.

Fintech’s POJK Derivative Regulation: “Escrow Account” Is an Issue

In OJK’s Hearing Meeting (RDP) held on (11/22), to get viewpoint from industry related to derivative regulation draft (SE) of POJK No 77/2016 regarding the Implementation of IT-based Money Lending Service (LPMUBTI), one of the interesting point for industry player is the limit of escrow account and virtual account usage for organizers. Industry players propose the extension of p2p lending for escrow account users to 60 days, or a removal.

In POJK’s circular letter, mentioned the user’s maximal fund placement period which can not be used for money lending transaction to escrow account is seven working days.

Escrow account is a bank checking account on organizer’s name which is a deposit for specific purposes of debit and credit transaction from and to the IT-based money lending service users.

The organizer has no right to collect money from users in the form of deposit to escrow account as banking regulation.

Reynold Wijaya, Modalku’s CEO and Co-Founder, said regarding escrow account regulation, it is not beneficial for the p2p lending industry player. Changing it into 60 days will certainly give space for industry players.

For him, if the time extended, regulators are worried about money laundry. However, with that purpose, he’s afraid it is not possible. As no one wants to deposit money on escrow account without any interest.

“For seven days, is not an ideal period. This industry might not be growing,” he said.

As for banking also against the regulation. In seven days, they must divert funds to other banks. It will surely affect bank liquidity.

He added, the p2p lending business is 100% under the banking system. Therefore, he finds the regulator doesn’t need to add industry-burdening rules.

“p2p lending is alive by regulation but we can also drown by regulation. Please notice whether there is any objection”

Dickie Widjaja, Investree’s CIO said similar thing. For him, if there is any concern of inactive lender, a time-limit is necessary. However, whether regulator wants to set a limit, 60 days is enough.

Collecting Opinions

Related to industry player about escrow account, Hendrikus Passagi, OJK’s Organizing, Licensing and Controlling Director said the regulator will accommodate and consider some provisions which potentially burden the industry players.

“We always put transparent regulation of OJK. Every chapter we made always asks for player opinions. The existing draft has gone through a long process” he said.

From POJK fintech, at least six regulation will be included in the circular letter(SE). Regulator expects to complete all regulations no later than the end of this year.

“If the spirit is one [between regulator and industry players], OJK’s circular letter can be finished. If you asking how fast, as soon as possible, yes”

At least two new drafts is being asked for public opinion. First, on LPMUBTI’s implementation. Second, on LPMUBTI’s Registration, Licensing and Institutions.

A few discussed points in the LPMUBTI’s circular letter, among others are borrowing procedures and IT-based money lending service’s contract, risk mitigation, consumer protection and resolution mechanism.

Meanwhile, discussed points in LPMUBTI Registration, Licensing and Institution’s circular letter includes the requirements and procedures for organizer’s permission of registration, licensing as well as revocation of business license and ownership changes.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Aturan Turunan POJK Fintech: “Escrow Account” Jadi Isu

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diadakan OJK, (22/11), untuk meminta masukan dari pelaku industri terkait draf aturan turunan (SE) dari POJK No 77/2016 tentang Penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis TI (LPMUBTI), salah satu poin yang cukup menyita perhatian pelaku industri adalah batasan penggunaan escrow account dan virtual account bagi penyelenggara. Pelaku industri mengusulkan penggunaan escrow account dalam praktek p2p lending untuk diperpanjang jadi 60 hari atau dihapuskan.

Dalam draf surat edaran POJK, disebutkan jangka waktu maksimal penempatan dana dari pengguna yang tidak digunakan untuk transaksi pemberian pinjaman pada escrow account tidak melebih tujuh hari kerja.

Escrow account merupakan rekening giro di bank atas nama penyelenggara yang merupakan titipan dan digunakan untuk tujuan tertentu yaitu penerimaan dan pengeluaran dana dari dan kepada pengguna jasa penyelenggara pinjam meminjam uang berbasis TI.

Penyelenggara dilarang melakukan penghimpunan dana dari pengguna dalam bentuk simpanan pada escrow account sebagaimana diatur dalam aturan di perbankan.

