PBESI mengungkap bahwa mereka berharap, atlet esports Indonesia akan bisa membawa pulang 5 medali emas di SEA Games 2022. Sementara itu, Evil Geniuses mengumumkan, Damien “maLeK” Marcel akan menjadi kepala pelatih baru. Pada minggu lalu, ESL Gaming membuat turnamen CS:GO baru, yang ditujukan untuk pemain perempuan. Selain itu, mereka juga memperpanjang kontrak mereka dengan Maincast.
PBESI Harap Esports Bisa Menangkan 5 Medali Emas di SEA Games
Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI) mengungkap target mereka untuk para atlet esports yang bertanding di SEA Games2022. Target mereka adalah untuk mendapatkan lima medali emas. Sekretaris Jenderal PBESI, Frengky Ong mengatakan, untuk mencapai target mereka, mereka telah bekerja sama dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan Indonesia eSports Association (IESPA).
“Kami sudah bekerja sama dengan KOI dan IESPA,” kata Frengky, dikutip dari Antara. “Kita akan membentuk satu badan tim nasional. Dan untuk kuota, kita punya beberapa target. Salah satu target kita, kita ingin setinggi-tingginya. Kita targetkan lima emas untuk SEA Games.” Setelah badan tim nasional dibentuk, PBESI akan menyelenggarakan program penyaringan. Kegiatan itu lalu diikuti dengan pelatihan nasional (Pelatnas) pada Januari 2022.
ESL Umumkan Seri Turnamen CS:GO Baru untuk Pemain Perempuan
Minggu lalu, ESL Gaming mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan sirkuti turnamen CS:GO baru, yang ditujukan khusus untuk pemain perempuan. Total hadiah dari turnamen itu mencapai US$500 ribu. Melalui turnamen ini, ESL ingin memberikan kesempatan bagi pemain perempuan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu inklusivitas di esports. Turnamen itu akan menampilkan delapan tim dari Amerika Utara dan Eropa.
Selain turnamen CS:GO baru, ESL Gaming juga mengumumkan keberadaan dewan untuk pemain perempuan serta program pengembangan talenta perempuan. Semua ini merupakan bagian dari program inklusivitas ESL yang baru, yaitu disebut #GGFORALL. Melalui program itu, ESL ingin membuat industri game dan esports menjadi lebih inklusif, lapor Esports Insider.
Evil Geniuses Tunjuk Damien “maLeK” Marcel Sebagai Kepala Pelatih Baru
Evil Geniuses mengonfirmasi bahwa Damien “maLeK” Marcel akan menggantikan Damian “daps” Steele sebagai kepala pelatih. Dengan begitu, Marcel akan bertanggung jawab untuk menentukan roster baru dari tim CS:GO EG setelah mereka berpisah dengan Owen “oBo” Schlatter, Peter “stanislaw” Jarguz, dan Michal “MICHU” Muller, menurut laporan dari HLTV.
Sejauh ini, EG belum mengungkap tim CS:GO merkea. Namun, menurut laporan 1pv.fr, kemungkinan, EG akan mengajak Jake “Stewie2K” Yip, mantan pemain Liquid dan Timothy “autimatic” Ta, yang berencana untuk kembali ke CS:GO setelah menjadi pemain VALORANT di T1.
EVO Tunjuk Rick “TheHadou” Thiner Sebagai General Manager
Penyelenggara turnamen fighting game, EVO (Evolution Championship Series) menunjuk Rick “TheHadou” Thiner sebagai General Manager. Dengan ini, Thier akan bertanggung jawab atas operasi sehari-hari perusahaan. Selain itu, dia juga akan menentukan visi dan arah perusahaan di masa depan. Meski telah ditunjuk sebagai general manager, Thiher akan tetap menduduki posisinya sebagai Event Director untuk Combo Breaker.
Thiher telah membangun karir di dunia esports selama lebih dari 10 tahun. Sebelum ini, dia pernah menjabat sebagai Product Manager untuk Twitch. Ketika itu, tugasnya adalah untuk bekerja sama dengan pelaku esports lain, seperti yang disebutkan oleh Esports Insider. Dia juga menangani Twitch Rivals selama empat tahun. Tak hanya itu, dia juga memimpin The Hadou, perusahaan konsultasi kreatif.
ESL Gaming Perpanjang Kontrak dengan Maincast
Penyelenggara turnamen esports, ESL Gaming, mengumumkan bahwa mereka telah memperpanjang kontrak kerja sama dengan perusahaan broadcast, Maincast. Keduanya pertama kali bekerja sama pada 2020. Ketika itu, kontrak mereka hanya akan berlaku hingga 2023. Sekarang, kontrak tersebut akan diperpanjang hingga 2027.
Melalui kontrak ini, Maincast akan mendapatkan hak eksklusif untuk menayangkan turnamen-turnamen ESL dalam bahasa Rusia atau Commonwealth of Independent States (CIS). Kompetisi esports yang akan ditayangkan oleh Maincast mencakup seluruh turnamen yang ESL adakan, mulai dari ESL Pro Tour untuk CS:GO dan Starcraft, ESL Mobile, sampai ESL Dota 2, menurut laporan Esports Insider.
Setelah ditunda selama satu tahun, The International 10 akhirnya resmi digelar. Walau tidak ada penonton langsung, TI10 tetap menarik perhatian banyak orang. Hal ini terlihat dari jumlah orang yang menonton siaran langsung dari The International 10. Sementara itu, di dalam negeri, PB ESI mengungkap rencana mereka untuk mengadakan akademi esports dan ekstrakurikuler esports. Di Eropa, ESL Gaming menjalin kontrak kerja sama dengan Freaks 4U Gaming.
PB ESI Ingin Jadikan Esports Sebagai Ekstrakurikuler dan Buat Akademi Esports
Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) baru saja mengungkap rencana mereka untuk menjadikan esports sebagai ekstrakurikuler. Tak hanya itu, mereka juga berencana untuk membuat akademi esports. Tujuannya adalah untuk mengembangkan ekosistem esports di Indonesia. Ketua Harian PB ESI, Bambang Sunarwibowo berharap, keberadaan program akademi esports dan ekstrakurikuler esports tidak hanya akan memunculkan atlet esports muda, tapi juga menumbuhkan ketertarikan untuk menjadi kreator konten, streamer, caster, pelatih atau wasit, lapor Antara.
Jumlah Penonton The International 10 Tembus 1,1 Juta Orang
The International 10 telah dimulai. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tim-tim yang bertanding di TI10 dibagi ke dua grup. Sayangnya, siaran TI10 tidak berjalan mulus. Pasalnya, siaran langsung dari TI10 sempat ditunda selama hampir 1 jam. Meskipun begitu, hal ini tidak menurunkan minat para penonton. Buktinya, jumlah peak viewers dari babak pertama TI10 mencapai lebih dari satu juta orang, menurut data dari Esports Charts.
Sementara itu, total hours watched dari group stage TI10 mencapai 11,2 juta jam, dengan jumlah peak viewers mencapai 1,1 juta orang. Seperti yang disebutkan oleh Dot Esports, jumlah peak viewers pada group stage TI10 hampir menyamai jumlah peak viewers dari babak final TI8. Ketika itu, pertandingan antara OG dan PSG.LGD berhasil mendapatkan peak viewers sebanyak 1,2 juta orang.
