Tag Archives: over the top

The Trade Desk menawarkan layanan pembelian inventory iklan secara digital / The Trade Desk

The Trade Desk Umumkan Kemitraan Strategis dengan RCTI+ dan IndiHome

The Trade Desk (TTD) mengumumkan kemitraan strategis dengan dua platform OTT lokal, yakni RCTI+ dan IndiHome. Melalui kemitraan ini, pihaknya berupaya untuk mendorong pengembangan ekosistem OTT lokal di Indonesia melalui layanan programmatic advertising.

Sekadar informasi, The Trade Desk merupakan perusahaan teknologi berbasis di Amerika Serika yang menawarkan layanan inventory iklan untuk berbagai situs web, aplikasi, podcast, dan platform streaming Over The Top (OTT). Selain menjangkau cakupan audiens lebih luas, layanan ini juga memungkinkan marketer untuk mendapatkan laporan dan insight dari campaign yang dilakukan.

Country Manager The Trade Desk Indonesia Florencia Eka mengatakan, saat ini belum banyak layanan yang menawarkan layanan serupa di Indonesia. Dapat dikatakan, The Trade Desk menjadi pionir dengan model ini. “Kami ingin mengedukasi pentingnya [pemasaran melalui] Connected TV (CTV) bagi marketer,” ujarnya dalam konferensi pers virtual.

Florence mengakui perkembangan teknologi telah mengubah cara masyarakat berperilaku digital. Perubahan ini juga berdampak pada cara masyarakat mengonsumsi konten dari offline ke online. Dengan terjadinya shifting ini, pihaknya melihat peluang bagi pengiklan untuk menjangkau audiens melalui perangkat dan terhubung dengan journey mereka di platform digital.

Menurutnya, pemasaran dengan model linear TV, dinilai memiliki kelemahan dalam menentukan target pasar yang presisi. Linear TV merupakan konsep tradisional beriklan di mana audiens menonton program TV terjadwal saat disiarkan dan disalurkan lewat channel aslinya.

Sementara, pemasaran melalui Connected TV (CTV) dapat menjangkau penonton berdasarkan preferensi konten, profil audiens, dan tidak hanya ketika acara disiarkan. Pemasaran via CTV dinilai lebih presisi karena ditunjang dengan kekuatan data.

Selain itu, ia juga menilai tren pemasaran global mulai mengarah ke OTT dan VTC di mana adopsinya tumbuh secara signifikan saat pandemi Covid-19. Mengadopsi model ini akan mempercepat akselerasi pemasaran dari TV tradisional ke TV internet.

“Kemitraan ini menawarkan akurasi dan presisi sehingga marketer bisa menghindari pemborosan budget. Layanan ini juga lebih efisien karena mereka tidak perlu menghubungi, melakukan negosiasi, atau mendapatkan invoice satu per satu. Marketer dapat melewatkan peluang baru jika hanya fokus pada model lama dan terpaku pada media sosial saja,” ujarnya.

Seperti diketahui, RCTI+ merupakan platform OTT milik MNC Group, yang memiliki jaringan televisi free-to-air MNC, RCTI, Global TV, dan iNews. Sementara, IndiHome merupakan penyedia IPTV milik operator telekomunikasi pelat merah, Telkom Group.

“Layanan kami dapat membantu pengiklan untuk menjangkau 3,6 juta pengguna IndiHome dan 14 juta pemirsa potensial di lebih dari 300 kota di Indonesia, serta lebih dari 30,5 juta pengguna aktif bulanan RCTI+.” Tambahnya.

Indonesia gemar streaming

Dalam kesempatan ini, The Trade Desk sekaligus memaparkan hasil riset yang dilakukan bersama Kantar. Laporan ini menyebutkan, masyarakat Indonesia streaming konten OTT hampir tiga miliar jam per bulan. Temuan ini menjadikan Indonesia sebagai negara terbanyak menonton OTT di kawasan Asia Tenggara.

Tak hanya itu, laporan ini mengungkap bahwa konsumen Indonesia paling toleran terhadap iklan. Sebanyak 95% responden pemirsa menonton iklan untuk dapat menikmati konten gratis, dan 66% mengaku mengingat merek, produk, dan iklan yang mereka lihat.

Hal ini juga turut diperkuat temuan Integral AD Science (IAS), pionir penyedia verifikasi iklan digital, yang mengungkap bahwa mayoritas konsumen Indonesia pengguna CTV menunjukkan perilaku baru, yaitu terbiasa menonton konten gratis diselingi iklan.

Ini menandakan adanya peluang besar pada OTT/CTV bagi marketer. Pasalnya, laporan ini mengungkap, peluang untuk menjangkau audiens secara lebih cepat justru terjadi di platform open internet (62%). Contoh platform open internet antara lain CTV/OTT (Viu, Vidio, Iflix), Video (dailymotion), Audio (Spotify, JOOX), Display (detiknetworl. KLY), Native (triplelift). Sedangkan, 38% dari platform sosial, seperti Facebook, YouTube, dan Instagram.

Monetisasi Konten Digital

Laporan Akamai: Pandemi Memunculkan Tantangan Monetisasi Bagi Platform Konten

Pandemi Covid-19 berdampak terhadap industri konten Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Laporan ini berdasarkan hasil wawancara dengan para pemimpin media senior di Indonesia sepanjang Maret-Mei 2020, seperti MediaCorp, MNC Media, Vidio.com, Foxtel, Telin, dan Kayo Sports.

Menurut laporan terbaru Akamai bertajuk “Indonesia: The Challenge of Monetizing in a Fast-Growing Market“, industri konten tanah air mengalami pertumbuhan signifikan, baik dari sisi trafik maupun pendapatan.

Pertumbuhan ini tercermin dari kenaikan trafik internet di 2020. Secara tahunan (YoY), pertumbuhan trafik di kuartal pertama 2020 mencapai 73 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang berkisar 139 persen. Sementara, secara kuartalan (QoQ), trafik dari Q1 ke Q2 2020 naik 46 persen dibandingkan periode sama 2019 yang hanya sekitar 5 persen.

Sumber: Akamai / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Akamai / Diolah kembali oleh DailySocial

Regional Sales Director South Asia Akamai Matthew Lynn mengungkapkan bahwa peningkatan signifikan pada platform konten dan layanan berbasis internet lainnya memang tidak disangka oleh pelaku bisnis di bidang ini. Apalagi, penetrasi internet dan layanan konten belum sepenuhnya merata.

Sebagaimana diketahui, Indonesia mencapai milestone luar biasa selama dua dekade ini dari sisi jumlah pengguna internet. APJII sebagaimana dikutip Akamai dalam laporannya mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat dari 2 juta di tahun 2000 menjadi 152 juta pengguna di 2019.