CEO dan Co-Founder Modalku Reynold Wijaya menuturkan pihaknya merasa aturan escrow account tersebut dinilai kurang menguntungkan bagi pemain industri p2p lending. Setidaknya kalau bisa diubah menjadi 60 hari, tentunya akan memberi kelonggaran bagi pelaku industri.

Sebab menurutnya, jika waktu diperpanjang, regulator memang mengkhawatirkan terjadi risiko pencucian uang. Akan tetapi, jika tujuannya demikian, dia berpandangan itu tidak mungkin dilakukan. Pasalnya, tidak mungkin orang ingin mengendapkan uang di escrow account yang tidak memiliki bunga sama sekali.

“Kalau tetap tujuh hari, menurut saya kurang ideal. Bisa-bisa industri ini tidak bisa tumbuh,” katanya.

Sisi perbankan pun juga kurang setuju mengenai aturan tersebut. Sebab dalam kurun waktu tujuh hari, mereka harus mengalihkan dana ke bank lain. Tentunya hal tersebut akan mempengaruhi likuiditas perbankan.

Dia menambahkan, bisnis p2p lending itu sudah 100% tunduk di bawah sistem perbankan. Sehingga, mau tak mau mereka harus mematuhi aturan perbankan yang berlaku. Oleh karenanya, dia merasa regulator tidak perlu menambah aturan yang dinilai memberatkan industri.

“P2p lending itu hidup karena regulasi, tapi kita juga bisa mati karena regulasi. Kalau ada sesuatu yang menghambat coba diperhatikan lagi.”

Hal senada diungkapkan CIO Investree Dickie Widjaja. Menurutnya, apabila memang ada kekhawatiran lender tidak aktif, memang perlu pembatasan jangka waktu. Namun dia merasa, bila regulator memang ingin memberi batasan, 60 hari adalah jangka waktu yang cukup.

Kumpulkan masukan

Terkait usulan pelaku industri mengenai escrow account, Direktur Pengaturan, Perijinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan regulator akan menampung dan mempertimbangkan beberapa ketentuan yang berpotensi memberatkan pelaku industri.

“Dari OJK yang selalu kami kedepankan adalah buat aturan yang transparan. Setiap pasal yang kami buat selalu undang pelaku untuk memintai masukannya. Draf yang ada saat ini sudah melewati hasil diskusi yang panjang,” ujarnya.

Dari POJK fintech, menurutnya setidaknya bakal ada enam aturan turunan yang tertuang dalam bentuk surat edaran (SE). Regulator berharap dapat menyelesaikan seluruh aturan turunan tersebut sesegera mungkin sampai akhir tahun ini.

“Kalau semangatnya sama [antara regulator dan pelaku industri], SE OJK ini bisa selesai tahun ini. Kalau ditanya seberapa cepat, ya sesegera mungkin.”

Setidaknya baru ada dua draf yang sedang dimintai masukan oleh publik. Pertama, mengenai Penyelenggaraan LPMUBTI. Kedua, mengenai Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan LPMUBTI.

Poin-poin yang dibahas dalam SE Penyelenggaraan LPMUBTI, antara lain tata cara pinjam meminjam serta kontrak dalam penyelenggaraan layanan pinjam meminjam berbasis TI, mitigasi risiko, perlindungan konsumen, dan mekanisme penyelesaian sengketa.

Sementara, poin yang dibahas dalam SE Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan LPMUBTI meliputi persyaratan dan tata cara permohonan pendaftaran, perizinan, persetujuan penyelenggara, serta pencabutan izin usaha dan perubahan kepemilikan.

Equity crowdfunding, jika aturannya disahkan, bisa menjadi alternatif startup mencari pendanaan

OJK Kaji Penerbitan Beleid “Equity Crowdfunding”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan sedang mengkaji penerbitan beleid equity crowdfunding sebagai alternatif investasi untuk perusahaan startup.

Equity crowdfunding adalah alternatif pendanaan dari sejumlah orang unuk membiayai suatu perusahaan atau proyek. Investor akan mendapat pengembalian imbal hasil berupa saham perusahaan hingga kompensasi.

