Tag Archives: pay-to-win

[Rumor] Efek Kontroversi Loot Box Battlefront II Dalam Pengembangan Game Battlefield Baru

Battlefield merupakan seri andalan tim DICE dalam berkompetisi dengan franchise-franchise milik rival-rival utamanya seperti Blizzard, Infinity Ward, 2K Games serta Bungie. Dan sebagai studio kebanggaan Electronic Arts, tim asal Stockholm itu juga diberi kepercayaan untuk menggarap remake dari permainan shooter Star Wars: Battlefront, yang melakukan debutnya 14 tahun silam.

Tapi Battlefield 1 dan Star Wars Battlefront II (2017) punya nasib yang sangat bertolak belakang. Ketika Battlefield 1 memperoleh pujian dari gamer dan media, Battlefront II mendapatkan kritik keras terkait pemanfaatan loot box sehingga membuat permainan jadi tak seimbang, serta sulitnya mengakses sejumlah karakter ‘hero‘. Kini gamer khawatir praktek serupa juga diterapkan pada permainan Battlefield selanjutnya.

Eksistensi game Battlefield baru terdengar di akhir minggu lalu lewat laporan dari VentureBeat. Di sana dikabarkan bahwa permainan berjudul Battlefield V itu akan membawa Anda ke medan tempur Perang Dunia kedua. Namun kita tidak perlu terlalu cemas soal sistem microtransaction di sana. Berdasarkan pengakuan sejumlah narasumber anonim pada Kotaku, DICE kini lebih berhati-hati dalam penerapannya.

Sang informan yang terlibat dalam proses pengembangan game Battlefield baru itu menyatakan bahwa DICE tidak akan lagi memanfaatkan pendekatan pay-to-win. EA DICE mengaku, mereka menanggapi kasus loot box yang terjadi di Battlefront II dengan sangat serius.

Hal senada juga dikonfirmasi oleh situs US Gamer dalam artikel terpisah. Menurut pengakuian narasumbernya, sistem microtransaction di Battlefield V hanya diimplementasikan untuk menyajikan item-item kosmetik saja. Dengan terbukanya akses ke item-item tersebut, maka opsi kustomisasi jadi lebih luas. Tingkatan konfigurasi di game anyar tersebut diklaim lebih tinggi dibanding permainan sebelumnya.

Loot box atau prize crate sudah lama ditemukan di game-game free-to-play, umumnya kreasi studio-studio asal Negeri Timur, namun prakteknya di ranah global sendiri dipopulerkan oleh Overwatch. Penggunaan loot box di permainan shooter multiplayer Blizzard ini memberi developer pemasukan sangat besar pasca peluncurannya, juga memungkinkan mereka untuk terus memperkaya konten game lewat item baru dan event.

Tapi betulkah item kosmetik tidak memengaruhi keseimbangan permainan?

Mungkin tidak di game ‘penuh warna’ seperti Overwatch. Gamer veteran bisa tetap mahir bermain terlepas dari kostum karakter yang ia pilih. Namun di game bertema serius seperti Battlefield, kostum pilihan Anda boleh jadi memengaruhi kemampuan karakter dalam kamuflase atau bersembunyi dari lawan…

Microtransaction Tampaknya Akan Kembali Hadir di Star Wars Battlefront II

Terlepas dari segala upaya DICE menggarap Star Wars: Battlefront II agar lebih baik dibanding pendahulunya, permainan shooter ini dirundung masalah sejak momen pelepasannya. Sistem progres permainan ini ternyata sangat kompleks, tapi intinya, pemain harus melakukan proses grinding yang menjemukan agar bisa mengakses karakter terkenal seperti Darth Vader atau Luke Skywalker.

Gamer juga sangat kecewa pada kehadiran sistem microtransaction via loot box yang secara nyata memengaruhi keseimbangan permainan. Electronic Arts mencoba menjustifikasi keputusan mereka, namun penjelasan mereka di Reddit malah mendapatkan lebih dari 680 ribu downvotedownvote terbanyak di sepanjang sejarah Reddit. Dan pada akhirnya, EA menghapuskan sistem store ‘untuk sementara waktu’.

Tergerak karena kehebohan yang ditimbulkan oleh masalah ini, Belgium Gaming Commision (Komisi Gaming Belgia) mulai melangsungkan investigasi terhadap praktek penjualan item secara acak di dalam Battlefront II. Dari temuan mereka, badan tersebut memutuskan bahwa sistem loot box yang berpilar pada uang dan elemen adiktif video game adalah praktik perjudian.

Sentimen ini juga senada dengan opini Perwakilan Negara Bagian Hawaii Chris Lee. Dalam pernyataannya, Battlefront II bisa diibaratkan seperti kasino online bertema Star Wars yang didesain buat menjebak dan mendorong anak-anak mengeluarkan uang. Bagi Lee, sistem loot box ialah praktik berbahaya yang berpeluang memberikan dampak negatif bagi keluarga di Amerika.