“Responden melihat pandemi menjadi faktor pendorong bagi kuntuk berlangganan konten dari sumber yang berkualitas dan kredibel. Karena situasi ini, persaingan untuk membuat konten eksklusif atau konten agregator serta upaya untuk memonetisasinya menjadi semakin ketat,” ungkap laporan ini.

Alasan konsumen tertarik untuk berlangganan antara lain dikarenakan oleh variasi konten banyak (51%), ketersediaan konten original (45%), ketersediaan konten existing yang sulit dicari di platform lain (27%), opsi free trial (24%), menonton tanpa iklan (17%), konten layak ditonton untuk anak-anak (16%), dan bundle dengan layanan lain (15%).

Ditambah lagi, secara umum industri media/konten di Indonesia dinilai terbilang masih berada di fase awal. Tak heran, kondisi ini memicu ruang pertumbuhan terhadap pemain baru jika melihat besarnya potensi pasar Indonesia.

Tekanan untuk monetisasi konten, model langganan atau iklan?

Pandemi mendatangkan trafik luar biasa terhadap bisnis konten. Akamai juga mencatat peningkatan pendapatan, terutama pada layanan video on-demand dengan CAGR 9,7% atau sebesar $306 miliar.

Akan tetapi, situasi ini justru memunculkan tantangan baru untuk tahapan selanjutnya: bagaimana melakukan scale up dan monetisasi layanan? Belum lagi, pandemi justru membuat konsumen lebih berhati-hati mengeluarkan budget untuk membeli konten.

Sumber: Statista / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Statista / Diolah kembali oleh DailySocial

Masih dikutip di laporan Akamai, APJII melaporkan penurunan pendapatan pada 500 anggotanya, di mana hampir 45 persen dari bisnis mereka turun hingga 30 persen. Adapun, sebanyak 6 persen terpaksa menutup bisnisnya karena tidak sanggup untuk mengeluarkan biaya lebih banyak lagi.

Sejak awal, responden memang memprediksi terjadinya market correction, tetapi mereka tidak menduga situasi tersebut bakal terjadi secepat ini. Pasalnya, pelaku bisnis saat ini masih berupaya mencari cara lain untuk memonetisasi kontennya.

“Ini menjadi pressure buat para pelaku bisnis konten, terutama demi memenuhi permintaan konsumen yang mulai shifting pada kebiasaan baru selama masa pandemi, yakni menonton konten secara online,” papar Lynn.

Saat ini sebagian besar model bisnis konten mengandalkan langganan (subscription) dan iklan (ads). Kedua model ini cukup banyak diadopsi demi menaikkan viewership dan mudah dimonetisasi. Sebanyak 70 persen responden menilai subscription menjadi model yang sustainaible untuk monetisasi.

“Khususnya pada layanan streaming, bisnis konten ini terbilang kompetitif karena ditunjang oleh model free trial. Konsumen dimanjakan dengan berbagai opsi berlangganan. Pada akhirnya, platform ini fokus terhadap akuisisi dan retensi pelanggan,” jelasnya.

Beberapa responden memilih untuk menggunakan pendekatan hybrid sebagai model yang tepat. Caranya dimulai dengan menawarkan konten gratis dengan kualitas dan experience terbatas. Model ini dapat membuka peluang lebih lanjut bagi konsumen untuk menikmati experience lebih baik dengan berlangganan.

Bagi responden, strategi ini dinilai menarik karena konsumen dapat menikmati konten selagi mempertimbangkan untuk berlangganan, dan di saat yang sama penyedia platform dapat memonetisasinya melalui iklan dari opsi free trial.

“Ini berarti budget iklan harus bisa menghasilkan return yang lebih baik melalui penayangan iklan berkinerja tinggi yang dapat menunjukkan peningkatan addressability pada one-to-one advertising,” ungkap laporan ini.

 

Lionsgate Play Is to Launch in Indonesia in Q1 2021

Recently arrived in India, Lionsgate Play, an on-demand video platform owned by US based colossal studio, The Lionsgate Motion Picture Group, is scheduled to be launched in Indonesia in the first quarter of 2021.

Guntur S. Siboro, who currently serves as the representative of Lionsgate Play in Indonesia, delivered the news to DailySocial. Disney+ Hotstar also offered similar concept in mid-2020.

“Indonesia will be the first country in Southeast Asia to welcome the Lionsgate Play platform. The similar market of India and Indonesia becomes the reason for Lionsgate Play to launch in Indonesia after India,” Guntur said.

Outside the Asian countries, Lionsgate Play is known as STARZPLAY, as well as in its home country of the United States, Lionsgate Play was chosen for countries in Asia, because Star was the name previously owned by a well-known company in Asia which is also a leading media company.

“However, the difference in name does not change the content we present in Asia and other countries. Lionsgate is not a big studio like Disney for example, but we have various Hollywood films, tv series, to indie films that have the best quality,” said Guntur.

Lionsgate Play pricelist and content

128882385_765745777618350_7554219817079945132_n

About the payment options for Lionsgate Play in Indonesia, Guntur avoids to reveal any further. However, he is open to the possibility with affordable and relevant prices to be given to target its customers in Indonesia.

Whether Lionsgate Play will partner with a local telco operator, as Disney+ Hotstar previously done with Telkomsel, is not further stated. Precisely, Guntur emphasized that even though the competition is getting fierce, with the existing content choices, it can be an option for Indonesian customers.

“I see that when Lionsgate Play finally arrived in Indonesia, it will not immediately turn off Disney+ Hostar, HBO Go, Netflix, and Amazon, which was prior to offer its services. Each of those has unique content with loyal customers,” Guntur said.

The strategic move taken by major studios such as Disney and The Lionsgate Motion Picture Group, has become an activity that many other major studios in the United States have aimed to compete with services such as Netflix, Amazon and Hulu, which mostly buy film production licenses. belong to each of these major studios.

“When I was at Hooq, I saw the steps taken by the major studio to stop licensing and launch its own OTT service, a trend that has proven successful and will be seen more in the future,” Guntur said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lionsgate Play Indonesia

Lionsgate Play akan Meluncur di Indonesia pada Q1 2021

Setelah sudah lebih dulu hadir di India, Lionsgate Play yang merupakan platform video on-demand milik studio besar asal Amerika Serikat, The Lionsgate Motion Picture Group, rencananya akan segera hadir di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2021 mendatang.

Kepada DailySocial. Guntur S. Siboro yang saat ini menjabat sebagai perwakilan Lionsgate Play di Indonesia menyampaikan kabar tersebut. Konsep serupa sebelumnya juga dilakukan oleh Disney+ Hotstar pertengahan tahun 2020 lalu.