Streamer Amouranth Terkena Ban di Twitch, Instagram, dan TikTok
Minggu lalu, streamer ASMR Kaitlyn “Amouranth” Siragusa terkena ban di Twitch. Tak hanya itu, melalui Twitter, Amouranth mengungkap bahwa dia juga terkena ban di Instagram dan TikTok. Menurut laporan Dot Esports, kali ini adalah kali kelima Amouranth terkena hukuman ban di Twitch. Saat ini, Amouranth mengaku tidak tahu alasan di balik hukuman ban ini. Namun, ada kemungkinan, akunnya diblokir karena dia membuat konten yang terlalu seksual. Sebelum ini, dia juga ikut serta dalam tren bathtub streaming.
Sejak tahun lalu, TikTok mulai memblokir kreator konten yang memasang tautan ke konten dewasa di bio mereka. Misalnya, kreator konten yang menampilkan tautan ke OnlyFans atau Linktree. Instagram juga punya peraturan serupa tentang konten seksual. Sementara di Twitch, streamers bisa terkena ban jika mereka mempromosikan OnlyFans.
BITKRAFT Ventures Siapkan US$75 Juta untuk Investasi di Blockchain Gaming
BITKRAFT Ventures, salah satu investor terbesar di bidang game dan esports, mengungkap bahwa mereka telah menyiapkan dana sebesar US$75 juta untuk diinvestasikan ke startup dan perusahaan yang bergerak di bidang blockchain gaming dan hiburan digital. Sebelum ini, mereka juga telah mempekerjakan Piers Kicks untuk membantu mereka dalam menjajaki ekosistem crypto.
BITKRAFT tidak menentukan stage yang menjadi fokus mereka dalam mengucurkan dana investasi untuk blockchain gaming. Hal itu berarti, mereka akan menanamkan investasi ke startup atau perusahaan yang mereka anggap sesuai, tidak peduli apakah startup itu membutuhkan dana pre-seed atau perusahaan tersebut membutuhkan investasi di seri lanjutan, menurut laporan VentureBeat.
Freaks 4U Gaming Pegang Lisensi ESL di Prancis dan Jerman
Penyelenggara turnamen ESL Gaming mengumumkan kontrak kerja sama dengan Freaks 4U Gaming, perusahaan gaming dan esports marketing. Kontrak ini berlangsung selama lebih dari satu tahun. Melalui kontrak tersebut, Freaks 4U Gaming akan menjadi pemegang lisensi dan operator dari kompetisi nasional ESL dan festival DreamHack di Jerman dan Prancis. Selain itu, Freaks 4U Gaming juga akan membuat konten yang akan dimasukkan ke ESL dan DreamHack. Keduanya juga akan berkolaborasi demi mencari cara untuk memonetisasi esports events, menurut laporan Esports Insider.
Minggu lalu, Valve mengumumkan bahwa mereka akan meniadakan penonton offline untuk The International 10. Mereka juga mengungkap, SteelSeries akan menjadi sponsor dari TI10. Sementara itu, di Indonesia, PB ESI berencana untuk mengadakan liga esports nasional pada tahun depan.
PON XX Papua Selesai, PB ESI akan Adakan Liga Esports Nasional
Setelah Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua usai digelar pada Minggu, 26 September 2021, Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) mengungkap rencana mereka untuk mengadakan liga esports nasional pada tahun depan. Tujuan dari liga esports nasional itu adalah untuk mengembangkan bakat pemin esports profesional di Tanah Air.
“Setelah acara PON selseai, kita lakukan evaluasi. Laporan dan setelah itu, kita melakukan gebrakan untuk melakukan liga nasional di seluruh Indonesia,” ujar Ketua Bidang Humas dan Komunikasi PB ESI, Ashadi Ang, seperti dikutip dari Antara. Lebih lanjut dia menjelaskan, liga nasional ini akan terbagi menjadi tiga: Liga 1, Liga 2, dan Liga 3. Rencananya, liga itu akan bisa mencakup hingga kabupaten. Diperkirakan, liga nasional tersebut akan mulai diadakan pada tahun 2022.
The International 10 Digelar Tanpa Penonton, Valve Tawarkan Refund
Tahun ini, The International 10 akan digelar tanpa penonton. Valve mengumumkan hal itu pada minggu lalu. Mereka menyebutkan, sepanjang turnamen, TI10 hanya akan dihadiri oleh tim, talenta, dan staf. Valve menyebutkan, alasan mereka mengambil keputusan ini adalah untuk memastikan kesehatan dari para pemain, talenta, staf, dan semua orang yang ikut terlibat dalam penyelenggaraan TI10. Mereka juga akan memberikan refund pada orang-orang yang sudah terlanjur membeli tiket untuk TI10.
To ensure the safety of all players, talent, and production staff participating in the event, we have decided to refund all ticket sales for the live audience at The International 2021 — https://t.co/JOZQzxZ8Sfpic.twitter.com/77xnfvC5kv
“Kami ingin agar para fans bisa menghadiri dan menonton The International 10 secara langsung. Namun, kami tidak bisa melakukan itu karena prioritas kami tetaplah kesehatan dari para peserta dan penonton,” ujar Valve, dikutip dari Dot Esports. “Orang-orang yang telah membeli tiket akan mendapatkan refund secara otomatis.”
Veloce Esports dan Codemasters Bakal Gelar VERSUS ULTRA Series di 2022
Organisasi sim racing Veloce Esports baru saja menjalin kerja sama dengan developer game balap, Codemasters. Melalui kerja sama ini, keduanya akan meluncurkan liga esports yang akan mengadu beberapa game balap. Liga tersebut dinamai VERSUS ULTRA Series.
Diadakan pada 2022, VERSUS ULTRA Series akan diikuti oleh enam tim. Salah satu tim sim racing yang sudah pasti akan ikut serta dalam liga tersebut adalah Quadrant, tim milik pembalap Lando Norris. Dalam VERSUS ULTRA Series, terdapat beberapa babak yang mengadu peserta dalam game-game Codemasters, seperti DiRT, Project CARS, GRID, dan game F1 resmi. Sayangnya, belum diketahui game apa saja yang akan diadu dalam VERSUS ULTRA Series, seperti yang disebutkan oleh Esports Insider.
Razer Luncurkan Program Kesehatan untuk Gamers
Razer baru saja memperkenalkan program kesehatan yang disebut “Champions Start from Within”. Program ini ditujukan untuk mempromosikan kebiasaan bermain game yang sehat. Target dari program ini adalah para gamers, baik pemain profesional maupun amatir. Sebagai bagian dari program kesehatan ini, Razer berkolaborasi dengan psikolog, ahli terapi, ahli nutrisi, dan lain sebagainya. Para ahli tersebut akan memberikan konten dalam bentuk video, artikel, serta events, menurut laporan Dot Esports.
Tahun lalu, kesehatan fisik dan mental menjadi salah satu topik hangat di ekosistem esports. Pasalnya, beban mental yang ditanggung oleh pemain esports profesional memang tidak ringan. Selain itu, semakin banyak tim esports yang memperhatikan pentingnya kebugaran fisik dari pemain mereka. Jika tidak hati-hati, para pemain esports bisa mengalami gejala layaknya burnout. Menurut Razer, beberapa gejala yang biasa dialami oleh para gamers antara lain sakit kepala, masalah dengat mata, rasa sakit di punggung atau leher, serta rasa nyeri di tangan atau pergelangan tangan.