Direkur Grup Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro OJK Fithri Hadi mengatakan aturan ini sebanarnya sudah dalam berbentuk draft. Hanya saja, masih perlu melalui tahap diskusi publik dengan berbagai pihak sebelum direalisasikan berbentuk POJK.

Target dari pemberlakuan beleid ini pun jadi tidak bisa ditentukan. Kemungkinan besar, baru dirilis tahun depan karena prosesnya yang panjang.

Melindungi investor

Ada sejumlah poin yang dibahas dalam beleid tersebut, di antaranya model bisnis perusahaan dari equity crowdfunding, mitigasi risiko, penggunaan teknologi, pengelolaan data, dan pengamanan sistem teknologi.

“Jadi dari mitigasi risikonya, bagaimana nantinya investor terlindungi. Setelah beli, dia punya secondary market, jangan sampai jualnya [sahamnya] susah,” terangnya, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Regulator ingin memastikan jual beli saham di dalam equity crowdfunding ini menarik bagi pasar. Harapannya supaya mereka tidak sulit bila ingin menjual sahamnya ke pelaku pasar lain.

Mitigasi lainnya yang ingin disasar OJK adalah berupa penjaminannya. Apakah model ini akan mencontoh ke aturan pasar modal yang berlaku saat ini, ada perusahaan kliring penjaminan atau dilepas ke model lain.

Terkait hal tersebut, Fithri mengaku belum berdiskusi lebih lanjut dengan Bursa Efek Indonesia (BEI). Belum ada kepastian apakah manajemen equity crowdfunding akan digabung atau tidak ke ranah BEI.

Namun yang pasti, beleid ini tidak akan seketat atau disamakan dengan perusahaan yang melakukan penawaran umum saham perdana (IPO). Perusahaan sekelas startup dapat dimudahkan dalam mencari opsi tambahan permodalan lewat penerbitan beleid tersebut.

“Misalnya ukuran size. Kemudian yang lain bagaimana kalau investornya cross border, nah itu yang susah kalau tradisional.”

Lebih lanjut, Fithri menuturkan, model pencarian dari lewat equity crowdfunding sudah diterapkan di beberapa negara, seperti Inggris dan Kanada. Dengan begitu, regulator akan mencontoh model yang sudah dijalankan di negara tersebut.

“Inggris kan memang sebagai pusat keuangan di dunia nomor satu ya jadi dengan perkembangan tren teknologi, uang ini kan seperti tanpa batas karena jadi barang digital,” pungkas Fithri.

Pemain P2P Lending Telah Kucurkan Pinjaman Rp1,44 Triliun Hingga Agustus 2017

Data statistik internal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut jumlah dana yang telah disalurkan oleh pemain peer-to-peer (P2P) lending mencapai Rp1,44 triliun, tumbuh 496,51% atau senilai Rp242,48 miliar secara year-to-date (ytd) dibandingkan posisi pada Desember 2016. Angka perolehan tersebut merupakan akumulasi 22 perusahaan P2P lending yang telah mendapat surat tanda terdaftar dari OJK.

Kenaikan penyaluran pinjaman, menurut Hendrikus Passagi selaku Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK, dipicu makin dikenalnya perusahaan p2p lending sebagai alternatif pemberi pinjaman sekaligus instrumen instrumen baru yang memiliki tingkat pengembalian yang kompetitif.

Selain itu, hal ini juga dipicu peningkatan kepercayaan konsumen terhadap status sektor usaha tersebut. Lantaran sudah diawasi oleh regulator dan memiliki regulasi yang mengatur aturan mainnya.

“Kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan P2P lending meningkat, tercermin dari hasil kinerja yang dicapai teman-teman kita,” terangnya saat diskusi panel yang diselenggarakan Modalku, kemarin (27/9).

Bila ditelusuri lebih dalam, dari total penyaluran tersebut mayoritas berasal dari Pulau Jawa dengan porsi 83,2% atau senilai Rp1,2 triliun. Sisanya, dikucurkan untuk peminjam di luar Pulau Jawa senilai Rp242,75 miliar.