“Indonesia nantinya akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menjadi pilihan dari Lionsgate Play. Pasar India dan Indonesia terbilang serupa, hal tersebut yang kemudian menjadikan Lionsgate Play akan meluncur di Indonesia setelah India,” kata Guntur.

Di luar Asia, nama Lionsgate Play dikenal dengan nama STARZPLAY, demikian pula di negara asalnya Amerika Serikat, Nama Lionsgate Play dipilih untuk negara di Asia, karena nama Star sebelumnya telah dimiliki terlebih dahulu oleh perusahaan ternama di Asia yang juga merupakan perusahaan media terkemuka.

“Namun perbedaan nama tersebut tidak mengubah konten yang kami sajikan di Asia dan negara lainnya. Lionsgate memang bukan studio besar seperti Disney misalnya, namun kami memiliki film Hollywood yang beragam, tv seri, hingga film indie yang memiliki kualitas terbaik,” kata Guntur

Harga dan konten Lionsgate Play

128882385_765745777618350_7554219817079945132_n

Disinggung seperti pilihan pembayaran yang akan ditetapkan oleh Lionsgate Play di Indonesia, Guntur enggan mengungkapkan lebih jauh. Meskipun demikian Guntur tidak menutup kemungkinan harga terjangkau dan relevan akan diberikan kepada target pelanggan di Indonesia.

Apakah nantinya Lionsgate Play akan menggandeng perusahaan operator telekomunikasi lokal seperti yang dilakukan oleh Disney+ Hotstar bersama dengan Telkomsel, tidak disebutkan lebih lanjut. Yang pasti Guntur menegaskan meskipun persaingan makin sengit, namun dengan pilihan konten yang ada, bisa menjadi pilihan bagi pelanggan di Indonesia.

“Saya melihat jika nantinya Lionsgate Play hadir di Indonesia tidak akan langsung mematikan Disney+ Hostar, HBO Go, Netflix, dan Amazon yang sebelumnya sudah hadir di Indonesia. Masing-masing memiliki konten yang unik dengan pelanggan setia yang hanya dimiliki oleh setiap platform,” kata Guntur.

Langkah strategis yang dilakukan oleh studio besar seperti Disney dan The Lionsgate Motion Picture Group, telah menjadi kegiatan yang juga banyak dilakukan oleh studio besar lainnya di Amerika Serikat, yang bertujuan untuk menjadi pesaing layanan seperti Netflix hingga Amazon dan Hulu, yang kebanyakan membeli lisensi film produksi milik masing-masing studio besar tersebut.

“Saat saya di Hooq sudah terlihat langkah yang kemudian diambil oleh studio besar tersebut untuk menghentikan lisensi dan meluncurkan layanan OTT sendiri, menjadi tren yang terbukti sukses dan akan makin banyak terlihat ke depannya,” kata Guntur.

Pemerintah kerap menyebut pajak digital untuk menyetarakan arena kompetisi pemain lokal dan asing. Hal itu dianggap belum selama belum ada insentif

Meski Ada Pajak Digital, Startup Lokal Masih Belum Kompetitif Terhadap Layanan Global

Peran layanan digital dari luar negeri makin penting dalam menemani hari-hari sunyi banyak orang selama masa pandemi ini. Dianggap makin penting karena layanan digital luar negeri menghadirkan pilihan alternatif bagi konsumen Indonesia.

Ambil contoh Netflix. Animo konsumen begitu besar ketika kabar Telkom akhirnya membuka blokir mereka terhadap Netflix. Telkom bahkan menyebut ada kenaikan trafik data yang cukup tinggi di jaringan mereka setelah pelanggannya sudah bisa mengakses Netflix.

Di masa pandemi ini juga, pemerintah akhirnya bisa mulai menarik pajak digital lewat pajak penjualan (PPn) atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) per 1 Agustus kemarin. Besaran PPn yang ditarik adalah 10% dari harga produk yang ditawarkan. Ini artinya layanan dari pelaku usaha PMSE luar negeri, seperti Amazon, Google, Google, Spotify, serta Netflix akan membebankan pelanggannya dengan pajak tersebut.

Ketentuan penarikan pajak PMSE ini adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang diatur lebih rinci dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020. Alasan yang kerap digaungkan oleh pemerintah mengenai penarikan pajak ini adalah penyamarataan level kompetisi antara penyedia jasa luar negeri dan dalam negeri.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah pajak itu benar-benar bisa membantu pemain lokal bersaing dengan para raksasa digital tadi?

Jarak terlalu jauh

Salah satu jarak paling jauh antara pemain lokal dan asing dalam bisnis digital di Indonesia adalah layanan komputasi awan. Amazon Web Service, Google Cloud, Microsoft Azure, dan Alibaba Cloud adalah penguasa pangsa pasar komputasi awan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemain lokal umumnya masih menjadi minoritas di bawah para raksasa tadi.

Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengakui perbedaan kelas dengan para pemain luar negeri sangat besar dari aspek modal, teknologi, maupun sumber daya manusia. Jarak yang begitu mencolok itu membuat Alex skeptis pemberlakuan PPn sudah cukup untuk menyetarakan kesempatan bersaing dengan pemain lokal.

“Kami melihatnya ini belum fair,” tegas Alex.

Alex berpendapat, komponen pajak lain perlu diterapkan terhadap OTT asing seperti halnya yang dialami pemain lokal. Memang dalam rencananya, pemerintah juga akan membuat aturan turunan yang memungkinkan mereka menarik pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE). PTE sendiri adalah pajak layanan digital (digital service tax/DST) yang kini sudah diterapkan berbagai negara.

Namun membagi beban setara pun tak otomatis membuat medan kompetisi berimbang. Pemerintah juga punya sikap berhati-hati agar tidak membuat kabur investor lari karena beban pajak yang terlalu tinggi. Itu sebabnya Alex berharap ada semacam insentif bagi pemain lokal yang selama ini ia rasa belum ada.

Level playing field ini seharusnya bukan hanya sharing beban yang sama. Ini kan soal kelas bulu lawan kelas berat. Seharusnya [pemerintah] mengangkat kelas bulu tadi dengan memberi tambahan support, yang kelas berat dikasih beban agar setara,” jelas Alex.

Alex mungkin ada benarnya. Pemerintah Tiongkok, misalnya, melakukan apapun untuk membesarkan dan membantu perusahaan teknologi lokalnya agar mampu bersaing di level global. Tanpa insentif bagi penyedia layanan digital lokal, argumen bahwa pajak untuk OTT luar negeri untuk menyetarakan arena kompetisi bisa jadi hanya alasan tempelan belaka. Ia merasa tanpa insentif khusus ke pemain lokal, maka tinggal menunggu waktu mereka tergilas hegemoni raksasa tersebut.