SteelSeries Jadi Sponsor dari The International
Selain membuat pengumuman tentang peniadaan penonton offline untuk The International 10, minggu lalu, Valve juga mengungkap sponsor baru untuk TI10, yaitu SteelSeries. Sebagai rekan resmi dari turnamen Dota 2 itu, SteelSeries akan menyediakan mouse, keyboards, headset, dan aksesori lain untuk para pemain yang berpartisipasi dalam The International 10. Selain itu, SteelSeries juga akan mengadakan beberapa kegiatan aktivasi offline di Bucharest, Romania, tempat TI10 digelar. Di TI10, mereka juga akan menjual mousepad The International edisi terbatas, menurut laporan Esports Insider.
Beberapa tahun belakangan, esports menjadi perhatian banyak pihak, mulai dari perusahaan non-endemik, perusahaan venture capital, sampai pemerintah. Mengingat industri esports memang terus tumbuh, baik dari segi jumlah penonton maupun valuasi, hal ini tidak aneh. Seiring dengan semakin populernya competitive gaming, semakin banyak pula pihak yang tertarik untuk membuat asosiasi atau lembaga untuk menaungi esports. Di Indonesia, setidaknya ada dua lembaga yang bertanggung jawab atas esports, yaitu Indonesia Esports Association (IeSPA) dan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI).
Dalam bahasa Inggris, ada pepatah: There is strength in numbers. Biasanya, semakin besar sebuah kelompok, semakin kuat pula kelompok tersebut. Masalahnya, menyatukan misi dan visi banyak orang bukan perkara mudah. Dan dalam kasus asosiasi esports, keberadaan banyak asosiasi justru bisa membuat para pelaku bingung. Apalagi, jika tugas dari masing-masing asosiasi tidak dipisahkan dengan jelas, membuat tanggung jawab setiap asosiasi menjadi saling tumpang tindih.
Kabar baiknya — atau justru kabar buruknya — Indonesia bukan satu-satunya negara yang punya lebih dari satu lembaga esports. Di beberapa negara lain — seperti Singapura dan Malaysia — asosiasi yang menaungi esports juga tidak hanya satu. Berikut pembahasan tentang lembaga apa saja yang ada di sejumlah negara dan apa saja tugas mereka.
Malaysia – MeSF & ESI
Sama seperti Indonesia, di Malaysia, setidaknya ada dua lembaga yang menaungi esports, yaitu Malaysia Esports Federation (MeSF) dan Esports Integrated (ESI). Menariknya, kedua asosiasi itu sama-sama ada di bawah naungan Kementerian Belia dan Sukan (KBS) alias Kementerian Pemuda dan Olahraga. MeSF didirikan pada Desember 2014. Saat didirikan, MeSF masih menggunakan nama Esports Malaysia (ESM). Pada 2020, status ESM naik menjadi federasi dan nama mereka pun menjadi MeSF. Mereka juga merupakan anggota dari International Esports Federation (IeSF).
Salah satu peran MeSF dalam mengembangkan industri esports di Malaysia adalah membuat Malaysia Esports Blueprint. Sesuai namanya, blueprint tersebut berisi rencana esports dalam lima tahun ke depan, sejak 2020 sampai 2025. Keberadaan Malaysia Esports Blueprint diumumkan pada November 2019 oleh Syed Saddiq, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Dengan program ini, pemerintah Malaysia ingin menjadikan Malaysia sebagai pusat esports di Asia Tenggara. Pada 2018 dan 2019, memang ada beberapa kompetisi esports internasional yang digelar di Malaysia. Dua diantaranya adalah Dota 2 Major Kuala Lumpur dan Mobile Legends World Championship.
Ada lima strategi yang menjadi prioritas bagi pemerintah Malaysia. Salah satunya adalah menyelenggarakan Malaysia Esports League. Selain itu, pemerintah Malaysia juga ingin menggelar konferensi esports, membuat pusat latihan esports berlisensi, mendorong agar ada lebih banyak perempuan yang ikut aktif di dunia esports, dan menjamin kesejahteraan para atlet esports. Pemerintah Malaysia juga ingin membahas tentang masalah kecanduan game.
Sementara itu, ESI diluncurkan oleh KBS pada Oktober 2020. Ketika itu, KBS menyebutkan bahwa tujuan mereka membuat ESI adalah untuk membangun struktur esports yang terintegrasi. Demi merealisasikan hal tersebut, mereka akan melakukan empat hal pada fase pertama. Keempat hal itu adalah:
1. Membuat platform untuk mengatur ekosistem esports secara terpusat
2. Mengadakan Malaysia Esports Circuit
3. Memperkenalkan seri Esports Conference and Summit
4. Menjadi advokat agar pemerintah bisa membuat regulasi yang lebih baik
Selain itu, ESI Juga akan mengadakan program Capacity Building, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dari para pelatih, manajer tim, serta Event Organizers (EO). Di bawah naungan KBS, ESI juga akan membuat fasilitas esports resmi yang terletak di Spacerubix, Puchong. Selain sebagai tempat latihan untuk pemain profesional dan amatir, tempat tersebut juga akan memiliki fungsi lain, seperti sebagai tempat untuk esports event serta tempat berkumpul para pelaku esports untuk bersosialisasi dan membangun jaringan.
Singapura – SCOGA & SGEA
Di Singapura, juga ada setidaknya dua lembaga esports. Pertama, Singapore Cybersports & Online Gaming Association (SCOGA). Kedua, Singapore Esports Association (SGEA). Baik SCOGA maupun SGEA bukan anggota dari IeSF. Namun, SGEA merupakan anggota dari Global Esports Federation (GEF) dan juga Singapore National Olympic Council (SNOC).
SCOGA didirikan pada 2008. Berdasarkan situs resmi mereka, SCOGA punya tiga fokus, yaitu Esports Academy, Campus Game Fest, dan Campus Legends. Melalui Esports Academy, SCOGA ingin memberikan edukasi tentang esports dan membantu generasi muda agar bisa berprestasi di bidang competitive gaming. Selain itu, SCOGA juga berniat untuk membantu generasi muda yang ingin berkarir di dunia esports, baik sebagai atlet, pelatih, manajer, atau bahkan pemilik tim.
Sementara untuk menggelar Campus Game Fest (CGF), SCOGA bekerja sama dengan Institute Technical Education (ITE) dan People’s Association Youth Movement (PAYM). Melalui CGF, SCOGA ingin meningkatkan kesadaran akan pentingnya gaya hidup yang seimbang, khususnya di kalangan anak muda. Terakhir, melalui Campus Legends, SCOGA berusaha untuk mendekatkan diri, mengedukasi, serta mengkaryakan generasi muda melalui esports.
Salah satu hal konkret yang SCOGA lakukan untuk membangun ekosistem esports Singapura adalah bekerja sama dengan Moonton untuk menggelar M2 World Championship. Dikutip dari Esports Insider, Nicholas Khoo, Co-founder dari SCOGA mengatakan, dengan diadakannya M2 World Championship di Singapura, dia berharap, hal ini bisa memberikan harapan pada fans esports di Singapura yang telah lelah menghadapi pandemi. Selain itu, dia juga ingin agar kompetisi itu bisa mendorong generasi muda untuk mengejar aspirasi mereka, khususnya di bidang esports.