Namun sepertinya hal itu tidak bisa menyetop langkah EA untuk mengimplementasi kembali micropayment di Battlefront II. Dalam konferensi di Credit Suisse belum lama ini, chief financial officer Electronic Arts Blake Jorgensen menyampaikan bahwa mereka belum menyerah, dan masih punya rencana buat membubuhkannya lagi di sana. Hanya waktunya saja yang belum ditentukan.

“Saat ini kami masih mengawasi bagaimana gamer menikmati permainan,” kata Jorgensen, dikutip oleh Eurogamer. “Kami mencoba mempelajari, apakah ada mode yang membuat microtransaction lebih menarik; lalu apa pendapat konsumen mengenainya, serta mencari tahu cara mereka memainkannya. Kami tengah memahami dan mendengarkan masukan komunitas sebelum memutuskan cara menerapkannya.”

EA sendiri meniadakan microtransaction di Battlefront sebagai respons dari keluhan pemain. Gamer merasa sistem ini menyebabkan adanya mekanisme pay-to-win – kian banyak mengeluarkan uang, maka Anda akan semakin unggul dalam permainan.

“Nyatanya, ada beberapa tipe pemain dalam game,” sanggah Jorgensen. “Beberapa dari mereka punya lebih banyak uang dibanding waktu, tapi sebagian lagi memiliki lebih banyak waktu kosong ketimbang uang. Kami ingin mencoba menyeimbangkannya.”

Tambahan: Gamespot dan Eurogamer.

Freemium dan Masa Depan Mobile Gaming, Menurut Gameloft

Candy Crush, Clash of Clans, Despicable Me: Minion Rush, ketiganya adalah game yang sangat populer di kalangan pengguna perangkat Android maupun iOS. Ketiganya pun bisa dimainkan secara cuma-cuma, sehingga tidak heran apabila jumlah user-nya begitu besar.

Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya: kalau seperti itu caranya, dari mana tim developer maupun publisher-nya mendapatkan pemasukan? Well, jawabannya adalah model bisnis freemium.

Dalam artikel ini, saya akan membahas seputar game freemium yang sudah menjadi tren di industri mobile gaming. Maka dari itu, saya pun tidak lupa meminta pendapat dari salah satu nama paling tenar di kancah mobile gaming, Gameloft. Lewat email, saya berbincang sedikit dengan Emeric Le Bail, Country Manager untuk Gameloft Indonesia.

Info menarik: Kumpulan Game Android Terbaru 13 – 27 Juli 2015

Apa itu freemium?

freemium
Copyright: Venimo/Shutterstock

Istilah freemium sebenarnya merupakan gabungan dari kata “free” dan “premium“. Istilah ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli e-commerce bernama Jarid Lukin di tahun 2006. Melihat polanya, bisa dikatakan freemium merupakan evolusi dari istilah shareware, yang populer di kalangan pengguna PC, dimana software berjenis shareware biasanya bisa digunakan secara cuma-cuma, namun hanya dalam durasi tertentu.

Selain freemium, sebenarnya ada juga istilah serupa yang populer di kalangan gamer, yakni free-to-play. Kedua istilah ini sebenarnya sama, akan tetapi free-to-play secara khusus diasosiasikan dengan konten digital berupa video game ketimbang aplikasi secara umum.

Dalam sebuah game free-to-play, Anda tidak dikenai biaya apa-apa untuk bisa mengunduh dan memainkannya. Kendati demikian, ada sejumlah konten opsional yang baru bisa didapat jika Anda mau membayar.

Agar tidak membingungkan, selanjutnya saya akan menggunakan istilah freemium – yang pada dasarnya bisa mempersingkat panjang artikel ini ketimbang menggunakan istilah free-to-play.

Info menarik: Sambungkan Buah-Buahan Dalam Game Puzzle Fruits Connect

Alasan penerapan strategi freemium

despicable-me-minion-rush

Di industri gaming, freemium sendiri awalnya lebih diprioritaskan untuk mencegah menyebarnya pembajakan game. Emeric pun membenarkan, dimana ia memaparkan bahwa model freemium secara alami disandang untuk membatasi pembajakan. Kendati demikian, ini rupanya bukan motivasi utama dari penerapan model freemium – paling tidak buat Gameloft.

Seperti yang kita ketahui, smartphone dan tablet kini sudah menjadi perangkat massal yang ada di mana-mana. Terlepas dari latar belakang masing-masing, sebagian besar dari mereka sebenarnya adalah gamer kasual. Tidak seperti gamer kelas hardcore – seperti Yoga Wisesagamer kasual lebih sering mencari hal-hal baru, dalam kasus ini hiburan beresiko rendah.