“Jadi kalau ditanya mampu bersaing atau tidak, kalau jawab mampu dan bisa ya itu terlalu pede. Kita memang suffer. Dari capital kalah, dari teknologi kalah, dari dukungan pemerintah pun tak ada,” imbuh Alex.

Jika menelisik sedikit ke belakang, adakah sebenarnya pemain lokal yang saat ini sanggup berkompetisi dengan Google, Netflix, AWS, hingga Spotify? Di antara keempatnya, mungkin hanya di sektor video on demand pemain lokal masih punya kesempatan bersaing ketat melalui Vidio atau GoPlay

Berdasarkan survei DailySocial pada April dan Mei lalu, layanan Vidio dikonsumsi hingga 25% responden, menjadi pilihan setelah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), dan Hooq (28%) yang saat ini sudah berhenti beroperasi. Angka itu terbilang cukup baik, apalagi jika digabung dengan pangsa pasar GoPlay (14%) dan Genflix (11%).

Kepada DailySocial, Vidio menyebut pihaknya mendukung penuh pemberlakuan PPn bagi OTT asing untuk menyetarakan lapangan berkompetisi. Namun hampir senada dengan Alex soal insentif, Vidio berharap negara dapat memberi dukungan lebih besar dalam memberantas pembajakan konten.

“Maka dari itu kami membutuhkan dukungan dan bantuan pemerintah untuk membantu kami para pelaku bisnis OTT lokal untuk mengedukasi masyarakat luas dalam menikmati tayangan hiburan secara legal dan berbayar,” tulis VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar.

Di sektor lain, seperti layanan streaming musik, keadaannya jauh lebih timpang. Dari sekian pemain, hanya LangitMusik (27%) yang terlihat masih bisa bersaing dengan Spotify (71%) dan Joox (61%).

Sementara layanan komputasi awan didominasi raksasa digital yang punya kekuatan modal dan teknologi paling unggul. Maka tidak heran pangsa pasar mereka secara global begitu dominan. AWS misalnya sebagai pemimpin pangsa pasar global berani berinvestasi hingga US$2,5 miliar atau Rp35 triliun untuk Indonesia saja.

Negara membutuhkan pajak

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal ada dua hal yang dipetik dari pengenaan PPn terhadap OTT asing. Pertama adalah formalisasi kehadiran Netflix dkk. melalui instrumen pajak. Fithra menilai hal ini menjadi keputusan semua-menang. “Sebelumnya kan ini sembunyi-sembunyi, tapi sekarang jadi win-win solution bagi mereka, pemerintah, perusahaan telekomunikasi, juga pengguna,” ujar Fithra.

Hal kedua yang menurutnya perlu digarisbawahi adalah kebutuhan pemerintah mencari kanal pemasukan baru di tengah ancaman resesi ekonomi. Kekhawatiran akan resesi ekonomi global sudah menjadi ancaman dari tahun lalu. Pandemi Covid-19 mempercepat proses tersebut. Hasilnya laporan keuangan kuartal kedua Indonesia diumumkan turun hingga -5,32%.

Potensi tambahan pemasukan dari pajak digital merupakan sedikit titik cerah bagi pemerintah. Kementerian Keuangan dalam naskah akademik RUU Omnibus Law telah memperkirakan negara bisa mengantongi hingga Rp10,4 triliun dari tujuh jenis transaksi elektronik sebesar Rp104,4 triliun.

“[PPn] ini saya rasa bentuk ketanggapan pemerintah karena ke depan akan ada perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi layanan digital. Oleh karena itu pemerintah coba menangkap peluang ekonominya,” pungkas Fithra.

Pros and Cons of Indonesia’s Ban on Netflix

Since the original content from Netflix in 2015, the video streaming platform keeps improving in quality. One of its validation comes from the Oscars 2020 where its original content successfully took 24 nominations. Two of those, The Irishman and Marriage Story managed to be in the list of Best Movies of the year.

Apparently, the public company that used to be a Silicon Valley startup now aligns with Hollywood’s giant, such as Warner Bros, Universal Pictures and many more. The high-quality content has encouraged users to pay more (compared to similar apps), including in Indonesia.

Entering the middle of last decade, around 2014-2016, Netflix’s business model has been replicated around Southeast Asia. There’s iflix (2014), Hooq (2015), and Viu (2015). They offer identical services with coverage reached up to Indonesia. Not only purchasing the airing license, but they also create original series.

Absolute rejection since its debut

In January 7th, 2016, Netflix announced to expand globally, coverage in 130 countries, including Indonesia. The plan raised various reactions of some parties. As the regulator, Kominfo listed some administrative requirements for OTT (Over The Top) players. Two of which to be highlighted are permanent business establishment and censorship commitment.

In addition, OTT involves content, such as data, information, and multimedia which is running and accessible through internet media. In terms of regulation, those content are considered “depending” on the telco’s network.

“Netflix will be assisted in terms of regulation because of some concerns in the community that must be protected, particularly for content,” Rudiantara said as the current Kominfo Minister then.

Aside from the government, associations also signaling rejection to the NFLX-code company. Indonesia’s Telematics Communities (Mastel) said some missed regulations, the Presidential Regulation No. 39 of 2014 on questioning the provisions of the organizers of film and TV subscription services. In addition, Law No. 32 of 2002 and Law No. 33 of 2009 concerning the formation of legal entities.

On January 27th, 2019 at 12 am, Netflix is no longer accessible from any kind of Telkom’s internet network.

Remain to be the first alternative

As quoted from Statista, Netflix has a total active user of 418 thousand per 2019 in Indonesia, it’s projected to increase to 906 thousand this year. From different research, as quoted from AppAnnie’s report titled “State of Mobile 2020”, Netflix still managed to be in the top 5 streaming apps of smartphone users in Indonesia.

The most popular video streaming app in various countries / AppAnnie
The most popular video streaming app in various countries / AppAnnie

Outside Telkom’s internet coverage, Netflix is still accessible. In general, non-red plate operators will prohibit only the site or application that is already listed in TrustPositif – a channel for the list of officially banned websites by the Ministry of Communication and Information.

In Indonesia, there are also some similar services, such as iflix, Viu, Hooq, Genflix, even local players like Vidio and Go-Play.

Some global platforms like Netflix are starting to penetrate the market, such as HBO Go and Amazon Prime, even the specific content services such as beIN Sports and NBA League Pass in the sports category.

List of Indonesia's most popular video streaming service rate / DailySocial
List of Indonesia’s most popular video streaming service rate / DailySocial

Quoted from Tirto‘s, Telkom’s Consumer Director, Dian Rachmawan said, “OTT players are considered a latent danger for operators because without spending large investments, they make profits on operators’ networks.”