Jika dibandingkan dengan SCOGA, umur Singapore Esports Association (SGEA) jauh lebih pendek. Asosiasi itu baru didirikan pada 2018. Di situs resmi mereka, SGEA menyebutkan bahwa misi mereka adalah mendorong partisipasi Singapura di kancah esports, baik di tingkat regional maupun internasional. Selain itu, mereka juga bertugas untuk mempromosikan esports. Memang, di Singapura, esports tidak terlalu populer. Alasannya, karena sistem edukasi di sana sangat ketat. Alhasil, para siswa di Singapura lebih memilih untuk fokus pada sekolah daripada menjadi atlet esports.
Salah satu kontribusi SGEA ke industri esports Singapura adalah memilih atlet esports yang bakal maju ke SEA Games 2021. Untuk memilih tim esports nasional, SGEA mengadakan National Selections untuk tiga game esports, yaitu League of Legends: Wild Rift, League of Legends, dan Arena of Valor.
Korea Selatan – KeSPA
Lembaga yang menaungi esports di Korea Selatan adalah Korea e-Sports Association (KeSPA). Ketika didirikan pada 2000, KeSPA ada di bawah naungan Kementerian Budaya, Olahraga, dan Wisata Korea. Selain itu, mereka juga merupakan anggota dari IeSF dan Korean Olympic Committee (KOC). Pada awalnya, KeSPA didirikan dengan tujuan untuk menjadikan turnamen esports sebagai kompetisi olahraga resmi. Selain itu, mereka juga ditugaskan untuk memperkuat bisnis esports.
Dari sisi operasional, KeSPA melakukan banyak hal, mulai dari mengadakan esports events, menyiarkan konten esports, sampai mengedukasi masyarakat agar lebih berpikiran terbuka pada gaming. Mereka juga punya wewenang untuk menetapkan taraf hidup para pemain profesional. Langkah kongkret yang mereka lakukan adalah membuat regulasi baru yang mereka buat bersama dengan Riot Games dan Ongamenet. Regulasi tersebut diumumkan pada Oktober 2014.
Salah satu hal yang dibahas dalam regulasi dari KeSPA itu adalah gaji minimal yang diterima oleh pemain profesional. KeSPA juga menetapkan bahwa kontrak antara organisasi esports dan pemain profesional harus memiliki durasi paling singkat selama satu tahun. Peraturan terkait lama kontrak ini mulai diberlakukan pada 2016.
KeSPA juga bisa menjatuhkan hukuman pada pemain esports yang berbuat curang. Contohnya, pada April 2010, Sanction Subcommittee dari KeSPA melarang 11 pemain StarCraft ikut serta dalam kompetisi esports di masa depan. Alasannya, 11 pemain tersebut terlibat dalam kasus match-fixing di musim pertandingan 2009. Ironisnya, dua pemain KeSPA — Lee “Life” Seung dan Jung “Bbyong” Woo Yong — juga pernah terlibat dalam kasus match-fixing.
Jepang – JeSU
Pada awalnya, Jepang punya tiga asosiasi esports, yaitu Japan e-Sports Association, eSports Promotion Organization, dan Japan eSports Federation. Pada Februari 2018, ketiga asosiasi esports itu memutuskan untuk melakukan konsolidasi, lapor The Esports Observer. Alhasil, berdirilah Japan Esports Union (JeSU). Saat ini, JeSU punya 42 anggota, termasuk developer dan publisher game ternama, seperti Bandai Namco, Capcom, Konami, Microsoft Japan, Sony, Square Enix, dan Tencent Japan. Mereka juga merupakan anggota dari IeSF.
Tak bisa dipungkiri, industri game Jepang adalah salah satu yang paling besar di dunia. Menurut data Newzoo, walau hanya memiliki populasi sebanyak 126,5 juta orang, industri game Jepang bernilai US$20,6 juta. Sayangnya, industri esports Jepang justru sempat tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan yang sama. Salah satu masalah utama yang menghambat pertumbuhan esports di Jepang adalah keberadaan Act against Unjustifiable Premiums and Misleading Representation. Regulasi itu sebenarnya dibuat untuk mencegah yakuza mendapatkan uang dari mesin poker atau judi. Namun, peraturan itu juga membatasi jumlah hadiah yang bisa ditawarkan dalam kompetisi esports. Maksimal, kompetisi esports hanya bisa memberikan hadiah sebesar JPY100 ribu (sekitar Rp13 juta).
JeSU berhasil mengakali regulasi tersebut. Dan hal itu menjadi salah satu pencapaian JeSU. Agar total hadiah kompetisi esports tidak dibatasi, JeSU mengeluarkan lisensi “Pro Gaming”. Ada tiga jenis lisensi yang dikeluarkan oleh JeSU, yaitu Japan eSports Pro License, Japan eSports Junior License, dan Japan eSports Team License, seperti yang disebutkan oleh GammaLaw.
Selain membuat lisensi Pro Gaming, JeSU juga aktif untuk mengedukasi masyarakat. Harapannya, hal ini akan mengubah pandangan masyarakat akan dunia esports dan pemain profesional bisa diterima oleh masyarakat. Untuk itu, JeSU terus mendukung acara esports atau mengadakan kompetisi esports sendiri. Hampir setiap bulan, JeSU selalu mengadakan atau mendukung acara esports di Jepang.
Usaha JeSU berbuah manis. Menurut data dari Gzbrain, industri esports di Jepang tumbuh pesat setelah JeSU meluncurkan lisensi Pro Gaming. Pada 2017, industri esports di Jepang hanya bernilai US$3,4 juta. Angka itu naik 1244% menjadi US$42,3 juta pada 2018. Dan industri esports di Jepang diduga masih akan terus naik. Pada 2022, diperkirakan, esports di Jepang akan tumbuh menjadi industri bernilai US$90,8 juta.
Inggris – BEA
United Kingdom eSports Associatoin (UKeSA) didirikan pada Oktober 2008 untuk menaungi esports di Inggris. Namun, satu tahun kemudian, lebih tepatnya pada Desember 2019, asosiasi itu dibubarkan. Pada 2016, British Esports Association (BEA) berdiri. Salah satu tujuan asosiasi itu adalah untuk memperkenalkan esports pada warga Inggris. Pada saat yang sama, mereka juga bertugas untuk meningkatkan standar ekosistem esports di Inggris. Di situs resmi mereka, BEA mengunkap bahwa mereka bukanlah regulator. Fokus mereka adalah pada pengembangan ekosistem esports amatir di tingkat sekolah dan universitas.
Selama ini, BEA telah menyelenggarakan sejumlah turnamen esports. Salah satunya adalah British Esports Championships, kompetisi esports yang ditujukan untuk para pelajar di Inggris Raya. Belum lama ini, BEA juga mengeluarkan Esports Age Guide. Sesuai namanya, Esports Age Guide berfungsi untuk menginformasikan orang tua, guru, dan bahkan anak dan remaja akan rating dari game-game esports. Keberadaan panduan ini diharapkan akan memudahkan orang tua dan guru untuk menentukan game esports yang sesuai dengan umur anak dan remaja.