Yang menarik, penyaluran untuk luar Pulau Jawa bila dibandingkan secara ytd mengalami pertumbuhan yang cukup drastis yakni 1694,98% dari sebelumnya Rp13,52 miliar. Ini menandakan masyarakat luar Pulau Jawa mulai melirik pinjaman dari perusahaan P2P lending sebagai alternatif sumber dana. Tingkat kepercayaannya pun mulai bertambah.

Bila dilihat dari total peminjam (borrower), angkanya mencapai 120.174 peminjam, tumbuh 136,27%. Porsi peminjam dari Pulau Jawa masih mendominasi dengan persentase 94,79% dengan angka 113.912 peminjam. Sisanya, sebanyak 6.145 berasal dari luar Pulau Jawa.

Adapun untuk pemberi pinjaman, hingga Agustus 2017 mencapai 48.034 orang, tumbuh 295,5%. Mayoritas dikuasai oleh pemberi pinjaman dari Pulau Jawa sebanyak 39.706 dan dari luar Pulau Jawa sebanyak 7.918.

Proses pendaftaran masih berlanjut

Selain memaparkan kinerja pemain P2P lending, Hendrikus juga mengungkapkan sebanyak 35 perusahaan tengah memproses permohonan pendaftaran. Sementara, yang menyatakan berminat sebanyak 22 perusahaan. Hingga kini, OJK telah memberikan surat tanda terdaftar ke 22 perusahaan.

Bila dirinci secara lokasi, dari 22 perusahaan terdaftar, 21 perusahaan diantaranya memiliki kantor yang berlokasi di Jabodetabek, sementara sisanya bertempat di Surabaya. Adapun dilihat dari status kepemilikan usaha, 14 perusahaan merupakan perusahaan milik lokal, sementara 8 perusahaan adalah milik asing.

OJK sendiri sebenarnya memutuskan untuk memperpanjang proses pendaftaran kepada pemain P2P lending sampai akhir tahun ini, dari batas waktu yang ditentukan pada tahap awal sampai 29 Juni 2017 sesuai isi POJK Nomor 77 Tahun 2016.

Setelah menerima surat tanda bukti terdaftar, dalam jangka waktu maksimal satu tahun perusahaan harus menaikkan modal disetor menjadi Rp2,5 miliar untuk mendapatkan izin usaha.

Laporan OJK: Modal Ventura Konvensional Realisasikan Kucuran Investasi Sebesar Rp6,75 Triliun Hingga April 2017

Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan hingga April 2017, perusahaan modal ventura konvensional telah merealisasikan investasi sebesar Rp6,75 triliun. Namun, angka tersebut turun dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 11,51% atau senilai Rp7,52 triliun.

Dari total investasi, pemain modal ventura kebanyakan memberikan investasi berbentuk pembiayaan bagi hasil senilai Rp5,06 triliun, menempati porsi sebanyak 75,07%. Kemudian, berbentuk penyertaan saham sebanyak Rp1,12 trilun dan obligasi konversi Rp563 miliar.

Adapun sektor pembiayaan yang banyak menerima investasi adalah perdagangan, restoran, dan hotel dengan total Rp2,95 triliun. Lalu, diikuti oleh sektor pertambangan Rp955 miliar, dan pertanian, perikanan dan kehutanan Rp739 miliar.

Total aset yang dihimpun oleh 62 perusahaan modal ventura lokal yang tercatat oleh OJK sebesar Rp9,99 triliun, dengan liabilitas Rp5,51 triliun, dan ekuitas Rp4,48 triliun.

Dorong keterbukaan

Bila mengacu pada total keanggotaan yang tercatat di Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) sebanyak 85 perusahaan. Sekitar 61 anggota diidentifikasikan sebagai PMV konvensional, sementara sisanya memilih untuk merahasiakan investasinya.

Dikutip dari DealStreetAsia, Ketua Amvesindo Jefri Sirait mengatakan dalam jangka pendek asosiasi memiliki misi untuk membuat perusahaan modal ventura untuk lebih terbuka satu sama lain, terutama berkaitan investasi. Menurutnya, hal ini penting agar setiap orang bisa mendapatkan gambaran realistis tentang apa yang terjadi di lapangan, namun menjadi sulit.