In fact, other foreign on-demand video services, such as Hooq, Iflix and Viu, has established B2B collaboration with local operators to provide business benefits to each other. Some are also coping with media owners, for example iflix with MNC Group.

However, Telkom has another argument related to this ban, it’s related to pornographic content, especially the Law on Pornography and the ITE Law.

Potential advantages from taxes

In recent years, the Ministry of Finance has been actively pursuing tax from foreign OTTs operating in Indonesia. Not only video streaming services, but they began to “hunt” big companies like Google, Facebook and others.

The lack of regulations concerning OTT corporation tax makes the mechanism is yet to be detailed. At the Omnibus Law, there will be a regulation draft by the Indonesian Parliament that should accommodate these conditions.

Quoted from Kompas, DPR RI’s Commission I member Bobby Rizaldi exemplifies that regulations in Singapore can be applied here. Digital companies are not required to make an office, but they are still subject to tax from subscription fees from Indonesian consumers.

Similar thought comes from Hestu Yoga Saksama as the Director of Information, Services and Public Relations of the Directorate General of Taxes, “Therefore, at the Omnibus Law, the regulation will be no need for physical presence, but a substantial or significant economic presence.”

Generally, for companies domiciled in Indonesia, the government requires to pay tax, either in the form of Value Added Tax (PPn) of products sold, or Income Tax (PPh) from labor.

Potential disadvantages from the creative sector

The Night Comes for Us became Indonesia’s first original content published by Netflix in 2018. In order to increase the number of local films, in mid-2019, the company began to collaborate with Indonesian content creators and film activists to create local content specifically aired on Netflix.

Netflix’s Director of Product Innovation, Ajay Arora said the investment become Netflix’s focus in Indonesia to present content that can be appreciated in this country.

Netflix collaboration with Indonesia's ministry of Education and Culture / Kemendikbud
Netflix collaboration with Indonesia’s ministry of Education and Culture / Kemendikbud

On January 9, 2020, Netflix launched a strategic partnership with the Ministry of Education and Culture to support the Indonesian film industry.

Specifically, it is to focus on developing creative writing skills, post-production training, and short film competitions. In addition, there will be training in online security and governance to deal with the dynamic growth of creative industries. In this partnership, Netflix pours up to $1 million funds or equivalent to 14 billion Rupiah.

In fact, this kind of synergy should be excellent channel for Indonesia’s creative industries to develop as rapidly. In addition to global knowledge – in this case, insights from Hollywood films – the role of OTT can also be used as a channel for creative actors to embrace the international market. Moreover, Netflix has become a standard for movies. In addition to movies, a platform like Spotify, even TikTok has allowed digital creativity to be widely marketed.

Therefore, the partnership with OTT is ideally not only viewed in terms of financial regulation but should be able to discuss with other ministries, in this case, the Ministry of Tourism and Creative Economy.

Aim to have freedom of access

Head of the Indonesian Consumers Foundation Daily, Sudaryatmo, said that the public could question the ban of certain OTT services when it’s considered detrimental. People basically have the right to access information and the right to vote.

“First, the right to access information, the right to know. Whether the ban is preventing consumers to access information, it should be open to question,” he said as quoted on CNN Indonesia.

The thing is, this kind of ban has been running for generations. In fact, to encourage the process, Kominfo has allocated 211 billion Rupiah in 2017 to buy an internet censor machine. Although, it’s no longer a secret that the banned websites still accessible through certain mechanisms.

We aim for the internet to provide high-quality content, both for entertainment and education. Aside from ban, one thing we always highlight to the government, for the public’s digital literation. Some of the real activities to do, such as:

Actively socialize to use the government institution’s network (reach the villages) to assist them with digital literacy. The taught materials should encourage them to understand the boundaries of relevant content accessible.

Provide access and support to the digital creative industry players to stuff the nation’s internet ecosystem with high-quality content, in various formats.

With the global reach, it’s possible to have the internet free from negative content. By sharing insights on the negative content, it can be a visioner act to build a better personality. Without prohibition, the public will be aware of the negative content that should not be accessed.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mencoba memahami aspek-aspek yang diisukan dalam kehadiran layanan OTT asing di Indonesia, sembari mendalami manfaat yang bisa dioptimalkan darinya.

Untung Rugi Pemblokiran Netflix di Indonesia

Sejak merilis film orisinal pada tahun 2015, pengembang platform video streaming Netflix terus tingkatkan kualitas produksi. Salah satu yang jadi takaran mutunya, di ajang Oscars 2020 karya yang mereka produksi berhasil menggaet 24 nominasi. Dua di antaranya, yakni The Irishman dan Marriage Story, masuk di jajaran kategori film terbaik.

Tak ayal kini perusahaan publik yang awalnya startup Silicon Valley tersebut dijajarkan dengan studio besar Hollywood layaknya Warner Bros, Universal Pictures dan lain-lain. Kualitas konten tersebut juga yang membuat para pengguna rela untuk membayar biaya berlangganan lebih (dibanding platform serupa), termasuk di Indonesia.

Memasuki pertengahan dekade lalu, sekitar tahun 2014-2016, model bisnis Netflix mulai direplikasi startup di Asia Tenggara. Sebut saja iflix (2014), Hooq (2015), dan Viu (2015). Mereka menyuguhkan layanan serupa termasuk untuk pengguna di Indonesia. Selain membeli lisensi penayangan, mereka juga memproduksi serial filmnya sendiri.

Penolakan keras sejak awal

Pada 7 Januari 2016, Netflix memutuskan untuk melakukan ekspansi global, hadir di 130 negara termasuk Indonesia. Rencana tersebut lantas mendapatkan beragam tanggapan dari banyak pihak. Dari regulator, Kominfo memaparkan serangkaian persyaratan administratif yang harus dilakukan pemain OTT (Over The Top). Dua yang terus ditekankan adalah pembentukan badan usaha tetap dan komitmen sensor konten.

Sebagai informasi, OTT mencakup konten berupa data, informasi dan multimedia yang berjalan dan diakses melalui medium internet. Secara regulasi, konten-konten tersebut dianggap “menumpang” beroperasi di atas jaringan internet milik perusahaan telekomunikasi.

“Netflix akan diwadahi dari sisi regulasi, karena ada kepentingan masyarakat yang harus diproteksi, terutama dari sisi konten,” ujar Rudiantara selaku Menkominfo kala itu.

Tidak hanya pemerintah, asosiasi juga memberikan sinyal penolakan kehadiran perusahaan berkode saham NFLX tersebut. Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengatakan ada beberapa aturan yang tidak terpenuhi, yakni Perpres No. 39 tahun 2014 pada poin yang menyoal ketentuan penyelenggara jasa perfilman dan TV berbayar. Selain itu juga UU No. 32 tahun 2002 dan UU No. 33 tahun 2009 tentang pembentukan badan hukum.