Amerika Serikat – USeF
Di Amerika Serikat, asosiasi yang bertanggung jawab atas esports adalah United States eSports Federation (USeF). Asosiasi itu juga merupakan bagian dari IeSF. Sama seperti kebanyakan asosiasi esports di negara lain, tujuan USeF adalah untuk mempromosikan esports dan menumbuhkan industri competitive gaming. Salah satu program USeF adalah Armour On, yang bertujuan untuk melindungi atlet esports dan memitigasi stigma negatif terkait game. Melalui program itu, USeF juga ingin meningkatkan kesadaran para pelaku esports akan pentingnya kesehatan mental, nutrisi, dan juga kesetaraan gender.
USeF dipimpin oleh Vlad Marinescu, yang menjabat sebagai President. Sebelum ini, Marinescu pernah menduduki jabatan sebagai Director General dari SportAccord, Global Association of International Sport Federation (GAISF). Pada Juli 2019, dia ditunjuk sebagai Vice President dari IeSF. Dan pada Mei 2020, dia diangkat menjadi President dari IeSF.
Tiongkok – CSIC & General Administration of Sports
Di Tiongkok, esports sudah diresmikan sebagai olahraga sejak 2003. Badan yang meresmikan hal itu adalah General Administration of Sports, ungkap Daniel Ahmad, Senior Analyst, Niko Partners. Dia menambahkan, pada tahun 2020, pihak yang bertanggung jawab untuk mengubah format kompetisi esports menjadi online selama pandemi adalah General Administration of Sports.
“Walau General Administration of Sports adalah badan yang bertanggung jawab atas esports di tingkat nasional, pemerintah lokal yang punya peran besar untuk mendorong pertumbuhan esports,” ujar Ahmad melalui email. “Pemerintah lokal di berbagai kota di Tiongkok telah membuat regulasi yang mendorong pertumbuhan esports. Biasanya, pihak pemerintah akan memberikan insentif berupa bantuan keuangan.” Beberapa pemerintah lokal yang telah mengeluarkan regulasi untuk membantu pertumbuhan esports antara lain Shanghai, Beijing, Guangzhou, Nanjing, Shenzhen, Hainan, Xian, dan Chengdu.
Peran pemerintah Tiongkok dalam pengembangan esports juga dibahas dalam jurnal berjudul Development of E-sports industry in China: Current situation, Trend and research hotspot. Di jurnal itu, disebutkan bahwa pemerintah Tiongkok — pusat dan daerah — telah mengeluarkan 98 regulasi untuk mendukung industri esports. Tidak heran jika pemerintah Tiongkok sangat peduli akan perkembangan industri esports, mengingat jumlah fans esports di Tiongkok memang banyak. Berdasarkan data dari Penguin Intelligence, jumlah fans esports di Tiongkok pada 2020 mencapai 400 juta orang atau sekitar seperlima dari total penonton esports di dunia. Sementara itu, nilai industri esports di Tiongkok mencapai CNY102,8 miliar. Dengan ini, Tiongkok menjadi pasar esports terbesar.
Selain General Administration of Sport, Tiongkok juga punya China Sports Information Center (CSIC), yang mewakili mereka di IeSF. Namun, ketika Tiongkok berpartisipasi dalam pertandingan eksibisi esports di Asian Games 2018, pihak yang memilih tim nasional esports adalah General Administration of Sports.
Global – IeSF & GEF
Tidak semua asosiasi esports membatasi diri untuk beroperasi di satu negara. Juga ada asosiasi esports yang memiliki skala global. Salah satunya adalah International Esports Federation (IeSF). Didirikan pada 2008, IeSF bermarkas di Korea Selatan. Saat didirikan, ada sembilan asosiasi esports yang bernaung di bawah IeSF. Sembilan asosiasi itu berasal dari Austria, Belanda, Belgia, Denmark, Jerman, Korea Selatan, Swiss, Taiwan, dan Vietnam. Saat ini, IeSF punya 104 negara anggota, termasuk Indonesia. Di IeSF, Indonesia diwakili oleh IeSPA.
Walau memiliki skala global, IeSF juga menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga pemerintah. Salah satunya adalah Kementerian Budaya, Olahraga, dan Wisata (MCST) Korea Selatan. Selain itu, mereka juga bekerja sama dengan Busan IT Industry Promotion Agency (BIPA), dan Maccabi World Union.
Salah satu hal yang IeSF lakukan adalah mengelar kompetisi esports tahunan. Ketika pertama kali diselenggarakan pada Desember 2009, turnamen esports dari IeSF dinamai IeSF Challenge. Tahun berikutnya, IeSF kembali mengadakan kompetisi esports. Hanya saja, mereka menggunakan nama yang berbeda, yaitu IeSF Grand Finals. Pada 2011, nama kompetisi itu kembali diubah, menjadi IeSF World Championship. Dan pada 2014, IeSF menggunakan nama Esports World Championship. Nama itulah yang digunakan oleh IeSF hingga sekarang.
IeSF bukanlah satu-satunya asosiasi esports global yang ada. Pada Desember 2019, Global Esports Federation (GEF). Federasi yang bermarkas di Singapura itu punya tujuan untuk meningkatkan kredibilitas esports. Secara konkret, salah satu hal yang GEF lakukan adalah memastikan para atlet esports tidak menggunakan doping. Selain itu, mereka juga membuat peraturan terkait gaji pemain esports, merumuskan peraturan dan struktur kepemimpinan esports, serta mendorong terciptanya asosiasi esports nasional yang memiliki standar dan regulasi yang jelas.
Salah satu hal yang membedakan GEF dengan IeSF adalah kedekatan GEF dengan Komite Olimpiade. Pasalnya, sejumlah tokoh GEF memang punya kaitan dengan komite Olimpiade nasional. Misalnya, Chris Chan, yang menjadi President GEF, juga menjabat Sektretaris Jenderal dari Singapore National Olympic Council. Sementara itu, dua Vice President GEF — Wei Jizhong dan Charmaine Crooks — juga punya andil dalam Olimpiade.
Wei merupakan mantan Sekretaris Jenderal dari Chinese Olympic Committee dan Crooks merupakan atlet yang pernah ikut dalam Olimpiade sebanyak lima kali. Selain itu, Chris Overholt,yang menduduki posisi sebagai Head of Digital Technology and Innovation Commission di GEF, juga menjabat sebagai CEO dari Canadian Olympic Committee. Tak hanya itu, GEF juga punya hubungan erat dengan publisher, khususnya Tencent. Faktanya, Tencent merupakan salah satu founding partner GEF. Jadi, GEF menunjuk Cheng Wu — Vice President, Tencent Holdings dan CEO dari Tencent Pictures — sebagai salah satu Vice President.
IESF VS GEF
IeSF telah berdiri terlebih dulu. Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah GEF didirikan untuk menyaingi IeSF. Ketika ditanya tentang hal itu, Chris Chan, President GEF mengatakan bahwa GEF tidak dibuat dengan tujuan untuk menyaingi IESF. Namun, dia juga sadar bahwa tidak tertutup kemungkinan, IeSF memang akan melihat GEF sebagai saingan. Walau dia sadar, IeSF memang bisa menganggap mereka sebagai saingan.