Beda definisi

Khitah modal ventura adalah adalah perusahaan investasi dalam bentuk pembiayaan berbentuk penyertaan modal untuk perusahaan swasta sebagai investee untuk jangka waktu tertentu. Namun, di Indonesia, konsep bisnis ini lambat laun bergeser karena berbagai alasan.

Misalnya, sumber dana yang mismatch, menyebabkan bunga pinjaman jadi lebih tinggi dari perbankan, dan alasan lainnya. Sehingga, bagi pemain startup digital hal ini menjadi masalah ketika mereka mencari pinjaman dana.

Hal inilah yang melatarbelakangi mulai hadirnya berbagai modal ventura yang datang dari luar negeri untuk membiayai startup. Dengan kematangan edukasi dan sumber dana yang mumpuni, PMV asing jadi lebih berani.

Kemudian, hadirlah dua jenis PMV di Indonesia. Pertama, PMV konvensional yang berinvestasi untuk sektor tradisional seperti manufaktur, CPO, otomotif, jasa, dan lainnya. Kedua, PMV yang lebih berorientasi pada teknologi dan startup digital atau lebih kenal dengan venture capital (VC).

Meski terjadi perbedaan definisi, pelaku PMV konvensional meyakini lambat laun ke depannya para pemain akan mulai melirik startup digital. Hal ini mulai dilakukan oleh Astra Mitra Ventura (AMV), Jefri yang juga merupakan CEO AMV mengatakan kini perusahaannya mulai menargetkan 70% investasinya akan diarahkan untuk startup digital.

“Kebanyakan dari pelaku usaha menggunakan teknologi digital sebagai bagian dari kegiatan penyaluran dan pemasarannya. Digital akan memberi mereka akses pasar yang lebih luas. Kami telah berinvestasi di bidang otomasi dan teknologi robotik,” tutup Jefri.

Mengawal Geliat Industri Fintech dengan Payung Hukum

Geliat industri fintech yang terus membara, kian menunjukkan posisinya sebagai salah satu industri yang patut diperhitungkan eksistensinya di Indonesia. Negara dengan populasi 250 juta jiwa dengan penetrasi pengguna internet yang terus bertambah ini, menjadikan Indonesia semakin dilirik oleh berbagai pemain asing untuk turut serta bermain di sektor tersebut.

Saat ini, OJK mendata ada sekitar 130 perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia dengan total transaksi senilai US$3,6 miliar. Diperkirakan pada tahun ini jumlahnya tumbuh dua kali lipat jadi 250 perusahaan.

Dengan semakin bertambahnya jumlah pemain fintech, otomatis regulator harus selalu siaga menjaga ekosistem dengan menerbitkan sejumlah regulasi dan bekerja sama dengan asosiasi. Tujuannya agar industri fintech tetap berjalan sesuai koridor.

Pendekatan yang dilakukan regulator sebelum menerbitkan regulasi kini agak berbeda. Regulator tak lagi “galak” dalam menertibkan pelaku bisnis, tetapi lebih mengayomi dengan membiarkan perusahaan baru untuk tumbuh terlebih dahulu seiring memantau inovasi seperti apa saja yang perlu diatur.

Setelah OJK mengeluarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 untuk mengatur bisnis p2p lending “off balance sheet”, langkah berikutnya OJK mewacanakan penerbitan regulasi berikutnya untuk p2p lending “on balance sheet”. Kabarnya terakhir menyebut regulasi ini akan terbit pada akhir tahun ini.

OJK akan atur pemasaran asuransi digital

Perhatian OJK tidak hanya fintech yang bergerak di p2p lending. Saat ini OJK tengah mewacanakan regulasi lainnya terkait pemasaran asuransi digital. Hanya saja, pengaturan akan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awalnya, OJK akan mengatur soal pemasaran asuransi lewat situs masing-masing perusahaan asuransi, dalam bentuk surat edaran (SE), yang saat ini masih disusun regulator.

Deputi Komisioner Pengawas IKNB OJK Dumoly Pardede mengatakan penerbitan aturan lewat SE sifatnya tidak bakal seketat POJK. Dia bilang aturan tersebut nantinya akan lebih berisi pedoman untuk para pelaku usaha asuransi.