Hingga akhirnya per 27 Januari 2016 pukul 00.00 WIB semua sambungan internet dari Telkom tidak bisa lagi mengakses Netflix.

Tetap jadi pilihan

Mengutip data yang dihimpun Statista, per tahun 2019 total estimasi pelanggan aktif Netflix di Indonesia sekitar 418 ribu orang, diproyeksikan akan meningkat jadi 906 ribu tahun ini. Dari riset yang berbeda, misalnya mengutip laporan yang baru dirilis AppAnnie bertajuk “State of Mobile 2020”, Netflix masih masuk ke dalam 5 besar aplikasi streaming pengguna ponsel pintar di Indonesia.

Aplikasi video streaming populer di berbagai negara / AppAnnie
Aplikasi video streaming populer di berbagai negara / AppAnnie

Di luar jaringan telekomunikasi yang disediakan Telkom, pelanggan masih leluasa untuk menggunakan Netflix. Pada umumnya operator non-plat merah baru melakukan pemblokiran jika suatu situs atau aplikasi sudah ada di TrustPositif – kanal untuk daftar situs yang resmi dicekal Kominfo.

Di Indonesia sendiri memang ada cukup banyak layanan serupa, seperti iflix, Viu, Hooq, Genflix, bahkan pemain lokal seperti Vidio, Go-Play.

Beberapa platform global setara Netflix juga mulai hadir, misalnya HBO Go dan Amazon Prime, bahkan layanan konten spesifik seperti beIN Sports dan NBA League Pass di kategori olahraga.

Daftar harga layanan video streaming populer di Indonesia / DailySocial

Dikutip dari pemberitaan Tirto, Direktur Konsumer Telkom Dian Rachmawan mengatakan, “Pemain OTT dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.”

Nyatanya, layanan video on-demand asing lain, seperti Hooq, iflix dan Viu, memang menjalin kerja sama B2B dengan operator lokal agar memberikan manfaat bisnis satu sama lain. Beberapa juga dengan koporasi pemilik media, misalnya iflix dengan MNC Group.

Namun demikian, Telkom pun punya argumentasi lain terkait pemblokiran, yakni terkait konten pornografi khususnya dikaitkan dengan beleid UU Pornografi dan UU ITE.

Potensi untung dari pajak

Sejak beberapa tahun terakhir Kementerian Keuangan tengah giat untuk mengupayakan penarikan pajak dari OTT asing yang beroperasi di Indonesia. Tidak hanya layanan video, mereka juga mulai “memburu” perusahaan besar seperti Google, Facebook dan lain-lain.

Belum adanya beleid yang mengatur pajak perusahaan OTT membuat mekanismenya belum detail. Rencananya di Omnibus Law, rancangan regulasi yang akan diupayakan DPR RI, akan mulai mengakomodasi kondisi tersebut.

Dikutip dari Kompas, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi menyontohkan regulasi di Singapura dapat diterapkan di sini. Perusahaan digital tidak wajib bikin kantor di sini, namun tetap dikenakan pajak dari biaya langganan dari konsumen Indonesia.

Demikian pula disampaikan Hestu Yoga Saksama selaku Direktur Penyluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, “Makanya di Omnibus Law nanti, kita atur bahwa tidak harus ada physical presence, tapi ada substansial atau significant economic presence.”

Umumnya bagi perusahaan yang berdomisili di Indonesia, pemerintah mewajibkan untuk melakukan pembayaran pajak, baik berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari produk yang dijual, maupun Pajak Pengasilan (PPh) dari ketenagakerjaan.

Potensi rugi dari sektor kreatif

The Night Comes for Us jadi film orisinal Indonesia pertama yang dipublikasikan Netflix pada tahun 2018. Untuk meningkatkan kuantitas film lokal, pertengahan tahun lalu, perusahaan juga mulai membangun kemitraan dengan konten kreator hingga penggiat film di Indonesia untuk menciptakan konten lokal yang secara khusus ditayangkan di Netflix.

Director of Product Innovation Netflix Ajay Arora mengungkapkan, investasi tersebut menjadi fokus Netflix di Indonesia demi menghadirkan konten yang bisa disukai oleh pelanggan di tanah air.

Acara peresmian kerja sama Netflix dengan Kemendikbud / Kemendikbud
Acara peresmian kerja sama Netflix dengan Kemendikbud / Kemendikbud

Hingga pada tanggal 9 Januari 2020 kemarin, Netflix meresmikan kemitraan strategis dengan Kemendikbud untuk mendukung pengembangan talenta perfilman Indonesia.

Secara spesifik, akan berfokus pada pengembangan kemampuan penulisan kreatif (creative writing), pelatihan pasca-produksi, serta lomba film pendek. Selain itu, akan ada juga pelatihan di bidang keamanan online serta tata kelola untuk menghadapi pertumbuhan industri kreatif yang dinamis. Di kemitraan tersebut, Netflix mengucurkan dana setara $1 juta atau setara 14 miliar Rupiah.

Sejatinya sinergi seperti ini menjadi corong yang sangat baik bagi industri kreatif di Indonesia untuk berkembang pesat. Selain menghadirkan pengetahuan global – dalam hal ini ilmu film dari Hollywood – peran OTT juga bisa dimanfaatkan sebagai kanal bagi pelaku kreatif untuk merangkul pasar internasional. Terlebih Netflix kini jadi salah satu takaran kualitas untuk produk film. Tidak hanya film sebenarnya, platform seperti Spotify bahkan TikTok memungkinkan beragam kreativitas digital dipasarkan secara luas.

Sehingga idealnya kemitraan dengan OTT tidak hanya dipandang dari sudut regulasi finansial, melainkan perlu berunding dengan kementerian lain, dalam hal ini misalnya Kemenparekraf.

Harapan untuk akses yang lebih bebas

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo bahwa masyarakat bisa mempersoalkan pemblokiran ke layanan OTT tertentu apabila dirasa merugikan. Karena pada dasarnya masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk memilih.

“Yang pertama, hak untuk mendapat informasi, right to know. Kalau pemblokiran itu menghambat konsumen mendapat informasi, mestinya dapat dipersoalkan,” katanya seperti dikutip CNN Indonesia.

Pasalnya, aturan model pemblokiran ini seperti sudah jadi warisan turun-temurun. Bahkan untuk mendorong inisiatif ini, pada tahun 2017 lalu Kominfo menganggarkan 211 miliar Rupiah untuk membeli mesin sensor internet. Kendati sudah jadi rahasia umum, situs-situs yang diblokir tetap bisa diakses mekanisme tertentu.