Menurut Nicolas Besombes, keberadaan GEF sebagai asosiasi esports baru justru bisa menimbulkan kebingungan di industri esports. Besombes sendiri merupakan Associate Professor untuk fakultas olahraga dari University of Paris. Dia juga pernah menjadi penasehat untuk Olympic Esports Summit yang digelar di Lausanne pada 2018.
“Saya rasa, publisher memang harus ikut serta dalam mengkonsolidasi industri, tapi tidak sendiri,” kata Besombes, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Dengan menyatukan semua pemegang kepentingan (tim, pemain, penyelenggara liga, manufaktur, publisher, dan perusahaan siaran), maka cara terbaik untuk menyatukan industri esports akan muncul.”
Di GEF, salah satu masalah yang mungkin terjadi adalah konflik kepentingan. Karena, Tencent, yang merupakan founding partner GEF, juga memiliki saham di beberapa perusahaan game esports. Mereka menguasai seluruh saham Riot Games, yang membuat League of Legends. Selain itu, mereka juga memiliki 81,4% saham dari Supercell, kreator dari Clash Royale. Tak berhenti sampai di situ, mereka juga punya 40% dari Epic Games, yang membuat Fortnite. Tencent sendiri juga meluncurkan beberapa game esports, seperti PUBG Mobile dan Honor of Kings atau Arena of Valor.
Kabar baiknya, menurut Besombes, GEF memiliki orang-orang yang punya peran penting di komite Olimpiade, yang memberikan keuntungan pada industri esports. Karena, hal itu bisa meningkatkan kredibilitas esports dan meyakinkan para investor akan esports. Keberadaan lebih dari satu asosiasi esports memunculkan pertanyaan: apakah esports memang bisa diregulasi?
Sekarang, esports sering disandingkan dengan olahraga tradisional. Namun, tetap ada beberapa perbedaan antara esports olahraga. Salah satu perbedaan paling fundamental adalah esports menggunakan game sebagai media. Padahal, game adalah produk komersil milik publisher. Artinya, publisher punya kuasa penuh akan apa yang ingin mereka lakukan pada IP yang mereka buat. Dan hal ini menjadi salah satu alasan mengapa esports sulit untuk diregulasi — kecuali oleh publisher.
Alasan lain mengapa sulit untuk membuat badan regulasi di esports adalah karena esports mencakup banyak game. Dan setiap game punya publisher yang memiliki kebijakan yang berbeda-beda. Ada publisher yang turun tangan langsung dalam pengembangan ekosistem esports dari game mereka, seperti Riot Games dan Tencent. Namun, juga ada publisher yang menunjukkan sikap acuh tak acuh. Contohnya adalah Valve dengan Counter-Strike: Global Offensive.
Komisi Anti-Curang – ESIC
Esports Integrity Commission (ESIC) menjadi salah satu asosiasi esports lain yang memiliki jangkauan global. Namun, berbeda dengan GEF dan IeSF, ESIC hanya fokus pada satu tujuan, yaitu menjaga integritas esports. Karena, jika penonton tidak lagi percaya akan integritas pertandingan esports, maka mereka akan pergi. Padahal, jumlah penonton yang terus naik — dan umur penonton yang cenderung muda — merupakan salah satu daya tarik esports.
Demi menjaga integritas esports, ESIC berusaha mencegah terjadinya kecurangan, seperti match-fixing, penggunaan doping, atau kecurangan lainnya. Tapi, jika kecurangan sudah terlanjur terjadi, ESIC punya wewenang untuk melakukan investigasi terkait kasus kecurangan tersebut dan bahkan memberikan sanksi pada orang-orang yang terlibat.
Sejauh ini, ESIC telah menjatuhkan hukuman berupa suspension atau bahkan ban pada puluhan pemain dan pelatih Counter-Strike: Global Offensive ketika mereka tertangkap melakukan kecurangan. Misalnya, pada September 2020, ESIC memberikan hukuman pada 37 pelatih tim CS:GO karena menggunakan bug untuk memberitahu posisi musuh pada anak asuh mereka. Sebelum itu, ESIC juga pernah bekerja sama dengan Kepolisian Victoria untuk menangkap enam pemain CS:GO yang melakukan match-fixing di Australia. Tak hanya itu, ESIC juga pernah bekerja berdampingan dengan FBI untuk menyelidiki kasus match-fixing.
Kesimpulan
Mengetahui bahwa Malaysia dan Singapura juga punya lebih dari satu asosiasi esports — sama seperti Indonesia — mungkin terasa melegakan. Namun, kita harus hati-hati agar tidak terjebak dalam logical fallacy bandwagon: mempercayai bahwa jika suatu hal dilakukan oleh banyak orang, berarti tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
Dari JeSU di Jepang, kita bisa mengetahui bahwa ketika asosiasi melakukan konsolidasi, hal ini justru membuat mereka menjadi semakin efektif. Buktinya, mereka berhasil menemukan cara untuk mengakali regulasi terkait perjudian yang telah ada selama ratusan tahun. Sementara dari Tiongkok, kita bisa melihat bagaimana dukungan pemerintah tidak hanya bisa mengubah stigma negatif akan game, tapi juga memajukan industri game dan esports.
Dalam satu minggu belakangan, ada beberapa informasi menarik terkait ekosistem esports di Indonesia dan di dunia. Salah satunya adalah turnamen Free Fire untuk pelajar yang akan diadakan oleh Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI) dan keputusan pemerintah Malaysia untuk menyiapkan dana hingga puluhan miliar rupiah demi pengembangan esports.
Pemerintah Malaysia Siapkan Rp51,5 Miliar untuk Pengembangan Esports
Dalam rancangan belanja negara untuk 2021, pemerintah Malaysia mengalokasikan RM 15 juta (sekitar Rp51,5 miliar) untuk pengembangan esports. Kali ini adalah tahun ketiga pemerintah Malaysia menyiapkan dana untuk mengembangkan esports. Sebelum ini, mereka telah menyiapkan RM 10 juta (sekitar Rp34,3 miliar) untuk pengembangan esports di 2019 dan RM 20 juta (sekitar Rp68,6 miliar) pada 2020.
Menurut laporan The Esports Observer, pengumuman ini dibuat oleh Menteri Keuangan Malaysia, Tengku Zafrul Tengku Aziz. Pendanaan untuk esports tersebut merupakan bagian dari pengalokasian dana sebesar RM 55 juta (sekitar Rp189 miliar) untuk olahraga berprestasi, seperti hoki, rugby, badminton, dan sepeda. Sayangnya, tidak diketahui bagaimana dana pengembangan esports ini akan digunakan.
Fnatic Dapat Investasi Sebesar US$10 Juta
Fnatic baru saja mendapatkan pendanaan internal sebesar US$10 juta. Ronde pendanaan kali ini dipimpin oleh perusahaan venture capital, Beringea. Kali ini, beberapa investor lama Fnatic, seperti Unbound, LVL1 Group, dan JHD juga ikut serta menanamkan investasi untuk organisasi esports asal Inggris itu. Ke depan, Fnatic juga berencana untuk melakukan crowd funding demi mengumpulkan dana ekstra sebesar US$1,3 juta.