Beberapa poin yang bakal dimuat dalam SE tersebut mulai dari identitas perusahaan asuransi, nama produk, jenis proteksi, serta nilai pertanggungan harus jelas.

“Asuransi yang punya fintech itu kan sama saja dengan perusahaan asuransi biasa, tidak ada bedanya dari sisi permodalan, syaratnya sama. Tapi kalau distribusi digital itu tidak perlu dibuat regulasi, nanti ada semacam guideline saja lewat SE yang akan memuat identitas perusahaan, nama produk, nama pemasaran,” katanya saat ditemui DailySocial, Rabu (3/4).

Regulator juga akan mulai memikirkan aturan main untuk pemasaran produk asuransi lewat lembaga lain seperti fintech yang bertindak sebagai agregator. Dumoly mengatakan saat ini ada beberapa perusahaan yang menyebut dirinya sebagai agregator pemasaran asuransi digital, seperti PasarPolis, CekAja, CekPremi, dan RajaPremi.

Rencana OJK ini diamini oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor. Asosiasi akan membuat pemetaan hal apa saja yang perlu dipertimbangkan regulator sebelum membuat regulasi, apa saja yang perlu diatur, dan kapan sebaiknya aturan diterbitkan. Pasalnya, asosiasi ingin melindungi dua unsur, yakni konsumen dan pelaku usaha itu sendiri.

“Bisnis asuransi itu berbicara tentang trust, sementara kalau digital itu mengenai jalur pemasaran. Dua unsur tersebut yang harus dijaga. Kami akan bantu regulator dalam merumuskan aturannya dengan membuat pemetaan dan sebaiknya regulator untuk melakukan assessment sendiri,” ucap Julian.

Menanggapi hal tersebut, pihak Pasar Polis menuturkan bahwa pihaknya akan selalu senantiasa mengikuti arahan dari regulator bila sudah ada titik terang mengenai kejelasan aturan. “Kami terus berupaya untuk comply dengan apa yang diinginkan regulator,” kata CMO PasarPolis Elia Wijaya.

Pengamanan dari sisi asosiasi

Menyambut perusahaan fintech yang diprediksi akan terus bertambah, perlindungan tak hanya dari sisi regulator, tetapi juga dari asosiasi terkait sebagai lapis pertama sebelum mendapat izin usaha dari regulator.

Terlebih, perusahaan fintech, yang kebanyakan berasal dari perusahaan rintisan (startup), sangat identik dengan jatuh bangunnya bisnis. Sehingga, diperlukan kepastian komitmennya saat berbisnis di Indonesia.

Dari sisi Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia), sebelum terdaftar menjadi anggota, pelaku usaha diharuskan menempuh tahap self assessment berdasarkan kuesioner yang sudah disusun sendiri oleh asosiasi bersama salah satu multinasional konsultan manajemen.

“Pada dasarnya ini untuk melihat apakah perusahaan tersebut merupakan fintech atau bukan. Dalam assessment, kami juga dibantu oleh perusahaan konsultan tersebut sebagai pihak ketiga independen,” terang Direktur AFTECH Indonesia M Ajisatria Suleiman kepada DailySocial.

Aji melanjutkan secara kepatuhan, pihaknya juga meminta perusahaan pendaftar sudah operasional dan berbadan hukum, memiliki atau sedang dalam proses perizinan resmi regulator. Menurutnya, apabila kegiatan usahanya tidak membutuhkan izin, maka perlu diberikan penjabaran disertai alasan.

“Kami juga bekerja sama dengan BI dan OJK apabila ada perusahaan yang terindikasi berbahaya, misalnya melakukan investasi bodong sehingga tidak akan diterima sebagai anggota.”

“Fokus kami adalah hubungan dengan pemerintah dan regulator. Jika ada yang belum bergabung, mungkin belum siap untuk berkomunikasi dengan regulator,” lanjut Aji.

Saat ini total anggota AFTECH Indonesia sebanyak 74 perusahaan startup dan 18 lembaga keuangan.