Tentu kita punya harapan, bahwa internet bisa menyuguhkan konten-konten berkualitas, baik untuk hiburan maupun pendidikan. Selain pemblokiran, ada satu hal yang terus kami coba tawarkan untuk pemerintah, yakni penguatan literasi digital masyarakat. Beberapa aktivitas riil yang dapat dilakukan seperti:

  • Melakukan sosialisasi aktif memanfaatkan jaringan institusi pemerintah (sampai level desa) untuk memberikan pemahaman tentang literasi digital. Materi literasi digital yang diajarkan mendorong kalangan masyarakat memahami batasan konten relevan yang bisa mereka akses.
  • Memberikan akses dan dukungan kepada pelaku industri kreatif digital untuk mengisi ekosistem internet nasional dengan konten-konten berkualitas, dengan beragam bentuk.

Dengan cakupan global, sebuah keniscayaan internet untuk bersih dari konten negatif. Memberikan pemahaman tentang konten negatif itu sendiri akan menjadi aksi visioner yang membentuk pribadi bangsa yang lebih baik. Tanpa harus diblokir, masyarakat menjadi tahu bahwa suatu konten negatif tidak layak diakses.

Menyimak peranan platform OTT untuk UKM / Pexels

Laporan CSIS Sebut Platform OTT Mampu Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi

CSIS dan Asia Internet Coalition merilis hasil studi yang membahas potensi dan masa depan dari layanan Over-the-Top (OTT) di Indonesia. Studi kolaborasi yang dipaparkan Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri menyebutkan, 80% media sosial digunakan oleh pengguna usia 18-45 tahun, hampir 45% pengguna memiliki edukasi yang tinggi, sementara 30% lainnya lulusan universitas. Dalam hasil studi tersebut juga terungkap bahwa jaringan yang baik membantu meningkatkan perekonomian di pelosok daerah dan membantu UKM mempromosikan bisnisnya.

Rich Interactive Application (RIA)

Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri
Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri

Kehadiran layanan OTT, atau yang juga dikenal dengan nama Rich-Interactive-Application, saat ini makin beragam platformnya. Mulai dari WhatsApp, LINE, KakaoTalk, WeChat hingga Facebook, Twitter dan Viber. Di Indonesia sendiri platform OTT yang paling banyak digunakan UKM untuk melakukan interaksi langsung kepada konsumen adalah melalui WhatsApp dan LINE.

“Aplikasi tersebut memungkinkan penggunanya berinteraksi secara intensif. Selain lebih personal, OTT juga memberikan peluang untuk pengguna berjualan,” kata Damuri.

Dalam hal ini studi CSIS melihat peluang platform OTT terkait dengan impact-nya kepada UKM, lapangan pekerjaan hingga pariwisata dan bagaimana upaya pemerintah meningkatkan infrastruktur, mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah hingga 0,92%, jika network coverage di kawasan tersebut baik.

“Tantangan terbesar saat ini adalah industri ini terbilang masih baru, sehingga dibutuhkan waktu untuk pengembangan dan tentunya dukungan infrastruktur dari pemerintah,” kata Damuri.

Kehadiran layanan e-commerce hingga transportasi online juga telah membuka lapangan pekerjaan kepada masyarakat di kota hingga daerah. Memanfaatkan jaringan internet hingga operator telekomunikasi, semua bisa dilakukan dengan mudah. Dalam studi tersebut juga terungkap, OTT/RIA memiliki peranan penting bagi UKM untuk melakukan promosi hingga penjualan memanfaatkan media sosial.

Pada tahun 2016 UKM memberikan kontribusi sekitar 60% untuk GDP Indonesia dan 97% dari total tenaga kerja. Ditambah dengan meningkatnya penetrasi smartphone dan penggunaan internet, platform online menjadi sangat penting untuk bisnis komersial secara umum.

Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa pengguna terbanyak media sosial dan OTT/RIA adalah kalangan millennial yang mencapai 54,3% setiap harinya. Sementara kalangan di luar millennial hanya sekitar 1,9% yang menggunakan media sosial setiap harinya.

Dampak OTT untuk pariwisata dan lapangan pekerjaan

Dalam survei yang dilakukan oleh idEA pada tahun 2017 lalu terungkap, kebanyakan UKM memanfaatkan Facebook dan Instagram untuk mempromosikan produk hingga berjualan. CSIS juga mencatat, sekitar 700 ribu pengguna Instagram mengikuti akun Instagram yang berisikan promosi tiket pesawat hingga promo untuk pemesanan secara online. Secara langsung OTT/RIA memainkan peranan penting terkait target pemerintah. Salah satunya adalah mendatangkan 20 juta wisatawan asing dengan target pendapatan Rp 240 miliar di tahun 2019.

Dalam hal lapangan pekerjaan, OTT/RIA juga banyak digunakan untuk mempromosikan lowongan pekerjaan melalui marketplace yang menghubungkan pegawai satu dan lainnya seperti Linkedin. Di Indonesia sendiri pengguna Linkedin sudah mencapai 8 juta pengguna yang sebagian besar adalah pengguna di Jakarta. Internet juga memungkinkan kebiasaan baru yang mulai banyak diterapkan startup hingga perusahaan yaitu bekerja secara remote atau menempatkan tim layanan pelanggan di daerah, meskipun kantor pusat ada di ibukota.

Untuk meningkatkan layanan masing-masing platform OTT/RIA yang masuk ke Indonesia, CSIS menyebutkan ada baiknya pemerintah memberikan ruang lebih, yaitu dengan tidak terlalu ketat mengeluarkan peraturan, perizinan, dan hal terkait lainnya.

CSIS memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk bisa mendukung keberadaan platform OTT/RIA di Indonesia. Di antaranya adalah meningkatkan literasi digital di kalangan masyarakat umum, pemahaman yang lebih baik terkait penggunaan OTT, dan meningkatkan infrastruktur di seluruh kawasan. Pemerintah juga diharapkan mempromosikan bahwa infrastruktur yang merata dan makin baik serta pemahaman yang menyeluruh di kalangan masyarakat soal penggunaan internet bisa berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi daerah.

General Manager of Video Business Telkomsel Eriek H Lukito dan VP Nickelodeon Asia, Viacom International Media Networks Syahrizan Mansor / Nickelodeon

Nickelodeon Gandeng Telkomsel Luncurkan Aplikasi Streaming Video Anak “Nickelodeon Play”

Brand televisi dan hiburan anak Nickelodeon resmikan kehadiran di Indonesia lewat peluncuran aplikasi streaming video Nickelodeon Play. Kendati demikian, operasional untuk layanannya di Indonesia masih dikelola oleh kantor regional Asia yang berlokasi di Singapura.