Investasi ini akan Fnatic gunakan untuk mengembangkan merek mereka serta mempertahankan posisi mereka sebagai salah satu organisasi esports terbaik di dunia. Selain itu, mereka juga akan mencari Chief Financial Officer baru. Dengan pendanaan kali ini, total investasi yang telah Fnatic dapatkan mencapai hampir US$35 juta.
“Industri esports kini tengah tumbuh dengan sangat pesat, tapi esports sebagai industri juga masih sangat muda,” kata Karen McCormick, Chief Investment Officer, Beringea, seperti dikutip dari Forbes. “Setelah mengevaluasi industri esports, kami memutuskan untuk menanamkan investasi pada Fnatic karena merek mereka yang bagus, performa mereka sebagai perusahaan yang konsisten, serta fanbase yang besar dan aktif berinteraksi.”
PBESI Adakan Turnamen Free Fire untuk Pelajar
Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI) mengumumkan kompetisi Piala Pelajar pada Senin, 9 November 2020. Kompetisi yang mengadu game Free Fire itu hanya mencakup kawasan Jabodetabek.
Babak kualifikasi dari kompetisi khusus pelajar ini akan digelar pada 9-10 November 2020. Sementara babak semi final akan diadakan pada 11 November dan babak final akan diselenggarakan pada 13 November 2020. Di babak final, 12 tim pelajar terbaik akan diadu untuk memperebutkan Piala Pelajar Jabodetabek Season 1.
Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Chandra Bhakti menyatakan apresiasinya pada PBESI karena telah mengadakan turnamen ini. Dia mengungkap, ketika pendaftaran dibuka pada 5-7 November 2020, antusiasme para pelajar menengah dan setingkat sangat tinggi. Buktinya, jumlah tim yang mendaftarkan diri mencapai lebih dari 10 ribu tim.
Take-Two Interactive Bakal Akuisisi Codemasters
Take-Two Interactive mengungkap, mereka akan mengakuisisi Codemasters dengan nilai US$994 juta. Kedua perusahaan itu mulai melakukan negoisasi pada minggu lalu. Sekarang, keduanya setuju bahwa Take-Two akan mengakuisisi Codemasters pada Q1 2021. Dalam sebuah pernyataan resmi, Take-Two menjelaskan keuntungan yang mereka dapatkan jika mereka mengakuisisi Codemasters.
“Codemasters dikenal berkat kesuksesan mereka untuk membuat franchise game balapan yang paling sukses dan paling populer di industri game,” kata CEO Take-Two, Strauss Zelnick, seperti yang disebutkan oleh GamesRadar. “Kami percaya, keahlian mereka akan memperkuat portofolio kami dalam membuat game olahraga, yang memungkinkan kami untuk tumbuh menjadi lebih besar.”
Belum lama ini, Codemasters merilis Dirt 5. Pada tahun ini, mereka juga meluncurkan F1 2020, yang merupakan game ke-13 dari franchise game balapan Formula 1. Sementara itu, Take-Two adalah perusahaan induk dari Rockstar Games, yang membuat Red Dead Redemption dan Grand Theft Auto. Mereka juga memiliki 2K, yang membuat Bioshock, Borderlands, dan Civilizations.
Pembalap F1 Lando Norris Buat Tim Esports
Pembalap Formula 1 asal Inggris, Lando Noris, mengungkap bahwa dia akan membuat tim esports-nya sendiri, yang dinamai Quadrant. Nama Norris mulai dikenal di dunia maya setelah dia ikut serta dalam balapan virtual F1.
“Rencana untuk membuat Quadrant telah saya pikirkan selama beberapa waktu,” kata Norris pada BBC. “Lockdown mendorong saya untuk merealisasikan rencana itu lebih cepat karena saya lebih sering melakukan streaming online.”
Norris bukanlah pembalap pertama yang memutuskan untuk membuat tim esports. Pada April 2020, pembalap F1 Romain Grosjean telah membuat tim esports yang dinamai R8G Sim Racing. Ketika itu, Grosjean mengungkap, timnya akan fokus pada kompetisi balapan virtual. Namun, Norris mengatakan, dia ingin agar timnya tidak hanya bertanding di kompetisi balapan, tapi juga di game esports lainnya.
The declaration of esports as an official sport means that the government is increasingly concerned about the development of esports.
Esports is starting to be recognized as a sport in the international world. It has been included in several significant sports competition. For example, at the 2018 Asian Games, esports became an exhibition match. Even at the 2019 SEA Games, esports has become a medal sport. Before the 2020 Olympics was cancelled, esports was also included as a pre-Olympic event. Meanwhile, the International Olympic Committee (IOC) also believes that esports can be considered as a sports activity, even though they only want to focus on esports games which are based on traditional sports.
In Indonesia, esports has been in the government’s attention for a few years ago. One of the reasons the government has interested in esports is the competitive gaming industry is believed to be able to open the job vacancies for the young generation in Indonesia. Indeed, even though esports athletes are often become the media spotlight and the attention of many people, there are actually a variety of other jobs you can find in the esports industry, from the esports’ team managers to analysts.
Last week, the government again showed its attention to esports. The Ministry of Youth and Sports (Kemenpora) and the Indonesian National Sports Committee (KONI) declared esports as an official sport. The questions are:
What’s the Impact?
Before we get into the discussion about the impact of the Kemenpora and KONI statements that esports is an official sport, let us discuss the meaning of achievement sports itself, which is contained in Law No.3 of 2005 concerning the National Sports System, Article 20.
“Achievement sport is intended as an effort to increase the ability and potential of sportsmen.” – Article 20, Paragraph 1.
Esports has been declared an official sport. This means that the government should increase the ability and potential of sportsmen. In esports, sportsmen are professional players. Hybrid then contacted Ashadi Ang, Head of Public Relations of the Indonesian Esports Executive (PBESI) to discuss the concrete plans of the government related to this regard.
“The first stage, we will first capture superior seeds from various provinces and cities through the Provincial ESI which has been formed at this time,” said Ashadi. As of March 2020, PBESI has appointed administrators in 34 provinces of Indonesia. “Then, these superior seeds will compete again at the national level through the Central PBESI. Of course, the athletes / promising talents who have been netted will go through different coaching and training by PB Esports Indonesia. And of course, the ecosystem of esports itself which has joined PBESI will help for this development. ”
Furthermore, Ashadi explained, PBESI will hold regular esports tournaments, both at the provincial and district levels. Unfortunately, he did not provide further information about the tournament system or games.
“What game tournament will be determined according to the current game development conditions. The games that will be the focus of PBESI are games that have a lot of interest and can bring benefits to many people and also games that will be competed at the international level, “said Ashadi.
Based on the official PB Esports Instagram account, five ESI Provinces have held esports tournaments. One of them is ESI Badung, which held a Mobile Legends and PUBG Mobile tournament in early August 2020 with a total prize of IDR 8 million. In addition, ESI Lampung has also hosted the Esports Lampung Championship. The tournament with a total prize of IDR 50 million hold three games, namely PUBG, Mobile Legends, and PES. Meanwhile, ESI South Sulawesi is holding a PUBG Mobile esports tournament with a total prize IDR 10 million.
ESI Bangka Belitung is working with the Bangka Belitung Police to hold an esports tournament on August 21-23. The total prize of the tournament reached IDR 10 million. Finally, ESI Gorontalo held a PUBG Mobile tournament on August 29 with a total prize of IDR 20 million.