Emeric pun lanjut menjelaskan bahwa fokus Gameloft pada game freemium murni untuk menanggapi permintaan gamer kasual. Karena gratis, game freemium tentu saja lebih mudah diakses. Namun sebagai bonus, konsumen dibebaskan untuk bermain “dengan cara mereka sendiri”.

Anda tidak mau mengeluarkan uang? Silakan. Tapi kalau Anda mau mendapat pengalaman bermain yang lebih komplet, Anda bisa membayar untuk itu. Konsumen senang, publisher dan developer pun ikut senang.

Info menarik: Eternal Symphony, Game Ritme yang Menantang

Kontroversi freemium

league-of-legends-store

Meski pada prinsipnya freemium menguntungkan pihak gamer, kontroversi pun tetap tidak bisa dihindari. Seiring bertambah banyaknya game freemium, muncul istilah “pay-to-win“, yang sejatinya merupakan cemoohan untuk istilah free-to-play. Sesuai makna harafiahnya, istilah ini berarti Anda harus membayar kalau mau menang.

Dalam game yang mengandung aspek kompetisi, model freemium memang berpotensi menjurus ke arah pay-to-win. Agar lebih mudah dipahami, saya akan memberikan contoh di luar mobile game, yakni Dota 2 dan League of Legends, yang memang sangat kompetitif. Keduanya bisa dimainkan secara gratis, dan menyimpan konten-konten opsional yang bisa dibeli. Bedanya, di Dota 2, konten opsional tersebut hampir tidak mempengaruhi hasil permainan, sedangkan di League of Legends sebaliknya.

Namun dalam konteks mobile game, saya kira freemium tidak bisa dicap sebagai pay-to-win secara mutlak. Memang ada sejumlah mobile game yang menjurus ke arah pay-to-win, akan tetapi kalau melihat mayoritas konsumennya yang merupakan gamer kasual, mereka bisa dengan mudah mencari game lain ketika mereka tidak puas dengan konsep freemium yang ditawarkan.

Info menarik: Panduan Memilih Casual Game dari Gameloft

Masa depan industri mobile gaming

siegefall

Ketika saya menanyakan apakah ke depannya semua mobile game akan mengadopsi model freemium, Emeric tampaknya enggan mengiyakan. Mungkin tidak semua, akan tetapi jumlah game freemium saya perkirakan akan bertambah banyak, bukan dari Gameloft saja, tetapi juga dari banyak publisher dan developer lain.

Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan industri gaming secara keseluruhan yang luar biasa, dan salah satu kontributornya adalah model freemium itu sendiri. Dalam kasus Gameloft, perusahaan asal Perancis ini berhasil menduduki posisi kedua publisher terbesar di tahun 2014 menurut App Annie, dilihat dari jumlah unduhan game di Google Play maupun Apple Store. Semuanya berkat model bisnis freemium.

Melihat pencapaian semacam itu, Emeric pun menyebutkan bahwa komitmen Gameloft di pasar freemium kini lebih kuat ketimbang sebelumnya, dan ke depannya mereka berencana untuk tetap seperti itu. Mengapa? Karena konsep micro-transaction di dalam game dirasa jauh lebih alami, dimana pemain hanya membayar untuk apa yang mereka konsumsi, tidak lebih.

Sekali lagi, model bisnis freemium terbukti dapat menguntungkan kedua pihak sekaligus, baik produsen (publisher dan developer) maupun konsumen.

Info menarik: GarudaPoint Coba Hadirkan Marketplace dan eCommerce Platform Game di Indonesia

Visi Gameloft ke depannya

asphalt-8

Melihat prestasi dan pertumbuhan Gameloft sejauh ini, saya pun tertarik mengetahui apakah mereka berminat merambah platform lain selain perangkat mobile. Emeric menegaskan bahwa visi mereka tidak terbatas pada perangkat mobile saja, meski itu sejatinya merupakan DNA mereka.

Untuk saat ini, mobile masih menduduki posisi teratas terkait jumlah game yang diunduh setiap harinya, bahkan saya kira jauh melebihi console maupun PC. Inilah yang sepertinya menjadi pertimbangan utama Gameloft. Selama mobile masih memimpin, mereka akan terus fokus di situ. Namun kalau ke depannya console maupun PC kembali ‘meledak-ledak’, bukan tidak mungkin Gameloft akan turut meramaikannya.

Bagaimana dengan VR, alias virtual reality? Saya pun juga penasaran, namun Emeric berpendapat bahwa itu masih terlalu dini untuk dibicarakan. Saya cukup yakin ada sentilan-sentilan kecil di tim internal Gameloft seputar keinginan mengembangkan game VR, tapi tidak dalam waktu dekat.

Masih didukung rasa penasaran, saya lanjut menanyakan soal crowdfunded game. Sejauh ini Gameloft belum mempunyai rencana untuk memperkenalkan sebuah game lewat kampanye crowdfunding, mungkin suatu hari ketika benar-benar ada permintaan besar dari konsumen.

Gambar header: Mobile gaming via Shutterstock.