Aplikasi streaming video ini berisi lebih dari 500 konten serial Nickelodeon populer, seperti SpongeBob SquarePants, Teenage Mutant Ninja Turtles, Avatar: The Legend of Aang, dan Alvin and The Chipmunks.

Untuk peresmian kehadirannya tersebut, pihak Nickelodeon menggandeng Telkomsel sebagai operator telekomunikasi lokal dalam menjaring pengguna baru yang bukan berasal dari pelanggan TV kabel.

“Kami melihat jumlah populasi di Indonesia cukup besar, penetrasi smartphone-nya pun semakin tinggi. Selama ini konten kami baru bisa dinikmati oleh pengguna TV kabel, kami ingin lebih luas menyebarkan konten anak ke seluruh Indonesia, untuk itu [kami] menggandeng Telkomsel,” ujar VP Nickelodeon Asia, Viacom International Media Networks Syahrizan Mansor, Rabu (7/3).

Dalam menghadirkan kontennya, Nickelodeon menerapkan model bisnis freemium. Artinya pengguna bisa menikmati konten lebih banyak apabila berlangganan secara bulanan. Biaya aktivasi sebesar Rp29 ribu sudah termasuk paket data VideoMax 1,5 GB dapat diakses melalui aplikasi MyTelkomsel atau dengan kode USSD *363#.

Apabila kuota tersebut habis, pelanggan tetap bisa mengakses Nickelodeon Play jika berlangganan paket internet Telkomsel yang didalamnya sudah ter-bundling dengan VideoMax.

General Manager of Video Business Telkomsel Eriek H Lukito berharap lewat kemitraan ini distribusi konten Nickelodeon akan semakin luas hingga ke daerah rural. Diklaim jaringan Telkomsel mencapai 99% wilayah Indonesia dengan total 190 juta basis pelanggan.

“Kemitraan ini akan menambah nilai VideoMax, membuat kami mampu memberikan pelayanan lebih baik kepada pelanggan kami dari berbagai tingkat usia, dan memberi pelanggan pilihan yang lebih banyak,” terangnya.

Di dalam VideoMax, Telkomsel telah bekerja sama dengan berbagai layanan OTT seperti CatchPlay, Hooq, Supersoccer TV dan Viu. Sejauh ini, Nickelodeon Play telah diunduh lebih dari 130 ribu kali sejak pertama kali hadir di Indonesia pada Desember 2017.

Nickelodeon Play diluncurkan pertama kali di Singapura pada 2016, kemudian diboyong ke Indonesia per Desember tahun lalu sebagai negara tujuan kedua. Di Singapura, Nickelodeon bermitra dengan SingTel yang merupakan salah satu pemegang saham Telkomsel.

Strategi Layanan Video On-Demand Viu Perbanyak Pengguna di Indonesia

Sudah hampir enam bulan Viu resmi beroperasi di Indonesia. Indonesia sendiri adalah negara ke lima yang disambangi Viu setelah sebelumnya berhasil bersinggah di Hong Kong, Malaysia, India dan Singapura. Rupanya dengan kuatnya konten video di segmen Asia terutama Korea, Jepang dan Taiwan ampuh memacu pengguna baru di Indonesia. Terhitung per hari ini, aplikasi Viu sudah diunduh lebih dari 1 juta kali oleh pengguna di Indonesia.

Aplikasi ini merupakan hasil karya anak usaha Vuclip dari PCW Media Company berbasis di Hong Kong. Data terakhir menyebut telah memiliki pelanggan terdaftar sebanyak 9 juta orang di empat negara Asia sejak pertama kali diluncurkan pada tahun ini.

Nickhil Jakatdar selaku CEO dan Founder Vuclip mengungkapkan persentase pengguna Viu di Indonesia didominasi oleh perempuan dengan persentase sekitar 80%. Pencapaian ini terbilang lebih besar bila dibandingkan pengguna Viu di luar Indonesia, rata-rata persentasenya hanya sekitar 60%-70%.

Meski Jakatdar enggan menyebutkan jumlah persis penggunanya di Indonesia, namun dari data ini menunjukkan perempuan Indonesia terbilang sangat loyal untuk meluangkan waktunya untuk menonton video dari aplikasi ini. Selain itu, perempuan Indonesia juga menempati posisi tertinggi untuk konsumsi paket data tertinggi dengan rata-rata waktu tonton 8 hingga 10 jam per bulannya.

“Perempuan Indonesia adalah konsumen terbesar Viu, mereka adalah fans yang sangat loyal terhadap konten-konten yang kami hadirkan. Dari top three content kami yang paling banyak laku ditonton adalah serial drama dari Korea, Jepang dan Taiwan,” ujarnya kepada DailySocial di sela-sela acara Indonesia Economic Forum 2016, Selasa (15/11).

Meski lebih banyak pengguna perempuan, Jakatdar menjelaskan pihaknya tidak melakukan spesifikasi konten untuk gender tertentu saja. Viu tetap fokus menyediakan berbagai kategori video, pihak penentu akhirnya akan diserahkan ke pengguna bagaiamana preferensi mereka.

Untuk menggaet lebih banyak pengguna di tanah air, Viu juga bakal meresmikan beberapa kemitraan strategis dengan perusahaan lainnya. Dalam waktu dekat akan meresmikan ada dua kerja sama strategis yang akan diumumkan, dengan salah satu bank dan perusahaan e-commerce. Sebelumnya, Viu telah menjalin kemitraan strategis dengan Telkomsel, IndiHome dan Samsung.

Tak hanya itu, pihaknya akan terus mengembangkan fitur-fitur yang dapat meningkatkan user experience, misalnya desain interface yang lebih ringkas dan fitur bernuansa lokal lainnya.

Jakatdar melanjutkan, salah satu perhatian utama Viu adalah menyajikan konten video yang ringan dan dapat dijalankan dalam bentuk jaringan apapun, sekalipun 2G. Maka dari itu, pihaknya menyajikan fitur download untuk menyesuaikan koneksi di Indonesia.

“DNA Viu adalah perusahaan teknologi, jadi kualitas video harus tetap sama sekalipun ada di koneksi yang bukan 4G.”

Tak hanya beroperasi di lima negara saja, Viu juga tengah mempersiapkan diri untuk ekspansi ke beberapa negara di kawasan Timur Tengah seperti Mesir, Arab Saudi, Oman, Kuwait dan beberapa negara di Afrika pada tahun depan. Aksi ini sekaligus melancarkan misi Viu untuk menjadi penyedia VOD OTT (Over The Top) yang fokus menghadirkan konten dari Asia dan lokal asal negara itu sendiri.

“Ada beberapa negara di Timur Tengah yang akan jajal ke depannya. Langkah pertama kami adalah beroperasi di Asia Tenggara, kemudian merambah ke India, Timur Tengah dan Afrika,” pungkas Jakatdar.