One thing that must be remembered, esports games that are popular in Indonesia are different from the games that are popular at the international level. According to The Esports Observer’s PC Games Impact Index, League of Legends has been the esports game with the most significant impact on the esports ecosystem for several consecutive quarters. However, in Indonesia, let alone the fast-growing esports scene, the popularity of League of Legends is still inferior when compared to other PC games, such as Dota 2 or Counter-Strike: Global Offensive.
As a mobile-first country, esports games that are developing in Indonesia are indeed mobile games, such as Mobile Legends, PUBG Mobile, and Free Fire. Not only that, the publishers of the three games – Moonton, Tencent, and Garena – also care about developing the esports ecosystem of their games in Indonesia. Mobile Legends, PUBG Mobile, and Free Fire, all the three have official esports leagues. Although indeed, the mobile game market in Indonesia is much bigger than the PC game market. So, no wonder, if mobile game publishers want to focus on developing the esports ecosystem in Indonesia.
Coaching and Counseling
Ashadi explained, after finding promising talents by holding tournaments at the district and provincial levels, PBESI will also provide coaching, under Law no. 3 of 2005 concerning the National sports system, Article 22, said Ashadi.
“The government carries out sports coaching and development through the establishment of policies, upgrading/training, coordination, consultation, communication, counselling, mentoring, correctional, pioneering, research, testing, competition, assistance, facilitation, licensing, and supervision.” – Article 22.
Currently, the regulations regarding esports are still in the drafting stage. Regarding what topics will be discussed, Ashadi said that policies related to esports will cover many things, including the age category of players and the requirements for organizing tournaments to ensure that the tournaments held are following PBESI standards.
Another discourse that is covered by the Law regarding sports of achievement is counselling. “One of PBESI’s agendas is to open up parents’ insights that esports is different from playing games, that esports has a future, and there is a career path,” said Ashadi. He also said that they want to provide practical education in the esports’ world and not just to be a professional player. “But also broadcasting, project management, content creators and so on,” he admits.
PBESI and Other Game / Esports Bodies in Indonesia
If you monitor the development of the esports industry (or become a loyal reader of Hybrid), you will know that PB Esports is not the first esports body in Indonesia. In fact, when compared to several gaming/esports bodies in Indonesia, PB Esports is still very new.
PB Esports was officially inaugurated in January 2020. Meanwhile, the Indonesia Esports Association (IESPA) has been established since 2013, the Indonesian Video Game Sports Association (AVGI) since July 2019, and the Indonesian Esports Federation since October 2019. Regarding this matter, Ashadi said that the games/esports bodies other than PB Esports are formed as recreational sports.
“Only PBESI is the only body recognized by the Republic of Indonesian Government as an official government body under KONI for the official sport,” he said. However, he assured, PBESI will cooperate with other existing game/esports associations.
Glancing at China, which has recognized esports work as a profession
Indonesia is not the only country in Asia which the government cares about esports. The Chinese government also cares about esports. In fact, the esports market in China is one of the most developed markets in the world. In 2019, the esports market in China grew by 25% when compared to the previous year. Government support is believed to be one of the reasons why Chinese esports market can proliferate.
The form of government support in China can be seen from what the Shanghai government is doing. In 2017, the Shanghai government began to issue a discourse that they wanted to make Shanghai the capital of esports in the next three to five years. To put the plan into action, the Shanghai government has made several guidelines. One of them is that they will increase their research capacity and content creation related to esports and also encourage the media to discuss esports more frequently.
The Shanghai government also wants the number of major esports tournaments which will be held in Shanghai to increase. One of the major esports tournaments that will be held in Shanghai shortly is the League of Legends’ World Championship. With the coronavirus pandemic, there were concerns that the global tournament would be cancelled or converted to online competition.
However, in August 2020, Riot Games said that they will still hold LWC in Shanghai. They revealed that to do that, they not only closely monitored the impact of COVID-19 but also continued to communicate with local and national governments. The government’s willingness to work with Riot shows its seriousness in developing esports, even amid a pandemic.
Apart from Shanghai, the Beijing government also said that they wanted to make their city as the Capital of Online Games. They hope that they will be able to realize the plan in 2025. Don’t be surprised if the city government has flocked to make its city to be a city that is friendly to the gaming and esports industry players. When a city hosts a major esports tournament, this will make a positive economic impact.
The support from the Chinese government did not stop there. In January 2019, the Chinese government formalized that professional esports and esports operators were two new professions. In July 2019, 88 esports athletes were declared as official athletes of Shanghai. Don’t get it wrong, the official athlete is not a title that everyone can get. People who become official athletes are also entitled to various facilities from the government, just like other traditional sports athletes. Examples of facilities provided by the Chinese government are international visa support and educational facilities.
Closure
If we reflect on China, government support can accelerate the growth of the esports industry. To support the esports industry, the government does not need to take over the duties of other esports industry players.
For example, the Shanghai government wants more and more major esports tournaments to be held there. However, that doesn’t mean they are busy creating their own esports tournaments. They are actually working with other parties. In League of Legends’ World Championship cases, they took Riot Games. If the Indonesian government can do the same (adjusted to Indonesia’s conditions, of course), the Indonesia esports industry may also be able to develop rapidly.
Esports is growing fast worldwide, including Indonesia. However, something was missing from the Indonesian ecosystem — which is the recognition of the government. Now, that problem is solved after esports is acknowledged as a sports branch by the Indonesia Ministry of Youth and Esports (Kemenpora) and Indonesia National Sports Committee (KONI).
The recognition is officially concluded during the 2020 National Conference (Rakernas) of Central KONI that held virtually on August 25th-27th, 2020. Being recognized as an official sports branch, this means esports could be included in nation-wide official sports competition, such as National Sports Week (PON).
Furthermore about official sports branch, according to the Constitution (Act No. 3 of 2005 on National Sports Systems), it’s said that: “Official sports are conducted through planned, tiered, and sustainable development with the supports of sports science and technology.”
That’s why this recognition is expected to transform esports to be more structured to boost its growth.
Komjen. Pol. Drs. Bambang Sunarwibowo, S.H., M.Hum as the Daily Chairman of PB ESI said that there are some reasons why esports could be included as sports. First, esports use human agility, speed, and brain as well as sports. He also added that esports competition has already been held in various national or event international events, such as the Asian Games 2018 and SEA Games 2019.
According to the press release, this conference also officially recognized that Indonesia Esports Managing Committee (PB ESI) is the only institution that covers esports in Indonesia under KONI.
It’s undebatable that the government can have a significant impact on developing industry. In the esports ecosystem, we saw that there was growth by 25% from 2018 to 2019 in China because (one of the reasons) the government already officially acknowledge professions in esports. The local government of Shanghai and Hainan also actively supports esports tournaments.
South Korea is also another country that could be seen as an example. Esports ecosystem in South Korea snowballed because of the significant development from internet and telecommunication infrastructure, Korea E-Sports Association (KeSPA), and government’s investments in the industry. The results? As we can see, South Korea becomes one of the center of the esports industry in the world and home to so many high tier esports players.
However, despite the declaration, some follow-up questions need to be asked. Hopefully, this declaration could start the momentum to improve Indonesian esports ecosystem.
The original article is in Indonesian, translated by Yabes Elia